Senin, 29 Oktober 2012

USHUL FIQIH VS HERMENEUTIKA

             

                                USHUL FIQIH VS HERMENEUTIKA
Membaca Islam dari Kanada dan Amerika

Karya : Kiyai Yudian Wahyudi, Ph. D
Resensi oleh : Hartono Gs

    Pada bab II (hlm. 27) Peradaban Fikih ini, setidaknya terbangun sebuah asumsi dan kritik yang sangat pedas sekali untuk dijadikan sebuah cermin demi kemajuan fikih atau hukum Islam di Indonesia saat ini, pun demikian kenyataan serta perkembangan fikih yang ada saat ini setidaknya bisa dijadikan sebuah entri-point untuk dapat mengembangkan fikih yang ada, bukan sebaliknya dijadikan sebuah benalu yang seolah hidup segan matipun takm mau.
    Karya K. Yudian dalam bab ini setidaknya terpetakan dalam lima kategori pokok pikiran, dimana yang kesemuanya memiliki keterkaitan yang cukup signifikan untuk dikaji dan didalami dalam melihat fikih atau hukum Islam Indoneia kekinian. Selain itu yang terpenting buku ini setidaknya dapat dijadikan sebuah jalan baru atau metode bagaimana sebenarnya memahami hukum Islam dalam kontek keindonesiaan.
A.    Peran Hasbi Ash Shiddieqy dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia abad XX.
Bagi kebanyakan sarjana Islam yang konsen mengkaji hukum Islam Indonesia sosok Hasbi Ash Shiddieqy sangatlah tidak asing bagi mereka semua, karena sosok ini dianggap sebagai sosok yang berhasil menancapkan atau membangun dasar-dasar hukum Islam di Indonesia, kenyataan inilah yang sekiranya dapat dijadikan sebuah acuan mendasar dalam mempelajari hukum Islam Indonesia walaupun (Prof. Yudian menyebutkan masih banyak tokoh-tokoh pembaharu hukum Islam di Indonesia yang belum terkafer). Dan dalam perkembangan selanjutnya setidaknya pada tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia.
Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah
Sedangkan isu mengenai pendekatan kembali pada Al-Qur’an dan Sunna, setidaknya slogan ini sudah banyak sekali digunakan atau dipopulerkan oleh para pendahulu pemikir dan pembaharu Islam di Timur Tengah ataupun di Indonesia, sebut saja seperti KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan atau Organisasi Islam ”Muhammadiyah”. Slogan kembali pada Al-Qur’an dan sunna setidaknya dalam kontek ini adalah untuk merespon, Pertama adanya teori resepsi yang menitiberatkan pada posisi hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat bukan hukum Islam karena hukum islam dianggap impor dari Arab. Kedua respon terhadap purifikasi praktek umat Islam yang banyak dipengaruhi non-Islam.
Keindonesiaan
Fikih keindoneiaan, dalam kontek ini setidaknya Hasbi juga pernah mengungkapkan atau memiliki pemikiran fikih yang bercorok keindonesiaan, artinya fikih atau hukum Islam yang dibangun harus cocok dengan kepribadian adat dan budaya masyarakat Indonesia, namun demikian sebagian kalangn reformis ada yang tidak sepakat mengenai pemahaman seperti ini. Akan tetapi kalangan lain yakni yang memiliki pemahaman Islam subtansial sudah menganggap bahwa hukum Islam setidaknya sudah terakomodir dalam UU yang ada saat ini.
B.    Reorientasi Fiqh Indonesia
Kajian yang memetakan kewilayahaan saat ini menjadi sebuah kajian yang sangat menarik, karena kajian seperti ini setidaknya menggunakan pendekatan sosiologis, antropologis, geografis dan lain sebagainya sebagai alat untuk bisa memahami dan menggali berbagai masalah yang ada. Seperti halnya kajian fikih keindonesiaan yang banyak digagas oleh kebanyakan ahli, didalamnya mengalami pro dan kontra yang sangat serius karena ada yang beranggapan fiqih itu tidak bersifat universal seperti halnya syari’ah.
Pokok dari kajian reformasi hukum Islam di Indonesia setidaknya sebuah pembahasan yang cukup konsen terhadap kajian mengenai pentingnya kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah yakni dengan cara membesihkan berbagai hukum dan praktek keagamaan umat Islam dari pengaruh non-Islam dan sekaligus mengembalikan pemahaman dalam islam mengenai taklid, talfik dan pintu ijtihad tidaklah pernah tertutup hingga hari ini,  pemahaman seperti ini sangatlah penting untuk dipahami oleh umat Islam saat ini sehingga tidak terjebak pada pemahaman Islam yang formalistik-tektualis atau memahami Islam secara hitam dan putih. Akan tetapi metode sosiologis dan perbandingan dibutuhkan agar produk pemikiran yang dihasilkan ramah terhadap lingkungan yang ada.
C.    Maqashid al-Syari’ah sebagai Doktrin dan Metode
Mengkaji Maqashid al-Syari’ah tidak layak sekiranya jika tidak mengetahui siapa sebenarnya pencetus konsep Maqashid al-Syari’ah itu sendiri, dalam hal ini setidaknya ada trilogi penemu, pelanjut dan pengembang konsep ini yaitu Imam al-Juwaini, Imam al-Ghazali dan Imam al-Saythibi. Dalam pendekatan konsep Maqashid al-Syari’ah setidaknya ada lima dasar yang perlu dipahami, menjaga diri, keluarga,akal, agama, dan harta. Dilihat dari sisi doktrinitas kelima onsep ini setidaknya sangat fundamental untuk tetap dipertahankan demi menjamin kemaslahatan, keamanan bagi setiap umat manusia. Sedangan dilihat dari sisi metode umat Islam bisa maju dan berhasil  jika dapat melakukan lima hal tersebut sebagai jalan untuk menuju apapun yang ingin dicapainya.
D.    Ushul Fikih Transliterasi
Kami sangat mengingat betul dalam beberapa kuliah yang disampaikan oleh Prof. Yudian ia mengatakan bahwa ”para ilmuan Indonesia masih sedikit sekali yang memahami metode translitrasi yang benar” statemen ini setidaknya tidak ada salahnya ”toh” ternyata banyak sekali ilmuan yang mentranslit masih mengalami sebuah kesalahan yang fatal namun demikian kesalahan translitrasi ini setidaknya bayak faktor yang mempengaruhi seperti halnya teknologi yang belum bisa mengakomodir semua yang diperlukan, jika hal ini yang terjadi tentunya kesalahan yang ada bersifat sistematis karena negara belum bisa memfasilitasi kebutuhan pendidikan yang memadai, akan tetapi dari kesalahan itu setidaknya tidak mengalami kefatalan yang luar biasa karena secara subtansial isi dan pesan yang ingin disampaikan ternyata masih dapat dipahmi dan dimengerti, memang betul peradaban saat ini terpusat di Barat akan tetapi Indonesia bukanlah Barat dan Indoneia tidak perlu menjadi Baarat. 
E.    Ahlul Kitab dan Kenabian Universal: Membaca Ulil dari Kacamata Cak  Nur
Siapa sih Ulil ? yang banyak sekali tulisannya tersebar di media dengan pemikiran liberalnya, pada akhir tahun 2003 saya pernah bertemu dan mengikuti seminar yang kebetulan narasumbernya adalah Ulil, ya... penampilannya seperti kebanyakan mahasiswa karena memang ia lahir dan berkembang didunia kampus dan pesantren, saya lagi-lagi melihat Ulil tak segarang dan seliberal tulisannya dalam seminar itu, melainkan ia terlihat lebih lugu dan adem-ayem aja dalam menyampaikan pendapatnya (apakah ia merasa harus seperti itu karena kebetulan seminar tersebut diadakan di lingkungan PP. Tebuireng yang dalam sekala nasional sangat diperhitungkan) saya tidak paham itu akan tetapi itulah kenyataannya.
Dalam tulisan ini setidaknya akan memoteret dua sosok yang cukup liberal dalam pemikirannya, yaitu Ulil dan Cak Nur, dalam belantika pemikiran modern Islam Indonesia kedua sosok ini sangatlah tidak asing walaupun keduanya terpaut jauh generasinya, Cak Nur sudah hadir terlebih dahulu di tahun 70-an sedangkan Ulil baru muncul ditahun 2000-an, ini artinya secara waktu mengalami kesenjangan yang luar biasa dan bisa saja diasumsikan bahwa Ulil dalam pemikirannya seperti kebanyakan pemikir lainnya menilai bahwa Ulil tidak ada yang original karena semua pemikirannya yang dianggap liberal pernah diungkapkan oleh para pendahulunya sebut saja Cak Nur dan Gus Dur.
Selanjutnya untuk melihat sosok Ulil dengan pemikirannya yang pernah kontraversial beberapa waktu yang lalu, salah satunya mengenai topik bahasan mengenai Kenabian Universal, ia dinilai banyak kalangan memiliki cara berpikir yang reduksionis dan lemah dalam pengambilan sejaranya, sepertihalnya dalam pengambilan ayat yang dijadikan hujjah sering sekali semberono dan tidak melihat latar belakangnya, oleh karena itu dalam salah satu tulisannya ia berkata ”mohon dikoreksi jika saya keliru”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar