RELASI MASYARAKAT DAN KERATON YOGYAKARTA
DALAM
PERSPEKTIF BUDAYA
(dari
Gunung Merapi, Keraton sampai Laut Selatan/Parangkusumo)
Oleh : Hartono (Mahasiswa PPs. UIN SUNAN KALIJAGA)
A. Pendahuluan
Yogyakarta dengan berbagai label yang melekat padanya mulai dari
kota budaya, kota pendidikan, kota pariwisata (Jogja Never Ending Asia)[1],
dilihat dari sisi tatanan pemerintahan semuanya itu merupakan hasil kerja
keras organ yang ada didalamnya, namun julukan sebagai kota budaya sebetulnya
pemikiran itu berawal dengan adanya keraton yang ada hingga saat ini, keraton
Yogyakarta dalam kancah nasional memiliki peranan yang cukup signifikan dalam
membangun dan melestarikan budaya khususnya budaya jawa.
Berbicara masyarakat, kraton (kerajaan) dan budaya
ketiganya memiliki dimensi yang berbeda baik dari struktur ataupun latar
belakangnya, namun dari ketiganyapun memiliki keterkaitan yang tidak bisa
dipisahkan secara parsial. dalam kajian ini penyusun mencoba melihat dari sisi
budaya, bagaimana sebetulnya relasi masyarakat dan keraton khususnya
Yogyakarta, apakah ada saling keterkaitan yang cukup signifikan dan tak
terpisahkan sehingga masyarakat dan keraton ibarat duasisi mata uang.
Kerataon Yogyakarta, dalam berbagai hal memiliki
kekuatan yang cukup besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakatnya, coba anda
tanya warga Yogya tentang kraton, maka jawabannya kebanyakan “keraton” adalah
junjungan kami.
B. Pemetaan Masalah
1)
Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa dengan keadiluhungan
tata kehidupannya membawa semua orang sebagai pewaris untuk melanjutkan
nilai-nilai luhur yang ada, ada anekdot yang selalu terparti dalam benak
penyusun bahwa orang jawa khususnya Solo dan Yogyakarta memiliki ungah unguh
yang cukup tinggi, sopan santun atau tatakrama yang selalu di junjung tinggi.
Kajian masyarakat dalam banyak teori
seperti teori struktualis-fungsionalis yang digagas oleh Talcot Parson
menempatkam masyarakat dalam suatu sistem sosial yang diikat oleh nilai-nilai,
kebutuhan dan tujuan yang sama untuk mempertahankan hidup dan
keberlangsungannya. dalam analisis ini yang letak konteksnya pada masyarakat
jawa (khususnya Yogyakarta) diketemukan sebuah nili-nilai yang sepadan serta
luhur seperti gotongroyong, kekeluargaan, sungkeman, sopan santun, yang semuai
itu tidak akan pernah luntur walaupun perubahan sasial dan zaman semakin
berkembang selagi masih adanya sebuah institusi dan kelompok yang terus menjaga
dan mengembangkannya.
Selain kajian seperti di atas sebagai
pijakan, bahwasannya dalam masyarakat sebetulnya terdapat pola-pola prilaku
atau pattern of behavior yaitu sebuah cara hidup masyarakat yang harus
diikuti oleh masyarakat yang ada di dalamnya[2], baik
itu masyarakat Jawa, Bali, Sunda, Lombok dan lain sebagainya namun semua itu
bisa bergeser jika ada budaya yang mempengaruhinya.
Konteknya masyarakat Jawa, dalam hal
ini penyusun pernah mendngar cerita;
a) dari Prof. Taufik Abdullah
(Insyallah suku batak), beliau bilang orang jawa ini kurang tegas dan selalu
merasa tidak enak seperti teman saya (penyusun lupa namanya) yang menguji
mahasiswa S3 untuk menyusun disertasinya, temennya itu (penguji suku jawa)
sangat sungkan sekali kepada mahasiswa bimbingannya karena merasa tidak enak
kalau disertasinya itu dicoert-coret untuk mengkoreksinya, padahal disatusisi
mahasisaw yang dibimbing sangat mengharapkan koreksi dari pembimbingnya untuk
menunjukan mana yang salah, kurang dan lain sebaginya, lalu Prof. Taufik
Abdullah bilang pak coret aja disertasinya yang salah jangan sungkan-sungkan[3]. Cerita
di atas sekelumit mengambarkan bagaimana ungah-unguhnya orang jawa
walaupun sudah menjadi Prof tetap saja ungah-unguhnya dijunjung tinggi
walaupun terkadang bersebrangan dengan wilayah akademisi.
Penelaahan ini akhirnya membawa pula
penyusun pada ranah yang sangat filosofis, dimana masyarakat Jawa (yogya) dalam
tata kehidupannya memiliki kerukunan yang tinggi, etika, yang selalu dijaga
oleh masyarakat dan institusi keraton.
2)
Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta (bukan
“Jogjakarta” karena dalam ejaan dan makna sangat salah kaprah, yogya berarti
pantas atau baik dan karta berarti sejahtera)[4] yang
berdiri pada berdiri pada tahun 1755 pada
awalnya merupakan pecahan di bumi mataram antara Kesusnanan Suakarta dan
Kesultanan Yogyakarta yang ditandai dengan perjanjian Giyanti pada abad
17 M, inilah embrio keraton Yogyakarta yang dibangun peratama kali oleh Sultan
Agung pertama pada abad ke 15 M yang sekaligus masih memiliki keturunan dari
kesultanan Demak, Pajang, majapahit, dan Singosari[5].
Selanjutnya untuk memahami Keraton
dan Raja yang ada didalamnya ada pola yang cukup signifikan untuk bisa
memahaminya yaitu dengan teori “Model Penyingkapan” digagas oleh Ian Ramesy yang dimulai pada awal 1960-an, ia
memetakan seorang pemimpin dalam tiga anlisis kritis untuk bisa dipahami;
Pertama, model
penelitian kesejarahan
Dalam
model pemahaman kesejarahan ini seorang tokoh coba diteliti dengan seksama
melalui fakta kesejarahan yang ada yaitu mulai HB I sampai saat ini, namun
dalam hal ini ada sebuah inklinasi yang mengarah pada konflik-konfik,
karena seringkali adanya saling kalim sebuah kebenaran dalam melihat sejarah.
sejarah menuliskan bahwa kerajaan Islam Mataram diperoleh dengan cara
pemeberontakan terhadap kerajaan Pajang yang notabennya raja Pajang merupakan
ayah angkatnya.
Kedua, model dengan
pendekatan keorganisasian
Kerajaan,
kesultanan ataupun kesunanan merupakan bentuk pemerintahan yang bersifat monarki
yaitu dimana semua kebijakan dan pelaturan di bawah tangan seorang raja, dalam
hal ini keraton Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan yang “dikawinkan” dengan
negara RI atau dalam bahasa Sultan HB IX mengeluarkan amanat pada 5 April 1945 yang menyatakan “Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat adalah daerah istimewa dari Negara Republik
Indonesia”,[6]
ini hingga hari ini pemerintahannya bersifat turun
temurun yaitu jika ngarso dalem Sri Sultan HB X mangkat maka anak
turunannyalah yang akan mengantikannya, namun permasalahan yang ada saat ini
bagaimana denga HB X yang tidak memiliki keturunan anak laki-laki ini, apakah
tatap pada anaknya atau pada saudara-saudaranya.
Ketiga, model dengan
pendekatan konstitusi[7]
Pendekatan
Konstitusi ini sebenarnya lebih cendrung melihat sebuah kerajaan atau seorang
raja yang sangat berpengaruh dari sisi kebijakan dan undang-undang yang ada,
menurut Ian ini sangat penting karena dalam kajian ilmiah sejati
praduga-praduga yang saling tidak sejalan bisa diketemukan faktanya dengan
kembali melihat konstitusi-konstitusi yang dibuatnya.
Keraton Yogyakarta sebagai institusi
yang terus mempertahankan kebudayaan Jawanya memiliki peranan penting untuk
selalu menjaga dan mengembangkan budaya yang ada dengan berbagai keunikan dan
sekaligus kehasan di dalamnya, ada Raja, Permaisuri, Abdi dalem, juru kunci,
dan tentang Abdi dalem ada sedikit ceita dari
Keraton Yogyakarta
a)
Seorang Abdi Dalem yang namanya Nurkholis ketika di tanya oleh wartawan yang
berkunjung, sudah berapa lama jadi abdi dalem? lalu berapa gajih yang diterima
setiap bulannya? namun dari pertanyaan itu jawabanya sungguh diluar dugaan,
mengapa karena abdi dalem itu menjawab bahwa “saya sebagai manusia sebetulnya
sayalah yang membutuhkan keraton bukan keraton yang membutuhkan saya, banyak
sekali orang yang ingin menjadi abdi dalem namun ditolak dan masalah gajih itu
tidak pernah saya pikirkan (keluarga dirumah cukup saja memelihara ayam) karena
rizki Allah lah yang mengatur[8]. dari
ceita ini sesungguhnya ada makna yang terus melegenda yang menyelimuti Katon
Yogyakarta dan semua itu tentunya coba diyakini oleh masyarakatnya.
b)
Juru Kunci JImatan, penyusun secara pribadi pernah berdialog pada juru kunci makam
raja-raja di Jimatan Imogiri Bantul sebanyak 2 kali[9]. pertama
kali betemu saya sangat terkejut karena selain secara fisikli zuhud dan
selain itu akrab sekali dengn para pengunjung, pertama saya disuruh menghitung
anak tangga sebanyak 409 sebagi symbol menuju jalan Tuhan kedua, saya banyak
mempertanyakan pengamdian serta situasi keraton yang ada. bagi beliau ini pengamdian
pada keraton sebagi rakyat jelata akan dilakukan seumur hidupnya atau selagi
masih bisa dan mampu akan terus dijalnkan karena itu adalah amanh dari kanjeng
sultan yang sangat dimuliyakan.
c)
Juru Kunci[10] gunung merapi dan pantai selatan (parangkusumo), juru kunci
dalam hal ini memiliki perana ynag cukup penting yaitu sebagai penjaga sebanyak
empat puluh lima. Dalam kitab-kitab Jawa dituturkan, juru kunci[11] punya
makna; jalmo sulaksono atau insan kamil, selanjutnya dalam kebudayaan
dan kehidupan keraton Yogyakarta pada hakekatnaya terbangun sebuah mitologi yang
diyakini oleh pihak keraton dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya. keyakinan
seperti ini sebenarnya telah lama terbangun sejak keraton Yogyakarta ada dan
akan hidup terus hingga kemungkinan keraton ini sudah tidak ada lagi, namun
dilain tampat rakyat Yogyakarta akan turut menjaganya. secara simbolik (gunung
merapi, tugu jogaja yang mempunyai garis lurus dengan keraton secara horizontal
merupakan simbol hubungan hamba dengan sang Khaliqnya hamlum minnaullah,
sedangkan laut kidul, panggung krapyak yang dibergaris lurus vertikal
pula dengan keraton memiliki simbol sebagai hubungan dengan sesama manusia hamlum
minannas).
d)
Masyarakat Jogja, Bpk.
Parjimin, penyusun pernah bertanya kepada pak
Parjimin, bagaiman sesungguhnya pososi Kertaon/Raja bagi masyarakat Yogyakarta,
brliau menjawab kami ya akan manut dengan semua titah atu sabdonya
kajeng Sultan akan tetapi Sultan HB X saat ini tidak sesakti atau linuwih seperti sultan-sultan
sebelumnya.
Gunung Merapi
Penguasa Merapi sendiri mempunyai nama: Panembahan Eyang Prabu
Sapujagad. Konon, dulunya seorang abdi dalem keraton. Karena memakan endoging
jagad (telor dunia), ia lantas berubah jadi raksasa dan atas perintah
Panembahan Senopati menetap di Merapi. Untuk mengurusi Merapi, Keraton
Yogyakarta pun menciptakan juru kunci, yang saat ini di pegang oleh Mbah
Maridjan, ingatan yang cukup segar yang terjadi pada tahun 2006 ketika itu
Merapi mengalami kritis yang luar biasa lalu sultan selaku gubernur
memerintahkan Mbah Maridjan untuk turun bersama masyarakat yang ada, namun
anehnya beliau tidak mau dengan alasan perintah itu tidak atas nama Raja
Keraton Yogyakarta akan tetapi perintah itu atas nama kepala daerah
(Gubernur). hal senada juga dilakukan
oleh Prof. Darmajati Supandjar (Guru Besar Filsafat UGM dan salah satu
penasehat spiritual keraton Yogyakarta), beliau mempunyai pendirian bahwa saya
akan hormat kepada sultan atas nama raja bukan kepala daerah[12].
ditilik dari sudut pandang politis sebetulnya ini merupakan cara sultan untuk
menghegemoni masyarakatnya untuk melanggengkan dominasi kekuasaan Keraton
Yogyakarta.
Laut Selatan atau
Parangkusumo
Cobalah sesekali melawatlah ke Pantai
Parangkusumo Yogyakarta, di malam Jumat Kliwon, niscaya keramaian akan
menyambut. Bak pasar malam. Ratusan orang peziarah, puluhan pedagang kaki lima,
puluhan pekerja seks komersiil, serta semerbak bau dupa hilir-mudik di depan
kita. Parangkusumo, bagi banyak orang-entah itu asli Jogja atau luar kota,
punya "kekuatan". Di situs utamanya yang kerap diziarahi, terdapat
dua buah batu. Satu besar menurut legenda ditempati oleh Panembahan Senopati
dan satunya yang kecil di tempati oleh Ratu Kidul, Sebenarnya, kesan yang
muncul dari mitos ini, adanya penyatuan dua keraton; keraton manusia dan
keraton ghaib. Dari sinilah hegemoni Senopati atas rakyatnya dimulai. Atau
meminjam asumsi Gramschi, ketika belum terbentuk kesadaran kritis individu (a
concrete individual), individu-individu dengan mudah masuk dalam perangkap
kekuasaan negara[13].
apakah anda percaya? (gunakanlah pendekatan fenomenologi dalam kajian ritual
keagamaan).
Selain dominasi yang dibalut dengan
apiknya kesultanan memiliki banyak falsafah hidup serta nilai-niali luhur
seperti halnya keraton di daerah lain di
Indonesia, adalah ibarat mata-air yang tak pernah kering bagi kehidupan di
sekitarnya[14].
Namun di satau sisi, institusi kekuasaan dan kebudayaan yang sarat dengan
nilai-nilai luhur yang menjadi panutan masyarakat itu, kini semakin terkikis
modernisasi. seperti hubungan merapi-keraton dan laut selatan, Ratu Kidul
(kenyataan atau hanya sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat Yogyakarta),
Malam 1 Suro dengan melarung bunga (sesaji) di pantai parangkusumo,
serat Centhini[15]
atau serat Centhini latin[16] (yang
melegenda dan agung) yang dimiliki oleh kahazanah sastra keraton.
Selain data yang
ada di atas sesunguhnya masih banyak data lain yang belum terkafer sejara
konferhensif untuk bisa memahami dinamika kerton Yogyakarta, lihat saja saat
ini kagiatan yang sifatnya memepertahankan ciri khas budaya yang terus
dilakukan hingga saat ini seperti Sekaten, Festifal Kesnian Nasional[17], dan
lain sebaginya.
3)
Persepektif budaya untuk
melihat relasi masyarakat dan keraton
Budaya atau kebudayaan merupakan
sebuah identitas yang dimiliki oleh setiap masyarakat yang ada, bentuk budaya
ini secara konkrit menurut Dr. Yekti Maunati bisa berbentuk cara berpakaian,
alat-alat khas, cara berinteraksi baik yang sifatnya oral atau tingkah laku[18]. Dalam
hal ini, Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan masyarakatnya memiliki hubungan
yang sangat erat, keraton sebagai pihak yang dominan untuk membentuk sebuah
budaya secara turun temurun dan dilakukan oleh rakyat atau masyarakatnya
memiliki sisi ketergantungan diantara keduanya. seperti keterangan di atas
masyarakat pada prinsipnya memiliki pola-pola kehidupan yang ketat, yang selalu
dijaga dalam komunitasnya serta bersifat setagnan, akan tetapi masyarakat
disisi lain bisa mengalami perubahan jika bersentuhan dengan budaya khususnya
dalam hal ini yang dibawa oleh keraton.
Ekspolitasi Budaya
Realitas atas dominasi keraton ini
menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan.
Kekuasaan linuwih rajanya hingga juru kunci sang penjaga setianya.
pertanyaannya selanjutnya apakah sosok seorang raja seperti ini bisa di jadikan
seorang sosok paradigmatik dengan kelinuwihannya. Sebab, menurut
pengakuan juru kunci, untuk jadi juru kunci tidaklah mudah. Pekerjaan itu akan
dilakoni setelah magang bertahun-tahun dan yang terpenting, mendapatkan pulung
(wahyu, restu dari langit). Dengan kata lain, juru kunci pun memerlukan kekutan
supranatural untuk meciptakan pengaruhnya dalam masyarakat.
Disinilah proses reifikasi keraton
atas masyarakatnya dengan cerdik berlangsung gemilang. Yakni, mencipta
kesadaran palsu masyarakat atas "dunia baru" (kekuatan tak terhingga
keraton) yang bermuara pada pemberhalaan, pemujaan[19].
Padahal kondisi ini mengantarkan masyarakat pada keterasingan itu sendiri atau
ini menunjukan sebuah kearifan lokal yang bersifat supanatural?
Tak heran, keyakinan masyarakat atas
cerita yang melegenda dari kekuatan Parangkusumo dan Gunung Merapi, berbuah
pada kepercayaan yaitu jika berdoa di kedua tempat ini-terutama Parangkusumo,
niscaya permintaan bakalan terkabul. hal senada juga pernah di ungkapkan
jauh-jauh waktu oleh Max Weber ahli (sosiologi masyarakat), ia mengatakan semua
jalan magis atau mistagogis pertama kali digunakan untuk sebagai sepirit demi
mengejar sesuatu yang ingin dicapai seperti ingin kaya, ingin kerjaannya
langgeng, jodoh dan sampai ingin memiliki umur panjang. misteri-misteri Eleusien
menjanjikan semua itu yang akhirnya masyarakat akan kembali pada agama-agama
Phoenik dan Vedik yang pernah dilakukan oleh masyarakat China awal, Yahudi awal
dan Islam awal[20].
Perubahan Sosial
Perubahan dalam konteks kekinian,
renik budaya ini bermetamorfosis ke arah komodifikasi utiliti. Pergeseran ini
menjadikan fungsi ritual melebar (atau kesakralan tempat lambat laun tidak hanya
menjadi tempat pemujaan akan tetapi unsur ekonomi meliputinya pula). Ia tak
terikat erat lagi pada ritual sakral yang berbasis spiritual, politik, dan
kekuasaan. Tapi sebaliknya, ia jadi benda yang diperjualbelikan, dan terasing
dari aura ritual itu sendiri. Seperti yang telah terpaparkan dalam awal tulisan
ini, acara ritual di Parangkusumo[21] telah
kehilangan dimensi spiritualnya atau terreduksi, Sebab, keheningan yang jadi
inspirasi orang jawa (khususnya) dalam semedi telah tercemari gelegak suara
dangdut dari penjual vcd, teriakan penjual obat, hingga lirikan genit para
pekerja seks komersil (PSK). Namun, sifat komoditas ini, tetaplah sama.
Meminjam Marx, komoditas tetap mengandung fetisisme, yaitu pemujaan nilai gaib
dari suatu benda yang bersifat ekonomis atau dalam bahasa Bryan, dalam memahami
sosial agama atau keyakinan dalam masyarakat agama atau keyakina akan berubah
sebagai perekat sosial dalam bentuk persaingan ekonomi[22].
C. Kesimpulan
Akhirnya penyusun melihat relasi kehidupan
masyarakat Yogyakarta dan Keraton dalam dua pola yaitu masyarakat
tradisionalis-kosmis (hegemoni, mitologi, keyakinan supranatural,) dan
moderenis-kirtis (akademis, empiris, aktual) dengan pola-pola pemetaan seperti
ini satu sisi ada kalangan yang tetap memegang teguh budaya yang berubah
menjadi sebuah keyakinan-kosmis dan ada pula yang cendrung mencoba membongkar
kebudayaan yang ada dengan berbagai pendekatan yang sifatnya akademis.
Sebenarnya ada dua pendekatan untuk melihat masyarakat
ketika bersentuhan dengan budaya yang berubah menjadi sebuah keyakinan yaitu
dengan model penyingkapan dan model pemahaman. model penyingkapan (Ian) ini melihat dan mengamati setiap orang
yang datang ketempat-tempat yang sifatnya keramat dengan cara langsung berinteraksi,
dan model pra pemahaman[23] yaitu
menimbulkan sebuah asumsi atau praduga bahwa setiap pengunjung yang
datang ketempat tersebut akan melakukan pemujaan dan lain sebagainya dengan
metode kuantitatif. dengan pemetaan di atas cukup besar harapan penyusun
Yogyakarta yang memiliki berbagai brand tetap terjaga keamanannya,
kedamaiannya dan juga keanekaragamannya.
Daftar Pustaka
Aedi, Ajar, Juru Kunci, Sang Pemelihara Kekuasaan,
Kompas Keraton, Minggu, 5 Januari 2003.
Artha, Arwan Tuti, “Ejaan dan Gonjang-ganjing
Yogyakarta”, Opini Kedaulatan Rakyat, Kamis 6 November 2008.
Attamam, Masduki. “Keraton yang tak Pernah Kering
dengan Nilai-Nilai Luhur”, Antara news 12/03/07. akses internet 29 November
2008.
Bryan & Jurner, Agama dan Teori Sosial (Rangka
Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar
Ideologo-Ideologi Kontemporer), Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD, Tahun 2003.
Hartono, “Wisata Spritual” di makam raja-raja Surakarta-Yogyakarta Jimatan
pada tanggal 29 Agustus 2007 dan 6 Oktober 2008.
Hartono, “Wisata Seperitual di Laut Pantai Selatan
Parangkusumo” Penelitian ini penyusun lakukan pada hari selasa 2 Desember 2008.
Inandiak, Elizabeth D. “Bedah Buku dengan Judul
Centhini Kekasih yang Tersembunyi” acara ini dilaksanakan oleh Komunitas
LAIL di UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 12
November 2008.
Kareseno, Arief Ramelan. dari Yogyakarta untuk
Indonesia (sebuah wacana kebijakan publik), Yogyakarta: INSPECT, Januari
2004
Marfuah,
“Kearifan Budaya Lokal Bernuansa Agama” dalam Penamas (Jurnal Penelitian Agama
dan Kemasyaakatan), Vol. xx No. 1. Th. 07. Departemen Agama Badan Litbang dan
Diklat Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.
Martin, Richard
C. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta: Muhammadiyah
Univesity Press. Tahun 2002.
M. N. Salim, Keistimewaan Yogyakarta dalam Tiga Buku (Membongkar
Mitos Keistimewaan Yogyakarta
yang ditulis oleh Abdur Rozaki,
Sutoro Eko dkk, dan diterbitkan oleh IRE Press Yogyakarta , Februari 2003. Buku
kedua, Keistimewaan Jogja VS Demokratisasi ditulis oleh Heru
Wahyukismoyo Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta Buku ini diterbitkan oleh Center for
Critical Social Studies bekerja sama dengan Forum Bulaksumur School of
Thought, tahun 2002. ) dalam Majalah flamma.
Yekti Maunati, IDENTITAS DAYAK Komodifikasi dan
Politik Kebudayaan, Yogyakarta: LKiS, Oktober 2006
Naif, Fauzan.
Serat Centhini Latin, disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan
Kalijaga Tahun Ke-29 tahun 2008 tanggal 18 Juni 2008.
Seminar Budaya,
“Mengenang Sartono Kartodirdjo” dilaksanankan oleh Fakultas Buday UGM di UC UGM
pada tanggal 14 Maret 2008, dengan pembicara Prof. Dr. A Safii Maarif, Drs.
Suwantoro dan moderator Prof. Dr. Taufik Abdullah.
Sarasehan Budaya
Nasional, menuju Kepemimpinan Nasional, dilaksanakan oleh PPs UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, dengan pembicara, Prof. Dr. Darmadjati Supandjar, Drs.
Yudian Wahyudi. M. A. Ph. D, Wiranto SH. bertempat di Qualiti Hotel pada
tanggal 17 Juli 2008.
Syamsuddin,
Sahiron. Integrasi Hermeneutika hans Georg Gadamer kedalam Ilmu Tafsir? Sebuah
Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Quran pada Masa Kontemporer,
Dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh
DitPertais DEPAG RI pada tanggal 26-30 November 2006 di Bandung.
Weber, Max. Studi
Komprehensif Sosiologi Kebudayaan (The Handbook of Sosiology) Yogyakarta;
Pnerbit IRCiSoD, Tahun 2006
Lihat (Stuktur Kerajaan di tanah Jawa Raja-Raja
Keraton Yogyakarta-Surakarta pada bagan di Makam Raja JIMATAN Imogii,
Bantul).
http//google.co.id.
Superkoran, kritis, pluralis, dan sekuler.”Abdidalem dalam Karton dan Borobudur
Gayo”, akses 26 November 2008.
[1] Lahirnya Brand Jogja Never Ending Asia sebagai
kota Pariwisata dan Budaya sebetulnya didasari oleh tiga pola
pemikiran pertama krisis ekonomi
yang berlanjut menjadi krisis multidimensional sejak beberapa tahun yang silam
telah membawa dampak yang serius terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial kedua,
Globalisasi yang direfleksikan dalam istilah 4i (industri, investasi,
informasi dan individualis) ketiga, Yogyakarta telah menyadari bahwa marketing
places akan mendorong tumbuhnya perdanganan, pariwisata dan investasi atau
TTI ( trade, tourism, investment).
[2] Marfuah, “Kearifan Budaya Lokal Bernuansa Agama” dalam Penamas
(Jurnal Penelitian Agama dan Kemasyaakatan), Vol. xx No. 1. Th. 07. Departemen
Agama Badan Litbang dan Diklat Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.
[3] Seminar Budaya, “Mengenang Sartono Kartodirdjo” dilaksanankan oleh
Fakultas Buday UGM di UC UGM pada tanggal 14 Maret 2008, dengan pembicara Prof.
Dr. A Safii Maarif, Drs. Suwantoro dan moderator Prof. Dr. Taufik Abdullah.
[4] Arwan Tuti Artha, “Ejaan dan Gonjang-ganjing Yogyakarta”, Opini
Kedaulatan Rakyat, Kamis 6 November 2008, hlm 14.
[5] Lihat (Stuktur Kerajaan di tanah Jawa Raja-Raja Keraton
Yogyakarta-Surakarta pada bagan di Makam Raja JIMATAN Imogii, Bantul).
[6] http//google.co.id. M. N. Salim, Keistimewaan Yogyakarta dalam Tiga Buku (Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta yang ditulis oleh Abdur Rozaki, Sutoro Eko
dkk, dan diterbitkan oleh IRE Press Yogyakarta, Februari 2003. Buku kedua, Keistimewaan
Jogja VS Demokratisasi ditulis oleh Heru Wahyukismoyo Interpretasi Kritis
Keistimewaan Yogyakarta Buku ini
diterbitkan oleh Center for Critical Social Studies bekerja sama dengan
Forum Bulaksumur School of Thought, tahun 2002. ) dalam Majalah flamma.
[7] Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama,
Surakarta: Muhammadiyah Univesity Press. Tahun 2002, hlm. 64.
[8] http//google.co.id. Superkoran, kritis, pluralis, dan sekuler.”Abdi
dalem dalam Karton dan Borobudur Gayo”, akses 26 November 2008.
[9] Hartono, Wisata Spritual di makam
raja-raja Surakarta-Yogyakarta Jimatan pada tanggal 29 Agustus 2007 dan
6 Oktober 2008.
[10] Ajar Aedi, Juru Kunci, Sang Pemelihara
Kekuasaan, Kompas Keraton, Minggu, 5 Januari 2003.
[11] Juru Kunci; juru kunci jadi tokoh utama. Ialah mediator
antara manusia dan dunia gaib. Hingga detik ini, juru kunci banyak dijadikan
tempat berkeluh kesah masyarakat atas kesulitan hidup dan meminta solusi.
Transfer pemahaman atas beragam kekuatan magis juga berlangsung di sini, lalu
pertanyaannya dimana letak para pemegang title akademisi yang ahli dibidangnya
jika masyarakat cendrung akan terus berbuat seperti itu.
[12] Sarasehan Budaya Nasional, menuju Kepemimpinan Nasional,
dilaksanakan oleh PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan pembicara, Prof.
Dr. Darmadjati Supandjar, Drs. Yudian Wahyudi. M. A. Ph. D, Wiranto SH.
bertempat di Qualiti Hotel pada tanggal 17 Juli 2008.
[13] Ibid, Kompas Keraton Minggu, 5
Januari 2003
[14] Masduki Attamam, “Keraton yang tak Pernah Kering dengan Nilai-Nilai
Luhur”, Antara news 12/03/07. akses internet 29 November 2008.
[15] Elizabeth D. Inandiak, “Bedah Buku dengan Judul Centhini Kekasih
yang Tersembunyi” dalam bedah buku ini Centhini karya agung yang di miliki oleh
Keraton Yogyakarta mengangkat tokoh Amongrogo dan Tembangraras untuk mencari
jati diri dan menyatu dengan sang Khaliqnya melalui jalan “Seksualitas” yang
dikisahkan pada perkawinan keduanya selama 40 malam berturut-turut mereka
bercumbu dan di malam ke empat puluh itulah dicapailah puncak keabadian bersama
sang Khaliqnya, acara ini dilaksanakan oleh Komunitas LaIL di UPT Perpustakaan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 12 November 2008.
[16] Fauzan Naif, “Serat Centhini Latin”, disampaikan dalam Diskusi
Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun Ke-29 tahun 2008 tanggal 18 Juni
2008.
[17] Arief Ramelan Kareseno, dari Yogyakarta untuk Indonesia
(sebuah wacana kebijakan publik), Yogyakarta: INSPECT, Januari 2004, hlm. 85
[18] Yekti Maunati, IDENTITAS DAYAK Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan, Yogyakarta: LKiS, Oktober 2006, hlm. 270.
[19] Ibid. Kompas.
[20] Max Weber, Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan (The
Handbook of Sosiology) Yogyakarta; Pnerbit IRCiSoD, Tahun 2006, hlm. 150.
[21] Hartono, “Wisata Seperitual di Laut Pantai Selatan Parangkusumo”
kebanyakan orang orang mengenal pantai selatan hanyalah PARIS atau
Parang Ttritis, dan juga mungkin ada Pantai Depok, Pantai Parang Ndok dan
Pantai Samas, akan tetapi cobalah
sesekali mampir ke Paangkusumo tentunya anda atau para pengunjung akan
menemukan suasana yang jauh berbeda dengan hingar-bingar orang yang sekedar
mandi di tepian pantai, ketika anda masuka anda akan menemukan sebuah kawasan
yang dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari tembok yang kokoh, dan apabila
anda masuk kedalamnya maka aura mistis akan terasa sekali dengan bau dupa yang
cukup menyengat, banyak orang yang bersemedi dan memohon berbagai keinginan
dihadapan batu yang merupakan petilasan pertemuan antara Prabu Senopati dengan
Ratu Kidul, diluar lingkungan situs tedapat banyak sekali pedagang makanan,
pedagang asongan dan juga “maaf” PSK, saya tau persis seperi itu karena
saya ketika berkunjung di tawari sebanyak dua kali. dari fenomena yang awalnya
hanya sebuah situs atau petilasan yang dikeramatkan bermertamorfosis menjadi
sebuah keyakinan dan keyakinan ini membudaya dalam kehidupan masyarakat Yogya
(kalau ingin tujuannya tercapai ya coba kesana) akan tetapi dari pola yang ada
seperti itu kehidupan ekonomi, karya musik mulai merengsek masuk kedalamnya
sehingga ritual yang sifatnya mistik, bersemedi dengan keadaan hening akan
beubah dengan adanya alunan musik, suara cekikikan para wanita yang menjajakan
dirinya atau para germo yang melakukan transaksi dengan pelanggannya, untuk
melihat fenomena tesebut cobalah datang ke Parangkusumo pada masal selasa dan
jumat Keliwon (penanggalan Jawa) Penelitian ini penyusun lakukan pada
hari selasa 2 Desember 2008.
[22] Bryan & Jurner, Agama dan Teori Sosial (Rangka Pikir
Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar Ideologo-Ideologi
Kontemporer), Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD, tahun 2003, hlm. 189
[23] Sahiron Syamsuddin, Integrasi Hermeneutika hans Georg Gadamer
kedalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Quran pada
Masa Kontemporer, Dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan
oleh DitPertais DEPAG RI pada tanggal 26-30 November 2006 di Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar