Senin, 29 Oktober 2012

DI / TII dan NII Baru; Dalam Perspektif Sejarah Perpolitikan Indonesia

                                                   DI / TII dan NII Baru;
                             Dalam Perspektif Sejarah Perpolitikan Indonesia
                                                  
                                                Oleh : Hartono GS

A.    Pendahuluan
Cita-cita serta semangat kemerdekaan Negara Indonesia tahun 1945 adalah tujuan semua rakyat Indonesia, lebih khusus umat Islam sebagai penentu masyarakat mayoritas untuk menuju kemerdekaan dalam perjuangannya adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri, fakta ini sekiranya dapat dilihat dengan banyaknya gerakan-gerakan serta partai politik Islam yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan republik Indonesia (baik dari kalangan moderenis, tradisionalis).
Perjuangan yang gigih dan tanpa pamrih di atas yang dilakukan umat Islam (khususnya) ternyata tidak mendapat penghargaan bagi umat Islam secara defakto, sehingga muncul rasa ketidak puasaan atau rasa penghianatan atas jerih payahnya. Sikap ini ternyata terus menerus terpupuk dan menjadi gunung es pada masa SM. Kartosuwiryo, dengan mendirikan Darul Islam (DI) yang didukung penuh oleh Tentara Islam Indonesia (TII), sejarah ini setidaknya bukan sekedar permainan atau intrik politik/dinamika politik di masa Soekarno, karena ternyata jaringan Darul Islam (DI) dalam perkembangan selanjutnya terus  tersebar ke berbagai daerah seperti Sulawesi yang diwakili oleh Kahar Muzakkar, di wilayah Aceh oleh Daud Beureueh, dan di Kalimantan Selatan diwakili oleh Ibn Hajar, untuk mendapatkan dukungan secara penuh.
Keberadaan dan eksistensi gerakan politik Islam (DI), yang nantinya akan penulis kaji dengan berbagai persepektif serta pendekatan yang ada, ditujukan untuk bisa saling memahami dan medalami antar kalangan yang pro ataupun kontra terhadap ideologisasi Islam, semua itu bertujuan agar ketegangan-ketegangan yang sifatnya ideologis ataupun fisik bisa diminimalisir, selain itu ranah sosial-kritis seperti yang diungkapkan oleh Hebermas, kebenaran sesuatu itu sebanarnya tidak hanya dibenarkan atau disalahkan oleh kalangan yang pro atau pun kontra melainkan kebenaran itu coba diuji dan didekati dengan pendekatan yang multidisipliner.
 
B.    Pembahasan
v    DI / TII 1948-1949 SM. Kartosuwiryo
Dalam analisis K. D. Jackson berdirinya DI/TII sesungguhnya tidak terlepas oleh kondisi sosial-masyarakat/rakyat Jawa Barat ketika itu, yakni masyarakat ketika itu memiliki akar kebudayaan nusantara yang kental dengan budaya patronisme, yaitu kesetiaan yang berlebihan terhadap pemimpinnya, sehingga mobilisasi masa dan pengerahan massa untuk mencapai kepentingan ekonomi, politik maka dapat dilalui dengan jalur tradisional. Tipologi masyarakat Indonesia itu setidaknya dalam teorinya Max Weber juga disinggung, kemudian dapat dikelompokan menjadi tiga klasifikasi untuk memperoleh kekuasaan. Pertama, Aserfatif. Kedua, Kapasitas personal. Ketiga Jalur Lembaga resmi.
Memperoleh kekuasaan dengan jalan Aserfatif atau warisan (darah keturunan baik dari golongan raja, kiyai atau kolongmerat) merupakan faktor yang sangat dominan yang dianut atau dipahami oleh masyarakat Indonesia dahulu hingga saat ini, terbukti dalam beberapa kasus seperti pemilu, pilkada, faktor figur masih sangat dominan dimanikan untuk bisa menarik dan membuat simpati dengan cara (figur/tokoh) tersebut masih memiliki garis keturunan dengan orang-orang bersar sebelumnya, dilaih hal tingkat elekstabilitas  ternyata faktor ini cukup ampuh mendulang suara. Maka akhirnya pemilih atau pendukung tokoh yang ada saat ini atau masyarakat Jawa Barat ketika itu mendukung penuh tanpa kritik pada sosok SM. Kartosuwiryo dapat dikelompokan dalam masyarakat yang masih aserfatif atau masyarakat tradisionalis-kolektif-irasional.
SM. Kartosuwiryo dalam karir pemikirannya setidaknya juga terpengaruh oleh dua tokoh besar pergerakan Islam Agus Salim dan HOS. Cokroaminoto, selain itu ia juga tercatat sebagai politisi yang bergerak dalam wilayah politik Islam yang ingin mendirikan Negara berdasarkan syariat Islam, karena beberapa alasan yang cukup fundamental ;
o    Din wal Dawlah adalah konsep yang menyatu, karena Islam merupakan sistem kehidupan total, universal yang dapat diterapkan pada semua keadaan, waktu dan tempat (dawlah).
o    Al quran  dan Al Sunnah sebagai fondasi untuk kembali ke tradisi (salaf)
o    Puritanisme dan keadilan sosial dengan mendasarkan pada kekokohan keluarga, nilai-nilai Barat ditolak
o    Kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan Syariah karena tujuan pokok dari umat Islam adalah menegkkan kedaulatan Tuhan di muka bumi. Hal ini hanya dapat dicapai dengan menetapkan tatanan Islam-Nizam Al Islami di mana syariah merupakan undang-undang tertinggi.
o    Jihad tidak hanya untuk bertahan, tetapi untuk menaklukan semua rintangan yang akan menghambat penyiaran Islam ke seluruh dunia.







        Kesemuanya itu akhirnya SM. Kartosuwiryo mendirikan Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.
     PROKLAMASI Berdirinja NEGARA ISLAM INDONESIA


Bismillahirrahmanirrahim Asjhadoe anla ilaha illallah wa asjhadoe anna Moehammadar Rasoeloellah Kami, Oemmat Islam Bangsa Indonesia MENJATAKAN: Berdirinja ,,NEGARA ISLAM INDONESIA" Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Indonesia itoe, ialah: HOEKOEM ISLAM Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!
Atas nama Oemmat Islam Bangsa Indonesia Imam NEGARA ISLAM INDONESIA Ttd (S M KARTOSOEWIRJO) MADINAH-INDONESIA, 12 Sjawal 1368 / 7 Agoestoes 1949

v    Qanun Asasi Negara Islam Indonesia
Qanun Asasi ini merupakan Undang-undang resmi yang digunakan oleh Darul Islam/TII atau Negara Islam Indonesia. Dan disinipun penulis sengaja tidak melampirkan Qonun Asasi secara lengkap karena menurut hemat penyusun ada beberapa hal dalam bab Qonun Asasi ini terlihat cukup menjadi dasar berdirinnya Negara Islam Indonesia, pun demikian penulis tidak mengesampingkan beberapa Bab yang tidak penulis cantumkan antara lain bab-bab itu adalah (BAB II Majlis Syuro BAB III Dewan Syuro BAB V Dewan Fatwa BAB VI Dewan Imamah BAB VII Pembagian Daerah BAB VIII Keuangan BAB IX Kehakiman BAB X
Warga Negara BAB XII Pendidikkan BAB XIII Ekonomi
Muqaddimah
Sejak mula pertama Umat Islam berjuang, baik sejak masa kolonial Belanda yang dulu, maupun pada masa kedudukkan Jepang, hingga pada zaman Republik Indonesia, sampai pada saat ini selama itu mengandung suatu maksud yang suci, menuju arah yang mulia, ialah: "mencari dan mendapatkan Mardhatillah, yang merupakan hidup di alam ikatan dunia baru, yakni Negara Islam Indonesia yang merdeka."  Dalam masa Umat Islam melakukan wajibnya yang suci itu dengan beraneka jalan dan haluan yang diikuti, maka diketemuinyalah beberapa jembatan yang perlu dilintasi ialah jembatan pendudukkan Jepang dan Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia. 
BAB I;  Negara, Hukum dan Kekuasaan 
Pasal 1
1.    Negara Islam Indonesia adalah Negara Kurnia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada bangsa Indonesia.
2.    Sifat Negara itu Jumhuriyyah (Republik).
3.    Negara menjamin berlakunya Syariat Islam di dalam kalangan kaum Muslimin.
4.    Negara memberi kekuasaan kepada pemeluk agama lainnya dalam melakukan ibadatnya.
Pasal 2
1.    Dasar dan Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Islam.
2.    Hukum yang tertinggi adalah Quran dan Hadis sahih.
Pasal 3
1.    Kekuasaan yang tertinggi membuat hukum dalam Negara Islam Indonesia ialah Majlis Syuro (Parlimen). Jika keadaan memaksa, hak Majlis Syuro boleh beralih kepada Imam dan Dewan Imamah.
BAB IV ; Kekuasaan Pemerintah Negara
Pasal 10; Imam Negara Islam Indonesia memegang kekuasaan Pemerintah menurut Qanun Asasi sepanjang Hukum Islam.
Pasal 11
1.    Imam memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Majlis Syuro.
2.    Imam menetapkan peraturan Pemerintah setelah berunding dengan Dewan Imamah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.
Pasal 12
1.    Imam Negara Islam Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam dan taat kepada Allah dan RasulNya.
2.    Imam dipilih oleh Majlis Syuro dengan suara paling sedikit 2/3 daripada seluruh anggota.
3.    Jika hingga 2 kali berturut-turut dilakukan pemilihan itu, dengan tidak mencukupi ketentuan di atas (BAB IV, Pasal 12 ayat 2), maka keputusan diambil menurut suara yang terbanyak dalam pemilihan yang ketiga kalinya.
Pasal 13
1.    Imam melakukan wajibnya, selama :
a.    mencukupi bai’atnya;
b.    tiada hal-hal yang memaksa sepanjang Hukum Islam.
2.    Jika kerana suatu hal, Imam berhalangan melakukan kewajibannya, maka imam menunjuk salah seorang angota Dewan Imamah sebagai wakil sementara.
3.    Di dalam hal-hal yang amat memaksa maka Dewan Imamah harus selekas mungkin mengadakan sidang untuk memutuskan wakil Imam sementara dari anggota-anggota Dewan Imamah.
Pasal 14; Sebelum melakukan wajibnya, Imam menyatakan bai’at di hadapan Majlis Syuro sebagai berikut : 
Bismi’llahi’r-Rahmani’r-Rahim
Asyhadu al laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah. Wallahi (Demi Allah), saya menyatakan bai'at saya sebagai Imam Negara Islam Indonesia, di hadapan sidang Majlis Syuro ini, dengan ikhlas dan suci hati dan tidak kerana sesuatu di luar kepentingan Agama dan Negara. Saya sanggup berusaha melakukan kewajiban saya sebagai Imam Negara Islam Indonesia dengan sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya sepanjang ajaran Agama Islam, bagi kepentingan Agama dan Negara.
Pasal 15; Imam memegang kekuasaan yang tertinggi atas seluruh Angkatan Perang Negara Islam Indonesia.
Pasal 16; Imam dengan persetujuan Majlis Syuro menyatakan perang, membuat perdamaian/perjanjian dengan negara lain.
Pasal 17; Imam menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat-akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 18
1.    Imam mengangkat duta besar dan konsul;
2.    Imam menerima duta besar negara lain.
Pasal 19; Imam memberikan amnesti, abolisi, grasi dan rehabilitasi.
Pasal 20; Imam memberikan gelar, tanda jasa dan tanda-tanda kehormatan lainnya
BAB XI; Pertahanan Negara
Pasal 30
1.    Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara.
2.    Tiap-tiap warga negara yang beragama Islam wajib ikut serta dalam pertahanan negara.
BAB XIV; Bendera Dan Bahasa
Pasal 33
1.    Bendera Negara Islam Indonesia ialah Merah Putih ber-Bulan Bintang.
2.    Bahasa Negara Islam Indonesia ialah Bahasa Indonesia
BAB XV; Perubahan Qanun Asasi
Pasal 34
1.    Untuk mengubah Qanun Asasi harus sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majlis Syuro yang hadir. Putusan diambil dengan persetujuan dengan sekurang-kurangnya setengah dari jumlah semua anggota Majlis Syuro.

Cara Berputarnya Roda Pemerintahan.
1.    Pada umumnya roda Pemerintahan NII berjalan menurut dasar yang ditetapkan Qanun Asasi dan sesuai dengan Pasal 3 Qanun Asasi tadi, sementara belum ada Parlemen (Majlis Syuro), segala undang-undang dalam bentuk Maklumat-maklumat yang ditandatangani oleh Imam.
2.    Berdasarkan maklumat-maklumat Imam tadi, Majlis-Majlis (Kementerian-Kementerian) menurut pembahagian tugas kewajiban masing-masing, membuat peraturan dan penjelasan untuk memudahkan perlaksanaannya.
3.    Juga dasar politik Pemerintah NII ditentukan oleh Dewan Imamah.
4.    Anggota-anggota Dewan Imamah pada waktu pembetukkannya ialah:
a.    S.M. Kartosoewirjo selaku Imam merangkap Kepala Majlis Pertahanan.
b.    Sanoesi Partawidjaja selaku Kepala Majlis Dalam Negeri dan Keuangan.
c.    K.H. Gozali Tusi selaku Kepala Majlis Kehakiman.
d.    Thoha Arsyad selaku Kepala Majlis Penerangan.
e.    Kamran selaku Anggota.
Dengan melihat Qonun Asasi yang ada, menurut hemat penyusun keberadaan DI/TII atau NII sebenarnya memiliki posisi yang kuat untuk tetap eksis di bumi nusantara ini, akan tetapi pergolakan politik yang cukup sengit sampai terbunuhnya SM. Kartosuwiryo maka secara otomatis gerakan politik Islam ini yang telah berhasil mendirikan Negara Islam Indonesia mengalami kelumpuhan serta kemunduran yang cukup signifikan.
Dalam perkembangan selanjutnya walaupun pemimpin mereka telah tiada sebagai pemimpin tertinggi NII, ternyata semangat serta metamorfosisi keinginan mendirikan nrgara Islam atau Negara yang berlandaskan syariat Islam di Indonesia terus menerus berlanjut sampai hari ini, karena semua itu dalam pendekatan kajian politik social (perubahan sosial) sangat mungkin diwujudkan, hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Jawahir Thaontowi untuk mendirikan atau menegakkan syariat Islam sangalah mungkin karena syariat Islam sangat jelas:
§    Suariat Islam menurut jumhur ulama’ telah jelas yakni meliputi aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak yang didasarkan pada al-Quran-Hadis.
§    Syariat Islam Syumuliyyah (lengkap)
§    Syariat Islam yang di dalamnya ada hukum Islam dalam perkembangan sejarah harus selalu bisa merespon dengan penafsiran didalamnya, dalam hal ini adalah realisasi syariat Islam di Aceh yang tertuang dalam UU. No. 18. tahun 2001 dengan jalan perjuangan (konseptual dan lobi parlemen).
v    Sejarah berdirinya DI / TII

Darul Islam (DI), Tentara Islam Indonesia atau Negara Islam Indonesia (NII) dideklarasikan oleh SM Kartosuwirjo 7 Agustus 1949, pada saat terjadi kevacuman negara Indonesia yang diserang kembali oleh penjajah, dengan tujuan mendirikan Negara Islam di Indonesia.
Tepatnya pada tanggal 12 dan 13 Februari 1948 merupakan tonggak perjuangan penegakan Kekholifahan (kedaulatan) kerajaan Alloh di mukabumi pasca tumbangnya kekhalifaan Turki Utsmani, dengan berkumpulnya kurang lebih 362 orang ulama di Cisayong yang di kenal dengan “ KONGRES CISAYONG” dan memutuskan 7 program perjuangan Jihad Fi Sabilillah sebagai manifestasi penegakkan dienul Islam. Adapun 7 program perjuangan tersebut adalah:

1.    Mendidik rakyat agar cocok menjadi warga negara Islam
2.    Memberikan penerangan bahwa Islam tidak bisa di menangkan dengan Flebisit (Referendum, Pemilu dan sejenisnya)
3.    Membentuk daerah basis.
4.    Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII)
5.    Memperkuat NII kedalam dan keluar, kedalam: Memberlakukan Hukum Islam dengan seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya. keluar: Meneguhkan identitas internasionalnya,sehingga mampu berdiri swejajar dengan negara lain.
6.    Membanntu perjuangan muslim dinegara negara lain, sehingga mereka segera bisa melaksanakaan wajib sucinya,sebagai hamba Allah yang menegakan hukum Alloh di bumi Alloh.
7.    Bersama negarag–negara Islam yang lain, membentuk Dewan Imamah Dunia untuk memilih seorang kholifah, dan tegaklah khilafah di muka bumi.
Seperti beberapa penjelasan di atas dalam perjalanan politik pemerintahan Republik Indonesia pasca kemerdekaan setidaknya pernah terjadi sebuah kevacuman politik atau legalisasi pemerintahan Negara Indonesia tepatnya pada tahun 1948-1949, dimana pemerintah mengalami jajahan kembali oleh pihak Belanda yang akhirnya Ibu kota dipindah ke Yogyakarta dan dalam waktu yang sama Belanda pun mendirikan Negara Pasundan di Jawa Barat sebagai antisipasi jika pemerintahan Republik di Yogyakarta benar-benar jatuh.
Pemilihan tempat Yogyakarta sebagai Ibu kota Negara Indonesia sebenarnya merupakan proses politik yang cukup menarik dan membutuhkan kajian yang mendalam dalm kontek perpolitikan di Indonesia masa lalu, namun untuk hal itu penulis tidak bisa mengomentari karena memang bukan wilayah pembahasan dalam makalah ini.
NII dianggap sebagai pengganti Negara Indonesia yang sudah vacum secara politik, karena tekanan yang bertubi-tubi dari Belanda dalam forum internasional, ditambah lagi gerakan NII ini dikembangkan dan didukung secara masif oleh kekuatan paramiliter dari kelompok Islam konservatif (Masyumi) yang kecewa dengan kelambanan gerakan politik nasional di dalam merespon situasi politik Belanda. Dalam perspektif lain sebenarnya Negara Islam Indonesia merupakan sebuah solusi atau jalan tengah atas kemadekan dan ketidak solidan dalam pemerintahan yang ada ketika itu.

v    Dinamika Perjuangan dan Pergerakannya; Jalan Kekerasan dan Kemiliteran
Ada sebuah asumsi yang cukup menarik untuk diperdebatkan dalam beberapa pemahaman perpolitikan Islam, yaitu penerimaan atas keadaan/pemerintahan yang ada bukan sekedar dengan menerima tanpa melakukan koreksi serta perbaikan sama sekali, namun penerimaan sebagai proses meredam gejolak dan ketika ada kesempatan serta waktu perjuangan sebenarnya perlu ditunjukan dalam bentuk yang rill seperti kekerasan dan kemiliteran.
Dalam bentuk kekerasan dan kemiliteran paham ini sebenarnya dipahami melalui jalan agama yang sering disebut jihad fisabililah, yaitu berjuang untuk menegakkan panji-panji Allah di muka bumi ini, namun terkadang konteks seperti ini kerap sekali jihad hanya dipahami secara parsial atau tidak  lengkap lengkap. Sedangkan metode atau jalan yang ditempuh oleh Darul Islam/TII sebenarnya sebagai respon terhadap beberapa hal, yakni;
a)    Munculnya partai politik yang secara terang-terangan memilih Islam sebagai ideologi politik dan mencita-citakan sistem khilafah mengganti sistem negara konvensional
b)    Adanya kegagalan demokrasi di dalam membentuk kesepakatan dan partisipasi maksimal dari mayoritas (muslim Indonesia) terhadap Negara
c)    Paham Single majority bahwa sistem negara Islam merupakan keinginan mayoritas Indonesia
d)    Demokrasi membuka peluang naiknya kembali cita-NII dalam ruling power di Indonesia
v    Tekanan Politik Kekuasaan ORDE BARU; Tantangan Negara Islam di tengah masyarakat Plural
Keteganagan antar kekuatan politik Islam dengan ORBA mengalami titik kulminasi pada saat pemilu 1977 (Government versus Islam), dalam kampanye pemilu setidaknya partai Islam ppp mendapat dukungan penuh dari elite Islam yang tidak ikut berfusi. Mereka itu antara lain M. Natsir, Kasman Singodimedjo dan Nurcholis Majid.
Keteganggan di atas setidaknya terjadi sampai dengan berlangsungnya SU MPR 1987 yang membahas masalah aliran keagamaan yang dimaksudkan oleh ORBA bisa sejajar dengan agama dan Islam melalui jalur politiknya menolak secara tegas, akan tetapi dengan keluarnya ketetapan pemerintah tersebut ternyata tidak meredam sikap konfrontasi antara pemerintah versus Islam sampai decade 1980-an.
Pada perjalanan selanjutnya kekahawatiran pemerintah ORBA dengan gerakan Islam yang ingin mewujudkan Negara Islam Indonesia, pemerintah setidaknya memiliki kekhawatiran dengan beberapa sebab;
a.    Formalisasi Islam menjadi negara akan menjadikan Islam sebagai identitas politik yang akan memancing tekanan anti-Islam dari luar.
b.    Perbenturan antara supra-ideologis (Pancasila) dengan sub-ideologis (Islam) akan mengganggu proses integrasi politik.
c.    Resistensi kultural dari kekuatan-kekuatan lokal
d.    Resistensi internal dari umat Islam sendiri tentang kontestasi elitis siapa yang berhak menjadi imam.
e.    Tekanan politik anti-Islam global
Dengan beberapa kekhawatiran itu, maka pemerintah dengan tegas mengambil kebijakan Asas Tunggal untuk Negara Indonesia, karena selain Pancasila dianggap lebih bisa mengakamodir berbagai entitas yang ada di Negara Indonesia ini, Pancasila juga merupakan intisari (kultur, budaya, adat istiadat dan keberagaman) dari semua kekuatan yang ada di dalam masyarakat Indonesia.
v    NII Baru; Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir
a.    Abdullah Sungkar; Mengenang As-Syahid Abdullah Sungkar
Sejak 1985 ustadz Abdullah Sungkar tinggal di Malaysia, karena menjadi pelarian politik rezim Orde Baru. Dan beliau pun menjadi mubaligh keliling, antara lain ke Jerman, Australia, dan lain-lain. Tanggal 20 Oktober 1999 lalu, beliau kembali ke Indonesia untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan umat Islam. Rupanya Allah berkehendak lain. Dalam suatu pertemuan di Bogor, Sabtu sore, 23 Oktober 1999, beliau wafat dalam keadaan tenang. Innalillahi wa Innailaihi Roji'un.
Abdullah bin Ahmad Sungkar lahir di Surakarta Solo, pada tahun 1937, dari keluarga sederhana yang kuat dan taat beragama. Sejak kecil Abdullah Sungkar dididik dan diasuh dalam suasana Islam yang kental oleh ayahnya yang bernama Ahmad bin Ali Sungkar. Setelah menamatkan pendidikan di SMA Muhammadiyah Solo (1957), Abdullah Sungkar tidak melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, karena keadaan ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan. Namun begitu, Abdullah Sungkar terus meningkatkan ilmu pengetahuannya, terus mendalami ajaran agamanya, dan pada taraf tertentu beliau mampu menguasai dua bahasa asing yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Arab dengan baik.
Abdullah Sungkar pun akhirnya semakin kepincut dengan dunia organisasi dan kepemudaan. Selain aktif di kepanduan Al-Irsyad, beliau juga aktif di GPII pada tahun 1954, bahkan pada tahun yang sama Abdullah Sungkar mulai melangkahkan kakinya ke partai politik (Masyumi) yang dipimpin oleh Dr. Moh. Natsir. Di bidang pendidikan, Abdullah Sungkar dan kawan-kawan pada tahun 1971 mendirikan Yayasan Pondok Pesantren "Al-Mu'min" di daerah Ngruki, Solo, dan masih berdiri hingga kini.
Tantangan dalam Dakwahnya; Menentang rezim ORBA
Seiring perjalanan waktu, Abdullah Sungkar pun menemukan 'habitat' aslinya, yaitu dunia dakwah. Di situlah beliau dikenal sebagai Mubaligh yang berani dan keras. Kegiatan dakwahnya tidak terbatas pada pengajian reguler saja, tetapi juga berdakwah melalui radio siaran yang didirikannya tahun 1969 bersama kawan-kawannya. Radio Dakwah Islamiyah (RADIS) yang dikumandangkannya itu akhirnya harus surut, setelah dilarang oleh Laksusda Jawa Tengah pada tahun 1975.
Sejak saat itulah Abdullah Sungkar banyak menemui berbagai kesulitan dalam menjalankan kehidupan normalnya, karena ia telah diposisikan sebagai musuh oleh rezim Orde Baru. Sejalan dengan itu, 'karier' beliau sebagai Mubaligh (juru dakwah) justru meningkat, apalagi setelah beliau diangkat sebagai Ketua Pembantu Perwakilan DDII cabang Surakarta. Sejak itu berbagai kritikannnya kepada rezim Orde Baru yang semakin menyimpang, kian menjadi-jadi, dan tentu saja memerahkan kuping penguasa. Hasilnya, Abdullah Sungkar berkali-kali keluar-masuk penjara Orde Baru. Pafa tahun 1977, selama satu bulan (12 Maret-29 April) Abdullah Sungkar ditahan Laksusda Jateng, karena mensosialisasikan GOLPUT pada Pemilu saat itu. Sejak 10 November 1978 hingga 3 April 1982 (4 tahun), Abdullah Sungkar kembali mendekam di tahanan Laksusda Jateng, dengan tuduhan merongrong Pancasila dan pemerintahan yang sah, melalui dakwah-dakwahnya yang berani dan tegas. Bahkan Abdullah Sungkar pun dituduh hendak mendirikan Negara Islam melalui berbagai dakwahnya itu.
Sedangkan Abdullah Sungkar tentang Negara adalah, "Cita-cita kenegaraan berdasarkan ajaran Islam yang murni merupakan suatu keharusan yang tak dapat dilengahkan oleh setiap Muslim yang konsekwen terhadap ajaran agamanya. Maka memperjuangkan cita-cita tersebut adalah kewajiban saya walau resiko apapun yang harus dipertaruhkan." Selanjutnya Abdullah Sungkar mengatakan: "Islam tidak mempersoalkan apakah pemerintahan suatu negara itu berbentuk Kerajaan atau Republik, yang penting pemerintahnya beriman kepada Allah, memegang amanah, jujur, menjunjung tinggi azas musyawarah, menegakkan fitrah kemanusiaan kemanusiaan dan beramal shaleh demi kesejahteraan ummat. Lahirnya Republik Madinah pimpinan Muhammad Rasulullah, diteruskan oleh para sahabat beliau, ternyata rakyatnya terdiri dari orang-orang Islam, Kristen, Yahudi.
b.    Abu Bakar Ba’asyir
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memutuskan menambah daftar organisasi-organisasi yang dinyatakan sebagai organisasi teroris dengan mencantumkan Jamaah Islamiyah di dalamnya. Malaysia dan Singapura bahkan mengusulkan agar nama Ustad Abu Bakar Ba'asyir disebutkan sebagai pimpinan spiritual Jamaah Islamiyah. Indonesia menolak penyebutan itu dan berhasil. Tapi, masalahnya tidak berhenti sampai di sini.
Gerakan Jamaah Islamiyah ini, masih menurut Ustad Abdullah Sungkar, bukanlah gerakan yang sepenuhnya baru. Embrionya sudah ada, yaitu gerakan DI/ TII yang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1945 untuk menentang Pemerintahan Kafir Belanda dan Rezim Sekuler Republik Indonesia. Gerakan DI/TII ini ada sampai tahun 1962, tahun tertangkapnya Kartosuwiryo. Selanjutnya adalah Jamaah Islamiyah yang berusaha mengembalikan kesadaran akan kewajiban membangun Dawlah Islamiyah melalui jalan Jihad.
Untuk mewujudkan cita-cita membangun Dawlah Islamiyah itu, menurut Ustad Abdullah Sungkar, diperlukan tiga elemen kekuatan, yaitu: Quwwatul Aqidah (Kekuatan Aqidah), Quwwatul Ukhuwwah (Kekuatan Persaudaraan), dan Quwwatul Musllaha (Kekuatan Militer).Pembentukan ketiga kekuatan itulah yang menjadi program Jamaah Islamiyah dan diharapkan terwujud di Indonesia khususnya dan umat Islam sedunia pada umumnya.
v    Perjuangan Melalui Jalan Perdamaian
Setidaknya ada tiga paradigma pemikiran politik Islam yang dapat ditemukan pada periode moderen yaitu paradigma Tradisionalisme, paradigma modernisme dan paradigma fundamentalisme.
Pertama, Paradigma Tradisionalisme. Paradigma ini menekankan realisme didasarkan atas norma-norma Islam. Ia menerima kehalifahan klasik dan institusi-institusi politik lain seperti kesultanan yang berkembang berabad-abad di bawah sinaran ajaran-ajaran syari’ah dan kebutuhan-kebutuhan ummat. Oleh karena itu kelompok ini ada yang terobsesi untuk menghidupkan kembali kehalifahan ideal yaitu al-khilafah al-Islamiyyah, seperti pada masa al-khulafa ar-Rasyidun dan ada juga yang berupaya untuk tetap mempertahankan realisme tradisional dengan berusaha mempertahankan kehalifahan Utsmani.
Kedua, Paradigma modernisme, bertentangan secara diametral dengan paradigma tradisionalisme. Kaum modernis berpendapat bahwa penyebab keterbelakangan peradaban umat Islam adalah stagnasi intelektual dan kekakuan ulama dalam memahami Islam dan dalam menanggapi dinamika kehidupan moderen. Karena mereka menyerukan dibukanya kembali ijtihad, yang dengan itu revitalisasi Islam dapat ditempuh. Untuk revitalisasi ini-yang biasa digambarkan sebagai upaya yang mencakup gagasan tajdid dan islah-pemikir modernis mengusulkan berbagai pendekatan, termasuk rasionalisasi, sekularisasi, dan rekonstruksi Islam dan pemikirannya. Para pemikir modernis mengajukan berbagai konsep pendekatan sesuai dengan setting sosio kulturalnya.
Dalam hal ini setidaknya ada tiga tokoh yang dianggap bisa mewakili modernisme Islam yaitu Muhammad Abduh (1849-1950), Ali Abd al-Razik (1888-1966), dan Muhammad Iqbal (1849-1938). Muhammad Abduh adalah pelopor modernisme Islam yang paling menonjol. Ia disebut sebagai “bapak modernisme Islam” di samping gurunya, Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897). Seperti al-Afghani, Muhammad Abduh juga memandang perlunya untuk melakukan reformasi umat Islam, dan keterbelakangan umat Islam diyakininya akibat dari taklid dalam memahami Islam, oleh karenanya ia menyerukan kembali dibukanya pintu ijtihad, karena tranformasi umat Islam mensyaratkan adanya penafsiran baru atas Islam.
Ketiga, Paradigma Fundamentalisme, paradigma ini meyakini bahwa Islam sebagai agama yang menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam dipandang sebagai sistem, mencakup seluruh wilayah kultural (cultural universal). Dan menekankan perbedaan (distinctiveness) dan pertentangan antara Islam dan Barat, serta yakin pada kebenaran Islam yang menghadapi tantangan dari Barat. Karena wilayah agama juga meliputi Negara atau politik maka agama dan Negara tidak dapat dipisahkan (integrated).
Pendukung paradigma ini misalnya Abul Ala al-Maududi (1903-1979) dan Sayyid Qutb (1906-1966). Kedua pemikir ini merumuskan suatu pandangan holistik tentang Islam. Islam menurut al-Maududi bukanlah campuran dari ide-ide yang tidak saling terkait dan bentuk-bentuk perilaku yang tidak langgeng, ia merupakan sistem yang teratur, kemenyeluruhan yang langgeng, bersandar pada seperangkat postulat yang jelas dan pasti. Konsepsinya tentang negara Islam bersandar pada teologinya yang integral, artinya, bagi al-Maududi, syari’ah tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara. Syari’ah ini merupakan skema lengkap dari kehidupan dan tatanan sosial yang saling melingkupi; tidak kurang dan tidak lebih. Menurutnya dalam perspektif syari’ah ada empat prinsip yang mendasari negara Islam: mengakui kedaulatan Tuhan, mengakui otoritas Nabi, mengakui status perwakilan Tuhan, dan menggunakan musyawarah bersama. Dan dari titik pandang prinsip-prinsip ini, kedaulatan yang sebenarnya hanyalah milik Tuhan. Negara hanya berfungsi sebagai alat politik yang dengannya hukum-hukum Tuhan dapat ditegakkan. Dengan begitu negara Islam yang dikehendaki al-Maududi adalah negara “teokratis” atau lebih tepatnya al-Maududi menyebutnya sebagai “Teodemokrasi”.
C.    Eksistensi NII; dan korelasinya dengan gerakan Islam saat ini.
TAK banyak yang tahu seperti apa batang tubuh kelompok Negara Islam Indonesia (NII) atauN Sembilan saat itui. Begitu susah dilacak dan dibongkar, karena gerak-gerik mereka amat eksklusif. Mereka dengan sadar dan sengaja menarik diri dari pergaulan. Selain karena gerakan mereka selalu diincar petugas, mereka juga menganggap, ideologi agama merekalah yang paling benar. Di luar mereka, salah. Itu sebabnya, jaring-jaring kelompok ini amat rapi dan rahasia.
NII ini adalah kelanjutan dari DI/TII-nya Kartosoewirjo, dalam pergerakannya ideolog-ideologi mereka terapkan secara sembunyi-sembunyi, hal ini dilakukan karena menurut hemat penulis lebih dikarenakan gerakan Islam yang ingin mendirikan Negara Islam bersifat eksklusif.
Pengalam yang cukup menarik salah satunya terjadi pada diri penulis sendiri, yakni bertepatan tahun 2004 penulis pernah masuk dalam lingkaran yang menamakan dirinya khilfah Islamiyah Indonesia, yang lagi-lagi gerakannya bersifat sembunyi-sembunyi, dari beberapa doktrin yang pernah penulis ketahui setidaknya ada beberapa doktrin yang cukup fundamental serta bersifat memaksa ;
1)    Diharuskannya Hijrah kenegara Islam; karena Negara Indonesia adalah Negara kafir.
2)    Kewajiban sodaqoh bagi anggotanya.
3)    Agama yang benar bukanlah agama Islam akan tetapi agama yang hanif seperti millah Ibrahim.
4)    Adanya doktrin bahwa masuk tidaknya seseorang ke sorga bisa dibayar dengan sumbangan.
5)    Darah orang yang diluar golongan mereka adalah halal untuk di bunuh.
Kalau diteliti dalam pendekatan sejarah setidaknya ada sebuah korelasi besar antara Darul Islam yang didirikan oleh SM. Kartosuwiryo dengan gerakan-gerakan politik Islam saat ini, dan fakta ini sangat mungkin terjadi karena sepanjang sejarah Negara Indonesia masih berdiri maka pergolakan-pergolakan seperti ini akan terus terjadi minimal sebagai balancing untuk bisa mengontrol pemerintahan yang ada jika tidak bisa menyentuh ranah revolusi
D.    Kesimpulan
Dalam penelaahan penulis setidaknya gerakan-gerakan Islam yang ada dahulu dan saat ini seperti DI/TII, NII, JI, MMI, dan FPI, serta gerakan lainnya, seringkali diasosiasikan sebagai gerakan Islam “Fundamentalis”, penamaan ini sebenarnya bersifat sangat politis sekali yang dilakukan oleh dunia Barat terhadap dunia ketiga seperti halnya Iran, Pakistan, Afganisatan dan Indonesia.
Fundamentalis dalam arti bahasa memiliki kesamaan arti kokoh, dasar serta pijakan, atau keteguhan dengan ajaran yang dianutnya dan paham seperti ini sebenarnya tidak hanya ada dalam tradisi Islam melainkan dalam tradisi Kristianipun juga ada. Sekali lagi dalam ranah cita-cita sebuah penegakan syariat Islam sebenarnya bagi setiap manusia sangat diimpikan dan bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata karena memang setiap relitas manusia yang hidup dan beragama pada kenyataannya memerlukan sebuah bimbingan dari Tuhannya melalui kitabnya yakni Al-Qur’an dan Hadis untuk menuju kemaslahatan (bagi orang Islam) dan melalui kitab-kitab agama lain bagi pemeluk non Islam seperti halnya dalam tradisi Kristiani juga terjadi. Pemahaman serta teologi seperti inilah yang sebenarnya memiliki terminoligi fundamentalisme.
Sikap dunia Barat terhadap dunia Islam atau dunia ketiga dengan kebijakan hegemoni politik, pendidikan, ekonomi serta sosial-kebudayaannya memang terasa sangat timpang sekali dengan tiga konsep dasarnya Pertama, Kedigdayaan. Kedua, Standar Ganda. Ketiga, Paham Demokrasi, akan tetapi ironisnya dunia Islam dalam hal ini konteksnya gerakan politik Islam di Indonesia seperti NII, MII dan FPI dan yang lainnya berjalan dalam garis kekerasan bukan menunjukan sikap sebaliknya yakni Islam yang humanis. Sikap Inilah sebenarnya yang sangat disayangkan dalam gerakan politis Islam yang bercita-citakan mendirikan sebuah Negara berdasarkan Syariat Islam. Sudah menjadi keniscayaan bahwa ketika ingin berjuang dan mendirikan syariat Islam menjadi sebuah Ideologi Negara seharusnya gerakan gerakan politik Islam jangan menunjukan sikap ketidak sukaannya terhadap pemerintahan yang ada dengan jalan kekerasan dan konfrontasi  
Hebermas dalam melihat konflik baik itu yang ditimbulkan oleh aspek ekonomi, politik ataupun ideologi setidaknya ia mencoba megklasifikasikan dalam tiga hal; (pandangan salah maupun benar).
1.    Empiris-Analitis (bersifat Universal).
Pendekatan empiris-analitis mengandaikan dan meyakini sebuah kebenaran itu bersifat universal, yakni kebenaran pada hakekatnya ada dimana-mana dan dapat diperoleh oleh siapapun dengan jalan apapun juga. Dalam konteks ini gerakan politik Islam setidaknya memiliki cita-cita untuk menegakkan syariat Islam sebagai dasar Negara Indonesia melalui wadah atau jalan DI/TII kemudian NII, jalan itu tentu memiliki semangat serta impian yakni jika syariat Islam benar-benar dijadikan dasar Negara apakah benar dan tentu bisa memberikan rasa keadilan (universal) bagi semua rakyat Indonesia.
Pertanyaan di atas inilah sebenarnya yang selalu didebatkan dan diuji kelayakannya, karena beberapa asumsi yang ada menegaskan  bahwa dunia ini sebenarnya dalam cengkraman  peradabannya dunia Barat, dan jika ingin mengungguli dunia Barat Politik Islam atau gerakan Islam setidaknya harus kembali pada ajaranya seperti yang tertuang dalam al-Quran dan hadis dan tidak antipati terhadap perkemabangan dunia global.
2.    Historis-Hermenuitik (Subjektif).
Dalam kajian Islamic studies dan sejarah setidaknya kajian historisitas sering kali digunakan untuk bisa memahami berbagai fakta yang ada baik yang telah berlalu ataupun akan dating. Pun demikian dalam melihat konteks DI/TII dan NII dalam kajian historisitas sebenarnya mengandaikan sebuah tranformasi pemaknaan baru tentang bagaimana cara menegakkan syariat Islam di Indonesia. Kesepakatan dasar Negara berupa “Pancasila” menurut hemat penyusun merupakan sebuah pendekatan historisitas-hermenuitik yang bersifat universal yang mana berasal dari intisari ajaran Islam.
Walaupun demikian, ternyata sifat historisitas-hermenuitik yang cendrung subjektif dipahami oleh kalangan Islamis atau DI/TII merupakan pemahaman yang bersifat subjektif dimana gerakan ini menilai segala sesuatu itu dalam sudut pandang Islam-centris, apapun yang diluar atau berasal dari Islam dianggap tidak Islami dah harus disingkirkan termasuk masalah pemerintahan Republik Indonesia. Pemhaman seperti ini tentunya sah-sah saja selagi boleh diuji dan didebatibelkan.
3.    Sosial-Kritis (Multidisipliner)
Indonesia akan besar hanya melalui jalur struktur dan kultur (yang didalamnya melalui pendekatan budaya, agama, masyarakat) pandangan ini setidaknya ingin mengurai berbagai ketegangan serta pengklaiman kebenaran antar yang pro pada ideologi Islamis seperti halnya (DI/TII dan NII) dan yang kontra.
Pendekatan multidisipliner ini setidaknya memiliki sebuah tujuan bahwa sebuah kebenaran itu hendaknya dan pada hakekatnya bersifat relatif dan disertai dari mana kebenaran dan kekokohan ideologi tersebut dapat dilihat, pernyataan ini setidaknya memberi sebuah pemahaman berupa penilaian sosial-budaya dengan adanya kesepakatan sosial pula. Ideologisasi Islam atau penerapan syariat Islam pada tataran idealnya sungguh luhur dan luar biasa namun kenyataannya bahwa ideologi Islam ini belum bisa diterima sepenuhnya tentu ini memerlukan sebuah jalan lain untuk bisa merealisasikan syariat tersebut, yang tentunya tanpa kekerasan.

Daftar Pustaka
Ahmad, Amrullah, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional; Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Bustanul Arifin. SH, Jakarta, gema Insani Press, 1993.
al-Nabhani, Taqiyuddin, Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir, alih bahasa: Abu Afif, Bogor: Pustaka Tariqul Izzah, 1993.
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia; Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Anshori, Ahmad Yani, Untuk Negara Islam Indonesia; Perjuangan Darul Islam dan Al-Jama’ah Al-Islamiyah, Yogyakarta: Siyasat Press, 2008. Lihat Juga dalam KD. Jackson, Traditional Authority, Islam and Rebellion; A Study of Indonesia Political behavior (Berkely, Los Angles an London: University of California Press, 1980.
Ba’asyir, Abu Bakar, Dialog Keagaman dalam Book Fair, dilaksanakan di halaman Gedung Pameran Wanitatama, 4 Mei 2008.
Balack, Antony, Pemikiran Politik Islam; dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Jakarta: Serambi, 2006.
Effendi, Djohan, (Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Jamaah Islamiyah, Kompas 2002.
Faiz, Fahrudin, Fenomena Penyesatan Antar Agama; Sebuah Catatan kritis, Diskusi Ilmiah Dosen tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat 22 Mei 2009.
Ghazali, Abd Moqsith, Hermenuitika Pembebasan; menghidupkan Al-Quran dari Kematian, Ulumuna, Vol. VIII. Edisi. 13. No. 1 Januari-Juni 2004.
Ghafur, Waryono Abdul, Millah Ibrahim dalam Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an Karya Muhammad Husein Ath-Thabathaba’I, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Hartono, catatan kuliah pada Islam dan Negara Bangsa di Indonesia, yang disampaikan oleh Dr. Munawar Ahmad, pada tanggal 22 Maret 2009.
Hartono, Catatan Awal di Yogyakarta bersama Gerakan Islamiyah Indonesia. September 2004.
http//google.co.id/7programperjuangannegaraislamindonesia.akses 23 Mei 2009.
http/qanunasasi.google.co.id.dalamnii.akses 23 mei 2009.
Marluwi, Hukum Islam di Indonesia Mungkinkah ?, JUSTITI Islamica, Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 3/No. 1/Jan-Juni 2005, ISSN 1693-5926, Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo.
Mujani, Saiful, dkk, Benturan Peradaban; Sikap dan Prilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat, Jakarta: PPIM dan UIN Jakarta, 2005.
Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos politik Santri; Strategi Kebudayaan dalam Islam, Yogyakarta: SIPRESS, 1999.
Nugroho, Taufiq, Pasang Surut Hububngan Islam dan Negara Pancasila, Yogyakarta: PADMA, 2003.
Nata, Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nugroho, Taufiq, Pasang Surut Hububngan Islam dan Negara Pancasila, Yogyakarta: PADMA, 2003.
Rislamet, Islam dan Negara dalam Pandangan Nur Cholis Majid, Jurusan Perbandingan Mashab dan Hukum, fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Skripsi Tidak di terbitkan.
Syamsudin, M. Din, Islam dan Politik dan Orde Baru, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Thaontowi, Jawahir, Islam, Politik & Hukum; Esai-esai Ilmiah untuk Pembaruan, Yogyakarta: Madyan Press, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar