STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS DI
INDONESIA 2009 Oleh Heddy Shri
Ahimsa-Putra
Ditelaah oleh : Hartono (Mahasiswa PPs. Ilmu Hukum/S3
UII)
1. Pengantar
Adakah pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss
di Indonesia? Kalau ada, seperti apa? Di kalangan yang mana? Kalau tidak ada
atau kurang terlihat, mengapa? Itulah beberapa pertanyaan yang berusaha dijawab
dalam makalah ini. Jawaban-jawaban ini lebih didasarkan pada hasil pengalaman
pribadi daripada hasil sebuah penelitian yang serius dan teliti mengenai
pengaruh strukturalisme Prancis di kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia.
Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ada baiknya saya paparkan
terlebih dulu seperti apa strukturalisme Prancis itu, terutama yang diusung
oleh Lévi-Strauss, dan mengapa saya memilih menampilkan strukturalisme
Lévi-Strauss di sini.
Pada musim semi tahun 1981, setahun
setelah meninggalnya ahli filsafat Jean Paul Sartre, majalah Prancis Lire
mengadakan sebuah jajak pendapat di kalangan intelektual, mahasiswa dan
politisi Prancis, dengan pertanyaan, “siapa tiga pemikir berbahasa Perancis
yang masih hidup, yang pandangannya menurut anda-paling berpengaruh terhadap
evolusi (perkembangan) pemikiran sastra dan ilmu pengetahuan dan sebagainya ?”.
Dari kira-kira 448 jawaban yang masuk, 101 orang menyebut nama Lévi-Strauss, 84
orang menyebut Raymond Aron, 83 orang menyebut Michel Foucault. Nama-nama lain
yang juga disebut antara lain adalah Jaques Lacan (51), Simone de Beauvoir
(46), dan masih ada lagi beberapa yang lain (Pace, 1986 : 1).
Hasil jajak pendapat tersebut
mungkin agak mengherankan juga, karena antropologi bukanlah sebuah cabang ilmu
yang populer di Prancis, dibandingkan dengan di Inggris dan Amerika Serikat.
Apa ini artinya ? Tidak lain adalah bahwa pemikiran-pemikiran Lévi-Strauss
ternyata dipandang begitu berpengaruh oleh kaum intelektual Prancis, dan
sedikit banyak hal itu juga menunjukkan bahwa Lévi-Strauss tidak hanya
dipandang sebagai ahli antropologi, tetapi juga ahli filsafat, walaupun
Lévi-Strauss sendiri sudah tidak lagi begitu menyukai filsafat sebagaimana yang
dia kenal, setelah dia berkenalan dengan antropologi.
Kedua, sebuah karikatur yang banyak
direproduksi muncul dalam majalah-majalah Prancis tentang para strukturalis. Di
situ digambarkan empat orang tengah duduk melingkar di bawah pohon tropis
dengan mengenakan pakaian suku-suku bangsa yang masih primitif, yaitu rok yang
terbuat dari daun ilalang. Empat orang tersebut adalah Jacques Lacan, Rolanda
Barthes, Michel Foucault dan tentu saja Claude Lévi-Strauss. Judul karikatur
ini adalah “Le déjeuner des structuralistes”, atau “makan siang para
strukturalis” (Sturrock, 1979 : 1). Karikatur ini setidak-tidaknya menunjukkan
bahwa di kalangan intelektual Prancis ketika itu, empat orang itulah yang
dikenal sebagai tokoh-tokoh strukturalisme. Namun, beberapa tahun kemudian,
satu persatu dari mereka meninggalkan strukturalisme, dan akhirnya tinggal
Lévi-Strauss yang tetap setia menjadi perawat dan pengembang paradigma
tersebut. Apa ini artinya ? Tidak lain adalah bahwa Lévi-Strausslah yang paling
yakin dengan manfaat dan kemampuan paradigma struktural untuk digunakan
menganalisis gejala-gejala sosial-budaya. Dengan kata lain, dialah seorang
penganut strukturalisme tulen.
Ketiga, hasil survei sebuah lembaga Amerika
atas kutipan-kutipan (citations) antropologi dari tahun 1969-1977, menunjukkan
bahwa tulisan-tulisan Lévi-Strauss adalah tulisan yang paling banyak dikutip
orang, dibanding tulisan ahli-ahli antropologi yang lain (Pace, 1986 : 7).
Dengan kata lain, strukturalisme Lévi-Strausslah yang paling banyak dikenal dan
berpengaruh dibandingkan dengan paradigma antropologi yang lain.
Keempat, strukturalisme Lévi-Strauss juga
bukan hanya merupakan sebuah teori baru, tetapi – sebagaimana dikatakan oleh
Lévi-Strauss sendiri – adalah juga sebuah epistemologi baru dalam ilmu-ilmu
sosial-budaya. Oleh karena itu strukturalisme Lévi-Strauss tidak hanya penting
bagi dan dalam antropologi, tetapi juga penting bagi ilmu-ilmu sosial-budaya lain.
Tidak mengherankan, setelah kemunculan strukturalisme ini pandangan-pandangan
antropologi kemudian mempengaruhi cabang-cabang ilmu sosial-budaya yang lain
seperti sosiologi, sastra, dan filsafat.
Kelima, aliran pemikiran baru yang muncul
setelah strukturalisme, seperti post-modernisme atau post-strukturalisme – ini
nama-nama yang sebenarnya kurang tepat untuk menyebut sebuah aliran pemikiran –
atau semiotika yang kini populer di Barat, tidak dapat dipahami dengan baik
tanpa memahami strukturalisme. Bagaimanapun juga, kelahiran paradigma-paradigma
baru ini tidak dapat dilepaskan dari munculnya strukturalisme itu sendiri.
Tanpa memahami strukturalisme akan sulit memahami post-strukturalisme atau
post-modernisme.
Itulah lima alasan utama mengapa
dalam perbincangan tentang strukturalisme ini strukturalisme yang dirintis dan
dikembangkan oleh Lévi-Strausslah yang akan ditampilkan di sini. Claude
Lévi-Strauss adalah seorang ahli antropologi yang tetap konsisten menekuni dan
mengembangkan paradigma struktural. Ditangannyalah strukturalisme kemudian
dikenal oleh lebih banyak orang, oleh lebih banyak ilmuwan. Dengan
memperbincangkan tentang strukturalisme ini diharapkan akan muncul
ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia yang akan bersedia mengembangkan lebih lanjut
kerangka pemikiran tersebut.
Sebelumnya saya perlu minta maaf
kepada publik jika dalam tulisan ini sosok saya terasa begitu menonjol dalam
proses penyebaran strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia, karena saya tidak
tahu orang lain di Indonesia yang telah membahas pemikiran Lévi-Strauss dengan
cukup mendalam sebagaimana yang telah saya lakukan. Saya ingat, ketika saya
masih kuliah antropologi di Universitas Indonesia di akhir tahun 1970an,
teman-teman saya umumnya tidak menyukai teori-teori dari Lévi-Strauss, karena
selalu sulit dan tidak biasa, sedang saya lumayan menyukai teori-teori tersebut
karena terasa begitu menantang untuk memahaminya.
Sementara itu, dosen-dosen
antropologi yang mengajar kami ketika itu juga tidak banyak yang paham dan
menaruh minat pada strukturalisme Lévi-Strauss. Prof. Koetjaraningrat misalnya,
yang mengajar kami teori-teori antropologi, tidak terlihat menyukai
strukturalisme Lévi-Strauss, karena aliran ini kurang sejalan dengan
kecenderungan teoritis beliau yang lebih positivistik. Dalam Sejarah Teori
Antropologi II, Prof. Koentjaraningrat melontarkan kritik terhadap
strukturalisme Lévi-Strauss, yang menurut saya kritik tersebut sebenarnya
kurang tepat. Lebih dair itu, dosen-dosen antropologi yang lain – yang ketika
itu belum Professor – seperti Dr. Parsudi Suparlan, Dr. Budi Santoso, Dr. Nico
Kalangie, Dr. J. Danandjaja, terasa begitu dipengaruhi oleh ahli-ahli
antropologi Amerika, seperti Clifford Geertz, Ward H. Goodenough, James P.
Spradley, dan sebagainya, karena mereka melanjutkan pendidikan pascasarjana
mereka di Amerika, walaupun mereka itu kemudian tidak mengembangkan aliran
pemikiran antropologi tertentu di Indonesia. Antropologi Eropa (Inggris,
Belanda, Prancis) sama sekali tidak terasa pengaruhnya dalam
pemikiran-pemikiran dan analisis mereka tentang gejala sosial-budaya di
Indonesia. Oleh karena itu, sangat dapat dimengerti apabila dari kalangan ahli
antropologi tidak ada yang berupaya untuk memperkenalkan secara serius
strukturalisme Lévi-Strauss.
2. Ilmu Sosial-Budaya Indonesia
1970-1990an : Mengapa Tidak Struktural?
Beberapa tahun setelah saya
meninggalkan Indonesia untuk mengikuti pendidikan S-3, pada tahun 1994 saya
kembali. Saya berharap ketika itu berbagai pemikiran yang saya kenal dari
perkuliahan saya di jurusan Antropologi di Universitas Columbia akan dapat saya
temukan di Indonesia, sehingga saya dapat segera membangun wacana tentang
pemikiran-pemikiran tersebut di negeri sendiri. Namun, akhirnya saya harus
kecewa, karena situasi dan kondisi pemikiran dalam ilmu sosial-budaya Indonesia
ketika itu ternyata tidak seperti yang saya duga dan harapkan. Padahal,
tokoh-tokoh ilmu sosial-budaya yang saya kagumi dan sebagian pernah menjadi
guru saya ketika itu masih ada, dan masih aktif, seperti misalnya Fuad Hasan,
Koentjaraningrat, Masri Singarimbun, Sartono Kartodirdjo, Parsudi Suparlan,
James Danandjaja, Selo Soemardjan dan sebagainya. Saya bertanya-tanya dalam
hati : Mengapa mereka tidak menulis mengenai aliran-aliran baru dalam
antropologi atau bidang ilmu yang mereka tekuni ?
Dalam antropologi di Indonesia
ketika itu, tidak telihat arus pemikiran strukturalisme dari Prancis, tidak ada
aliran Etnosains dari Amerika Serikat, tidak terlihat Tafsir Kebudayaan seperti
yang dikembangkan Clifford Geertz. Post-modernisme mulai terdengar, dan sempat
populer dalam dua-tiga tahun, tetapi setelah itu seperti hilang ditelan bumi.
Saya cukup heran dengan situasi dan kondisi seperti itu. Akan tetapi setelah
beberapa tahun berada di Indonesia, akhirnya saya dapat memaklumi keadaan yang
seperti itu, walaupun itu tidak berarti bahwa saya menyetujui dan menyukai
keadaan tersebut.
Ketika saya datang pada awal tahun
1990an, strukturalisme Lévi-Strauss tidak terdengar gaungnya di kalangan
ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Bagi saya ini adalah sebuah keanehan, karena
kalau kita membaca jurnal dan buku-buku ilmu sosial-budaya di Barat di tahun
1970an, bahkan sampai tahun 1980an, strukturalisme masih tetap merupakan
paradigma yang populer dan terasa kuat pengaruhnya. Saya mencoba untuk
mengetahui apa kira-kira penyebab hal tersebut, karena biasanya ilmuwan
Indonesia sangat mudah dan cepat menanggapi dan berusaha segera mempopulerkan
paradigma-paradigma baru di Barat yang baru saja mereka kenal.
Beberapa tahun saya mencoba
mengetahui hal ini. Ada beberapa faktor yang tampaknya telah membuat
strukturalisme Prancis kurang begitu dikenal di Indonesia. Pertama,
strukturalisme tersebut tumbuh dan berkembang di Prancis, sebuah negeri yang
relatif kurang begitu dikenal oleh banyak orang Indonesia, karena bahasanya juga
kurang populer di Indonesia, dibandingkan misalnya dengan bahasa Inggris dan
Belanda. Tidak banyak ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu yang
memperoleh pendidikan di Prancis, bahkan hampir tidak ada. Orientasi pendidikan
ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu adalah Amerika Serikat, karena di
tahun 1950an dan 1960an Indonesia adalah salah satu negeri yang banyak diteliti
dan dibahas oleh ilmuwan sosial Amerika Serikat. Nama-nama beken sebagian
ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat ketika adalah nama-nama mereka yang
banyak meneliti masyarakat Indonesia. Nama ilmuwan Prancis yang meneliti
Indonesia namun namanya hampir tidak terdengar di Indonesia adalah Christian
Pelras (meneliti sejarah Indonesia). Nama Lévi-Strauss sebagai seorang teoritisi
hampir tak dikenal. Hanya mahasiswa antropologi saja yang mengenal tokoh
tersebut lewah kuliah dari Prof. Koentjaraningrat almarhum di tahun
1970-1980an. Lévi-Strauss yang kita kenal ketika itu adalah merk sebuah celana
jeans.
Aliran pemikiran yang sangat
mempengaruhi ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu adalah aliran
fungsionalisme-struktural yang berasal dari Talcott Parsons, ahli sosiologi
Amerika Serikat. Fungsionalisme-Struktural yang diwariskan oleh A.R.
Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski di tahun 1940an dikembangkan lebih
lanjut oleh Parsons dan berhasil menjadi sebuah aliran yang mendominasi
pemikiran ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat di tahun 1960-1970an. Ilmuwan
sosial-budaya Indonesia yang belajar di Amerika Serikat di masa itu otomatis
sangat dipengaruhi oleh aliran pemikiran ini – bahkan sampai sekarang. Aalagi
ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat yang mempelajari Indonesia juga
menggunakan paradigma tersebut. Lengkaplah sarana paradigma Fungsionalisme –
Struktural untuk menyebar dan dikenal di Indonesia.
Kedua, strukturalisme Lévi-Strauss dalam
antropologi, sebuah cabang ilmu yang kurang begitu populer di Indonesia.
Memang, di tahun 1970an dan 1980an antropologi sebagai sebuah cabang ilmu
pengetahuan masih belum begitu dikenal di Indonesia. Orang masih sering
mengacaukannya dengan arkeologi, yang di Amerika Serikat memang merupakan salah
satu spesialisasi dalam antropologi. Kalau antropologi sebagai ilmu sudah tidak
begitu dikenal, apalagi teori-teori yang ada di dalamnya. Kalau di kalangan
ahli antropologi Indonesia saja strukturalisme di Lévi-Strauss sudah tidak
begitu dikenal, apalagi oleh kalangan yang lebih luas.
Ketiga, strukturalisme banyak mendapat
inspirasi dari ilmu bahasa dan mengambil ilmu tersebut sebagai modelnya. Sementara
itu, ilmu bahasa atau linguistik bukanlah sebuah ilmu yang populer di
Indonesia, dan teori-teorinya juga tidak begitu dikenal. Para ilmuwan
sosial-budaya umumnya juga tidak mengenal linguistik, sehingga mereka tentunya
mengalami kesulitan ketika berusaha memahami analisis-analisis strukturalisme
Lévi-Strauss yang sangat banyak mendapat inspirasi dari linguistik.
Keempat, strukturalisme Lévi-Strauss adalah
sebuah epistemologi baru, yang saya kira cukup besar perbedaannya dengan
epistemologi yang dianut oleh sebagian besar ilmuwan sosial-budaya Indonesia,
yakni epistemologi yang positivistik dan epistemologi yang historis. Sebagai
epistemologi strukturalisme sangat berseberangan dengan epistemologi
historisme, dan cukup besar perbedaannya dengan epistemologi positivisme. Untuk
mereka yang terbiasa berfikir dengan menggunakan sebuah paradigma, atau yang
didasarkan pada sebuah epistemologi saja, seperti halnya kebanyakan ilmuwan
sosial-budaya Indonesia, munculnya sebuah paradigma atau epistemologi baru tidak
akan memicu munculnya tanggapan yang positif. Sebaliknya, reaksi yang muncul
biasanya adalah : menolak secara sembunyi-sembunyi, acuh tak acuh, atau menolak
secara terang-terangan.
Kelima, analisis struktural dan bahasa yang
digunakan oleh Lévi-Strauss dalam tulisan-tulisannya termasuk yang tidak mudah
dipahami. Analisis struktural Lévi-Strauss banyak memanfaatkan data etnografi
dan analisis serta interpretasi dilakukan atas informasi etnografis mengenai
berbagai hal yang begitu kecil dan njlimet. Oleh karena itu pula analisis
struktural yang dikerjakan Lévi-Strauss termasuk yang tidak mudah dipahami oleh
orang-orang antropologi. Kesulitan memahami ini bertambah besar lagi di
kalangan ketika Lévi-Strauss menggunakan bahasa yang juga relatif sulit dipahami.
Lévi-Strauss termasuk ahli antropologi yang mampu menggunakan daya retorika
yang bagus tetapi tidak mudah dipahami. Bahasa tulisannya memang belum nyastra
sekali seperti Geertz, tetapi sudah termasuk nyastra atau sastrawi.
Itulah beberapa faktor yang menurut saya telah membuat strukturalisme Lévi-Strauss kurang begitu dikenal di Indonesia, walaupun aliran ini sangat kuat pengaruhnya dalam dunia pemikiran di Barat. Mengingat pentingnya strukturalisme Lévi-Strauss dalam perkembangan pemikiran di Barat, begitu tidak dikenalnya aliran pemikiran itu di Indonesia, serta sulitnya memahami paradigma itu sendiri, maka saya kemudian memberanikan diri untuk mengusung strukturalisme Lévi-Strauss ke Indonesia setelah saya menyiapkan diri dengan lebih baik di Amerika Serikat, dengan mengumpulkan artikel dan buku-buku yang relevan.
Itulah beberapa faktor yang menurut saya telah membuat strukturalisme Lévi-Strauss kurang begitu dikenal di Indonesia, walaupun aliran ini sangat kuat pengaruhnya dalam dunia pemikiran di Barat. Mengingat pentingnya strukturalisme Lévi-Strauss dalam perkembangan pemikiran di Barat, begitu tidak dikenalnya aliran pemikiran itu di Indonesia, serta sulitnya memahami paradigma itu sendiri, maka saya kemudian memberanikan diri untuk mengusung strukturalisme Lévi-Strauss ke Indonesia setelah saya menyiapkan diri dengan lebih baik di Amerika Serikat, dengan mengumpulkan artikel dan buku-buku yang relevan.
3. Mengusung Strukturalisme
Lévi-Strauss : 1980an dan 1990an
Generasi saya adalah generasi baru
pelajar ilmu sosial-budaya yang mulai mengenal pemikiran dari Eropa Daratan,
karena saya mendapat pendidikan lanjutan di Belanda. Di sinilah saya berkenalan
lebih dekat dengan strukturalisme Prancis, karena antropologi di Belanda di
masa lampau sudah lebih dulu mengenal strukturalisme, dan kemudian mendapat
pengaruh kuat dari strukturalisme Prancis. Meskipun demikian, saya tidak
serta-merta tertarik pada strukturalisme Prancis, walaupun saya terus-terang
tertarik pada kecanggihan pemikiran Lévi-Strauss. Ketika itu teman sayalah yang
kemudian menggunakan paradigma struktural – yang merupakan campuran strukturalisme
Prancis dan Belanda – untuk menulis tesis S-2 nya, yakni P.M. Laksono. Kami
berdua adalah mahasiswa Indonesia yang dipengaruhi oleh pemikiran struktural
ketika itu. Yang lain tidak tertarik, bahkan cenderung bersikap negatif dan
sinis terhadap aliran strukturalisme yang ketika itu diajarkan oleh P.E. de
Josselin de Jong kepada kami. Saya tidak tahu mengapa demikian, tetapi seingat
saya karena mereka umumnya menganggap pendekatan tersebut “statis”, tidak dapat
digunakan untuk memahami dan menganalisis perubahan.
a.
Periode 1980an
Laksono menerapkan analisis
struktural lebih awal daripada saya. Tesis pascasarjananya, yang kemudian
diterbitkan menjadi buku, adalah mengenai struktur yang ada dalam Tradisi Ageng
dan Tradisi Alit masyarakat Jawa. Dengan menggunakan analisis struktural
Laksono (1986) mencoba menunjukkan bahwa Tradisi Ageng Jawa di Kraton adalah
transformasi dari Tradisi Alit Jawa di daerah pedesaan. Dalam hal ini Laksono
membandingkan struktur budaya pada masyarakat Jawa di Bagelen dengan struktur
budaya Jawa di Kraton Mataram. Buku ini memang tidak mendapat banyak perhatian
dari ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Mungkin, karena pendekatannya terasa
tidak lazim; mungkin juga sulit dimengerti oleh mereka yang belum mengenal
strukturalisme; mungkin pula karena kurang promosi. Yang jelas buku ini setahu
saya merupakan analisis kebudayaan secara struktural yang pertama dilakukan
oleh ahli antropologi Indonesia. Oleh karena penulisan buku tersebut berada di
bawah bimbingan P.E. de Josselin de Jong, ahli antropologi struktural dari
Universitas Leiden, Belanda, maka tidak terlalu mengherankan apabila pengaruh
strukturalisme Belanda lebih terlihat di situ daripada pengaruh strukturalisme
Prancis.
Setelah selesai kuliah di
Universitas Leiden, Belanda, saya mengajar di jurusan antropologi, dan
kesempatan itu saya gunakan untuk menebar paradigma strukturalisme di kalangan
mahasiswa antropologi UGM. Satu-dua orang mahasiswa mulai tertarik dengan
pendekatan ini dan mulai menerapkannya untuk penulisan skripsi. Walaupun masih
dalam taraf yang sangat sederhana namun minta mereka untuk menggunakan sebuah
paradigma yang belum lazim diterima dan cukup sulit, patut dihargai. Para
mahasiswa antropologi UGM ketika itu mulai mengenal nama Lévi-Strauss serta
teori-teorinya dengan cukup baik. Bukan hanya karena kuliahnya lebih terfokus,
tetapi juga karena buku-buku dan artikel-artikel antropologi struktural dapat
mereka peroleh secara langsung, yaitu dengan memfotocopy buku-buku dan
artikel-artikel yang saya bawa dari luar.
Secara kebetulan waktu itu di
majalah Basis muncul sebuah artikel mengenai Lévi-Strauss dan
strukturalismenya, yang ditulis oleh Radrianarisoa. Setelah membaca artikel itu
saya berpendapat bahwa apa yang ada dalam artikel tersebut tidak seluruhnya tepat
atau seperti yang saya ketahui. Oleh karena itu sayapun menulis sebuah artikel
yang isinya merupakan tanggapan, tambahan dan “pelurusan” beberapa pendapat
dalam artikel tersebut (Ahimsa-Putra, 1984). Semenjak itu, saya merasa bahwa
nama saya hampir selalu dihubungkan dengan strukturalisme atau antropologi
struktural.
Pengetahuan mengenai strukturalisme
tidak dapat saya tebar lebih lama di UGM, karena setelah dua tahun saya
mengajar saya memperoleh kesempatan melanjutkan studi S-3 antropologi ke Universitas
Columbia di New York, Amerika Serikat. Ketika itu pengajaran teori antropologi,
termasuk di dalamnya strukturalisme Lévi-Strauss, dilanjutkan oleh dosen kami
yang paling senior di UGM, Pak Kodiran, yang saat itu masih belum guru besar.
Laksono tidak dapat menggantikan, karena dia sudah lebih dulu pergi ke Amerika
Serikat untuk melanjutkan studi. Untuk beberapa tahun, saya tidak mengetahui
perkembangan strukturalisme di kalangan mahasiswa antropologi UGM, sampai
ketika saya pulang kembali ke UGM setelah menyelesaikan S-3 saya.
b. Periode 1990an
Pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss
yang sudah mulai terlihat di tahun 1980an di Indonesia mulai terasa menguat
setelah saya memberikan kuliah mengenai strukturalisme lagi selama beberapa
tahun di jurusan Antropologi UGM, dan menulis beberapa artikel dengan
menggunakan paradigma tersebut. Setelah saya kembali ke UGM, saya kebetulan
diminta Prof. Baroroh Baried – yang ketika itu menjadi ketua program
pascasarjana sastra – untuk mengampu matakuliah mitologi. Permintaan tersebut
saya terima dan secara kebetulan saya mendapat dana penelitian, yang saya
gunakan untuk melakukan penelitian atas mitos orang Bajo. Laporan penelitiannya
kemudian saya tulis kembali menjadi artikel yang kemudian diterbitkan oleh
majalah Kalam (Ahimsa Putra, 1995).
Artikel ini rupanya semakin
menguatkan citra saya sebagai orang yang tahu strukturalisme Lévi-Strauss lebih
dari yang lain, karena – sebagaimana kita ketahui – majalah Kalam adalah
majalah yang banyak dibaca oleh mereka yang berminat pada sastra, seni dan filsafat,
dan diluar lingkaran antropologi setahu saya belum ada orang lain yang
berbicara mengenai aliran pemikiran tersebut. Analisis struktural ala
Lévi-Strauss atas mitos sama sekali belum dikenal di Indonesia ketika itu. Nama
Lévi-Strauss dan strukturalisme tetap belum akrab di kalangan terpelajar di
Indonesia.
Pendapat bahwa saya adalah orang
yang tahu tentang strukturalisme Lévi-Strauss itu rupanya telah mendorong pihak
penerbit LKIS meminta saya menulis kata pengantar untuk buku yang akan mereka
terbitkan, yang berasal dari buku Octavio Paz mengenai strukturalisme
Lévi-Strauss. Sayapun menyanggupi permintaan tersebut. Dalam kata pengantar itu
saya kembali menyampaikan berbagai hal mengenai strukturalisme Lévi-Strauss
yang belum banyak diketahui, serta memberikan tanggapan terhadap
pendapat-pendapat Paz yang menurut saya kurang tepat, atau perlu dijelaskan
lagi agar tidak menimbulkan salah pengertian (Ahimsa-Putra, 1997). Ketika itu
saya merasa bahwa strukturalisme mulai menarik perhatian kalangan intelektual
muda, terutama di Yogyakarta, karena kalau tidak ada ketertarikan tersebut,
tentu buku Paz tidak akan diterjemahkan dan diterbitkan.
Sementara itu, melalui perkuliahan
di S-1 dan S-2 antropologi serta S-2 sastra, saya terus menyebarkan strukturalisme
ke kalangan mahasiswa. Beberapa mahasiswa kemudian tertarik untuk menulis tesis
dengan menggunakan pendekatan struktural. Oleh karena tidak ada dosen lain yang
dipandang lebih memahami strukturalisme, maka pembimbingan penulisan skripsi
atau tesis semacam ini boleh dikatakan selalu diserahkan kepada saya. Ketika
satu-dua tesis struktural mulai dapat ditulis dan diujikan dengan hasil yang
baik (banyak yang mendapat nilai A), semakin banyak mahasiswa yang tertarik
untuk menyusun tesis atau skripsi struktural. Gaung strukturalisme sebagai
sebuah paradigma semakin luas terdengar di kalangan mahasiswa, terutama jurusan
antropologi di UGM, tetapi saya tidak tahu bagaimana gaung tersebut di luar
UGM. Mudah-mudahan ada yang bersedia memberikan informasi mengenai bagaimana
strukturalisme (Lévi-Strauss) dipandang dan dipahami oleh para mahasiswa –
antropologi maupun bukan – di luar UGM.
Selain melalui perkuliahan, saya
juga menulis makalah-makalah untuk seminar dengan tema struktural, baik itu
yang analitis maupun teoritis. Melalui forum seperti inilah saya dapat
menyebarkan strukturalisme. Saya menawarkan pendekatan struktural untuk
menganalisis fenomena arkeologis (Ahimsa – Putra, 1998a; 1999c; 2000a). Saya
juga menawarkan pendekatan tersebut untuk menganalisis karya-karya sastra
kontemporer yang mungkin tidak pernah terpikirkan untuk dianalisis secara
struktural, seperti karya-karya Umar Kayam (Ahimsa – Putra, 2002c), sedang
kepada para peneliti fenomena keagamaan saya juga menunjukkan bahwa
strukturalisme dapat digunakan untuk memahami fenomena keagamaan seperti
sinkretisme (Ahimsa – Putra, 2000b).
Paradigma strukturalisme
Lévi-Strauss menjadi lebih dikenal lagi setelah terbitnya buku Strukturalisme
Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra (Ahimsa – Putra, 2001). Buku ini saya kira
telah membuat peneliti dan pelajar sastra menengok para strukturalisme
Lévi-Strauss, yang berbeda dengan strukturalisme yang selama ini mereka kenal
dalam analisis sastra. Buku ini pula yang membuat banyak orang mulai menyadari
bahwa sekat-sekat keilmuan sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Strukturalisme Lévi-Strauss yang muncul dan berkembang dengan baik dalam
antropologi ternyata sangat dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra,
dan analisis semacam ini dapat mengungkapkan dimensi tertentu dari karya sastra
yang tidak dapat diungkapkan melalui pendekatan yang lain. Dengan demikian,
para peneliti sastra sebaiknya juga menengok dan mempelajari
paradigma-paradigma yang berkembang di luar kajian sastra. Dengan terbitnya buku
tersebut, strukturalisme Lévi-Strauss mulai dikenal di luar lingkaran
antropologi.
Langkah yang saya tempuh untuk
memperkenalkan paradigma antropologi struktural di Indonesia dengan menulis
artikel dan menerbikan buku didasarkan pada pandangan bahwa orang tidak akan
tertarik pada suatu pendekatan atau paradigma bilamana dia belum mengetahui
tentang paradigma tersebut, tentang cara menggunakannya, dan manfaat apa yang
akan diperoleh dari penggunaan tersebut. Lewat berbagai makalah dan artikel
itulah saya berupaya menunjukkan bahwa strukturalisme adalah sebuah cara baru
untuk memandang gejala sosial-budaya. Melalui paradigma tesebut ada aspek-aspek
lain dari gejala sosial-budaya. Melalui paradigma tersebut ada aspek-aspek lain
dari gejala sosial-budaya yang dapat diungkapkan, yang tidak akan dapat
diungkap melalui paradigma yang lain. Dari makalah dan artikel tersebut orang
dapat menilai keampuhan paradigma struktural untuk memahami gejala
sosial-budaya lewat sudut pandang yang berbeda. Sejak itu, strukturalisme
Lévi-Strauss semakin dikenal di Indonesia, dan tidak terbatas di kalangan
pelajar antropologi saja.
4. Strukturalisme Lévi-Strauss di
Indonesia : 2009
Bagaimana strukturalisme di
Indonesia sekarang, setelah saya menganalisis mitos Bajo secara struktural dan
mulai memberi kuliah strukturalisme 15 tahun yang lalu? Strukturalisme
Lévi-Strauss kini sudah lebih dikenal di Indonesia, dan semakin banyak
mahasiswa antropologi yang menggunakan pendekatan ini untuk memahami berbagai
gejala sosial-budaya dalam masyarakat Indonesia. Meskipun demikian saya tetap
tidak mengetahui bagaimana perkembangan paradigma strukturalisme Lévi-Strauss
atapun strukturalisme pada umumnya di luar UGM. Memang, saya sering mendengar
nama-nama Barthes dan Foucault disebut-sebut dalam beberapa diskusi, namun
belum pernah saya mendengar orang membahas pemikiran-pemikiran Barthes dan
Foucault secara serius, baik itu secara formal lewat seminar, ataupun dalam
diskusi-diskusi informal. Oleh karena itu, di sini saya hanya akan memaparkan pengaruh-pengaruh
strukturalisme, terutama strukturalisme Lévi-Strauss sebagaimana yang saya
ketahui dari karya-karya ilmiah yang bisa saya peroleh.
a.
Metode Analisis
Pengaruh strukturalisme terlihat
terutama pada metode analisis, dan di sinilah memang terletak kekuatan
strukturalisme Lévi-Strauss sebagai sebuah paradigma. Kalau paradigma
antropologi sebelumnya jarang sekali menampilkan metode analisisnya,
strukturalisme Lévi-Strauss justru terlihat membedakan dirinya dari yang lain
melalui metode analisis ini. Strukturalisme Lévi-Strauss mulai terlihat
digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kebudayaan yang belum pernah
dianalisis secara struktural. Ini terlihat pada tesis dan disertasi di jurusan
antropologi UGM.
Analisis struktural telah digunakan
untuk mengungkap struktur yang ada pada rumah Limas Palembang (Purnama, 2000),
rumah tradisional Sumba (Purwadi, 2002). Kalau Dadang H. Purnama mengungkapkan
struktur rumah Limas Palembang dan mengaitkannya dengan struktur pemikiran
orang Palembang, Purwadi lebih tertarik untuk mengungkap prinsip-prinsip
struktural yang ada di balik rumah tradisional Suma di Umaluhu. Oleh karena
itu, analisis Purnama kemudian menuntut digunakannya konsep transformasi, dan
dengan konsep ini pula dia dapat menyajikan rangkaian transformasi yang ada
dalam budaya masyarakat Palembang.
Pendekatan struktural juga digunakan
oleh Nasrullah (2008), yang berasal dari suku Dayak Bakumpai di Sungai Barito,
Kalimantan, untuk menganalisis konsepsi orang Bakumpai tentang ruang. Orang
Dayak Bakumpai mengenal istilah-istilah ngaju, ngawa, ngambu dan liwa untuk
menunjuk arah, dan konsepsi arah yang terkait dengan ruang ini juga terkait
erat dengan sungai, karena sungai merupakan ruang yang sangat penting dalam
kehidupan orang Dayak Bakumpai.
Struktur ruang juga dianalisis oleh
Gerda Numbery (2008) yang melakukan penelitian di kalangan orang Dani di Papua.
Dalam hal ini Numbery telah berhasil menunjukkan keterkaitan struktural yang
erat antara struktur ruang yang dikenal oleh orang Dani dengan organisasi
sosial mereka. Sepengetahuan saya, analisis struktural yang dikerjakan oleh
Numbery merupakan analisis struktural ala Lévi-Strauss yang pertama kali
dimanfaatkan oleh ilmuwan sosial Indonesia untuk memahami struktur organisasi
sosial orang Dani dan pandangan mereka tentang ruang beserta strukturnya.
Analisis struktural juga telah
diterapkan pada budaya material, yakni patung (Ahimsa-Putra, 1999c; Subiantoro,
2009) dan makanan tradisional orang Minang (Maryetti, 2007). Ahimsa-Putra
misalnya menerapkan analisis struktural pada arca ganesya, yang sebelumnya
telah diteliti secara seksama oleh Edi Sedyawati, ahli arkeologi UI. Walaupun
analisisnya belum sepenuhnya tuntas, namun analisis tersebut telah memberi
inspirasi pada sejumlah ahli arkeologi lain untuk mencoba menerapkannya pada
artefak-artefak atau benda arkeologis lainnya. Selain arca ganesya, analisis
patung secara struktural juga telah dilakukan oleh Slamet Subiantoro, yang
menempatkan patung loro-blonyo dalam konteks kebudayaan yang lebih luas, yakni
kosmologi Jawa. Sementara itu, Maryetti lebih tertarik untuk menganalisis dan
mengungkapkan struktur yang ada di balik berbagai macam makanan tradisional
yang disajikan dalam ritual-ritual (Subiantoro, 2009).
Lebih dari itu, ternyata pendekatan
struktural juga dapat menjelaskan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia
tidak lama setelah meletusnya peristiwa G-30-S, yakni banyaknya orang Tionghoa
Indonesia yang masuk agama Katholik dan bagaimana perilaku mereka setelah
mereka memeluk agama tersebut (Radjabana, 2000). Beberapa contoh kajian ini
menunjukkan bahwa strukturalisme sebagai sebuah paradigma ternyata dapat
digunakan untuk menganalisis beraneka-macam gejala sosial-budaya. Dalam hal ini
para mahasiswa pascasarjana antropologi UGM (S-2) merupakan orang-orang yang
cukup besar sumbangannya, karena dengan adanya tesis-tesis tersebut maka
paradigma Strukturalisme dari Lévi-Strauss menjadi lebih dikenal dan
jelas-jelas dapat digunakan dalam berbagai penelitian.
b.
Pemahaman tentang “Struktur”
(Structure)
Meskipun strukturalisme memberikan
penekanan utama pada struktur, namun ternyata pemahaman tentang struktur ini
tidak selalu dapat ditangkap. Dari pengalaman berdiskusi, memberikan kuliah dan
membimbing penulisan karya ilmiah saya merasa ide Lévi-Strauss mengenai
struktur termasuk yang tidak mudah dimengerti dan diketahui adanya dalam gejala
sosial-budaya yang dianalisis. Pengertian struktur sebagai sebuah model yang
dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami gejala yang dipelajari, namun tidak
ada hubungan empirisnya dengan gejala sosial-budaya tersebut, dan pengertian
struktur sebagai sistem relasi, ternyata tidak selalu mudah dipahami. Meskipun
demikian, dengan adanya kuliah mengenai strukturalisme Lévi-Strauss secara
khusus, pengertian struktur tersebut kini mulai dapat dimengerti.
Diskusi yang lebih teoritis dan
konseptual tentang strukturalisme belum dapat diharapkan dapat muncul dari
kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia, karena tradisi membahas secara kritis
pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat masih belum tumbuh dan berkembang
di kalangan mereka. Kita masih jauh dari suasana akademik dan intelektual yang
seperti itu. Masih sangat sedikitnya buku dan artikel jurnal ilmiah yang
membahas strukturalisme secara kritis di Indonesia merupakan bukti yang paling
jelas masih belum berkembangnya tradisi tersebut.
Konsep turunan yang berasal dari
“struktur”, yakni “struktur sosial” menurut padangan Lévi-Strauss (yang berbeda
dengan “struktur sosial” menurut Radcliffe-Brown), juga belum dapat dimengerti
dengan baik. Bahwa ternyata struktur sosial adalah juga sebuah model dari
seorang ahli antropologi mengenai suatu masyarakat atau suku bangsa juga masih
sulit diterima, karena para ilmuwan dan pelajar Indonesia masih lebih mudah
memahami konsep-konsep yang lebih jelas acuannya, yang lebih mudah dilihat dan
mudah ditemukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan, konsep-konsep
penting tidak selalu dapat dipahami fungsinya dalam analisis.
c.
Stukturalisme : Cara Pandang
Transformasional, A-historis
Konsep yang sangat penting dalam
analisis struktural adalah transformasi. Konsep ini tampaknya lebih mudah
dipahami oleh para mahasiswa daripada konsep struktur atau struktur sosial, dan
kebanyakan telah dapat menerapkan konsep ini dengan baik dalam analisis,
walaupun implikasi teoritisnya tidak selalu mudah dipahami. Sebagaimana kita
tahu konsep transformasi berasal dari ilmu bahasa juga, namun banyak contoh
yang dapat diberikan untuk menjelaskan makna transformasi sebagaimana digunakan
dalam analisis struktural. Hal ini tampaknya telah membuat konsep transformasi
menjadi lebih mudah dipahami dan digunakan dalam analisis
Lebih sulit dari itu adalah
membedakan makna transformasi dengan change (perubahan), karena ini menuntut
kemampuan memandang gejala sosial-budaya dengan cara yang berbeda, yang
a-historis. Kita umumnya memiliki pola pikir yang linier, yang historis,
diakronis. Segala sesuatu selalu kita pandang dalam hubungan sebab-akibat
sehingga penjelasan tentang sesuatu tersebut selalu mengacu pada
sebab-sebabnya, dan itu berarti kepada masa lampaunya. Kebiasaan ini membuat
kita mengalami kesulitan jika harus memandang dan menjelaskan gejala
sosial-budaya tidak melalui sudut pandang kausalitas.
Kesulitan tersebut juga menambah
orang semakin kurang berminat memandang gejala sosial-budaya dari perspektif
strukturalisme, ketika dikatakan bahwa strukturalisme tidak dapat digunakan
untuk menjelaskan gejala-gejala perubahan sosial dan kebudayaan, bahwa
strukturalisme tidak menyejarah (a-historis). Mereka yang menerima begitu saja
kritik ini sebenarnya telah melupakan faktor-faktor yang mendorong munculnya
pendekatan struktural, yakni keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan
untuk memahami dan menganalisis gejala-gejala sosial-budaya yang memang tidak
ada data sejarahnya.Seperti halnya pada konsep struktur dan struktur sosial,
diskusi teoritis dan filosofis mengenai konsep transformasi ini juga masih
belum ada. Sulit rasanya mengharapkan munculnya pembahasan seperti itu di
kalangan ilmuwan sosial-budaya yang memang tidak ada data sejarahnya.
Seperti halnya pada konsep struktur
dan struktur sosial, diskusi teoritis dan filosofis mengenai konsep
transformasi ini juga masih belum ada. Sulit rasanya mengharapkan munculnya
pembahasan seperti itu di kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia dalam waktu
yang relatif dekat ini.
5. Penutup
Apa yang saya paparkan di sini
adalah apa yang saya ketahui mengenai strukturalisme di Indonesia di masa kini,
yang setahu saya sudah mulai banyak dikenal dan digungakan sebagai paradigma
dalam penelitian. Pengaruh ini terlihat terutama di jurusan Antropologi di
Universitas Gadjah Mada. Saya tidak tahu apakah di jurusan-jurusan antropologi
lain di Indonesia paradigma ini telah diajarkan. Yang jelas saya belum pernah
mendengar sama sekali bahwa paradigma ini telah diajarkan di UGM (dulu).
Mungkin karena di jurusan-jurusan antropologi yang lain tidak ada orang yang
merasa menguasai dan dapat mengajarkan dengan baik strukturalisme sebagai
sebuah paradigma; mungkin juga karena paradigma ini dianggap terlalu banyak
kelemahannya, terutama karena tidak dapat digunakan untuk memahami dinamika dan
perubahan kebudayaan.
Di UGM pengaruh strukturalisme
Lévi-Strauss terasa terutama di kalangan mahasiswa antropologi, tingkat
pascasarjana. Di luar UGM pengaruh tersebut tetap masih belum terasa, atau
mungkin ada tetapi saya tidak mengetahuinya. Tidak sebagaimana halnya
post-modernisme dan cultural studies, wacana serius tentang strukturalisme
(Lévi-Strauss) setahu saya tidak pernah muncul di Indonesia. Kalau pada awal
kemunculan post-modernisme dan cultural studies saya sempat diundang dalam
diskusi dan seminar di Indonesia tentang dua trend keilmuan tersebut, tidak
demikian halnya dengan strukturalisme. Belum pernah saya diundang dalam seminar,
diskusi atau lokakarya yang secara khusus membahas strukturalisme
(Lévi-Strauss) sebagai sebuah trend pendekatan baru dalam ilmu sosial-budaya.
Hal ini tentu sangat mengherankan, jika tidak memprihatinkan.
Mengapa demikian? Mungkin beberapa
faktor yang telah saya sebutkan di atas adalah diantaranya. Faktor-faktor yang
lain mungkin sekali juga menjadi penyebabnya seperti misalnya : langkanya buku
mengenai strukturalisme itu sendiri, tidak adanya kuliah khusus mengenai
strukturalisme di universitas-universitas di Indonesia, tidak adanya ilmuwan
sosial-budaya yang khusus menekuni strukturalisme dan kemudian
memperkenalkannya kepada publik Indonesia.
Kalau dalam antropologi saja
strukturalisme (Lévi-Strauss) sampai saat ini masih belum sangat dikenal, maka
aspek filosofis dari aliran pemikiran ini tentu lebih belum dikenal lagi.
Walaupun Lévi-Strauss tidak pernah menganggap strukturalisme yang
dikembangkannya sebagai sebuah filsafat, namun sebenarnya sebagai sebuah
epistemologi strukturalisme adalah sebuah aliran pemikiran filsafati, dan ini
sebenarnya sudah terlihat sejak awal. Sisi filosofis inilah yang belum diserap
oleh kalangan intelektual atau ilmuwan Indonesia. Mungkin karena sisi ini lebih
sulit untuk ditangkap dan dipahami oleh ahli filsafat Indonesia, mungkin pula
karena ahli filsafat Indonesia tidak ada yang tertarik untuk membahasnya.
Namun, itulah tantangan dari strukturalisme yang hingga kini di Indonesia masih
belum ada yang bersedia menghadapi dan dapat menakhlukannya.
Dari paparan di atas kita dapat mengatakan bahwa (a)
strukturalisme yang dikenal di Indonesia adalah strukturalisme yang
dikembangkan oleh Lévi-Strauss, sementara strukturalisme yang berasal dari
Foucault dan Barthes tidak begitu terlihat pengaruhnya di kalangan kaum
terpelajar Indonesia; (b) strukturalisme Lévi-Strauss masih terbatas dikenal di
kalangan pelajar antropologi, terutama di UGM, karena di jurusan antropologi
UGM strukturalisme Lévi-Strauss diajarkan secara khusus selama satu semester,
di tingkat pascasarjana; (c) beberapa konsep penting dalam strukturalisme yang
mulai dikenal dan dimengerti adalah konsep struktur, struktur sosial, dan
transformasi, di samping konsep-konsep seperti nirsadar, oposisi biner,
sintagmatik-para digmatik, sign, signified, signifier, dan sebagainya; (d)
pembahasan kritis atas pemikiran-pemikiran antropologis dan filosofis belum
terlihat, dan tampaknya belum akan muncul dalam waktu dekat, karena hal semacam
ini menuntut pemahaman yang mendalam atas berbagai paradigma dan pandangan
filosofis yang berkembang dalam antropologi dan filsafat. Oleh karena itu pula,
pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss terhadap pemikiran-pemikiran ilmuwan
sosial-budaya Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat
meninggalkan bekas yang cukup dalam serta mudah dikenali dalam karya-karya
ilmiah mereka.
*Penulis adalah Pengajar Antropologi Budaya, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
**Makalah ini disampaikan dalam diskusi publik
bertema: Perkembangan Strukturalisme Prancis di Indonesia pada hari Rabu, 1
April 2009 sebagai mata rangkai Public Culture Series bertajuk: Pemikiran
Kritis Prancis dan Implikasinya di Indonesia Sekarang ini
Daftar Pustaka
Abdullah, T. 2005. Analisis Struktural Lévi-Strauss
Terhadap Tiga Lakon Karya Arthur S. Nalan : Kajian Transformasi Tokoh dalam
Rajah Air, Kawin Bedil dan Sobrat.
Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
Ahimsa-Putra, H.S. 1984. “Strukturalisme Lévi-Strauss
: Sebuah Tanggapan”. Basis XXXIII (4) : 122-135.
___________. 1994. Semiotik Rituil Belian di
Kalimantan. Makalah seminar.
___________. 1995, “Lévi-Strauss di Kalangan Orang
Bajo : Analisis Struktural dan Makna Ceritera Orang Bajo”. Kalam 6 : 124-143.
___________. 1997. “Claude Lévi-Strauss : Butir-butir
Pemikiran Antropologi” dalam Lévi-Strauss : Empu Antropologi Struktural, O.
Paz. Di Indonesiakan oleh Landung Simatupang. Yogyakarta : LKIS.
___________. 1998a. Strukturalisme Lévi-Strauss Untuk
Arkeologi Semiotik. Makalah seminar Arkeologi.
___________. 1998b. Seni : Budaya :: Keindahan :
Kebenaran :: Rasa : Nalar :: Estetika dan Etika, dan Krisis 1997-1998 di
Indonesia. Makalah seminar.
___________. 1998c. “Lévi-Strauss, Orang-Orang PKI,
Nalar Jawa, dan Sosok Umar Kayam : Telaah Struktural-Hermeneutik Atas
Dongeng-Dongeng Etnografis Dari Umar Kayam” dalam Umar Kayam dan Jaring
Semiotik, A. Salam (ed). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
___________. 1999a. Struktur Simbolisme Budaya Jawa
Kuno : Yang Meneng dan Yang Malih. Makalah Sarasehan.
___________. 1999b. “Ekonomi Manusia Jawa : Agama dan
Perilaku Ekonomi Dalam Perspektif Antropologi Struktural”. Gerbang 5 (2) : 88 –
97.
___________. 1999c. “Arca Ganesya dan Strukturalisme :
Sebuah Analisis Awal” dalam Cerlang Budaya, Rahayu S. (ed). Jakarta : UI Press.
___________. 2000a. “Strukturalisme Lévi-Strauss Untuk
Arkeologi Semiotik”. Humaniora 12 : 1 – 13, September – Desember.
___________. 2000b. “Islam Jawa dan Jawa Islam :
Sinkretisasi Agama di Jawa”. Tembi 1 Thn.I : 10 – 19.
___________. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan
Karya Sastra. Yogyakarta : Galang Press.
___________. 2002a. Roland Barthes : dari
Strukturalisme ke Post-Strukturalisme. Makalah dalam bedah buku.
___________. 2002b. Strukturalisme Lévi-Strauss dan
Sastra. Makalah Pelatihan.
___________. 2002c. Tari “Srimpi” dan Struktur
Simbolisme Jawa. Makalah seminar.
___________. 2002d. Tiga Dasawarsa, Dua Paradigma,
Satu Model. Makalah seminar.
___________. 2002e. Satwa, Totem, Mitos dan Nalar
Primitif. Makalah diskusi.
___________. 2003. “Structural Anthropology in America
and France : A Comparison”. Humaniora XV (3) : 239 – 264.
___________. 2005. Tanda : Simbol :: Semiotika :
Hermeneutika. Makalah bedah buku.
___________. 2006a. “Strukturalisme Lévi-Strauss :
Positivistis dan Fungsionalistis ? Beberapa Catatan Kritis” dalam Lévi-Strauss
: Strukturalisme dan Teori Sosiologi, C. Badcock. Terj. Robby H. Abror.
Yogyakarta : Insight Reference.
___________. 2006b. “Dari Mytheme ke Ceriteme :
Pengembangan Konsep dan Metode Analisis Struktural” dalam Esei-esei Antropologi
: Teori, Metodologi dan Etnografi, H.S. Ahimsa-Putra (ed.). Kepel Press :
Yogyakarta.
___________. 2006c. “Antropologi Sosial-Budaya di
Indonesia : Tingkat Perkembangan dengan Perspektif Epistemologi” dalam Ilmu
Sosial dan Tantangan Zaman, T. Abdullah (ed.). Jakarta : Rajagrafindo Persada.
___________. 2006d. Sawerigading, To-manurung dan
Nilai-nilai Budaya Bugis-Makassar : Status Sosial dan Resiprositas dalam Budaya
Bugis-Makassar. Makalah seminar nasional.
___________. 2006e. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos
dan Karya Sastra. Yogyakarta : Kepel Press. Edisi Baru.
___________. 2007a. Tanaman : Hama :: Perempuan :
Laki-laki : Relasi-relasi Simbolik Dalam Mitos “Dewi Sri”. Makalah seminar.
___________. 2007b. Strukturalisme Lévi-Strauss :
Paradigma dan Epistemologi Baru. Makalah bedah buku.
___________. 2008a. “Ritus Kematian : Ritus Peralihan,
Ritus Penandaan, Ritus Pertukaran”. Jurnal Penelitian Walisongo XVI (2) :
59-76.
___________. 2008b. Budi : Roh Pertukaran dalam Budaya
Melayu. Makalah workshop “Pemikiran Melayu Jawa”.
Leni, N. 2004. Analisis Struktural Lévi-Strauss dan
Mitos Tasawuf. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
Listia. 2005. Posisi Wahyu dalam Agama Kristiani dan
Islam : Studi Atas Perbedaan Agama Kristiani dan Islam Menurut Strukturalisme
Lévi-Strauss. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
Maryetti. 2007. Makanan dan Struktur Budaya
Minangkabau. Tesis Pascasarjana Antropologi, Universitas Gadjah Mada.
Nasrulah. 2008. Ngaju, Ngawa, Ngambu, Liwa : Analisis
Strukturalisme Lévi-Strauss Terhadap Konsep Ruang dalam Pemikiran Orang Dayak
Bakumpai di Sungai Barito. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah
Mada.
Numbery, G.K.I. 2007. Struktur Budaya Orang Dani di
Desa Jiwika, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya : Suatu Kajian Strukturalisme
Lévi-Strauss. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Pace, D. 1986. Claude Lévi-Strauss : The Bearer of
Ashes. London : Ark Paperbacks.
Purnama, D.H. 2000. Rumah Limas dan Struktur Pemikiran
Orang Palembang. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
Purwadi. 2002. Prinsip-prinsip Struktural dalam Rumah
Tradisional Sumba di Umaluhu. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas
Gadjah Mada.
Radjabana, A. 2003. Menjadi Katolik Bagi Keturunan
Cina di Jawa : Pertukaran Sosial Antara Keturunan Cina dan Gereja Katolik di
Jawa. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
Sperber, D. 1979. “Claude Lévi-Strauss” dalam
Structuralism and Since : From Lévi-Strauss to Derrida, J. Sturrock (ed.).
Oxford : Oxford University Press.
Sturrock, J. 1979. “Introduction” dalam Structuralism
and Since : From Lévi-Strauss to Derrida, J. Sturrock (ed.). Oxford : Oxford
University Press.
Subiantoro, S. 2009. Loro Blonyo Dalam Rumah Tradisional
Jawa : Studi Tentang Kosmologi Jawa. Disertasi Antropologi. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Sumintarsih. 1998. Pertukaran Dalam Hubungan
Subkontrak di Kalangan Perajin Agel, Kulon Progo. Tesis Pascasarjana
Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
Xiao Lixian. 2004. Budaya dan Struktur Masyarakat
Tiongkok pada Dinasti Qing dalam Novel “Hong Lou Meng”. Analisis Struktural
Lévi-Strauss. Tesis Pascasarjana Antropologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar