Senin, 29 Oktober 2012

RELASI MASYARAKAT DAN KERATON YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

RELASI MASYARAKAT DAN KERATON YOGYAKARTA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
(dari Gunung Merapi, Keraton sampai Laut Selatan/Parangkusumo)
Oleh : Hartono (Mahasiswa PPs. UIN SUNAN KALIJAGA)

A. Pendahuluan

    Yogyakarta dengan berbagai label yang melekat padanya mulai dari kota budaya, kota pendidikan, kota pariwisata (Jogja Never Ending Asia), dilihat dari sisi tatanan pemerintahan semuanya itu merupakan hasil kerja keras organ yang ada didalamnya, namun julukan sebagai kota budaya sebetulnya pemikiran itu berawal dengan adanya keraton yang ada hingga saat ini, keraton Yogyakarta dalam kancah nasional memiliki peranan yang cukup signifikan dalam membangun dan melestarikan budaya khususnya budaya jawa.
Berbicara masyarakat, kraton (kerajaan) dan budaya ketiganya memiliki dimensi yang berbeda baik dari struktur ataupun latar belakangnya, namun dari ketiganyapun memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan secara parsial. dalam kajian ini penyusun mencoba melihat dari sisi budaya, bagaimana sebetulnya relasi masyarakat dan keraton khususnya Yogyakarta, apakah ada saling keterkaitan yang cukup signifikan dan tak terpisahkan sehingga masyarakat dan keraton ibarat duasisi mata uang.
Kerataon Yogyakarta, dalam berbagai hal memiliki kekuatan yang cukup besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakatnya, coba anda tanya warga Yogya tentang kraton, maka jawabannya kebanyakan “keraton” adalah junjungan kami.
B. Pemetaan Masalah
1)    Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa dengan keadiluhungan tata kehidupannya membawa semua orang sebagai pewaris untuk melanjutkan nilai-nilai luhur yang ada, ada anekdot yang selalu terparti dalam benak penyusun bahwa orang jawa khususnya Solo dan Yogyakarta memiliki ungah unguh yang cukup tinggi, sopan santun atau tatakrama yang selalu di junjung tinggi.
Kajian masyarakat dalam banyak teori seperti teori struktualis-fungsionalis yang digagas oleh Talcot Parson menempatkam masyarakat dalam suatu sistem sosial yang diikat oleh nilai-nilai, kebutuhan dan tujuan yang sama untuk mempertahankan hidup dan keberlangsungannya. dalam analisis ini yang letak konteksnya pada masyarakat jawa (khususnya Yogyakarta) diketemukan sebuah nili-nilai yang sepadan serta luhur seperti gotongroyong, kekeluargaan, sungkeman, sopan santun, yang semuai itu tidak akan pernah luntur walaupun perubahan sasial dan zaman semakin berkembang selagi masih adanya sebuah institusi dan kelompok yang terus menjaga dan mengembangkannya.
Selain kajian seperti di atas sebagai pijakan, bahwasannya dalam masyarakat sebetulnya terdapat pola-pola prilaku atau pattern of behavior yaitu sebuah cara hidup masyarakat yang harus diikuti oleh masyarakat yang ada di dalamnya, baik itu masyarakat Jawa, Bali, Sunda, Lombok dan lain sebagainya namun semua itu bisa bergeser jika ada budaya yang mempengaruhinya.
Konteknya masyarakat Jawa, dalam hal ini penyusun pernah mendngar cerita;
a) dari Prof. Taufik Abdullah (Insyallah suku batak), beliau bilang orang jawa ini kurang tegas dan selalu merasa tidak enak seperti teman saya (penyusun lupa namanya) yang menguji mahasiswa S3 untuk menyusun disertasinya, temennya itu (penguji suku jawa) sangat sungkan sekali kepada mahasiswa bimbingannya karena merasa tidak enak kalau disertasinya itu dicoert-coret untuk mengkoreksinya, padahal disatusisi mahasisaw yang dibimbing sangat mengharapkan koreksi dari pembimbingnya untuk menunjukan mana yang salah, kurang dan lain sebaginya, lalu Prof. Taufik Abdullah bilang pak coret aja disertasinya yang salah jangan sungkan-sungkan. Cerita di atas sekelumit mengambarkan bagaimana ungah-unguhnya orang jawa walaupun sudah menjadi Prof tetap saja ungah-unguhnya dijunjung tinggi walaupun terkadang bersebrangan dengan wilayah akademisi.
Penelaahan ini akhirnya membawa pula penyusun pada ranah yang sangat filosofis, dimana masyarakat Jawa (yogya) dalam tata kehidupannya memiliki kerukunan yang tinggi, etika, yang selalu dijaga oleh masyarakat  dan institusi keraton.
2)    Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta (bukan “Jogjakarta” karena dalam ejaan dan makna sangat salah kaprah, yogya berarti pantas atau baik dan karta berarti sejahtera) yang berdiri pada berdiri pada tahun 1755 pada awalnya merupakan pecahan di bumi mataram antara Kesusnanan Suakarta dan Kesultanan Yogyakarta yang ditandai dengan perjanjian Giyanti pada abad 17 M, inilah embrio keraton Yogyakarta yang dibangun peratama kali oleh Sultan Agung pertama pada abad ke 15 M yang sekaligus masih memiliki keturunan dari kesultanan Demak, Pajang, majapahit, dan Singosari.  
Selanjutnya untuk memahami Keraton dan Raja yang ada didalamnya ada pola yang cukup signifikan untuk bisa memahaminya yaitu dengan teori “Model Penyingkapan” digagas oleh  Ian Ramesy yang dimulai pada awal 1960-an, ia memetakan seorang pemimpin dalam tiga anlisis kritis untuk bisa dipahami;
Pertama, model penelitian kesejarahan
    Dalam model pemahaman kesejarahan ini seorang tokoh coba diteliti dengan seksama melalui fakta kesejarahan yang ada yaitu mulai HB I sampai saat ini, namun dalam hal ini ada sebuah inklinasi yang mengarah pada konflik-konfik, karena seringkali adanya saling kalim sebuah kebenaran dalam melihat sejarah. sejarah menuliskan bahwa kerajaan Islam Mataram diperoleh dengan cara pemeberontakan terhadap kerajaan Pajang yang notabennya raja Pajang merupakan ayah angkatnya.  
Kedua, model dengan pendekatan keorganisasian
    Kerajaan, kesultanan ataupun kesunanan merupakan bentuk pemerintahan yang bersifat monarki yaitu dimana semua kebijakan dan pelaturan di bawah tangan seorang raja, dalam hal ini keraton Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan yang “dikawinkan” dengan negara RI atau dalam bahasa Sultan HB IX mengeluarkan amanat pada 5 April 1945 yang menyatakan “Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”, ini hingga hari ini pemerintahannya bersifat turun temurun yaitu jika ngarso dalem Sri Sultan HB X mangkat maka anak turunannyalah yang akan mengantikannya, namun permasalahan yang ada saat ini bagaimana denga HB X yang tidak memiliki keturunan anak laki-laki ini, apakah tatap pada anaknya atau pada saudara-saudaranya.
Ketiga, model dengan pendekatan konstitusi
    Pendekatan Konstitusi ini sebenarnya lebih cendrung melihat sebuah kerajaan atau seorang raja yang sangat berpengaruh dari sisi kebijakan dan undang-undang yang ada, menurut Ian ini sangat penting karena dalam kajian ilmiah sejati praduga-praduga yang saling tidak sejalan bisa diketemukan faktanya dengan kembali melihat konstitusi-konstitusi yang dibuatnya.
Keraton Yogyakarta sebagai institusi yang terus mempertahankan kebudayaan Jawanya memiliki peranan penting untuk selalu menjaga dan mengembangkan budaya yang ada dengan berbagai keunikan dan sekaligus kehasan di dalamnya, ada Raja, Permaisuri, Abdi dalem, juru kunci, dan tentang Abdi dalem ada sedikit ceita dari  Keraton Yogyakarta
a)    Seorang Abdi Dalem yang namanya Nurkholis ketika di tanya oleh wartawan yang berkunjung, sudah berapa lama jadi abdi dalem? lalu berapa gajih yang diterima setiap bulannya? namun dari pertanyaan itu jawabanya sungguh diluar dugaan, mengapa karena abdi dalem itu menjawab bahwa “saya sebagai manusia sebetulnya sayalah yang membutuhkan keraton bukan keraton yang membutuhkan saya, banyak sekali orang yang ingin menjadi abdi dalem namun ditolak dan masalah gajih itu tidak pernah saya pikirkan (keluarga dirumah cukup saja memelihara ayam) karena rizki Allah lah yang mengatur. dari ceita ini sesungguhnya ada makna yang terus melegenda yang menyelimuti Katon Yogyakarta dan semua itu tentunya coba diyakini oleh masyarakatnya.
b)    Juru Kunci JImatan, penyusun secara pribadi pernah berdialog pada juru kunci makam raja-raja di Jimatan Imogiri Bantul sebanyak 2 kali. pertama kali betemu saya sangat terkejut karena selain secara fisikli zuhud dan selain itu akrab sekali dengn para pengunjung, pertama saya disuruh menghitung anak tangga sebanyak 409 sebagi symbol menuju jalan Tuhan kedua, saya banyak mempertanyakan pengamdian serta situasi keraton yang ada. bagi beliau ini pengamdian pada keraton sebagi rakyat jelata akan dilakukan seumur hidupnya atau selagi masih bisa dan mampu akan terus dijalnkan karena itu adalah amanh dari kanjeng sultan yang sangat dimuliyakan.
c)    Juru Kunci gunung merapi dan pantai selatan (parangkusumo), juru kunci dalam hal ini memiliki perana ynag cukup penting yaitu sebagai penjaga sebanyak empat puluh lima. Dalam kitab-kitab Jawa dituturkan, juru kunci punya makna; jalmo sulaksono atau insan kamil, selanjutnya dalam kebudayaan dan kehidupan keraton Yogyakarta pada hakekatnaya terbangun sebuah mitologi yang diyakini oleh pihak keraton dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya. keyakinan seperti ini sebenarnya telah lama terbangun sejak keraton Yogyakarta ada dan akan hidup terus hingga kemungkinan keraton ini sudah tidak ada lagi, namun dilain tampat rakyat Yogyakarta akan turut menjaganya. secara simbolik (gunung merapi, tugu jogaja yang mempunyai garis lurus dengan keraton secara horizontal merupakan simbol hubungan hamba dengan sang Khaliqnya hamlum minnaullah, sedangkan laut kidul, panggung krapyak yang dibergaris lurus vertikal pula dengan keraton memiliki simbol sebagai hubungan dengan sesama manusia hamlum minannas).
d)    Masyarakat Jogja, Bpk. Parjimin, penyusun pernah bertanya kepada pak Parjimin, bagaiman sesungguhnya pososi Kertaon/Raja bagi masyarakat Yogyakarta, brliau menjawab kami ya akan manut dengan semua titah atu sabdonya kajeng Sultan akan tetapi Sultan HB X saat ini tidak  sesakti atau linuwih seperti sultan-sultan sebelumnya.
Gunung Merapi
     Penguasa Merapi sendiri mempunyai nama: Panembahan Eyang Prabu Sapujagad. Konon, dulunya seorang abdi dalem keraton. Karena memakan endoging jagad (telor dunia), ia lantas berubah jadi raksasa dan atas perintah Panembahan Senopati menetap di Merapi. Untuk mengurusi Merapi, Keraton Yogyakarta pun menciptakan juru kunci, yang saat ini di pegang oleh Mbah Maridjan, ingatan yang cukup segar yang terjadi pada tahun 2006 ketika itu Merapi mengalami kritis yang luar biasa lalu sultan selaku gubernur memerintahkan Mbah Maridjan untuk turun bersama masyarakat yang ada, namun anehnya beliau tidak mau dengan alasan perintah itu tidak atas nama Raja Keraton Yogyakarta akan tetapi perintah itu atas nama kepala daerah (Gubernur).  hal senada juga dilakukan oleh Prof. Darmajati Supandjar (Guru Besar Filsafat UGM dan salah satu penasehat spiritual keraton Yogyakarta), beliau mempunyai pendirian bahwa saya akan hormat kepada sultan atas nama raja bukan kepala daerah. ditilik dari sudut pandang politis sebetulnya ini merupakan cara sultan untuk menghegemoni masyarakatnya untuk melanggengkan dominasi kekuasaan Keraton Yogyakarta.
Laut Selatan atau Parangkusumo
         Cobalah sesekali melawatlah ke Pantai Parangkusumo Yogyakarta, di malam Jumat Kliwon, niscaya keramaian akan menyambut. Bak pasar malam. Ratusan orang peziarah, puluhan pedagang kaki lima, puluhan pekerja seks komersiil, serta semerbak bau dupa hilir-mudik di depan kita. Parangkusumo, bagi banyak orang-entah itu asli Jogja atau luar kota, punya "kekuatan". Di situs utamanya yang kerap diziarahi, terdapat dua buah batu. Satu besar menurut legenda ditempati oleh Panembahan Senopati dan satunya yang kecil di tempati oleh Ratu Kidul, Sebenarnya, kesan yang muncul dari mitos ini, adanya penyatuan dua keraton; keraton manusia dan keraton ghaib. Dari sinilah hegemoni Senopati atas rakyatnya dimulai. Atau meminjam asumsi Gramschi, ketika belum terbentuk kesadaran kritis individu (a concrete individual), individu-individu dengan mudah masuk dalam perangkap kekuasaan negara. apakah anda percaya? (gunakanlah pendekatan fenomenologi dalam kajian ritual keagamaan).
        Selain dominasi yang dibalut dengan apiknya kesultanan memiliki banyak falsafah hidup serta nilai-niali luhur seperti halnya  keraton di daerah lain di Indonesia, adalah ibarat mata-air yang tak pernah kering bagi kehidupan di sekitarnya. Namun di satau sisi, institusi kekuasaan dan kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai luhur yang menjadi panutan masyarakat itu, kini semakin terkikis modernisasi. seperti hubungan merapi-keraton dan laut selatan, Ratu Kidul (kenyataan atau hanya sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat Yogyakarta), Malam 1 Suro dengan melarung bunga (sesaji) di pantai parangkusumo, serat Centhini atau serat Centhini latin (yang melegenda dan agung) yang dimiliki oleh kahazanah sastra keraton.
Selain data yang ada di atas sesunguhnya masih banyak data lain yang belum terkafer sejara konferhensif untuk bisa memahami dinamika kerton Yogyakarta, lihat saja saat ini kagiatan yang sifatnya memepertahankan ciri khas budaya yang terus dilakukan hingga saat ini seperti Sekaten, Festifal Kesnian Nasional, dan lain sebaginya.
3)    Persepektif budaya untuk melihat relasi masyarakat dan keraton    
Budaya atau kebudayaan merupakan sebuah identitas yang dimiliki oleh setiap masyarakat yang ada, bentuk budaya ini secara konkrit menurut Dr. Yekti Maunati bisa berbentuk cara berpakaian, alat-alat khas, cara berinteraksi baik yang sifatnya oral atau tingkah laku. Dalam hal ini, Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan masyarakatnya memiliki hubungan yang sangat erat, keraton sebagai pihak yang dominan untuk membentuk sebuah budaya secara turun temurun dan dilakukan oleh rakyat atau masyarakatnya memiliki sisi ketergantungan diantara keduanya. seperti keterangan di atas masyarakat pada prinsipnya memiliki pola-pola kehidupan yang ketat, yang selalu dijaga dalam komunitasnya serta bersifat setagnan, akan tetapi masyarakat disisi lain bisa mengalami perubahan jika bersentuhan dengan budaya khususnya dalam hal ini yang dibawa oleh keraton.
Ekspolitasi Budaya
Realitas atas dominasi keraton ini menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Kekuasaan linuwih rajanya hingga juru kunci sang penjaga setianya. pertanyaannya selanjutnya apakah sosok seorang raja seperti ini bisa di jadikan seorang sosok paradigmatik dengan kelinuwihannya. Sebab, menurut pengakuan juru kunci, untuk jadi juru kunci tidaklah mudah. Pekerjaan itu akan dilakoni setelah magang bertahun-tahun dan yang terpenting, mendapatkan pulung (wahyu, restu dari langit). Dengan kata lain, juru kunci pun memerlukan kekutan supranatural untuk meciptakan pengaruhnya dalam masyarakat.
Disinilah proses reifikasi keraton atas masyarakatnya dengan cerdik berlangsung gemilang. Yakni, mencipta kesadaran palsu masyarakat atas "dunia baru" (kekuatan tak terhingga keraton) yang bermuara pada pemberhalaan, pemujaan. Padahal kondisi ini mengantarkan masyarakat pada keterasingan itu sendiri atau ini menunjukan sebuah kearifan lokal yang bersifat supanatural?
Tak heran, keyakinan masyarakat atas cerita yang melegenda dari kekuatan Parangkusumo dan Gunung Merapi, berbuah pada kepercayaan yaitu jika berdoa di kedua tempat ini-terutama Parangkusumo, niscaya permintaan bakalan terkabul. hal senada juga pernah di ungkapkan jauh-jauh waktu oleh Max Weber ahli (sosiologi masyarakat), ia mengatakan semua jalan magis atau mistagogis pertama kali digunakan untuk sebagai sepirit demi mengejar sesuatu yang ingin dicapai seperti ingin kaya, ingin kerjaannya langgeng, jodoh dan sampai ingin memiliki umur panjang. misteri-misteri Eleusien menjanjikan semua itu yang akhirnya masyarakat akan kembali pada agama-agama Phoenik dan Vedik yang pernah dilakukan oleh masyarakat China awal, Yahudi awal dan Islam awal.
Perubahan Sosial
Perubahan dalam konteks kekinian, renik budaya ini bermetamorfosis ke arah komodifikasi utiliti. Pergeseran ini menjadikan fungsi ritual melebar (atau kesakralan tempat lambat laun tidak hanya menjadi tempat pemujaan akan tetapi unsur ekonomi meliputinya pula). Ia tak terikat erat lagi pada ritual sakral yang berbasis spiritual, politik, dan kekuasaan. Tapi sebaliknya, ia jadi benda yang diperjualbelikan, dan terasing dari aura ritual itu sendiri. Seperti yang telah terpaparkan dalam awal tulisan ini, acara ritual di Parangkusumo telah kehilangan dimensi spiritualnya atau terreduksi, Sebab, keheningan yang jadi inspirasi orang jawa (khususnya) dalam semedi telah tercemari gelegak suara dangdut dari penjual vcd, teriakan penjual obat, hingga lirikan genit para pekerja seks komersil (PSK). Namun, sifat komoditas ini, tetaplah sama. Meminjam Marx, komoditas tetap mengandung fetisisme, yaitu pemujaan nilai gaib dari suatu benda yang bersifat ekonomis atau dalam bahasa Bryan, dalam memahami sosial agama atau keyakinan dalam masyarakat agama atau keyakina akan berubah sebagai perekat sosial dalam bentuk persaingan ekonomi. 
C. Kesimpulan
Akhirnya penyusun melihat relasi kehidupan masyarakat Yogyakarta dan Keraton dalam dua pola yaitu masyarakat tradisionalis-kosmis (hegemoni, mitologi, keyakinan supranatural,) dan moderenis-kirtis (akademis, empiris, aktual) dengan pola-pola pemetaan seperti ini satu sisi ada kalangan yang tetap memegang teguh budaya yang berubah menjadi sebuah keyakinan-kosmis dan ada pula yang cendrung mencoba membongkar kebudayaan yang ada dengan berbagai pendekatan yang sifatnya akademis.
Sebenarnya ada dua pendekatan untuk melihat masyarakat ketika bersentuhan dengan budaya yang berubah menjadi sebuah keyakinan yaitu dengan model penyingkapan dan model pemahaman. model penyingkapan  (Ian) ini melihat dan mengamati setiap orang yang datang ketempat-tempat yang sifatnya keramat dengan cara langsung berinteraksi, dan model pra pemahaman yaitu menimbulkan sebuah asumsi atau praduga bahwa setiap pengunjung yang datang ketempat tersebut akan melakukan pemujaan dan lain sebagainya dengan metode kuantitatif. dengan pemetaan di atas cukup besar harapan penyusun Yogyakarta yang memiliki berbagai brand tetap terjaga keamanannya, kedamaiannya dan juga keanekaragamannya.


Daftar Pustaka

Aedi, Ajar, Juru Kunci, Sang Pemelihara Kekuasaan, Kompas Keraton, Minggu, 5 Januari 2003.
Artha, Arwan Tuti, “Ejaan dan Gonjang-ganjing Yogyakarta”, Opini Kedaulatan Rakyat, Kamis 6 November 2008.
Attamam, Masduki. “Keraton yang tak Pernah Kering dengan Nilai-Nilai Luhur”, Antara news 12/03/07. akses internet 29 November 2008.
Bryan & Jurner, Agama dan Teori Sosial (Rangka Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar Ideologo-Ideologi Kontemporer), Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD, Tahun 2003.
Hartono, “Wisata Spritual” di makam raja-raja Surakarta-Yogyakarta Jimatan pada tanggal 29 Agustus 2007 dan 6 Oktober 2008.
Hartono, “Wisata Seperitual di Laut Pantai Selatan Parangkusumo” Penelitian ini penyusun lakukan pada hari selasa 2 Desember 2008.
Inandiak, Elizabeth D. “Bedah Buku dengan Judul Centhini Kekasih yang Tersembunyi” acara ini dilaksanakan oleh Komunitas LAIL di UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 12 November 2008.
Kareseno, Arief Ramelan. dari Yogyakarta untuk Indonesia (sebuah wacana kebijakan publik), Yogyakarta: INSPECT, Januari 2004
Marfuah, “Kearifan Budaya Lokal Bernuansa Agama” dalam Penamas (Jurnal Penelitian Agama dan Kemasyaakatan), Vol. xx No. 1. Th. 07. Departemen Agama Badan Litbang dan Diklat Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.
Martin, Richard C. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta: Muhammadiyah Univesity Press. Tahun 2002.
M. N. Salim,  Keistimewaan Yogyakarta dalam Tiga Buku (Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta  yang ditulis oleh Abdur Rozaki, Sutoro Eko dkk, dan diterbitkan oleh IRE Press Yogyakarta , Februari 2003. Buku kedua, Keistimewaan Jogja VS Demokratisasi ditulis oleh Heru Wahyukismoyo Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta  Buku ini diterbitkan oleh Center for Critical Social Studies bekerja sama dengan Forum Bulaksumur School of Thought, tahun 2002. ) dalam Majalah flamma.
Yekti Maunati, IDENTITAS DAYAK Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta: LKiS, Oktober 2006
Naif, Fauzan. Serat Centhini Latin, disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun Ke-29 tahun 2008 tanggal 18 Juni 2008.
Seminar Budaya, “Mengenang Sartono Kartodirdjo” dilaksanankan oleh Fakultas Buday UGM di UC UGM pada tanggal 14 Maret 2008, dengan pembicara Prof. Dr. A Safii Maarif, Drs. Suwantoro dan moderator Prof. Dr. Taufik Abdullah.
Sarasehan Budaya Nasional, menuju Kepemimpinan Nasional, dilaksanakan oleh PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan pembicara, Prof. Dr. Darmadjati Supandjar, Drs. Yudian Wahyudi. M. A. Ph. D, Wiranto SH. bertempat di Qualiti Hotel pada tanggal 17 Juli 2008.
Syamsuddin, Sahiron. Integrasi Hermeneutika hans Georg Gadamer kedalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Quran pada Masa Kontemporer, Dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh DitPertais DEPAG RI pada tanggal 26-30 November 2006 di Bandung.
Weber, Max. Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan (The Handbook of Sosiology) Yogyakarta; Pnerbit IRCiSoD, Tahun 2006
Lihat (Stuktur Kerajaan di tanah Jawa Raja-Raja Keraton Yogyakarta-Surakarta pada bagan di Makam Raja JIMATAN Imogii, Bantul).
http//google.co.id. Superkoran, kritis, pluralis, dan sekuler.”Abdidalem dalam Karton dan Borobudur Gayo”, akses 26 November 2008.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar