Selasa, 16 Oktober 2012

FENOMENOLOGI HERMENEUTIK


FENOMENOLOGI HERMENEUTIK
Oleh: Bagus Takwin
Ditelaah oleh : Hartono (mahasiswa PPs. Ilmu Hukum/S3 UII)


Ada beragam metode fenomenologi yang telah dikembangkan oleh para ahli fenomenologi. Setiap metode memiliki karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan dengan fenomena dan permasalahan yang hendak diteliti (Kruger, 1979; Giorgi, 1995). Salah satunya adalah fenomenologi hermeneutik dari Paul Ricoeur (1985, 1986, 1991a, 1991b). Metode ini dalam literatur ilmu humaniora diakui sebagai metode penafsiran yang rigorous (ketat), dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang fenomena secara apa adanya, menyeluruh dan sistematik terutama dalam menjelaskan tentang identitas-diri tanpa mengabaikan aspek objektivitasnya (Smith, 1997; Scott-Baumann, 2003).
Fenomenologi hermeneutik merupakan sintesis dari beberapa metode hermeneutik dan metode fenomenologi (Ricoeur, 1985, 1991). Sambil mengkritik idealisme Husserl, Ricoeur menunjukkan bahwa hermenutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisi lain, fenomenologi tidak dapat menjalankan programnya untuk memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu dibutuhkan hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Menurut Ricoeur (1985), sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutik terlibat di sana. Jadi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur mengembangkan metode fenomenologi hermeneutik.
Scott-Baumann (2003) menilai metode yang dikembangkan oleh Ricoeur ini merupakan metode yang dapat menyelesaikan pertentangan dilematis antara paradigma kuantitatif dan paradigma kualitatif yang didasari oleh pertentangan epistemologis antara Explaining atau Enklären (menjelaskan gejala untuk kemudian meramalkan dan mengontrolnya) dan Understanding atau Verstehen (memahami melalui penafsiran terhadap gejala) serta mempertemukan keduanya dalam satu metode penelitian yang koheren dan konsisten.
Ricoeur (1985:43) mendefinisikan hermeneutik sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Menurutnya, apa yang diucapkan atau ditulis manusia mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Karakteristik yang menyebabkan kata-kata memiliki makna lebih dari satu bila digunakan dalam konteks-konteks yang berbeda oleh Ricoeur dinamakan ‘polisemi’. Karakteristik inilah yang menjadikan hermeneutik diperlukan dalam memahami manusia.
Meski secara esensial Ricoeur beroperasi dengan masuk ke dalam orientasi pembaca dalam memahami teks, ia merasa tidak nyaman dengan subjektivitas intrinsik yang diasosiasikan dengan hermeneutik. Ia berusaha menemukan dasar objektivitas dalam memahami sebuah teks sambil tetap mempertahankan keterbukaan penafsiran terhadap apa yang diungkapkan teks itu.
“Hermeneutik kecurigaan” yang dikemukakan Ricoeur mewakili usahanya untuk mempertahankan hermeneutik sebagai sains dan seni. Menurut Ricoeur (1970), hermeneutik dihidupkan oleh dua motivasi, kehendak untuk curiga dan kehendak menyimak; kesediaan untuk menentang dan kesediaan untuk patuh. Dengan dasar itu, dalam konteks pemahaman terhadap teks, yang pertama harus dilakukan adalah upaya menjauhi idola (berhala) dengan cara menyadari secara kritis kemungkinan berbaurnya harapan-harapan kita dalam memahami sebuah teks sehingga pemahaman terhadap teks itu bukan berasal dari dalam diri kita sebagai pembaca. Kedua, diperlukan kebutuhan untuk menyimak dalam keterbukaan terhadap lambang dan alur teks, dengan demikian memungkinkan peristiwa-peristiwa kreatif terjadi di hadapan teks dan berpengaruh terhadap kita.
Ricoeur mengkaji permasalahan bahasa, penafsiran, subjektivitas, asal-usul kehendak dan tindakan manusia. Ia banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Jerman (Husserl, Heidegger dan Jaspers). Dalam pengaruh fenomenologi itu Ricoeur menyanggah pandangan beberapa pemikiran tentang penafsiran fenomenologis (termasuk dari Dilthey) dengan insight yang diperoleh dari strukturalisme dan psikoanalisis yag kebanyakan diturunkan dari pemikir Perancis seperti Lévi-Strauss dan analisis struktural naratif dari Greimas dan Barthes.
Dalam fenomenologi hermeneutik, Ricoeur (1985) menekankan pentingnya pemahaman tentang distanciation (pengambilan-jarak). Kembalinya hermeneutik kepada fenomenologi terjadi melalui pengambilan-jarak. Setiap pemaknaan yang dilakukan oleh kesadaran melibatkan saat pengambilan-jarak dari obyek yang diberi makna, pengambilan-jarak dari pengalaman yang dihayati sambil tetap secara murni dan lugas tertuju kepadanya. Fenomenologi mulai ketika kita memutus pengalaman yang dihayati dengan maksud memberi arti kepadanya. Pengambilan jarak ini berhubungan erat dengan epoché, mengheningkan dan menjauhkan prasangka dan referensi terdahulu yang berkaitan dengan fenomen, namun epoché dalam pengertian non-idealis sebagai aspek dari pergerakan intensional kesadaran terhadap makna. Epoché yang bertujuan mendapatkan pemahaman langsung dari fenomen dan pengambilan-jarak dengan intensi memberi makna merupakan dua hal yang saling terkait erat.
Hubungan epoché dan pengambilan-jarak sangat jelas terlihat dalam bahasa (Ricoeur, 1985). Tanda linguistik hanya dapat merujuk kepada hal yang bukan benda. Tanda itu merujuk kepada konsep atau makna dari benda-benda. Jadi dalam tanda itu terkandung negativitas tertentu, menidakkan obyek-obyek yang dihayati melalui pengalaman. Dalam ranah linguistik, semuanya terjadi dalam pengandaian bahwa subyek yang berbicara memiliki ‘ruang kosong’ tempat bermulanya penggunaan tanda, ruang kosong yang memutus hubunganya dengan pengalaman yang dihayati dengan maksud untuk memasuki semesta simbolik. Epoché adalah peristiwa virtual, tindakan imajiner yang memulai seluruh permainan yang dengannya kita mempertukarkan tanda dengan benda dan tanda dengan tanda-tanda yang lain. Fenomenologi dapat dipahami sebagai penguatan eksplisit dari peristiwa virtual yang tampil sebagai tindakan yang khas, sebagai gerak-gerik filosofis. Fenomenologi menjalin sifat tematik dari apa yang tadinya hanya bersifat operatif, membuat makna tampil sebagai makna. Hermeneutik memperluas gerak-gerik filosofis ini ke dalam ranah historis dan secara lebih umum lagi ke dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Pengalaman yang dihayati manusia yang melibatkan bahasa dan pemaknaan merupakan rangkaian keterkaitan sejarah, diperantarai oleh penyebaran berbagai dokumen tertulis, kerja, institusi, dan monumen yang menampilkan masa lalu di masa kini. Rasa kepemilikan terhadap apa yang ada di masa lalu merupakan upaya untuk mempertahankan pengalaman hidup historis. Dari sisi hermeneutik, dapat dipahami bahwa pengalaman yang dihayati sebagai obyek dari fenomenologi korespon dengan kesadaran yang ditujukan untuk mempertahankan kebergunaan historis. Dengan demikian, pengambilan-jarak hermeneutis ditujukan terhadap rasa kepemilikan masa lalu seperti juga yang ditujukan epoché terhadap pengalaman yang dihayati. Hermeneutik bermula ketika kita memutus hubungan kepemilikan kita dengan masa lalu agar dapat memaknainya. Hermeneutik dan fenomenologi sama-sama memungkinkan subyek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan kepemilikannya akan tradisi historis.
Fenomenologi dan hermeneutik juga sama-sama memandang bahwa pemaknaan linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati. Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada obyek menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema). Pembentukan gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan linguistik yang memadai untuk melakukan pengartian, predikasi, hubungan sintaktik dan sebagainya agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik, penempatan linguistik sebagai kendaraan yang digunakan untuk memahami analisis terhadap gambaran perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip yang mendasari proses penafsiran.
Untuk menjelaskan ‘watak turunan’ turunan dari pemaknaan lingusitik, Ricoeur (1986) menggunakan analogi permainan yang ia ambil dari pengalaman seni yang pada dasarnya bukan sesuatu yang bersifat linguistik. Pengalaman seni terutama mengandung unsur permainan. Orang terlibat dalam pengalaman seni sebagai pemain untuk mendapatkan efek main-main. Di sisi lain, pengalaman seni merupakan pengalaman yang ditandai oleh kegiatan memamerkan atau menampilkan pengalaman. Kegiatan memamerkan pengalaman itu tak bisa tidak melibatkan medium linguistik. Pengalaman yang ditampilkan dipahami oleh pemirsanya juga melalui medium linguistik. Jadi, di sini pun linguistik merupakan turunan dari pengalaman yang dihayati subyek, baik sebagai penampil maupun pemirsa.
Analogi permainan menjadi penting dalam fenomelogi hermeneutik. Ricoeur (1985, 1991) memandang analogi permainan sebagai salah satu bentuk pengambilan-jarak dalam fenomenologi hermeneutik. Analogi permainan merujuk pada aktivitas membandingkan tindakan-tindakan dan keyakinan-keyakinan manusia dengan permainan. Setiap permainan memiliki aturan main yang ditentukan oleh pencipta atau para pemainnya. Dengan analogi permainan dapat dipahami bahwa tindakan dan keyakinan manusia merupakan sebuah kreasi manusia untuk menimbulkan efek-efek tertentu yang memuaskannya. Ada interes yang didorong oleh kehendak manusia menunjukkan bahwa tindakan dan keyakinannya bukan sesuatu yang didasarkan pada sesuatu yang mutlak dan tak dapat ditawar-tawar. Penerapan analogi permainan dalam kegiatan penafsiran membawa penafsir untuk dapat memperkaya teks yang ditafsirkan. Teks menjadi lebih lentur dalam arti pembaca yang menafsirkannya dapat menghasilkan makna-makna baru dari kegiatan membacanya.
Ricoeur juga menunjukkan kekerabatan antara hermeneutik dan fenomenologi terlihat dalam penggunaan konsep Labenswelt (dunia-kehidupan) dalam fenologi yang oleh hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna, surplus kesadaran dalam pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang kaya terhadap fenomena dalam kehidupan manusia. Dengan konsep Labenswelt itu, dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa fenomenologi kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman historis. Dengan demikian, fenomenologi dan hermeneutik merupakan dua hal yang tak terpisahkan dan selalu bersama-sama dalam upaya memahami fenomena dan memahami manusia melalui ilmu-ilmu tentang manusia.
Persoalan yang biasanya dihadapi hermeneutik konvensional yang menekankan pemahaman atau verstehen adalah relativitas dari hasil penafsiran. Dengan hermeneutika pemahaman mendalam terhadap sebuah gejala dapat dilakukan tetapi kepastian hasil penafsiran tak dapat dijaga sebab subyektivitas penafsir terlibat dalam proses penafsiran. Penafsiran yang dilakukan satu penafsir seringkali menghasilkan pemahaman yang berbeda dari penafsir lainnya sebab tak ada metode yang baku dan pasti yang dapat digunakan untuk menangkap makna yang sesungguhnya dari teks. Bagi Ricoeur, pendekatan in terlalu subyektif sehingga tak dapat memberi masukan bagi epistemologi positivistik dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Di sisi lain, pendekatan penjelasan atau enklären yang obyektif dan ilmiah mengandung persoalan kedangkalan dan reduksionistik. Penjelasan yang dicapai oleh peneliti pasti dan obyektif tetapi hanya berkisar tentang hal-hal dipermukaan. Pendekatan ini tidak mampu memahami obyek penelitiannya secara mendalam dan menyeluruh, terutama dalam memahami manusia. Ricoeur berambisi mempertemukan dan memadukan dua pendekatan ini dengan fenomenologi hermeneutiknya agar dapat digunakan untuk menjelaskan dan memahami berbagai fenomena yang menjadi kajian dalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Berangkat dari pemahaman tentang pengambilan-jarak dan epoché, Ricoeur (1985, 1991) menjelaskan sintesisnya atas pendekatan penjelasan dan pemahaman. Dengan fenomenologi hermeneutiknya, Ricoeur (1991: 106) lalu mendefinisikan teks sebagai “...any discourse fixed by writing. Teks adalah diskursus yang dimantapkan dalam bentuk tulisan. Diskursus diartikan sebagai peristiwa bahasa atau penggunaan bahasa sebagai lawan dari sistem bahasa atau sistem kode linguistik. Diskursus menunjukkan bahasa sebagai peristiwa, bukan sebagai sistem. Satuan terkecil dari gramatika bahasa yang melandasi teks adalah kata sedangkan satuan terkecil dari diskursus adalah kalimat. Teks merupakan hasil pengambilan-jarak terhadap pengalaman yang dihayati dalam dunia. Dengan istilah teks, Ricoeur juga merujuk kepada pengalaman dan tindakan manusia yang akan ditafsirkan. Pengalaman dan tindakan manusia mengandung pemaknaan linguistik, oleh karena itu keduanya merupakan diskursus. Pengambilan-jarak dan epoché mengindikasikan adanya pemutusan hubungan antara pengalaman dan tindakan yang hendak dipahami dengan dunia. Dengan kata lain, pengalaman dan tindakan sebagai diskursus di sini dibekukan menjadi teks atau dalam bentuk-bentuk linguistik yang dapat dibaca. Selain itu, merujuk pada definisi Weber (dalam Ricoeur, 1991) tentang objek-objek ilmu humaniora yaitu perilaku yang diarahkan secara bermakna, Ricoeur memadankan istilah ‘diarahkan secara bermakna’ dengan ‘karakter keterbacaan’.
Ricoeur mengenakan sifat-sifat teks ke dalam tindakan. Seperti halnya teks merupakan diskursus yang dibekukan, tindakan juga pada awalnya adalah sebuah diskursus dalam arti peristiwa tindakan yang terjadi dalam matra waktu, melibatkan aktor-aktor tertentu (pelaku maupun yang terkena tindakan) dengan maksud-maksud tertentu pula. Pemantapan tindakan menjadikan tindakan tak lagi hanya merujuk pada satu peristiwa tertentu, dengan demikian tindakan pun terkena sifat-sifat teks. Ricouer menjelaskan sifat-sifat itu sebagai berikut:
1)           Pemantapan tindakan; tindakan bermakna baru menjadi objek ilmu melalui objektivikasi yang oleh Ricoeur disejajarkan dengan pemantapan diskursus ke dalam tulisan. Makna tindakan pun jadi berbeda dari peristiwa tindakan.
2)           Otonomisasi tindakan; seperti makna teks yang lepas dari intensi penulisnya, makna tindakan juga lepas dari intensi pelakunya. Otonomisasi ini menghasilkan matra sosial dari tindakan yang menghasilkan objektivitas tindakan. Tindakan manusia meninggalkan jejak pada sejarah berupa rekaman pada diri orang-orang. Sebagai rekaman, tindakan itu sudah lepas dari intensi penulisnya. Makna tindakan tidak lagi sama dengan intensi otentik si pelaku awal.
3)           Relevansi dan kepentingan yang berubah; tindakan bermakna yang menjadi objek ilmu pengetahuan sosial, tidak lagi mengacu pada relevansi situasi awal. Kepentingan tindakan jadi keluar dari relevansi situasi awal, melampaui kondisi-kondisi sosial yang melahirkan tindakan itu. Di sini terlihat, suatu tindakan yang dimantapkan tidak hanya mencerminkan jamannya, namun membukakan suatu kenyataan dan kemungkinan baru juga.
4)           Tindakan manusia sebagai karya terbuka; pada akhirnya, tindakan manusia menyapa dalam bentuknya yang objektif menyapa siapa saja yang ‘membacanya’. Tindakan manusia, seperti juga teks, merupakan karya terbuka, menguakkan acuan-acuan baru serta menanti penafsiran dan pemaknaan yang segar dari praxis aktual.
Setelah dimantapkan sebagai teks, pengalaman dan tindakan manusia dapat menjadi terbuka untuk ditafsirkan dan hasil penafsirannya mencakup makna obyektif dan makna subyekti. Makna obyektif berbeda dengan makna subyektifnya tetapi keduanya saling melengkapi dan memperkaya penafsiran. Pemahaman yang tepat tidak dapat dihasilkan hanya dengan kembali pada intensi orang yang mengalami atau pembuat tindakan. Konstruksi makna yang dilakukan harus berbentuk proses dialektika antara pendugaan dan pengesahan. Rekonstruksi teks sebagai keseluruhan harus bersifat daur ulang dalam arti makna keseluruhan harus tampak dalam bagian-bagiannya. Sebaliknya, keseluruhan dibangun dari rincian-rinciannya. Di sini tak bisa ditentukan secara gamblang patokan untuk menentukan bagian mana yang paling penting dan mana yang tidak penting, mana yang hakiki, dan mana yang artifisial. Keseluruhannya harus dipahami secara mendalam.
Dalam kegiatan pengesahan penafsiran, prosedur yang digunakan lebih cenderung kepada logika probabilitas daripada logika verifikasi empirik. Di sini yang dilihat adalah mana ‘yang lebih mungkin’. Dengan kata lain, digunakan logika ketidakpastian dan logika probabilitas kualitatif. Kontrol terhadap validitas adalah adanya persaingan antar penafsir. Sebuah penafsiran yang mampu melewati persaingan bukan saja harus mungkin, namun juga harus ‘lebih mungkin’ daripada kemungkinan yang lain. Dalam penafsiran ini dituntut usaha pemahaman yang mendalam terhadap teks atau tindakan. Pemahaman terjadi secara tidak langsung melalui prosedur penjelasan. Pemahaman diperoleh lewat proses dinamis penjelasan yang berlangsung. Dengan adanya proses penjelasan, pemahaman dihindarkan dari kecenderungan hanya menangkap ‘hal-hal yang dirasa’ penafsir sebab penafsir di sini menceburkan dirinya secara total pada proses penafsiran yang melibatkan penjelasan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar