Senin, 29 Oktober 2012

PEMIKIRAN POLITIK KHULAFA AR-RASYIDIN

                                     PEMIKIRAN POLITIK KHULAFA AR-RASYIDIN
                                                               Oleh : Hartono GS

A.    Pendahuluan
Khilafah Rasyidah merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Al-Khulafa Al-Rasyidin atau yang dikenal empat khalifah penerus Nabi Muhammad yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, di dalam sejarah perkembangan dan pemikiran Islam memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan Islam, sehingga banyak para ahli sejarawan, ekonom dan pemikiran politik menukil beberapa konsep yang pernah dilakukan oleh salah satu khalifah yang ada itu.
Secara garis besar sebelum penyusun menjelaskan lebih mendalam, dalam perspektif politik dan ekonomi pada masa Al-Khulafa Al-Rasyidin, di masa itu senyatanya pergolakan politiklah yang menjadi sebuah keniscayaan dalam suksesi pemilihan khalifah, karena kalau dicermati secara mendalam masalah-masalah tentang keimanan, Islam, zakat, sodakoh, dan ziarah dll sudah pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tapi masalah kepemimpinan atau suksesi dalam pemilihan pemimpin belum dicontohkan secara konkrit, sehingga jamak sekali diketemukan perubahan tranformasi pada abad pertama Hijriyah menimbulkan berbagai konflik yang disebabkan oleh perubahan kedudukan kalangan elite Arab.
Dalam politik modern saat ini ada sebuah andigum politik adalah jenderal dari semua tata kehidupan, asumsi seperti ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar karena pada kenyataannya politik bisa berdiri tegakpun harus memiliki atau didukung oleh berbagai fariabel yang yang mendukungnya seperti hukum, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. akan tetapi kebijakan politik atau pergerakan dalam ranah politik yang tujuannya adalah kekuasaan senyatanya akan berimplikasi pada berbagai bidang yang ada nantinya, seperti halnya pada suksesi pemilihan khalifah dimasa Ali bin Abi Thalib, yang akhinya memiliki dampak yang luar biasa.

B.    Islam Berbicara Masalah Khalifah (Pemimpin)
        Rujukan yang cukup popular dalam Islam mengenai khalifah ini terdapat dalam surah al-Baqoroh ayat 70 yang artinya “sesungguhnya saya (Allah) menciptakan (mahluk) dimuka bumi untuk menjadi pemimpin”, dalam kajian tafsir saat ini ada sebuah pemahaman bahwa ada pemaknaan tentang khalifah meliputi ulu al-amr, imam dan malik.
        Umar bin Khathab pernah bertanya pada suatu saat kepada Salman, “apakah aku ini seorang raja atau khalifaf” Salman menjawab; jikalau tuanku memungut pajak dari tanah kaum Muslimin satu dirham, kemudian tuanku menggunakannya tidak sesuai haknya maka tuanku adalah seorang raja bukan seorang khalifah umat Muslimin, dari pertanyaan Salman inilah tentunya harus pula dipahami perbedaan antara seorang raja dan khalifah karena didalamnya melekat sebuah atribut yang sulit sekali dipisahkan.
        Dari beberapa trem pengertian diatas ada kecendrungan penyusun untuk membahas kata khalifah sebagai padanan kata pemimpin, namun sebelum menyebutkan kategori tersebut pada hakekatnya setiap manusia memiliki hak asasi dalam kepemimpinan yaitu
    - sebagai mahluk pribadi
    - sebagai mahluk sosial
- sebagai mahluk Tuhan.
Tiga pemahaman di atas sebenarnya juga memiliki sebuah kesamaan dengan ketiga penafsiran tentang makna khalifah, yaitu ;
    a). Khalifah  sebagai kekuasaan politik atau lembaga politik
    b). Khalifah dalam tataran Nilai
    c). Khalifah dalam arti pemimpin untuk diri sendiri
        Setiap manusia yang hidup di dunia ini pada hakekatnya adalah pemimpin untuk dirinya sendiri, jika manusia itu belum mampu memimpin dirinya sendiri (baik dalam mengelola pikirannya, tindakannya, emosionalnya) tentu akan ada kecendruang bahwa jika orang seperti ini menjadi seorang pemimpin akan cendrung berbuat lalim atau tidak layak untuk menjadi pemimpin. Dari hal ini tentu dapat dilihat bahwa  kesempurnaan manusia insan kamil tentunya sebisa mungkin antara tindakan, ucapan dan spiritual yang menjadi ruh bisa berjalan bersamaan.

C.    Pemikiran Politik-Ekonomi Al-Khulafa Al-Rasyidin.
Dalam sejarah Islam ada beberapa pemilihan yang cukup menjadi sebuah rujukan, yaitu ketika pergantian kekhalifahan pasca kepemimpinan Nabi terhadap empat sahabat Nabi yang ada ketika itu, namun ada beberapa pendapat apakah khalifah itu harus keturunan Quraisy? atau tidak.
Selain pemahaman seperti diatas, pasca wafatnya Nabi Muhammad ketika itu terjadi ketegangan (atau yang dikenal dengan Saqifah) yang cukup sengit mengenai bagaimana suksesi atau cara pemilihan kepemimpinana/khalifah, dalam sejarah itupun tercatat ketika wafatnya Nabi jasadnya sampai belum dikebumuikan selama tiga hari demi untuk mencari format yang baik mengenai kehalifahan, pada dasarnya islam berbicara mengenai khalifah/pemimpin dapat dikategorikan menjadi dua fase;
1.    Fase Masa Rasulullah.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
2.    Fase masa Khalifah Al-Khulafa Al-Rasyidin
Imam Mawardi memetakan tentang masalah pemilihan khalifah, sebelum kekhalifahan berdiri seluruh rakyat merupakan dua golongan terpenting, yaitu;
Ø    Ahli ikhtiar (kaum pemilih) yaitu rakyat yang memberikan suaranya
Ø    Ahli Imamah (orang-orang yang dipilih) calon yang di ajukan
Ø    Mekanisme pemilihan, namun lembaga atau cara yang baku seperti ini belum diungkapkan secara pasti ketika itu secara independent, yang nantinya dapat dijadikan sebuah topi kajian, dengan tujuan pemilihan seorang pemimpin itu dapat dipahami secara konferhensif.

a.    Abu Bakar Melalui Pemilihan Bai’at (632-634)
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid Radhiallahu ‘anhu adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul ‘Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah ibn Zaid Radhiallahu ‘anhu yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Pada saat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh “tangan kanan” nya, Umar ibn Khatthab al-Faruq Radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar ibn Khatthab Radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar Radhiallahu ‘anhu . Umar Radhiallahu ‘anhu menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Melalui pemilihan disini dimaksudkan yaitu, ketika terjadinya pemilihan dan sekaligus pergantian kekhalifahan pasca nabi wafat maka dilakukanlah pemilihan dengan beberapa kerteria seperti, calon dari kaum muhajirin (Abu Bakar Sidik) dan ansor (Sa’d bin ‘Ubadah), dari dua kubu yang saling bersitegang untuk meraih kekuasaan maka ketika itu diadakan pertemuan/konfrensi dan seketika itupun dicetuskan istilah kholifah yang terus berlanjut hingga hari ini dan semua itu merupakan hal yang sangat berati dalam sejarah dunia Islam. Dilain hal banyak referensi yang menyebutkan bahwa penunjukan Abu Bakar sebenarnya sudah dilakukan nabi yaitu ketika beliau sakit lalu menunjuknya untuk menggantikan imam sholat, ini ditafsiri oleh banyak kalangan sebagai tongkat estafet kepemimpinan dalam Islam.
- Menajemen Pemerintahan Abubakar.
Pada masa Abubakar saat itu, masih banyak sekali pertentangan antara pemeluk Islam dengan sisa-sisa kabilah Arab yang masih berpegang teguh pada warisan jahiliyah. pemerintahan Abu Bakar pada hakekatnya bersifat sentralistik dengan beberapa tujuannya seperti menciptakan stabilitas keamanan, pemilihan pegawai dan pendelegasian, dilain hal dimasa Abu Bakar Jazirah Arab saat itu telah dibentuk beberapa provensi, diantaranya wilayah Hijaz meliputi 3 provensi yakni Makkah, Madinah dan Thaif, wilayah Yaman terbagi 8 provensi yakni Shan’a, hadramaut, Haulan, Zabid, Rama’, al-Jund, Najran, Jarsy dan Bahrain. dari sekian pembagian provensi ini Abu Bakar juga menempatkan para Gubernur dengan tujuan untuk bisa mengontrol serta mengawasi dan menegakkan ajaran Islam.

- Manajemen Ekonomi Abubakar
Abu Bakar yang memerintah hanya sekitar 27 bulan dimasa kepemimpinannya ia banyak pula mengurusi masalah murtad, dan orang-orang yang menolak membayar zakat. kedua poin ini disikapi dengan tegas oleh Abu Bakar karena pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW banyak umat muslim yang murtad kembali dan menolak membayar zakat dengan berbagai alasan yang ada. Abu Bakar memiliki komitmen yang cukup kuat dalam masalah zakat ini sehingga ia sampai-sampai menunjuk Anas (seorang ahli amil) untuk mengurusi masalah perzakatan dengan memperhatikan keakuraatn penghitungan zakat.

b.    Umar bin Khattab melalui penunjukan (634-644)
Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ‘Amr ibn ‘Ash Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘anhu segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar Radhiallahu ‘anhu memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang majusi, budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar Radhiallahu ‘anhu tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn ‘Auf Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Setelah Umar Radhiallahu ‘anhu wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu.
Masa kekhalifahan Umar bin Khathab inilah yang menunjukan kehadiran pemerintahan dalam Islam yang sesungguhnya karena di bawah kekuasanya berbagai kebijakan strategis dibangunnya seperti masalah ekonomi,politik dan yang sangat terkenal yaitu mengenai baitul mal, dimana dalam hal ini baitul mal sangat difungtsikan sekali kegunaannya untuk kepentingan pemerintahan dan juga rakyatnya.
Tak berlebihan jika seorang peneliti pemikiran seperti Michael H. Hart dalam bukunya yang merangking orang-orang paling berpengaruh sepanjang sejarah dunia di posisi ke-51, ia mengatakan “keberhasilan Umar sangat mengagumkan, ia adalah figur utama setelah wafatnya Nabi Muhammad dalam penyebaran Islam, tanpa jasanya dalam penaklukan daerah-daerah kekuasaan, Islamdiragukan dapat tersebar luas seperti sekarang ini” dan Umar Ibn al-Khattab adalah khalifah kedua, dan mungkin terbesar dari semua khalifah Islam.
- Menajemen Pemerintahan Umar bin Khattab
Pada masa Umar, konsep mengenai hubungan kahlifah dengan rakyatnya sudah mulai dibangun dengan mekanisme pentingnya tugas pegawai pelayanan publik dan menjaga kepentingaqn rakyat dari otoritas pemimpin yang berlebihan. beliau melakukan pemisahan antara kekuasaan peradilan dan kekuasaan esekutif, sistem peradilan ini terpisah secara hirarkhi dengan kekuasaan esekutif namun pertanggungjawabannya langsung pada khalifah (esekutif-yudikatif).
- Pemerintahan Daerah
Pemerintahan daerah atau provensi di masa Umar bin Khattab mengalami perluasan daerah yang cukup luas, pembagian ini sebenarnya bertujuan untuk mempemudah pengaturannya dan memaksimalkan pemberdayaan sumber daya yang ada. wilayah Islam ketika itu terbagi menjadi provensi; Al-Ahwaz, Bahrain, Sajistan, Makran, Karman, Thabaristan, Khurasan, negara paris menjadi 3 provensi, negara Irak menjadi 2 provensi (Kufah dan Bahrah) negara Syam menjadi Himsha dan Damaskus, provensi Palestina, negara Afrika menjadi Mesir al-Ulya dan Mesir al-Sufla, Mesir Gharb dan Shara’ Libya.
        Pada masa Umar masih terus genjacar melakukan Infansi keluar tanah Arab, akan tetapi ada kesulitan bagaimana nantinya masalah tanah yang pernah ditaklukan mengenai jual belinya/Sertifikasi.
- Manajemen Ekonomi Umar bin Khattab
- Baitul Mall
Pada tahun 16 H, Abu Huraira (amil bahrain) mengunjungi Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj, dengan jumlah yang begitu besar maka Khalifah mengadakan pertemuan dengan majelis syura dan terjadilah kesepakatan untuk tidak mungkin mendistribusikan uang yang begitu besar melainkan disimpan di baitul mall, dalam perkembangannya Baitul Mall secara tidak langsung bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiscal Negara Islam dan Kahlifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut untuk kepentingan militer, rakyat dan lain sebaginya.
- Zakat
Zakat kekayaan dalam hal ini kuda sebagai tungangan perang, pada awalnya kuda ditanah Arab sangat sedikit sekali karena berkaitan dengan zakat, namun dalam perkembangannya zakat kuda dihapuskan dengan tujuannya untuk bisa memperbayak sehingga para bala tentara perang semuanya dapat memilikinya. akan tetapi kebijakan ini membuat gusar Abu Ubayda Gubernur Syiria dengan semakin banyaknya kuda yang digunakan tanpa mengluarkan zakat dari padanya, ia pun mengirimkan surat pada Umar (dengan data yang detail), maka akhirnya Umar menginstruksikan bahwa untuk kuda harus dizakati dan mendistribusikannya kepada fakir miskin serta budak-budak.
- Usrh (Pembayaran Pajak)
- Sodaqoh untuk nonmuslim (Kristen Banu Taghlib)
   

c. Utsman bin Affan melalui Musyawarah (644-656)
Dalam masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan yang pemilihannya melalui cara musyawarah ada kecendrungan  bahwa sistem yang dipakai memiliki kemiripan dengan demokrasi yang ada saat ini namun tentunya tidak sama persis, masa kekhalifahan Utsaman pada hakekatnya ia ingin terus menjalankan semua kebijakan uang pernah dilakukan oleh pendahulunya yaitu Umar”, ia sebagai pemimpin juga sudah mengalami situasi yang mapan dalam banyak hal sehingga sangat mudah dalam menjalankan roda pemerintahannya. Namun fakta lain yang banyak diungkap oleh para sejarawan lebih banyak menulis dan mengidentifikasi sebab-sebab terbunuhnya Utsman yang meliputi beberapa hal yaitu; pertama, adanya indikasi meyalahgunaknnya keuangan negara untuk kepentinagn pribadi dan keluarga, kedua prngangkatan kepala daerah dari pihak keluarga seperti Muawiyah yang menaklukan Bizantium dan Marwan sebagai setneg.
- Menajemen Pemerintahan Utsman bin Affan
Dalam perspektif politik-pemerintahan Utsman bin Affan bisa dikatakan tidak mengalami kebehasilan dalam menata dan memformulakan berbagai unsur yang ada di dalam pemerintahannya, hal ini mungkin sedikit terbukti dengan beberapa pendapat mengenai adanya indikasi terjadinya KKN di dalam keluarganya untuk menduduki jabatan-jabatan penting didalam pemerintahannya, namun asumsi lain juga diungkapkan bahwa penunjukan dan pengangkatan keluarga Utsman dijabatan strategis dikarenakan berdasarkan kopetensi yang dimiliki pribadinya.
- Manajemen Ekonomi Utsman bin Affan
Utsman bin Affan adalah seorang yang jujur dan saleh, tetapi beliau sudah sangat tua dan lemah lembut, ia adalah salah seorang terkaya dari golongan sahabat Nabi. dalam kebijakan ekonominya ia terlalu lugu bisa dibilang seperti itu karena ia seorang yang kaya raya lalu menyimpan uangnya digabungkan dengan kas negara maka pada akhirnyamenimbulkan kesalah pahaman antara dirinya dan Abdullah bin Arqom (beliau adalah kepala yang berwenang melaksanakan kegiatan Baitl Mall Pusat), dari kejadian inilah timbul konflik yang controversial antara gajih pribadi dan pengeluaran pribadi.

d. Ali bin Abi Tholib melalui Diplomasi, (antar Ali Ra dan Muawiyah) (656-661
 Setelah Utsman Radhiallahu ‘anhu wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Ali Radhiallahu ‘anhu memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali Radhiallahu ‘anhu menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman Radhiallahu ‘anhu. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman Radhiallahu ‘anhu kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar Radhiallahu ‘anhu.
Ali bin Abi Tholib menjalankan roda pemerintahannya seperti halnya yang pernah dilakukan oleh para pendahulunya, ia dalam mengangkat seorang pemimpin, beliau mendelegasikannya dan memberi hak yang peneuh kepada pemimpin dibawahnya atas wilayah yang dipimpinnya.
        Ali pernah menulis surat yang dikirim ke pada Asytar al-Nukhai, Gubernur Mesir, yang berbunyi ;
    “Engkau harus senantiasa mengawasi pengelolaan harta kharaj untuk kemaslahatan orang yang berhak, dengan adanya pengelolaan yang baik, maka akan menimbulkan maslahah bagi orang lain, setiap manusia Merupakan baian dari harta kharaj dan mereka berhak menerimannya, engkau harus memiliki misi untuk memakmurkan kehiodupan di muka bumi dan jangan hanya terpaku dengan penarikan harta kharaj, karena penarikan itu tidak akan optimal jika tidak terdapat kemakmuran, dan barang siapa menarik harta kharaj tanpa diikiti oleh proses pembangunan (kemakmuran), maka negara dan rakyat itu akan mengalami kehancuran, dan persoalan tidak akan selesai kecuali sedikit”.


- Menajemen Pemerintahan Ali bin Abi Tholib
Dalam memanajemen pemerintahan Ali sangat konsekuwen serta mengajarkan kejujuran kepada siapapun, seperti yang ia lakukan :
-    Dalam seleksi Gubernur dan pegawainya maka harus selektif.
-    Sistem renumerasi (penyempurnaan gajih pada pegawainya)
-    Menjunjung tinggi kepentingan Rakyat.
-    Beliau juga konsen pada penegakan keadilan “ Berlakulah adil kepada Allah, adil kepada manusia, kepada dirimu, keluargamu dan rakyatmu”.
- Manajemen Ekonomi Ali bin Abi Tholib
Pada masa pemirantanah Ali dalam mendayagunakan Baitul Mall sangat berbeda sekali dengan kebijakan yang pernah dilakukan Umar pendahulunya;
-    Kahalifah Ali dalam membagi hata Baitul Mall menggunakan asas sama rata bagi semua kalangan kaum muslimin tanpa ada perbedaan yang cukup signifikan, baik itu orang yang baru masuk Islam, bala tentara dll.
-    Khalifah Umar menggunakan pola porposional mengenai pembagian hak yang dikeluarkan oleh Baitul Mall, Umar akan memberikan porsi yang lebih besar kepada para pemuka Isam  atau pioneer dari pada kaum muslimin lainnya.
Asumsi yang digunakan Ali pada kenyataannya lebih dekat pada pendapat atau tindakan yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar, yaitu orang mendapatkan hak dari Baitul Mall lebih banyak atau lebih sedikit bukan karena keilmuan dan keimanan yang dimiliki seseorang melainkan lebih pada dai banyak dan sedikitnya kebutuhan yang diperlukan oleh setiap orang.
    Asumsi lain dari pebedaan antara kebijakan Ali dan Umar penyusun melihat bahwa pada masa Umar merupakan masa dimana penyebaran Islam sangat genjar sekali sehingga pemberian hadiah sesuai dengan kerjanya Merupakan sebuah stimulant atas hasil kerjanya, sedangkan dimasa Ali, penyebaran Islam tidak segencar seperti masa Umar dan malah ada kecendrungan pergolakan politik kekuasaan timbul dari dalam diri islam sendiri.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Radhiallahu ‘anhu tidak mau menghukum para pembunuh Utsman Radhiallahu ‘anhu , dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman Radhiallahu ‘anhu yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘anhu sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair Radhiallahu ‘anhu ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah Radhiallahu ‘anha dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu ‘anha ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali Radhiallahu ‘anhu, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Kedudukan sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya al-Hasan bin Ali Radhiallahu ‘anhuma selama beberapa bulan. Namun, karena al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menginginkan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah, maka al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menyerahkan jabaran kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu . Dan akhirnya penyerahan kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan Radhiallahu ‘anhu . Di sisi lain, penyerahan itu juga menyebabkan Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah)! Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
   
D.    Kesimpulan
Kontekstulisasi Pemikiran Politik-Ekonomi Al-Khulafa Al-Rasyidin
Setelah dengan seksama membaca dan menelaah buah pemikiran Al-Khulafa Al-Rasyidin, dari ke empat tokoh yang ada ini memiliki keistimewaan masing-masing dan sekaligus memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap kajian sejarah Islam modern,  seperti sosok Umar Ibn Khattab yang mencoba memaknai kepemimpinannya bukan sebagai khalifah semata namun sebagai pemikir, yang mencurahkan pemikirannya dalam banyak hal muali dari pengelolaan Baitul Mall, Zakat, Tentara, dan penegakan hukum.
Kalau memfles beck perjalanan pemerintahan sebelum masa khulafaur rasyidin sebenarnya ada perubahan yang cukup fundamental yaitu pemerintahan atau kerajaan yang sifatnya nomadik berubah menjadi pemerintahan yang semi-demokrasi yang pernah dilakukan pada zaman Yunani dan dilakukan pula pada saat ini, salah satunya inilah semangat serta pesan nilai yang dapat diambil dan dipelajari saat ini untuk dipraktekan secara nyata, jangan salah Islam sesungguhnya memiliki pesan yang begitu luhur dalam masalah pemerintahan dan khalifah yang berawal dari praktek dan pemikiran yang ada saat itu, seperti halnya pesan moral yang pernah disampaikan dan dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz, dimana pada masa kepemimpinannya keadilan, kemakmuran serta keamanan bisa terwujud dengan nyata di muka dunia ini, pertanyanya selanjutnya mungkinkah semua itu bisa terjadi dan bisa memunculkan sosok yang memiliki romantika kehidupan cara memimpin seperti Umar bin Abdul Aziz?
Pelajaran berharga diatas jika bisa diambil oleh para pemimpin yang ada saat ini tentu sebuah kemakmuran dan kesejahteraan dengan jalan yang lain bisa diwujudkan, karena seperti judul diatas pemikiran Politik dan Ekonomi pada kenyataannya saat ini harus bisa dijalankan untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan berbangsa yang damai, adil-makmur serta aman.

Daftar Pustaka

Ahmad, Haji Zainal Abidin. Membangun Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Iqro, Tahun 2001.
Adi Warman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Penerbit The International Institute of Islamic Thought Indonesia, januari 2002.
Fachruddin, Fuad Muhammad. Pemikiran Politik Islam, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1988.
Hadari, Hadari Nawawi dan Martini. Kepemimpinan yang Efektif, Yogyakarta: Gajahmada University Perss, tahun 2004.
Hart Michael H. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, 1978 Jakarta PT. Dunia Pustaka Jaya Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982.
Karim, M. Abdul. Khilafah Utsman bin Affan (Geger Madinah studi atas kepemimpinan khalifah Utsman Ibn Affan) dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, ISSN 1412-8349 PPs UIN Sunan Kalijaga, Volum. 6 No. 1 Januari-Juni 2007
M. Abdul Karim, (Moderator) Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun Ke-29 Tahun 2009 Tanggal 20 februari 2009, diPersembahkan oleh Dr. Munawar Ahmad, S.S., M.Si dengan judul Fatwa Golput dan Fenomena Difisiensi Demokrasi di Indonesia.
Lapidus, Ira. M. Sejarah Sosial Umat Islam Bagian kesatu & dua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juni 2000
Tailor E B., Primitif Minimum, tahun 1871 (maaf data lengkap penerbit belum diketahui)
Sodiqin, Ali. Al-Quran dan Reproduksi Kebudayaan (Analisis terhadap Dialektika Wahyu dan Tradisi Arab) Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun ke-29 tahun 2008, tanggal 21 November 2008.
Sinn, Ahmad Ibrahim Abu. Manajemen Syariah; Sebuah kajian Historis dan Kontemporer, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, tahun 2008.
       
       
       

1 komentar:

  1. Sebagai perbandingan perspektif perang ridda zaman khalifah Abu Bakar

    http://www.iqrabismirabbika.xyz/2016/06/perspektif-politik-perang-ridda.html

    BalasHapus