FENOMENOLOGI
HERMENEUTIK
Oleh: Bagus Takwin
Ditelaah oleh : Hartono (mahasiswa PPs. Ilmu Hukum/S3 UII)
Fenomenologi hermeneutik merupakan
sintesis dari beberapa metode hermeneutik dan metode fenomenologi (Ricoeur,
1985, 1991). Sambil mengkritik idealisme Husserl, Ricoeur
menunjukkan bahwa hermenutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi.
Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di
sisi lain, fenomenologi tidak dapat menjalankan programnya untuk memahami
berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap
pengalaman-pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu dibutuhkan
hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana
manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Menurut Ricoeur
(1985), sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutik
terlibat di sana .
Jadi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar
itu, Ricoeur mengembangkan metode fenomenologi hermeneutik.
Scott-Baumann (2003)
menilai metode yang dikembangkan oleh Ricoeur ini merupakan metode yang dapat
menyelesaikan pertentangan dilematis antara paradigma kuantitatif dan paradigma
kualitatif yang didasari oleh pertentangan epistemologis antara Explaining atau
Enklären (menjelaskan gejala untuk kemudian meramalkan dan
mengontrolnya) dan Understanding atau Verstehen (memahami
melalui penafsiran terhadap gejala) serta mempertemukan keduanya dalam satu
metode penelitian yang koheren dan konsisten.
Ricoeur (1985:43) mendefinisikan
hermeneutik sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi
terhadap teks. Menurutnya, apa yang diucapkan atau ditulis manusia mempunyai
makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda.
Karakteristik yang menyebabkan kata-kata memiliki makna lebih dari satu bila
digunakan dalam konteks-konteks yang berbeda oleh Ricoeur dinamakan ‘polisemi’.
Karakteristik inilah yang menjadikan hermeneutik diperlukan dalam memahami
manusia.
Meski secara esensial
Ricoeur beroperasi dengan masuk ke dalam orientasi pembaca dalam memahami teks,
ia merasa tidak nyaman dengan subjektivitas intrinsik yang diasosiasikan dengan
hermeneutik. Ia berusaha menemukan dasar objektivitas dalam memahami sebuah
teks sambil tetap mempertahankan keterbukaan penafsiran terhadap apa yang
diungkapkan teks itu.
“Hermeneutik kecurigaan”
yang dikemukakan Ricoeur mewakili usahanya untuk mempertahankan hermeneutik
sebagai sains dan seni. Menurut Ricoeur (1970), hermeneutik dihidupkan oleh dua
motivasi, kehendak untuk curiga dan kehendak menyimak; kesediaan untuk
menentang dan kesediaan untuk patuh. Dengan dasar itu, dalam konteks pemahaman
terhadap teks, yang pertama harus dilakukan adalah upaya menjauhi idola
(berhala) dengan cara menyadari secara kritis kemungkinan berbaurnya
harapan-harapan kita dalam memahami sebuah teks sehingga pemahaman terhadap
teks itu bukan berasal dari dalam diri kita sebagai pembaca. Kedua, diperlukan
kebutuhan untuk menyimak dalam keterbukaan terhadap lambang dan alur teks,
dengan demikian memungkinkan peristiwa-peristiwa kreatif terjadi di hadapan teks
dan berpengaruh terhadap kita.
Ricoeur mengkaji
permasalahan bahasa, penafsiran, subjektivitas, asal-usul kehendak dan tindakan
manusia. Ia banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Jerman (Husserl, Heidegger dan
Jaspers). Dalam pengaruh fenomenologi itu Ricoeur menyanggah pandangan beberapa
pemikiran tentang penafsiran fenomenologis (termasuk dari Dilthey) dengan insight
yang diperoleh dari strukturalisme dan psikoanalisis yag kebanyakan
diturunkan dari pemikir Perancis seperti Lévi-Strauss dan analisis struktural
naratif dari Greimas dan Barthes.
Dalam fenomenologi hermeneutik,
Ricoeur (1985) menekankan pentingnya pemahaman tentang distanciation
(pengambilan-jarak). Kembalinya hermeneutik kepada fenomenologi terjadi melalui
pengambilan-jarak. Setiap pemaknaan yang dilakukan oleh kesadaran melibatkan
saat pengambilan-jarak dari obyek yang diberi makna, pengambilan-jarak dari
pengalaman yang dihayati sambil tetap secara murni dan lugas tertuju kepadanya.
Fenomenologi mulai ketika kita memutus pengalaman yang dihayati dengan maksud
memberi arti kepadanya. Pengambilan jarak ini berhubungan erat dengan epoché,
mengheningkan dan menjauhkan prasangka dan referensi terdahulu yang
berkaitan dengan fenomen, namun epoché dalam pengertian non-idealis sebagai
aspek dari pergerakan intensional kesadaran terhadap makna. Epoché yang
bertujuan mendapatkan pemahaman langsung dari fenomen dan pengambilan-jarak
dengan intensi memberi makna merupakan dua hal yang saling terkait erat.
Hubungan epoché dan
pengambilan-jarak sangat jelas terlihat dalam bahasa (Ricoeur, 1985). Tanda
linguistik hanya dapat merujuk kepada hal yang bukan benda. Tanda itu merujuk
kepada konsep atau makna dari benda-benda. Jadi dalam tanda itu terkandung
negativitas tertentu, menidakkan obyek-obyek yang dihayati melalui pengalaman.
Dalam ranah linguistik, semuanya terjadi dalam pengandaian bahwa subyek yang
berbicara memiliki ‘ruang kosong’ tempat bermulanya penggunaan tanda, ruang
kosong yang memutus hubunganya dengan pengalaman yang dihayati dengan maksud untuk
memasuki semesta simbolik. Epoché adalah peristiwa virtual, tindakan
imajiner yang memulai seluruh permainan yang dengannya kita mempertukarkan
tanda dengan benda dan tanda dengan tanda-tanda yang lain. Fenomenologi dapat
dipahami sebagai penguatan eksplisit dari peristiwa virtual yang tampil sebagai
tindakan yang khas, sebagai gerak-gerik filosofis. Fenomenologi menjalin sifat
tematik dari apa yang tadinya hanya bersifat operatif, membuat makna tampil
sebagai makna. Hermeneutik memperluas gerak-gerik filosofis ini ke dalam ranah
historis dan secara lebih umum lagi ke dalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Pengalaman yang dihayati manusia yang melibatkan bahasa dan pemaknaan merupakan
rangkaian keterkaitan sejarah, diperantarai oleh penyebaran berbagai dokumen tertulis,
kerja, institusi, dan monumen yang menampilkan masa lalu di masa kini. Rasa
kepemilikan terhadap apa yang ada di masa lalu merupakan upaya untuk
mempertahankan pengalaman hidup historis. Dari sisi hermeneutik, dapat dipahami
bahwa pengalaman yang dihayati sebagai obyek dari fenomenologi korespon dengan
kesadaran yang ditujukan untuk mempertahankan kebergunaan historis. Dengan
demikian, pengambilan-jarak hermeneutis ditujukan terhadap rasa kepemilikan
masa lalu seperti juga yang ditujukan epoché terhadap pengalaman yang
dihayati. Hermeneutik bermula ketika kita memutus hubungan kepemilikan kita
dengan masa lalu agar dapat memaknainya. Hermeneutik dan fenomenologi sama-sama
memungkinkan subyek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan kepemilikannya
akan tradisi historis.
Fenomenologi dan hermeneutik juga
sama-sama memandang bahwa pemaknaan linguistik merupakan watak turunan dari
pengalaman yang dihayati. Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran yang selalu
tertuju kepada obyek menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis)
untuk memperoleh gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema).
Pembentukan gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan
linguistik yang memadai untuk melakukan pengartian, predikasi, hubungan
sintaktik dan sebagainya agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi
hermeneutik, penempatan linguistik sebagai kendaraan yang digunakan untuk
memahami analisis terhadap gambaran perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip
yang mendasari proses penafsiran.
Untuk menjelaskan ‘watak turunan’
turunan dari pemaknaan lingusitik, Ricoeur (1986) menggunakan analogi permainan
yang ia ambil dari pengalaman seni yang pada dasarnya bukan sesuatu yang
bersifat linguistik. Pengalaman seni terutama mengandung unsur permainan. Orang
terlibat dalam pengalaman seni sebagai pemain untuk mendapatkan efek main-main.
Di sisi lain, pengalaman seni merupakan pengalaman yang ditandai oleh kegiatan
memamerkan atau menampilkan pengalaman. Kegiatan memamerkan pengalaman itu tak
bisa tidak melibatkan medium linguistik. Pengalaman yang ditampilkan dipahami
oleh pemirsanya juga melalui medium linguistik. Jadi, di sini pun linguistik
merupakan turunan dari pengalaman yang dihayati subyek, baik sebagai penampil
maupun pemirsa.
Analogi permainan menjadi penting
dalam fenomelogi hermeneutik. Ricoeur (1985, 1991) memandang analogi permainan
sebagai salah satu bentuk pengambilan-jarak dalam fenomenologi hermeneutik.
Analogi permainan merujuk pada aktivitas membandingkan tindakan-tindakan dan
keyakinan-keyakinan manusia dengan permainan. Setiap permainan memiliki aturan
main yang ditentukan oleh pencipta atau para pemainnya. Dengan analogi
permainan dapat dipahami bahwa tindakan dan keyakinan manusia merupakan sebuah
kreasi manusia untuk menimbulkan efek-efek tertentu yang memuaskannya. Ada interes yang didorong
oleh kehendak manusia menunjukkan bahwa tindakan dan keyakinannya bukan sesuatu
yang didasarkan pada sesuatu yang mutlak dan tak dapat ditawar-tawar. Penerapan
analogi permainan dalam kegiatan penafsiran membawa penafsir untuk dapat
memperkaya teks yang ditafsirkan. Teks menjadi lebih lentur dalam arti pembaca
yang menafsirkannya dapat menghasilkan makna-makna baru dari kegiatan
membacanya.
Ricoeur juga menunjukkan kekerabatan
antara hermeneutik dan fenomenologi terlihat dalam penggunaan konsep Labenswelt
(dunia-kehidupan) dalam fenologi yang oleh hermeneutik dipahami sebagai
perbendaharaan makna, surplus kesadaran dalam pengalaman hidup yang
memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang kaya terhadap fenomena dalam
kehidupan manusia. Dengan konsep Labenswelt itu, dimungkinkan
pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa fenomenologi kepada hermeneutik
untuk memahami pengalaman historis. Dengan demikian, fenomenologi dan hermeneutik
merupakan dua hal yang tak terpisahkan dan selalu bersama-sama dalam upaya
memahami fenomena dan memahami manusia melalui ilmu-ilmu tentang manusia.
Persoalan yang biasanya dihadapi
hermeneutik konvensional yang menekankan pemahaman atau verstehen adalah
relativitas dari hasil penafsiran. Dengan hermeneutika pemahaman mendalam
terhadap sebuah gejala dapat dilakukan tetapi kepastian hasil penafsiran tak
dapat dijaga sebab subyektivitas penafsir terlibat dalam proses penafsiran.
Penafsiran yang dilakukan satu penafsir seringkali menghasilkan pemahaman yang
berbeda dari penafsir lainnya sebab tak ada metode yang baku dan pasti yang dapat digunakan untuk
menangkap makna yang sesungguhnya dari teks. Bagi Ricoeur, pendekatan in
terlalu subyektif sehingga tak dapat memberi masukan bagi epistemologi
positivistik dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Di sisi lain, pendekatan
penjelasan atau enklären yang
obyektif dan ilmiah mengandung persoalan kedangkalan dan reduksionistik.
Penjelasan yang dicapai oleh peneliti pasti dan obyektif tetapi hanya berkisar
tentang hal-hal dipermukaan. Pendekatan ini tidak mampu memahami obyek
penelitiannya secara mendalam dan menyeluruh, terutama dalam memahami manusia.
Ricoeur berambisi mempertemukan dan memadukan dua pendekatan ini dengan
fenomenologi hermeneutiknya agar dapat digunakan untuk menjelaskan dan memahami
berbagai fenomena yang menjadi kajian dalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Berangkat dari pemahaman tentang
pengambilan-jarak dan epoché, Ricoeur (1985, 1991) menjelaskan sintesisnya
atas pendekatan penjelasan dan pemahaman. Dengan fenomenologi hermeneutiknya,
Ricoeur (1991: 106) lalu mendefinisikan teks sebagai “...any discourse fixed
by writing.” Teks adalah diskursus
yang dimantapkan dalam bentuk tulisan. Diskursus diartikan sebagai peristiwa
bahasa atau penggunaan bahasa sebagai lawan dari sistem bahasa atau sistem kode
linguistik. Diskursus menunjukkan bahasa sebagai peristiwa, bukan sebagai
sistem. Satuan terkecil dari gramatika bahasa yang melandasi teks adalah kata
sedangkan satuan terkecil dari diskursus adalah kalimat. Teks merupakan hasil
pengambilan-jarak terhadap pengalaman yang dihayati dalam dunia. Dengan istilah
teks, Ricoeur juga merujuk kepada pengalaman dan tindakan manusia yang akan
ditafsirkan. Pengalaman dan tindakan manusia mengandung pemaknaan linguistik,
oleh karena itu keduanya merupakan diskursus. Pengambilan-jarak dan epoché mengindikasikan
adanya pemutusan hubungan antara pengalaman dan tindakan yang hendak dipahami
dengan dunia. Dengan kata lain, pengalaman dan tindakan sebagai diskursus di
sini dibekukan menjadi teks atau dalam bentuk-bentuk linguistik yang dapat
dibaca. Selain itu, merujuk pada definisi Weber (dalam Ricoeur, 1991) tentang
objek-objek ilmu humaniora yaitu perilaku yang diarahkan secara bermakna,
Ricoeur memadankan istilah ‘diarahkan secara bermakna’ dengan ‘karakter
keterbacaan’.
Ricoeur mengenakan sifat-sifat teks ke
dalam tindakan. Seperti halnya teks merupakan diskursus yang dibekukan,
tindakan juga pada awalnya adalah sebuah diskursus dalam arti peristiwa
tindakan yang terjadi dalam matra waktu, melibatkan aktor-aktor tertentu
(pelaku maupun yang terkena tindakan) dengan maksud-maksud tertentu pula.
Pemantapan tindakan menjadikan tindakan tak lagi hanya merujuk pada satu
peristiwa tertentu, dengan demikian tindakan pun terkena sifat-sifat teks.
Ricouer menjelaskan sifat-sifat itu sebagai berikut:
1)
Pemantapan
tindakan; tindakan bermakna baru menjadi objek ilmu melalui objektivikasi yang
oleh Ricoeur disejajarkan dengan pemantapan diskursus ke dalam tulisan. Makna
tindakan pun jadi berbeda dari peristiwa tindakan.
2)
Otonomisasi
tindakan; seperti makna teks yang lepas dari intensi penulisnya, makna tindakan
juga lepas dari intensi pelakunya. Otonomisasi ini menghasilkan matra sosial
dari tindakan yang menghasilkan objektivitas tindakan. Tindakan manusia
meninggalkan jejak pada sejarah berupa rekaman pada diri orang-orang. Sebagai
rekaman, tindakan itu sudah lepas dari intensi penulisnya. Makna tindakan tidak
lagi sama dengan intensi otentik si pelaku awal.
3)
Relevansi
dan kepentingan yang berubah; tindakan bermakna yang menjadi objek ilmu
pengetahuan sosial, tidak lagi mengacu pada relevansi situasi awal. Kepentingan
tindakan jadi keluar dari relevansi situasi awal, melampaui kondisi-kondisi
sosial yang melahirkan tindakan itu. Di sini terlihat, suatu tindakan yang
dimantapkan tidak hanya mencerminkan jamannya, namun membukakan suatu kenyataan
dan kemungkinan baru juga.
4)
Tindakan
manusia sebagai karya terbuka; pada akhirnya, tindakan manusia menyapa dalam
bentuknya yang objektif menyapa siapa saja yang ‘membacanya’. Tindakan manusia,
seperti juga teks, merupakan karya terbuka, menguakkan acuan-acuan baru serta
menanti penafsiran dan pemaknaan yang segar dari praxis aktual.
Setelah dimantapkan sebagai
teks, pengalaman dan tindakan manusia dapat menjadi terbuka untuk ditafsirkan
dan hasil penafsirannya mencakup makna obyektif dan makna subyekti. Makna
obyektif berbeda dengan makna subyektifnya tetapi keduanya saling melengkapi
dan memperkaya penafsiran. Pemahaman yang tepat tidak dapat dihasilkan hanya
dengan kembali pada intensi orang yang mengalami atau pembuat tindakan.
Konstruksi makna yang dilakukan harus berbentuk proses dialektika antara
pendugaan dan pengesahan. Rekonstruksi teks sebagai keseluruhan harus bersifat
daur ulang dalam arti makna keseluruhan harus tampak dalam bagian-bagiannya.
Sebaliknya, keseluruhan dibangun dari rincian-rinciannya. Di sini tak bisa
ditentukan secara gamblang patokan untuk menentukan bagian mana yang paling
penting dan mana yang tidak penting, mana yang hakiki, dan mana yang
artifisial. Keseluruhannya harus dipahami secara mendalam.
Dalam kegiatan pengesahan penafsiran,
prosedur yang digunakan lebih cenderung kepada logika probabilitas daripada
logika verifikasi empirik. Di sini yang dilihat adalah mana ‘yang lebih
mungkin’. Dengan kata lain, digunakan logika ketidakpastian dan logika
probabilitas kualitatif. Kontrol terhadap validitas adalah adanya persaingan
antar penafsir. Sebuah penafsiran yang mampu melewati persaingan bukan saja
harus mungkin, namun juga harus ‘lebih mungkin’ daripada kemungkinan yang lain.
Dalam penafsiran ini dituntut usaha pemahaman yang mendalam terhadap teks atau
tindakan. Pemahaman terjadi secara tidak langsung melalui prosedur penjelasan.
Pemahaman diperoleh lewat proses dinamis penjelasan yang berlangsung. Dengan
adanya proses penjelasan, pemahaman dihindarkan dari kecenderungan hanya
menangkap ‘hal-hal yang dirasa’ penafsir sebab penafsir di sini menceburkan
dirinya secara total pada proses penafsiran yang melibatkan penjelasan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar