Senin, 29 Oktober 2012

IMPLEMENTASI PEMILIHAN PRESIDEN SECARA LANGSUNG TERHADAP PROSES KONSOLIDASI DEMOKRASI

                    IMPLEMENTASI PEMILIHAN PRESIDEN SECARA LANGSUNG
                               TERHADAP PROSES KONSOLIDASI DEMOKRASI

                                                                Oleh : Hartono GS


A. Pendahuluan
            Menelaah tema yang ada di atas ini setidaknya penulis teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Muchan mengenai penafsiran pancasila pada sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan dan perwakilan” ini artinya persiden itu seharusnya dipilih melalui mekanisme perwakilian melalui lembaga MPR/DPR bukan secara langsung seperti saat ini.
            Dalam kontek ketatanegaraan di Indonesia sebelum reformasi dan amandemen UUD setidaknya lembaga tinggi Negara masih terdiri dua kamar atau bikmeral yakni DPR dan MPR, akan tetapi pada saat ini setelah dilakukan amandemen terhadap UUD yang ada maka lembaga tinggi tersebut tetap menjadi dua yaitu DPR dan DPD, sedangkan MPR untuk saat ini lebih berfungsi sebagai sebuah lembaga yang mempersatuakan atau mempertemukan keduanya (DPR dan DPD). Sedangkan fungsi keduanya dalam ranah politik untuk mengakomodasi kepentingan politik dan kepentingan daerah dalam system ketatanegaraan Indonesia saat ini dan yang akan dating.
Dalam kaitannya konsolidasi demokrasi untuk memperkuat sistem pemilihan langsung presiden, sebenarnya secara teoritis-filosofis gagasan yang telah diungkapkan dalam pancasila tidak perlu digugat lagi, karena sudah diterima hampir semua lapisan masyarakat indonesia. Pertanyaannya kemudian, mengapa ideologi pancasila yang dipertahankan, pada hakekatnya prinsip ideologi pancasila harus tetap diingat dan pertahankan karena, pertama idiologi itu bersumber dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkemabang dari rakyatnya sndiri, kedua memiliki cita-cita yang menjangkau kedepan, ketiga memiliki daya untuk menyesuaikan dengan zaman, dalam artian politik pancasila tidak kaku dan beku namun lebih realistis dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai keindonesiaan yang tekandung di dalamnya. Akan tetapi yang harus pula diingat seperti yang pernah disampaikan oleh Seorkarno adalah demokrasi pancasila jangan sampai demokrasi hanya sebuah label atau simbol saja sedangkan isinya otoriter,
Alasan di atas cukup untuk bisa dipertahankan karena melihat masyarakat Indonesia ini yang cukup hetrogen penduduknya dan pluralistik, budaya, adat serta agamanya, dengan modal yang ada ini demokrasi harus disesuaikan pada hal di atas tanpa menghilangkan akar persoalan yang ada, Indonesia bukan Jerman, Belada, Amerika, Kanada ataupun China namun Indonesia tetap Indonesia dengan berbagai keunikan dan kekhasan yang dimilikinya (bukan demokrasi Barat).

B. Sejarah Singkat Demokrasi di Indonesia
Demokrasi merupakan topik pembahasan yang selalu menarik untuk dibahas, baik dari kalangan akademisi ataupun kalangan politisi. Khususnya mengenai demokrasi di masa pemeintahan transisi pasca reformasi ini, dimana semua kalangan mengharapkan kehidupan alam demokrasi yang sesungguhnya tumbuh dan berkembang di negeri ini.
Anders Uhlin berpendapat, ada dua pendekatan atas konsep demokrasi, yaitu demokrasi dapat di lihat sebagai tujuan atau sebagai konsep label bagi sistem politik yang ada. Saat ini di Indonesia demokrasi sebagai tujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya, tentunya masih dalam perjalanan dan perjuangan yang panajang untuk mewujudkan semua itu, walaupun indikasi perjuangan untuk mnuju ke arah sana sudah terlihat.
Ada beberapa masa yang cukup menentukan perkembangan demokrasi di Indonesia ini, yang mana semuanya tidak terlepas dari alur priodesasi sejarah politik di Indonesia, yaitu apa yang disebut priode masa pemerintahan masa revolusi kemedekaan, pemerintahan parlementer, pemerintahan demokrasi terpimpin dan pemerintahan Orde Baru.
1.    Demokrasi Pemerintahan Masa Revolusi Kemedekaan
Pada awal kemerdekan tahun (1945-1949) para pemimpin revolusi memiliki komitmen yang sangat besar dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia, selain komitmen yang kuat pewujudan demokrasi pun ingin dilahirkan di bumi nusantara ini, namun semua itu belum bisa menyentuh pada praktek yang sesungguhnya melainkan merupakan fundamental yang merupakan peletakan dasar bagi demokrasi di Indonesia. Implemntasi demokrasi pada masa pemerintahan revolusi kemedekaan baru terbatas pada interaksi politik di Parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan, elemen demokrasi yang lainnya belum sepenuhnya berjalan semestinya karena pemerintah berserta seluruh masyarakat masih berkonsentrasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan negara agar negara kesatuan tetap terwujud.
2.    Demokrasi Parlementer.
Demokrasi parlementer adalah lawan dari sistem presidensil, pada tahun 1950-1959 meupun priode kedua dalam pemerintahan negara Indonesia, dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Dalam proide inipun banyak referensi meyebut sebagai demokrasi Leberal, namun ada juga yang meyebut demokrasi Parlementer, demokrasi leberal bisa dibenarkan naum muatan dari kata leberal belum bisa sepenuhnya diterima di Indonesia selain serat makna muatan politik yang sangat tinggi dan sulit pula dipertanggungjawabkan secara akademik. Masa pemerintahan Demokrasi Parlementer diklaim merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena semua elemen demokrasi dapat diketemukan dalam perwujudannya kehidupan politik di Indonesia.
3.    Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Pada masa awal pemerintahan demokrasi terpimpin ini, merupakan masa-masa tersulit bagi Soekarno dimana situasi politik yang belum setabil disertai berbagai tekanan dari mana-mana, namun pasca pengeluaran Dekrit presiden Soekarno mulai memainkan peranan politiknya secara dominan, beliau dengan tegas sebagai presiden mnunjuk seseorang warga negara Soekarno untuk membentuk kabinet yang Perdana Mentrinya adalah presiden sendiri, dengan situasi yang semakin mencekam Soekarno lalu membentuk DPR Gotong Royong sebagai basis penyalur aspirasi rakyat yang menggantikan Dewan Konstituante yang telah di bubarkannya.
Denagan merangkap dua jabatan atau atribut ini maka Soekarno mulai leluasa memainkan peranan politiknya hingga menjadi penguasa yang diktator ketika itu atau dalam bahasa Ahmad Syafi’i Ma’arif, Seokarno ingin menempatkan dirinya sebagai ayat dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasan terpusat berada di tangannya.
    Partai Komunis Indonesia pada masa demokrasi terpimpin ini mendapatkan angin segar karena oleh Soekarno yang ketika itu memegang kekuasaan PKI mendapat tempat yang sama dengan partai-partai yang lainnya. Di lain pihak kekuatan Angkatan Darat juga menunjukan kekuatannya untuk ikut serta bersaing, karena A. H Nasution bependapat bahwa PKI merupakan sebuah ancaman bagi negara kesatuan ini, dari situ dapat dilihat bahwasannya ada tiga kekuatan besar yang bersaing untuk menduduki kekuasaan di negeri ini (politik tarik ulur).
4.    Demokrasi Pancasila dalam Pemerintahan Orde Baru
Pemerintahan Orde Baru, merupakan wujud konkrit perpolitikan di Indonesia melalui Angkatan Darat ketika terjadi politik tarik ulur anatara Seokarno, PKI dan AD sendiri, sekaligus pemberontaka G-30-S/PKI merupakan titik kulminasi dari pertarungan antara ketiga kekuatan yang ada. Sebagaimana diketahui akibat dari usaha kudeta yang gagal dilakukan PKI semua itu mengakibatkan fatal bagi PKI sendiri denga tersisihkannya dari percaturan perpolitaikan di Indonesia. Demikian juga Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya (1959-1965) sedikit-demi sedikit mulai goyah, kekuasaanya mulai dikurangi, dan akhirnya tersingkir dari perpolitikan nasional, sampai meninggal tahun 1971.
Ada sebuah catatan dari Cak Nur mengenai Pemerintahan Orde Baru yaitu praktek homogenisasi atau penyamarataan oleh pemerintah Orde Baru selama 32 tahun terakhir tanpa sadar telah mengingkari jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa pluralistik. Penyeragaman budaya yang akhirnya melahirkan istilah "budaya nasional" dan pemberlakuan sistem pemerintahan yang seragam dengan meniadakan pemimpin-pemimpin informal, adalah contoh nyata bagaimana Indonesia telah mengingkari prinsip bhinneka tunggal ika (berbeda-beda namun tetap satu).
Melihat pemerintahan orde baru yang sangat persidnsil, semagat demokrasi yang selalu digaungkan tidak namapak sekali dalam kehidupan nyata, membawa pengamat politik seperti William Liddle (1985) mengomentari tata pemeintahan yang ada di Indonesia ketika itu, beliau menampaikan bahwa model Modern Personal Rule yang dilakukan pemerintahan orde baru, dengan pemerintahan model itu, Liddle mencoba membuat piramida kekuasaan di Indonesia, yang dibagi kedalam tiga jajaran utama, yaitu: Presiden dengan semua atributnya, Angkatan Bersenjata dan Birokrasi.
a)    Presiden dengan semua atributnya.
Kekuasaan presiden di Indonesia ketika orde baru menempati puncak piramid dalam kekuasaan yang ada pada masa orde baru, sekalipun menurut konstitusi presiden mempunyai kedudukan yang sama dengan lembaga tinggi yang lain, seperti DPR/MPR, MA akan tetapi prediden merupakan primus inter pares yang utama dari yang setara.
b)    Angkatan Bersenjata
Angkatan bersenjata ketika masa orde baru memiliki dwi fungi yang di perbolehkan terjun langsung dalam perpolitikan nasional dengan Fraksi ABRI di DPR/MPR, kenyataan inilah yang menunjukan ketidak netralannya dan lebih meyokong kekuatan presiden Soeharto yang notabennya berasal dari ABRI.
c)    Birokrasi Pemerintahan
Dalam birokrasi sudah seharusnya bersikap netral dan melayani masyarakat dengan slogannya, ramah, pengayom, terhadap rakyatnya. Namun kenyataan ini tidak diketemukan pada masa orde baru, orde baru malah sebaliknya meyetir mereka semua untuk patuh pada pemerintah dengan membuat aturan bahwa semua Pegawai Negeri harus memilih Golongan Karya, inilah sedikit fakta yang diketemuakan di lapangan pada masa Orba.
5. Demokrasi Pasca Reformasi 1998
Reformasi yang memaksa turunnya Soeharto, pada hakekatnya Indonesia belum bisa menjadi lebih baik walaupun kran-kran demokrasi sudah mulai terbuka. Reformasi tidak bisa menjadi panglima perubahan seutuhnya yang dimimpikan masyarakat dan proses transisi demokrasi yang menjadi pilihan elite politik hanya menjadi etalase karena hanya bagus luarnya saja serta hanya dinikmati oleh segelintir elite bahkan menimbulkan cost yang lebih besar dan high risk. Itulah yang terjadi dan perubahan secara subtansial mengalami pelambatan dan cenderung ada indikasi untuk kembali pada tradisi lama Orde Baru.
Azumardi Azra juga meyebutkan pasca jatuhnya Soeharto pada tahun 98 itu perubahan Indonesia menuju Liberalisasi Politik dan Demokrasi sudah tidak dapat diundur-undur lagi. Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya bermunculan partai-partai baru serta disusul dengan adanya pemilu (salah satu simbol dari demokrasi modern), namun jika hal itu yang menjadi sebuah tujuan dari reformasi maka reformasi itu sendiri pada hakekatnya tidak memiliki arti apa-apa karena keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan lain sebaginyalah yang diinginkan di negeri ini. Kebanyakan para elite politik–khususnya para partai politik besar sedang bereforia secara berlebihan menikmati partainya yang menang.
Reformasi tidak boleh hanya bermuara pada suksesi kepemimpinan nasional saja tetapi juga harus ada perubahan sistem kenegaraan. Sebab jika tidak, ke kawatiran reformasi hanya akan menghasilkan tatanan politik dan masyarakat seperti Orde Lama dan Orde Baru. Pada saat ini perbincangan amandemen UUD 1945 bukan lagi hal yang tabu atau “haram”.
Kehidupan alam demokrasi merupakan salah satu yang menjadi agenda reformasi 98, semangat untuk membawa suasana alam demokrasi mulai terlihat dengan cukup signifikan dalam tatanan pemerintahan, dan yang paling sangat terlihat dimasa transisi itu kehidupan masyarakatnya mulai adanya kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapatnya.
Cendekiawan Nurcholis Majid (Cak Nur) mengingatkan bahwa Pemilu 99 bukan merupakan penyelesaian dari semua masalah, namun sebuah gerbang untuk memasuki agenda reformasi yang fundamental, melakukan amandemen terhadap UUD 1945, menata politik dan ekonomi serta membangun keadaban politik Semua ini dibutuhkan karena melihat kemajuan gerak masyarakat yang semakin cerdas dan multi aspirasi. Bagaimanapun ada baiknya untuk selalu belajar dari negara dan bangsa lain yaitu nyaris tidak ada sebuah negar pun di dunia ini yang tidak pernah mengamandemen konstitusi mereka. Amerika Serikat misalnya sejak tebentuknya Konstitusi pertama berlaku pada 1788 sampai 1971 telah melakukan amandemen sebanyak 26 kali, Libanon juga seperti itu, Filipina paska Marcos juga mengubah Konstitusinya untuk mencegah kediktatoran seperti yang dilakukan Presiden Marcos.
Semangat amandemen dimasa Reformasi ini hendaknya juga menjadi perhatian yang serius terutama oleh para wakil rakyat kita yang duduk di parlemen, faktanya penyusun tidak tahu pasti siapa sebetulnya yang pertama kali menghembuskan “pensakralan” UUD 1945, sehingga seolah-olah UUD 1945 tidak boleh diamandemen.
Namun kalau dicermati pasal perpasalnya sudah ada aturan mengenai perubahan UUD tersebut. Pada Bab XVI Pasal 37 ayat (1) dan (2) sudah diatur tentang perubahan UUD 1945. pada ayat (1) disebutkan: “Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, dan ayat (2) meyebutkan: “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir”, dari dua pasal tersebut jelas dapat disimpulkan apabila memenuhi syarat seperti yang disebut pada 2 ayat itu perubahan UUD 1945 sangat dimungkinkan. isu yang sangat prinsipil dalam amandemen mungkin mengenai kekuasaan presiden karena dianggap pasal-pasal UUD1945 memberikan kekuasan yang cukup besar terhadap presiden. Semua ini tidak lain hanya ingin menjadikan tatanan dalam pemerintahan yang adil dan demokrasi. Pembicaraan amandemen sebenarnya sudah ada sejak 40 tahun yang lalu namun tidak secara terang-terangan muncul kepermukaan sebab pikiran seperti itu dianggap tidak populer dan merecoki kehidupan ketatanegaraan.  
Reformasi kultural,, yang mengedepankan sebuah paradigma baru dalam berpikir, bertindak atau berinetraksi juga menjadi sebuah agenda untuk diselesaikan dalam reformasi ini, di dalamnya ada bidang hukum, ekonomi, dan juga politik yang semuanya memerlukan sebuah tatanan yang baru dan baik. Dalam hukum, semangat negara ini sebagai negara hukum sudah seharusnya ditegakkan tanpa pandang bulu (semua orang hendaknya sama dimata hukum), dalam ekonomi pemerataan kesejahteraan, lapangan kerja, dan sebagainya sudah seharusnya dilakukan pemerintah dengan modal kekayaan alam yang ada, dalam bidang politik hendaknya permainan-permaiana kotor dan picik harus dihilangkan untuk mewujudkan polik yang sehat.
Dimasa Orde Baru diakui dalam bidang politik dan ekonomi mengalami kestabilan dan tidak goyah oleh berbagai isu yang menerpa dikala itu, semua itu karena ada sosok Soeharto yang memiliki kepemimpinan tangguh, konsep kenegaraan yang bagus, punya misi kedepan jangka pendek dan panjang, hubungan dengan dunia Internasional yang baik namun politiknya bersifat sentralistik dan mengarah pada kediktatoran. Dalam bidang politik diakui ataupun tidak beliau bisa mengendalikan pemerintahannya selama 32 tahun, yang mana gejolak-gejolak politik yang mengarah pada ketidak stabilan pemerintahan ketika itu dibungkam dan tidak diberikan kesempatan untuk bersuara hingga akhirnya dipenjarakan tanpa ada proses hukum yang jelas, seperti yang menimpa AM. Fatwa ketika itu. Dalam bidang ekomomi masa orde baru memang sukses untuk membangun negeri ini, contoh pada tahun 85 Indonesia pernah menjadikan swasembada pangan dalam bidang pertanian padi, dengan contoh itu beliaupun telah menjadi bapak pembangunan di negeri ini. Namun Kwik Kian Gie meyebutkan bahwa di zaman Soeharto memimpin ekonomi yang diterapkan adalah bisnis perkoncoan dalam ekonomi dengan nepotismenya. 
Semangat reformasi hingga hari ini dengan sedikit melihat keburukan dan kebaikan dalam orde baru, menjadikan pelajaran yang cukup berharga untuk menatap kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik lagi, semangat demokrasipun tak boleh lekang oleh zaman yang telah memasuki 10 tahun era transisi reformasi ini.

C. Konsolidasi Demokrasi; Pilpres secara langsung
    Demokrasi yang berupa suara/kedaulatan rakyat juga memiliki arti yaitu sebuah perjuangan haruslah bersandar pada perjuangan kerakyatan atau berpihak kepada kaum lemah dan tertindas seperti petani miskin, buruh pabrik, kaum miskin kota, nelayan serta rakyat jelata (kamum kromo/murba/marhen), atau demokrasi adalah bentuk berupa mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. dengan itu pengertian serta maka demokrasi akan menemukan arti dan makna serta semangat  yang sesungguhnya.
    Pasca 6 tahun reformasi 98, yakni bertepatan dengan Pemilihan Umum tahun 2004 Presiden dan Wakil Presidenterpilih dalam satu pasangan secar langsung oleh rakyat. Terwujudnya pemilihan secara langsung setidaknya terlihat dari amandemen UUD 45 yang ketiga, kemudian kedudukan MPR dalam hal ini sebagai lembaga tinggi Negara bergeser hanya menjadi sebuah forum pertemuan antara DPR dan DPD dalam ketatanegaraan Indonesia.
        Pemahaman yang seharusnya diphami secara konferhensif mengenai mengapa pemilihan presiden di Indonesia secara langsung perlu dilakukan, ada beberapa alas an yang cukup mendasar :
1.    Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandate dan dukungan yang lebih nyata dari rakyat sebagai wujud control social antara pemilih dengan tokoh yang dipilih.
2.    Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan.
3.    Pemilihan Presiden secara langsung akan memberi kesempatan luas kepada rakyat untuk menentukan pilihannya tanpa adanya sebuah tekanan dan lain sebagainya.
4.    Pemilihan Presiden secara langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan Negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara presiden dengan lembaga perwakilan karena keduanya sama-sama dipilih oleh rakyat.
Analisis yang cukup menarik selanjutnya adalah mengenai kedudukan persiden, apakah berbentuk Kabinet Presidensil atau sistem pemerintahan parlementer?, atau bersifat diantara keduanya. Hal ini terbukti setidaknya pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika para mentrinya melakukan ketidak cakapan dalam kinerjanya tidak dikoreksi oleh persiden selaku atasan dan yang memilihnya namun koreksi lebih pada dilakukan oleh lembaga parlemen dalam hal ini DPR. Jika demokrasi yang diinginkan berbentuk seperti ini tentu ada kecarut-marutan dalam system ketatanegaraan yang ada di Indonesia saat ini.

D. Konsekuensi Logis Pemilihan Persiden secara langsung
Pesta rakyat yang dilakukan per 5 tahunan yang disebut pilpres, setidaknya banyak meyedot perhatian rakyat dalam berbagai segi kehidupan, dan kalau diuraikan setidaknya akan menyentuh beberapa hal :
1.    Dalam bidang ekonomi
Dalam bidang ini setidaknya pemerintah akan mengeluarkan bermilyar-milyar dana untuk mendanai pemilihan persiden yang ada, namun terkadang dengan biaya yang superjumbo ternyata kampanye serta pemilihan yang dihasilkan dalam pilpers tersebut tidak seperti yang diinginkan oleh masyarakat kebanyakan, hal ini tentu sangat bertolak belakang denga berbagai janji-janji yang biasa disampaikan oleh para calon yang ada.
2.    Dalam bidang teknologi
Dalam bidang teknologi seperti adanya berbagai poling yang dilakukan oleh LSM-LSM yang ada, tentu dalam persepektif demokrasi kekinian mengalami sebuah kemajuan yang cukup signifikan, namun ternyata pemanfaat teknologi ini terkadang masing disalah gunakan dengan ketidak konsistenan dan independent terhadap pendirian masing masing LSM yang ada.
        Sedikit hal diatas setidaknya bisa dijadikan sebuah contoh refleksi, karena dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat, maka persiden secara politik tidak akan bertanggungjawab kepada MPR lagi melainkan bertanggung jawab kepada rakyat.
        Sedangkan pasca reformasi, masalah klasik yang timbul adalah masalah penegakan hokum dimana dalam masalah ini ternyata pemerintah dan pemegang kebijakan lainnya belum sepenuhnya bisa menegakkan hokum yang berkeadilan, gema tuntutan penegakan supermasi hokum yang bergaung dalam percaturan politik ketatanegaraan Indonesia dewasa ini setidaknya  tidak hanya sekedar dilatar belakangi oleh sejarah ketatanegaraan Indonesia yang traumatis dikala hukum tidak berdaya menghadapi kekuasaan seperti di masa Orde Baru, akan tetapi yang perlu dipahami dan dihayati serta dilakukan adalah adanya prinsip Negara hukum bukan Negara kekuasaan.
Selain masalah hukum pasca reformasi masa transisi demokrasi Indonesia pasca reformasi setidaknya mengubah wajah perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai pihak merasa perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi, akutanbilitas publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh tananan masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi. Berbagai kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok tertentu, juga ikut mewarnai.
Terbukanya katub-katub kebebasan dalam berpendapat, berkumpul, dan berserikat menjadi salah satu pendorong menguatnya gerakan masyarakat sipil. Di satu sisi, gerakan ini menjadi harapan karena mampu mendorong dan menjadi stabilisator pemerintahan, namun di saat yang lain semakin mengancam. Kegetiran masyarakat atas berbagai persoalan terutama dalam hal ekonomi, politik, dan degradasi moral menjadikan masyarakat mencari alternatif baru.
Salah satunya adalah munculnya berbagai pemikiran politik Islam yang kemudian melahirkan banyak gerakan. Konsolidasi ditingkatan negara terus dilakukan, namun pada saat yang sama, terdapat konsolidasi internal di kalangan umat Islam. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya gerakan politik Islam dengan berbagai isu aktual. Penegakan syariat, negara Islam, khilafah Islamiyah, masyarakat madani, dan gerakan-gerakan pelegal-formalan Islam dalam kehidupan politik.

E. Konsolidasi Demokrasi; Jalan demokrasi sebuah keniscayaan
Menurut Mahfud MD. dalam bukunya “Hukum dan Pilar-pilar demokrasi” setidaknya ada ada dua alasan mengapa bayak negara menggunakan konsep demokrasi, pertama hampir semua negara di dunia ini menggunakan demokrasi sebagai asasnya, kedua demokrasi sebagai asas negara secara esensial telah memberikan arah bagi peran masyarakat untuk menyelengarakan negara sebagai organisasi tertingi.
Reformasi Indonesia sudah genap satu windu (Mei 1998 dan Mei 2006). Reformasi tersebut terkait erat dengan berakhirnya kekuasaan otoritarian Soeharto dan munculnya rezim demokrasi yang secara formal ditandai dengan terselenggaranya pemilihan umum demokratis tahun 1999. Setelah satu windu, apakah demokrasi kita semakin matang, semakin diterima sebagai sistem pemerintahan terbaik dibanding sistem manapun yang pernah ada dalam sejarah, dan oleh karena itu mendapatkan dukungan dan legitimasi luas dari masyarakat? Dengan kata lain, sejauh mana demokrasi kita terkonsolidasi? Demokrasi kita terkonsolidasi apabila ia “mendapatkan legitimasi yang luas dan kuat dari warga sehingga sangat kecil kemungkinannya ia akan ambruk.” (Diamond, 1996: 238). Dengan kata lain, “Demokrasi terkonsolidasi ketika ia menjadi satu-satunya aturan main, dan ketika tak seorang pun dapat membayangkan untuk bertindak di luar sistem demokrasi; ketika kelompok yang mengalami kekalahan menggunakan aturan yang sama [demokrasi] untuk membalas kekalahannya...” (Prezeworski 1991: 26).
Adanya legitimasi yang kuat dari warga, atau adanya penerimaan sebagai satusatunya aturan main dalam membangun dan melaksanakan pemerintahan tersebut ditandai oleh tidak signifikannya perilaku menentang demokrasi dari kekuatan-kekuatan yang ada, tumbuhnya keyakinan yang luas di masyarakat bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik, dan berfungsinya negara secara efektif dalam penegakan hukum.
Konsolidasi demokrasi sebagaimana terlihat dari sikap dukungan yang luas dari masyarakat terhadap demokrasi banyak ditentukan oleh kinerja demokrasi itu sendiri, misalnya apakah masyarakat merasakan puas dengan pelaksanaan demokrasi atau tidak. (Fuchs, Guidorossi, dan Svensson, 1995; cf. Norris, 1999). Kepuasan ini terkait dengan kinerja pemerintahan demokrasi itu sendiri, yakni bagaimana masyarakat menilai kinerja pemerintah dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Masalah yang dihadapi masyarakat terutama terkait dengan kinerja ekonomi secara nasional. Secara umum kinerja ekonomi nasional yang baik membuat demokrasi stabil dan terkonsolidasi (Prezeworski et al, 2000; Wheaterford, 1990; Dutt dan Kornberg 1994).
Seperti akan dikemukakan di bawah bahwa dukungan terhadap demokrasi sebagai sistem politik terbaik bagi bangsa kita sudah cukup baik, tapi tidak cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa demokrasi kita telah terkonsolidasi. Di negara-negara demokrasi, pandangan positif warga terhadap demokrasi bisanya lebih dari 84%. Kita dalam satu windu ini baru mencapai rata-rata sekitar 72%. Di samping itu masih cukup besar di antara anggota masyarakat kita yang toleran terhadap keterlibatan tentara aktif dalam politik praktis, misalnya menjadi pemimpin nasional. Di negara-negara demokrasi yang terkonsolidasi tingkat toleransi terhadap kepemepimpinan militer dalam politik ini tidak lebih dari 10%. Di negara kita dalam satu windu terakhir ini toleransi terhadap kepemimpinan tentara aktif masih sekitar 30%.
Masih belum optimalnya sentimen positif terhadap demokrasi terkait dengan penilaian masyarakat bahwa demokrasi kita belum berjalan sebagaimana diharapkan. Masih besar di antara warga yang merasa tidak puas dengan kinerja demokrasi kita. Keadaan ini terkait kuat dengan kinerja pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini, terutama dalam masalah ekonomi. Penilian negatif atas kinerja pemerintah berdampak pada penilian negatif atas kinerja demokrasi, dan pada akhirnya tidak memberikan dukungan terhadap ide bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik, dan cenderung toleran terhadap kepemimpinan tentara aktif dalam politik nasional. Karena itu konsolidasi demokrasi kita akan banyak tergantung pada kinerja pemerintah demokrasi sekarang. Lambannya pemulihan ekonomi bisa menjadi sumber negatif sangat serius bagi nasib demokrasi kita ke depan. Sejumlah hipotesis tentang konsulidasi demokrasi ; Demokrasi terkonsulidasi bila:
1.    Mendapatkan legitimasi yang luas dan kuat dari warga sehingga sangat kecil kemungkinannya ia akan amruk (Diamond 1996).
2.     Menjadi satu-satunya aturan main, dan ketika tak seorang pun dapat membayangkan untuk bertindak di luar sistem demokrasi;
3.    Ketika kelompok yang mengalami kekalahan menggunakan aturan yang sama demokrasi untuk membalas kekalahannya.
4.    Pada tingkat perilaku, tidak ada kekuatan signifikan di dalam sebuah negara yang menentang demokrasi.
5.    Pada tingkat sikap, demokrasi diterima secara luas di masyarakat sebagai sistem politik terbaik.
6.    Secara konstitusional, semua kekuatan menjadi hamba hukum, atau setiap konflik diselesaikan lewat proses hukum.
Parameter konsolidasi demokrasi (Linz and Stepan 1996):
a.    Pada tingkat perilaku, tidak ada kekuatan signifikan di dalam sebuah negara yang menentang demokrasi.
b.    Tidak signifikannya kekuatan yang mentoleransi kepemimpinan politik tentara.
c.    Pada tingkat sikap, demokrasi diterima secara luas di masyarakat sebagai sistem politik terbaik.
d.    Secara konstitusional, semua kekuatan menjadi hamba hukum, atau setiap konflik diselesaikan lewat proses hukum.

F. Demokrasi sebagai sistem terbaik diantara sistem yang ada
Berbicara demokrasi yang menjunjung hak sepenuhnya ditanggan rakyat dengan berbagai elemennya merupakan sebuah jalan yang harus dianut, dan disinipun ada beberapa asas atau karakteristik demokrasi itu sendiri dalam sebuah sistem kenegaraan di antara ciri sistem demokrasi adalah:
1.    Akuntabilitas, dalam demokrasi setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rayat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak dan telah ditempuh.
2.    Rotasi kekuasaan, dalam sistem demokrasi sebuah rotasi kekuasaan sudah semestinya dilakukan dan dilakukan sesuai aturan, jika hal ini belum terjadi bisa diindikasikan proses demokrasi disebuah negar tersebut masih rendah.
3.    Rekutmen politik yang terbuka. Artinya setiap warga masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik dipilih oleh rakyat dengan memiliki peluang yang sama dalam kompetisinya tidak ada diskriminasi.
4.    Pemilihan Umum. Dalam negara yang demokrasi pemilihan umum merupakan elemen yang sangat penting, bagi warganya memiliki hak dipilih dan memilih tanpa ada tekanan dari manapun dan sekaligus deperbolehkan meyaksikan pemilihan umum itu sendiri yang mempunyai asas jujur adil dan transparan.
5.    Menikmatin hak-hak dasar. Masyarakat diberikan sebuah kebebasan dalam bebicara, menyampaikan pendapat, berserikat, dan juga pres yang terbuka. Selain ciri-ciri di atas adapula model-model demokrasi yang ada diberbagai negara di dunia ini. Pertama, demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi, yaitu suatu sistem dimana pengambilan suatu keputusan masalah-masalah publik masyarakat terlibat langsung, ini adalah sistem demokrasi yang asli yang terdapat di Athena kuno. Kedua, demokrasi liberal atau demokrasi perwakilan, suatu sistem yang suara rakyat di wakilkan oleh wakil rakyat yang duduk di parlemen dengan tetap menjunjung tinggi aturan hukum. Ketiga demokrasi yang didasarkan pada satu partai, sistem ini ada dahulu di Uni Soviet dan Eropa Timur namun hingga saat ini demokrasi model ini belum bisa dipastikan.
Yang akan dipaparkan di sini adalah konsolidasi demokrasi yang dicermati dari sikap warga terhadap demokrasi, seberapa luas warga yakin ahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik. Bersamaan dengan itu sejauh mana warga menolak kepemimpian tentara aktif dalam politik nasional (Klingemann 1999; World Value Survey). Di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, proporsi dukungan terhadap demokrasi sebagai sistem terbaik rata-rata sekitar 84% (Klingemann 1999). Proporsi Indonesia tersebut di bawah banyak negara demokrasi seperti Jerman (93%), USA (88%), Jepang (88%), Korea Selatan (84%), atau Afrika Selatan (85%) pada tahun 90-an (Klingemann 1999). Posisi Indonesia dekat dengan Negara-negara seperti Meksiko (71%) dan Filipina (72%) pada kurun waktu yang sama. Dengan kata lain, tingkat konsolidasi demokrasi kita belum kuat, meskipun tidak terlalu jelek. Ia setingkat dengan Filipina yang kita tahu demokrasinya kurang stabil.
Dalam konteks studi demokrasi, dukungan publik atas keterlibatan tentara aktif alam politik merupakan indikator penting lain dari belum kuatnya demokrasi di sebuah negara. Dalam survei opini publik, konsep dukungan keterlibatan tentara dalam politik praktis bisa diukur dengan sebuah pertanyaan umum, ”apakah setuju atau tidak setuju kalau negara ini dipimpin oleh seorang tentara aktif.” Secara umum, masyarakat kita menolak keterlibatan tentara aktif dalam politik praktis. Sentimen ini fluktuatif dari tahun ke tahun. Namun demikian, masih cukup banyak (rata-rata sekitar 27% dalam enam tahun terakhir) yang membenarkan keterlibatan tentara aktif dalam politik praktis, misalnya menjadi kepala negara, anggota DPR, gubernur, atau bupati/wali kota. Ke depan, angka ini harus semakin kecil. Di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, dukungan atas keterlibatan tentara dalam politik praktis di bawah 10%. Di Jerman misalnya, toleransi terhadap keterlibatan tentara dalam politik hanya 1%, di Amerika 7%, di Korea Selatan 4%, di Argentina 14%, dan di Turki 26%. Angka Indonesia berada pada negara-negara demokrasi baru yang belum stabil seperti Turki, dan masih terbuka terhadap kemungkinan kudeta oleh tentara seperti halnya yang terjadi berkali-kali di Turki. Artinya, kekuatan resistensi opini publik yang belum mantap terhadap keterlibatan tentara dalam politik bisa memberikan peluang bagi kembalinya tentara di arena polititik bila faktor-faktor penting lain mendukung, terutama kegagalan pemulihan ekonomi dan meluasnya protes massa. Kasus ini terlihat dengan jelas dalam kasus Pakistan, yang tingkat toleransinya terhadap keterlibatan tentara dalam politik praktis terbilang tinggi (40%), dan jendral sering keluar-masuk politik praktis di negeri tersebut.

G. Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan dalam makalah ini, mengenai pemilihan persiden secara langsung dalam konteks untuk mengkonsolidasikan demokrasi tentunya menurut hemat penyusun masih memerlukan sebuah penataan serta pembaharuan yang bersifat radikal dalam UU selanjutany, semisal jangan sampai ada marjinalisasi pemilih, pengerahan massa yang tidak sehat serta yang lainnya.
Pada prinsipnya konsolidasi demokrasi seperti yang banyak disampaikan oleh para pakar adalah, saat ini masih berlangsung sebuah demokrasi yang disebut demokrasi procedural yakitu sebuah demokrasi yang hanya dimaknai sebuah lembaga seperti KPU, KPPU, Parlemen dan alin sebagainya, namun orang-orang yang ada di dalamnya belum tertanam dan meresap sikap serta pemahaman demokrasi yang sesungguhnya. Kalau ingin berkaca seperti Amerika dalam hal demokrasi tentunya ada sebuah progess yang ingin dicapai namun disisi lain demokrasi yang ingin dicapai di Indonesia sering terbentur ideology yang berbeda dengan kebanyakan dunia baarat sehingga para ahli pun menyatakan bahwa demokrasi yang ada di Indonesia harus sesuai dan senafas dengan demokrasi pancasila.

H. Saran dan Rekomendasi
Yang terhormat Prof. Dahlan, dalam buku Ketatanegaraan Indonesia dalam perspektif konstitusi, sangat baik dan bagus sekali namun sepertinya isi dari buku ini adalah memiliki kemiripan tulisan “bunga rampai” atau tulisan makalah lepas yang dikumpulkan lalu dicetak ulang, jika hal itu demikian sepertinya ada ketidak sinambungan antara judul-kejudul yang ada di dalam buku ini, pun demikian buku ini sangat berharga dan patut dibaca bagi peminat hukum dan konstitusi Indonesia saat ini.

Daftar Pustaka


Fatimah, Siti, “Format Baru Demokrasi di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945” dalam SOSIO-RELEGIA Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial Vol. 4. No. 2, Februari 2005.
Gaffar, Afan, Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. 5, th 2003.
Gunawan, Runtuhnya Konsolidasi Demokrasi, Jogjakarta: Pusat Studi Masyarakat, Agustus 2002.
Held, David, Demokrasi dan Tatanan Global dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Kusumah M. AS. Hikam dan Mulyana W., dkk, Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia (Jogjakarta; Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN SUKA Yogyakarta dan Pustaka Pelajar, 1999.
Madjid, Nurcholish, “Homogenisasi Ingkari Jati Diri Indonesia”, Kompas, Kamis, 23 Maret 2000.
Marhen atau Marhenisme adalah ajaran Ir. Soekarno, yang berarti (kaum petani, jelata dan awam), (Makalah penerimaan kader GMNI Cab. Yogyakarta 14 Mei 2006).
Muchsan, (Guru besar FH UGM) disampaikan pada seminar Revitalisasi Peran Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Rancangan Undang-undang Admistrasi Pemerintahan, pada Kamis, 12 Februari 2009, bertempat di Gedung UC UGM Yogyakarta.
Maarif, A. Syafii, Mencari Autentitas dalam Kegalauan, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2004.
Masudi, Wawan, “ Demokrasi dan Konservasi Monarki”, Kompas, Kamis, 31 Mei 2007.
Mujani, Saiful, Mengkonsolidasikan Demokrasi Indonesia Refleksi Satu Windu Reformasi http//google.co.id,akses 21 Juni 2009.
MD., Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Pasal 6A UUD 1945 (Setelah Amandemen)
Suprapto, Memerdekakan Indonesia Kembali Perjalanan dari Soekarno ke Megawati, Jogjakarta: IRCiSoD, 2004.
Uhlin, Anders, Indonesia and the Third of  Democratization The Indonesian Pro-Democrasy Movement in a Changing world, Penerjemah Rofiq Suhud, Bandung: Mizan, 1998.
Ubaidillah, Pendidikan Kewarganaegaraan, Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Pers, 2000.
Wahid, Marzuki, & Rumadi, Fiqih Mazhab Negara, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar