PARADIGMA ILMU: POSITIVISME, POSPOSITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME
Oleh Imam Subagyo
Ditelaah oleh : Hartono
(mahasiswa PPs. Ilmu Hukum/S3 UII)
A. PENDAHULUAN
Pembahasan tentang paradigma ilmu termasuk bagian dari
materi filsafat ilmu. Sedangkan filsafat ilmu merupakan salah satu cabang
kajian filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu.
Sebelum membahas aliran-aliran paradigma ilmu, lebih
dulu penulis kemukakan hasil penulusuran asal-usul filsafat. Ach. Maimun
Syamsuddin menyatakan, pada umumnya para ilmuwan menganggap bahwa tanah tumpah
darah filsafat adalah Yunani. Namun Al-Farabi dalam Tahsil al-Sa’adah
mencatat bahwa orang-orang Kaldan (kawasan Mesopotamia) sejak zaman purba
merupakan pemilik tradisi filsafat yang diwarisi orang-orang Mesir lalu turun
ke Yunani. Di Yunani inilah memang tradisi mencari kearifan dilakukan lebih
intensif, dengan metode yang kian teratur dan sistematis, berusaha melepaskan
diri dari berbagai mitos.
Muhammad Al Bahi dalam Al-Janibul Ilahi minat
afkiril Islami menerangkan pula adanya sumber-sumber filsafat termasuk dari
kebudayaan Timur yakni dari agama-agama Aria, yaitu: Brahma, Budha, Zuruastra
dan Manu, serta dari agama-agama Semit, yaitu: Yahudi dan Masehi (Kristen).
Al Bahi menyatakan, filsafat Greek (Yunani) bukanlah
ciptaan para filsuf Greek. Bukti dan argumen yang dikemukannya adalah bahwa di
dalam filsafat Yunani terdapat hubungan dengan agama primitif Yunani yang
menjadi unsur-unsur filsafatnya. Contohnya, filsafat Yunani menjadikan “api
hiraqlith” sebagai asal alam, sebagai indikasi bahwa ada pengaruh agama Timur
di dalamnya, sebab penyucian dengan api pada umumnya ada di agama-agama Timur.
Selain itu dalam filsafat Yunani juga menjadikan “akal iliyah-i” sebagai asal
alam, barangkali adalah konklusi penyucian jiwa, sebagai asal akidah agama
primitif.
Martin Bernal dalam bukunya Black Athena,
menyelidiki jalinan kesetaraan dan keserupaan kebudayaan dan intelektual antara
peradaban Semit (Yahudi), Yunani dan Mesir. Ternyata Bahasa Yunani, walaupun
termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa, banyak meminjam perbendaharaan kata bahasa
Kan’an dan bahasa Mesir. Peradaban Yunani banyak terpengaruh oleh peradaban
Mesir dan Funesia, akibat penjajahan selama 1500 tahun oleh kedua bangsa itu.
George Sarton menegaskan bahwa ’keajaiban’ Yunani dalam bidang sains sebenarnya
telah didahului oleh ribuan tahun pencapaian sains di Mesir dan Mesopotamia,
sehingga pandangan bahwa sains bermula dari Yunani adalah pemalsuan hakikat
sejati yang merupakan sikap ’kekanak-kanakan’. Prof. George GM. James dalam
bukunya Stolen Legacy: Greek Philosophy is Stolen Egyptian Philosophy
memaparkan tesis bahwa para filosof Yunani seperti Thales, Pythagoras,
Socrates, Plato dan sebagainya telah menerima pendidikan atau setidaknya
meminjam buah pikiran para paderi dan pendeta Mesir.
Dengan demikian, banyaknya literatur yang menuliskan
bahwa asal-usul filsafat berasal dari Yunani hendaknya perlu diluruskan sebab
pandangan tersebut hanya akan menyembunyikan sejarah filsafat.
Filsafat sendiri sebenarnya juga menjadi kajian ilmu.
Namun, dalam definisi yang umumnya diakui ada perbedaan antara ilmu dengan
filsafat.
Definisi ilmu ternyata beragam, berdasarkan pendapat
para ahli yang berbeda. C.A. Peursen menyatakan bahwa ilmu atau ilmu
pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Dalam Tanbihun.com dirangkum berbagai definisi ilmu
pengetahuan dari banyak ahli, beberapa di antaranya sebagai berikut ini. Mohammad Hatta mendefinisikan ilmu sebagai
pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan
masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar,
maupun menurut hubungannya dari dalam. Ralp Ross dan Ernest van Den Haag
menyatakan bahwa ilmu adalah yang empiris, rasional,
umum dan sistematik, dan keempatnya serentak. Cambridge Dictionary
1995 mengartikan ilmu pengetahuan adalah kumpulan
pengetahuan yang benar, mempunyai objek dan tujuan tertentu dengan
sistim, metode untuk berkembang serta berlaku universal yang dapat diuji
kebenarannya.
Begitu pula definisi filsafat ada bermacam-macam
menurut pendapat para ahli filsafat dari waktu ke waktu. Plato memandang
filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang
asli. Plato juga menyatakan bahwa filsafat tidak lain
dari pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles menyatakan bahwa
filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Aristoteles juga menyatakan bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab
dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali.
Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan
ilmu. Sementara itu Al Farabi mengartikan filsafat
adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.
Apabila diperhatikan berbagai definisi tentang ilmu
tersebut, dapat dikatakan bahwa ilmu bukanlah sekadar pengetahuan, tetapi
merupakan sekumpulan pengetahuan yang benar dan dapat secara sistematik diuji
dengan suatu metode.
Sedangkan penggunaan metode ilmiah akan bergantung pada paradigma ilmu yang
akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini, apakah suatu metode ilmiah bersifat
tetap sebagai pedoman yang positivistik demi menentukan kepastian cara menguji
kebenarannya, ataukah metode tersebut dapat berubah-ubah.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, filsafat tidak
didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi
dengan mengutarakan masalah, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi
dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Namun demikian, ketika filsafat dikaji dalam dan
sebagai suatu studi ilmiah maka filsafat juga menjadi bagian dari ilmu itu
sendiri, termasuk pula filsasat ilmu. Hal itu tampak pada bagaimana perbedaan
ahli dalam memandang filsafat ilmu.
A. Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu sebagai
berikut. ”That philosophic discipline which is the systematic study of the
nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions,
and its place in the general scheme of intellectual disciplines.” Di sini Cornelius Benjamin memandang filsafat imu
merupakan cabang dari filsafat.
Namun, Conny Semiawan dan kawan-kawan (at al)
menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang
ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu
lainnya. Di sini Conny Semiawan at al memandang
filsafat ilmu sebagai ilmu tentang ilmu pengetahuan.
Tulisan ini selanjutnya akan menelaah tentang beberapa
paradigma ilmu yang saya batasi pada paradigma positivisme, pospositivisme dan
konstruktivisme.
B. PARADIGMA ILMU
Pemikiran manusia dari zaman ke zaman selalu berubah,
mengalami perkembangan. Kita dapat menelaah sejarah di mana ilmu pada zaman
sebelum Masehi sudah berkembang, terutama yang terkenal di Mesopotamia,
Babilonia, Mesir, India, Cina hingga zaman Yunani Kuno.
Perkembangan agama Kristen di Eropa pada zaman Masehi
turut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, di mana
hegemoni tafsir ayat agama dalam pemerintahan yang sempat mengintervensi dan
menghakimi pemikiran ilmiah seperti yang terkenal terjadi pada kasus Galileo
yang melakukan falsifikasi terhadap pandangan geosentris, dengan mengemukakan
teori baru bahwa matahari merupakan pusat tatasurya (heliosentris).
Namun demikian kesewenang-wenangan gereja tersebut
tidak membuat para ilmuwan menyerah. Kondisi-kondisi masyarakat Eropa seperti
itu justru memunculkan para ilmuwan dan filsuf yang peduli terhadap perubahan
sosial, berusaha melakukan perubahan dengan mengembangkan ilmu pengetahuan,
sehingga muncullah gagasan-gagasan atau paradigma tentang ilmu pengetahuan, di
antaranya positivisme, pospositivisme, konstruktivisme.
1.
Positivisme
Pemikir Barat yang dianggap sebagai pencetus
positivisme adalah Auguste Comte dengan nama lengkap Isidore Marie Auguste
François Xavier Comte; lahir di Montpellier,
Perancis, 17 Januari 1798. Comte meninggal di Paris 5 September 1857 pada umur 59
tahun. Comte merupakan seorang ilmuwan Perancis
yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi".
Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Aguste Comte hidup pada zaman pasca Revolusi Perancis
abad ke-19 yang karut-marut. Pada mulanya Comte merupakan seorang ahli fisika
dan politeknik terkemuka zaman itu. Ia mencoba memberikan sebuah solusi tentang
konsep masyarakat ideal yang disebutnya sebagai masyarakat positivistik.
Auguste Comte saat itu menggambarkan masyarakat
Perancis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat teologis atau mitos, masyarakat
metafisika, dan masyarakat positivis yang disebut oleh Aguste comte sebagai masyarakat
yang mapan.
Comte melihat keadaan Perancis sama dengan keadaan di
Eropa pada umumnya. Maka Comte menetapkan satu hukum universal dalam semua ilmu
pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai 'hukum tiga fase'. Menurutnya,
masyarakat berkembang melalui tiga fase: teologi, metafisika, dan tahap positif
(atau sering juga disebut "tahap ilmiah").
Fase teologi tersebut berada di permulaan abad
pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan
norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Masa itu
ditandai adanya dominasi hukum gereja. Ilmu pengetahuan yang berkembang
dilarang berlawanan dengan ayat-ayat Injil. Tetapi, tentu saja ayat-ayat Injil
tersebut ditafsirkan oleh otoritas agama yang tidak luput dari kekeliruan.
Fase berikutnya adalah fase metafisika, yaitu tahap di
mana manusia dengan akal budinya mampu menjelaskan tentang realitas, fenomena,
dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Comte berpendapat bahwa
metafisika belum bisa bersifat empirik, sehingga tidak akan menghasilkan
pengetahuan baru tentang realitas dan belum dapat menjelaskan hukum alam,
kodrat manusia dan keharusan mutlak tentang manusia.
Comte menyatakan bahwa cara berfikir manusia harus
keluar dari dua tahap tersebut, yaitu dengan masuk pada fase berikutnya, yaitu
tahap pengetahuan positivis yang dapat dijadikan sarana untuk memperoleh
kebenaran dengan cara observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun
sosial.
Comte mengembangkan suatu penggolongan hirarkis dan
sistematis dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun
teratur ( ilmu perbintangan, ilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia)
dan ilmu fisika organik (biologi) dan bentuk badan sosial yang dinamai sosiologi.
Dalam paradigma positivisme ini, C.A. van Peursen
menilai bahwa positivisme logis memecahkan kendala yang dihadapi empirisisme
berkaitan dengan kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku umum.
Positivisme logis menganggap ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai
pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan).
Positivisme logis bertolak dari data empiris, seperti pengamatan dan fakta yang
dinyatakan dengan memakai ungkapan pengamatan atau “kalimat protokol”.
Sedangkan ilmu formal tidak mengenai data empiris (kenyataan) tapi menjalin
hubungan antara lambang-lambang yang membuka kemungkinan memakai data observasi
yang telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).
Anis Chariri membuat pengertian paradigma positivisme
secara lebih sederhana berdasarkan pendapat Neuman (2003), yaitu suatu
pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara
angka dan logika deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam
menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat
dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari
penggunaan data-data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui
survei/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis
yang bebas nilai/objektif. Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis
untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di
dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab
akibat. Paradigma positivisme membuat parameter bahwa ilmu sosial dan ilmu alam
menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas
ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam
mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi
hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu
sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya.
Paradigma positivisme berpandangan bahwa teori
terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan
penelitian adalah untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini,
seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang
diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki
penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.
Dengan demikian paradigma ilmu positivisme merupakan
paradigma yang menggunakan metodologi kuantitatif. Paradigma tersebut
selanjutnya mendapatkan kritik para ilmuwan, termasuk mereka yang berparadigma
pospositivisme.
2.
Pospositivisme
Salah satu bentuk paradigma pospositivisme adalah
paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman
yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu
sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan
berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya.
Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka
berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007).
Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial
semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri,
2007).
Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper.
Karl Popper lahir di Vienna, Austria, 28 Juli 1902 dan meninggal di London, Inggris, 17 September
1994 (umur 92 tahun).
Popper merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu
dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi,
sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.
Falsifikasi adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan.
Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan
tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya.
Saya berpendapat bahwa tujuan falsifikasi dimungkinkan
semata-mata untuk terus-menerus mencari kebenaran suatu teori, bukan sebagai
sikap subyektif untuk mencari-cari kesalahan yang motif negatif. Falsifikasi
ala Popper di sini mempunyai motif positif. Salah satu contoh falsifikasi telah
disebutkan di depan pada kasus Galileo Galilei yang membantah atau melakukan
falsifikasi terhadap teori geosentris dengan mengemukakan teori heliosentris.
Di zaman yang lebih modern Albert Einstein juga
melakukan falsifikasi teori tentang relativitas dalam mekanika. Einstein pada
tahun 1905 memaparkan teori elektrodinamika benda yang bergerak. Dia memanfaatkan teori elektro-dinamika dari Maxwell, untuk
menemukan batasan dari mekanika Newton, membenturkan kedua teori, yakni
mekanika klasik dengan teori elektro-magnetisme. Einstein hendak menunjukan
bahwa kerangka fisika dan mekanika klasik yang berbasis ruang dan waktu
absolut, yang secara matematik dituliskan sebagai transformasi Galileo Galilei,
tidak berlaku dalam kecepatan amat tinggi. Einstein sekaligus membantah
teori dari Heinrich Hertz mengenai medium yang disebut ether pembawa cahaya,
dimana gaya listrik dan gaya magnet tidak dapat melampaui batasan ruang. Dengan
teorinya yang dijuluki sebagai Teori Relativitas Khusus itu Einstein menunjukan ternyata tidak ada waktu absolut, akan tetapi
hanya ada ruang- waktu yang tergantung dari relasi-sistem. Dengan kata
lain, dalam ruang-waktu yang memuai secara cepat, pengukur waktu yang berdetik
cepat-pun akan berjalan lebih lambat. Teori
elektro-dinamika benda bergerak itu, kemudian terbukti dalam percobaan di
laboratorium menggunakan jam atom, serta dalam pengamatan waktu paruh dari
partikel yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.
Kembali pada pemikiran Karl Popper tentang gagasan
prinsip falsifikasinya. Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh
bersifat kritis, apabila mau membuang parameter yang mula-mula dipaksakan (imposed
regulaties). Pandangan ini disebut pula sebagai rasionalisme kritis di mana
rasionalisme tidak berarti bahwa pengetahuan didasarkan pada nalar seperti
dikatakan Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional dibentuk lewat
sikap yang selalu terbuka untuk kritik. Inilah di
antaranya prinsip falsifikasi yang diutarakan oleh Popper dalam melakukan
kritik terhadap paradigma positivisme yang dianggap kaku dengan cara
menggunakan serta hanya mengakui metoda ilmiah yang umumnya digunakan (bersifat
positivistik).
Senada dengan Karl Popper adalah I. Lakatos dalam
tulisannya berjudul History of Science and its Rational Reconstructions
pada buku Boston Studies in the Phylosophy of Science (1971) yang juga
menyetujui model deduktif dalam metode ilmiah. Namun Lakatos menyangkal adanya
kemungkinan untuk experimentum crucis, yaitu keadaan bahwa satu
falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Ia berpendapat bahwa yang
terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu sebetulnya merupakan peralihan dari teori
yang satu ke teori yang lain. Teori-teori beruntun atau berdampingan sebagai
alternative. Jika itu menghasilkan teori yang lebih baik, itu disebut program
penelitian progresif, kalau tidak dinamakan degeneratif. Van Peursen tidak
menggolongkan kritik Lakatos ini ke dalam paradigma konstruktivisme, tapi dia
mengistilahkannya pemikiran Lakatos tersebut sebagai “bentuk peralihan yang
mendekati kelompok ini (konstruktivisme).
3.
Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan telah ditangkap manusia adalah
konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997).
Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan
ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang
dialaminya. Proses konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap
kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget,
1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang
cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk
dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan
oleh manusia sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya
pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang
berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu pengetahuan yang
relatif baku.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa gagasan pokok
konstruktivisme dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemologi dari Italia. Dialah
cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima
Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan
bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Vico
menyatakan bahwa pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang
dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan
itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico
tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008).
Namun demikian penelitian sejarah pemikiran
konstruktivisme lainnya dapat memberikan gambaran bahwa konstruktivisme lahir
sebelum tahun 1970-an. Kita bisa membaca pemikiran Charles S. Pierce yang juga
dianggap sebagai salah satu pemikir konstruktivisme, yang hidup pada tahun
1839-1914.
Van Peursen membagi konstruktivisme dalam beberapa
kelompok. Kelompok pertama dinyatakannya sebagai kelompok yang paling dekat
dengan positivisme logis sebab sangat mementingkan logis ilmu. Kelompok ini
disebut juga sebagai tesis “Duhem-Quine” mengacu pada pendapat W.V.O Quine yang
disebut sebagai bentuk holisme atau bertolak dari keseluruhan. Sedangkan P.
Duhem mengajarkan bahwa suatu sistem ilmiah terdiri atas lambang-lambang
(simbol), atas konstruksi simbolik melalui kaidah logis seakan-akan menyajikan
suatu “terjemahan” mengenai data empiris. Oleh karenanya ilmu harus mengadakan
kontak dengan pengalaman. Apabila terjadi konflik antara ilmu dengan pengalaman
maka hal itu menyangkut sistem sebagai keseluruhan. Namun demikian ini tidak
berarti bahwa seluruh sistem harus dihapus, biasanya cukup memperbaharui
terjemahan dengan mengganti lambang-lambang tertentu. Quine melawan pendapat
yang dogmatis dalam empirisme.
Kelompok kedua diberi nama “filsafat ilmu baru.” Para
tokoh dalam kelompok ini di antaranya P.K. Feyeabend, N.R. Hansen, Thomas Kuhn,
M. Polanyi, S. Toulmin. Kelompok ini melangkah lebih jauh lagi di mana sistem
dan kenyataan empiris saling resap-meresapi. Perkembangan ilmu terjadi melalui
aturan di luar ilmu lebih berperan, seperti misalnya anggapan susila dan
sosial. Kelompok ini menaruh perhatian besar terhadap upaya menyusun suatu
teori ilmiah, sehingga heuristik juga diperhatikan. Setiap analisis ilmiah
bertolak dari organisasi bahan yang mendahuluinya, bertitik tolak pada gambaran
menyeluruh yang menentukan terbentuknya sistem ilmu. Kuhn berpendapat bahwa
pembenaran suatu teori bergantung pada struktur menyeluruh yang baru
(paradigma). Verifikasi dan falsifikasi bukanlah hal yang menentukan. Heuristik
mulai memegang peranan penting bagi metode suatu ilmu, khususnya bagi
pembaharuannya.
Kelompok ketiga yang menganut paham konstruktivisme
disebut aliran “genetis.” Kelompok ini berpendapat bahwa terjadinya sistem,
genesis sistem, merupakan bagian dari sifat khas sistem semacam itu. Proses
terjadinya (genesis) dan hasilnya tidak dapat dipisahkan. Aliran ini
dipengaruhi oleh pragmatisme dan instrumentalisme dari Charles S. Pierce dan J.
Dewey. Titik pangkalnya dari anggapan Pierce dengan ajarannya tentang abduksi.
Selain deduksi dan induksi, Pierce menyampaikan metode abduksi.
Pierce itu menyatakan bahwa abduksi sebagai
logika yang menentukan pembentukan hipotesis apapun. Setiap pengamatan dan
interpretasi merupakan hipotesis yang dibuat berdasarkan abduksi. Sebagai
sebuah proses sadar, abduksi merupakan bentuk ke tiga kesimpulan logis
(seni melakukan penyimpulan), sesudah induksi dan deduksi. Abduksi bisa
dipandang sebagai pencarian akan penjelasan terbaik bagi fenomena apapun
yang diamati yang memerlukan penjelasan: X (misalnya, penggunaan tak terduga
sebuah kata tertentu) sungguh luar biasa; A, B, C merupakan kemungkinan
penjelasan akan penggunaan ini; B (misalnya posisi sosial penutur, yang
membedakannya dari interlokuter lain) tampaknya paling meyakinkan. Jika B
memang benar, fenomena X tidak lagi luar biasa; dengan demikian B diterima
sebagai satu hipotesis yang bisa menguraikan kejadian X.
Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
1.3) Buncis ini (adalah) putih
Induksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
Abduksi:
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
1.3) Buncis ini (adalah) putih
Induksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
Abduksi:
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
Di dalam filsafat Islam, filsuf Al-Kindi tampaknya
juga termasuk pemikir konstruktivis. Dalam karyanya yang diterjemahkan dalam
Bahasa Inggris berjudul Treatise on Metaphysics ia menyatakan: “Kita
seharusnya tidak malu untuk mengakui kebenaran dan menerimanya dari sumber
manapun yang datang kepada kita, sekalipun ia dibawa kepada kita oleh
generasi-generasi sebelumnya dan orang asing. Bagi orang yang berusaha
menemukan kebenaran, tidak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu
sendiri; ia tidak pernah merendahkan atau melecehkan orang yang mencapainya,
justru memuliakan dan menjadikannya terhormat.” Hal ini
menunjukkan bahwa Al Kindi tidak berpatokan pada satu sumber saja dalam mencari
kebenaran.
Begitu pula dengan Ibnu Sina yang tertarik dengan
semua metodologi ilmu pengetahuan. Dalam kajian-kajiannya tentang ilmu alam
Ibnu Sina bertumpu pada semua jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari
rasiosinasi dan interpretasi terhadap Kitab Suci hingga observasi dan
eksperimentasi. Ibnu Sina memodifikasi silogisme Aristoteles, melakukan pengembangan
ilmu fisika melahirkan fisika modern melakukan kritik terhadap teori-teori
Aristoteles, melakukan observasi dan eksperimentasi sekaligus.
Para ilmuwan Islam pada dasarnya memang telah diajari
tradisi konstruktivisme guna mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu
dalam Islam muncul berbagai mazhab Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
serta banyak mucul Thariqah.
Dalam ilmu tafsir Al Quran muncul bermacam-macam
metode, diantaranya metode tafsir bil ma’tsur (tafsir melalui riwayat
para sahabat Nabi Muhammad SAW), tafsir bil ra’yi (tafsir menggunakan
akal) maupun gabungan keduanya. Imam Al Baghawi di
dalam mukadimah kitab Ma’alim at-Tanzil menyatakan: “Tidak menambah atas apa
yang telah para ulama sebelumnya lakukan, tetapi tiap-tiap masa harus ada
pembaharuan atas apa yang telah lama masanya, penuntut ilmu berkurang masanya,
sebagai peringatan bagi orang yang terhenti, motivasi bagi yang
sungguh-sungguh, maka dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya yang baik.”
Saya berpendapat bahwa konstruktivisme menjadi jalan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara lebih leluasa, asalkan metode yang
disusun dapat dipertangungjawabkan kebenarannya.
C. PENUTUP
Munculnya filsafat pertama kali ternyata bukanlah dari
Yunani. Berdasarkan pelacakan sejarah para ilmuwan ternyata filsafat Yunanipun
dipengaruhi oleh kebudayaan agama-gama yang berasal dari dunia Timur, terutama
dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia. Selain itu, di bagian dunia lainnya juga
berkembang filsafat, seperti di India dan Cina.
Filsafat ilmu dengan berbagai macam paradigmanya
merupakan sejarah jalan menuju perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini.
Pandangan konstruktif dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan
dengan metode apapun asalkan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam dunia Islam, paradigma konstruktivisme merupakan
tradisi pemikiran Islam sejak kemunculan Islam itu sendiri.
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu
Pengantar, Indeks, Jakarta 2008, hal. 20.
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat
Islam (terjemahan), IRCiSoD, Jogjakarta, 2006, hal. 9.
http://tanbihun.com/pendidikan/definisi-atau-pengertian-filsafat-dan-ilmu-pengetahuan-serta-perbedaannya/
Semiawan, Conny et al., Dimensi
Kreatif dalam Filsafat Ilmu, CV Remaja Karya, Bandung, 1998, hal. 45.
C.A. van Peursen, Susunan Ilmu
Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, (terjemahan J. Drost), PT.
Gramedia, Jakarta, 1989, halaman 82.
Anis Chariri, Landasan
Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif, Paper disajikan pada Workshop
MetodologiPenelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Laboratorium Pengembangan
Akuntansi (LPA), Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, 31 Juli – 1
Agustus 2009, halaman 5.
www.fisika.undip.ac.id, Seratus Tahun
Karya Jenius Einstein, artikel diposting tanggal 26 Pebruari 2009.
Suwandi, Filsafat
Konstruktivisme Dalam Ilmu Pengetahuan, http://suwandi-sosialbudaya.blogspot.com,
27 Oktober 2009.
Markus Basuki, Aliran-aliran Dalam
Filsafat Ilmu: Filsafat Konstruktivisme, http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html
http://babang-juwanto.blogspot.com/2010/09/abduksi-logika-pembentukan-hipotesis.html,
dikutip dari Metode Analisis Teks dan Wacana, Stefan
Titscher; Michael Meyer; Ruth Wodak; Eva Vetter.
http://www.belajar-filsafat.com,
20 Maret 2009 (http://www.belajar-filsafat.com/2009/03/logika-3.html)
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi
Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (terjemahan), PT.
Rajagrafindo Persada, 2006, hal. VII-IX.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar