Selasa, 16 Oktober 2012

PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA DALAM PENELITIAN


PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA
DALAM PENELITIAN
Ditelaah oleh : Hartono (Mahasiswa Ilmu Hukum/S3 UII)


Berikut ini akan dijelaskan pengertian paradigma menurut beberapa ahli, paradigma dalam penelitian kuantitatif dan, berbagai macam paradigma penelitian kualitatif, serta serta prinsip-prinsip implementasinya dalam dua macam penelitian tersebut.

1.      PENGERTIAN PARADIGMA

Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.” Pengertian tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis. Secara singkat, Denzin & Lincoln (1994:107) mendefinisikan “Paradigm as Basic Belief Systems Based on Ontological, Epistomological, and Methodological Assumptions.” Paradigma merupakan sistem keyakinan dasar berdasarkan asumsi ontologis, epistomologis, dan metodologi. Denzin & Lincoln (1994:107) menyatakan: “A paradigm may be viewed as a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principle.” Suatu paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat kepercayaan dasar (atau yang berada di balik fisik yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau prinsip utama. Sedangkan Guba (1990:18) menyatakan suatu paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi. Selanjutnya dijelaskan:
a.       Ontological: What is the nature of the “knowable?” or what is the nature of reality? Ontologi: Apakah hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui? Atau apakah hakikat dari realitas? Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi mempertanyakan hakikat suatu fenomena.
b.      Epistomological: What is the nature of the relationship between the knower (the inquirer) and the known (or knowable)? Epistomologi: Apakah hakikat hubungan antara yang ingin mengetahui (peneliti) dengan apa yang dapat diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau lebih konkret lagi epistomologi mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi atau dapat terjadi?
c.       Methodological: How should the inquirer go about finding out knowledge? Metodologi: Bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan? Secara lebih sederhana dapat dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi metodologi mempertanyakan cara atau metoda apa yang digunakan oleh peneliti untuk menemukan pengetahuan?

Sedang Denzin & Lincoln (1994:108) menjelaskan ontologi, epistomologi, dan metodologi sebagai berikut:
        The ontological question: What is the form and nature of reality and, therefore, what is there that can be known about it? Pertanyaan ontologi: “Apakah bentuk dan hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat diketahui tentangnya?”
        The epistomological question: What is the nature of the relationship between the knower or would be-knower and what can be known? Pertanyaan epistomologi: “Apakah hakikat hubungan antara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dan apa yang dapat diketahui.”
        The methodological question: How can the inquirer (would-be knower) go about finding out whatever he or she believes can be known. Pertanyaan metodologi: “Bagaimana cara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dapat menemukan sesuatu yang diyakini dapat diketahui.”

Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan bahwa pandangan Guba dan pandangan Denzin & Lincoln tentang ontologi, epistomologi serta metodologi pada dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu pandangan Guba (1990) dan Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma adalah sistem keyakinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi, dan metodologi atau dengan kata lain paradigma adalah sistem keyakinan dasar sebagai landasan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara peneliti mengetahui realitas.
Sedang Salim (2001:33), yang mengacu pandangan Guba (1990), Denzin & Lincoln (1994) menyimpulkan paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Atau seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang digunakan untuk mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
Dalam komunitas Sosiologi, definisi paradigma yang banyak digunakan mengacu pada definisi dari George Ritzer. Menurut Ritzer dalam buku: Sociology A Multiple Paradigm Science (1975): paradigma merupakan gambaran fundamental tentang pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer, 1975 dalam Lawang, 1998:2).
Catatan: eksemplar adalah contoh atau model penelitian yang secara konsisten (kurang lebih) memperlihatkan hubungan antara gambaran fundamental tentang pokok permasalahan, teori, dan metode yang digunakan (Lawang, 1999:4).
Gambar 14 : George Ritzer

Menurut pendapat penulis, definisi paradigma yang dikemukakan Ritzer tersebut mengandung tiga asumsi yaitu ontologi, epistomologi, dan metodologi. Ini dapat dilihat dari pernyataan: “paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari (asumsi ontologi), pertanyaan apa yang harus dikemukakan (asumsi epistomologi), bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh (asumsi metodologi). Dengan demikian definisi paradigma Ritzer mengandung tiga asumsi mendasar yang sama dengan definisi paradigma dari Guba, Denzin & Lincoln, yaitu asumsi ontologi, epistomologi, dan metodologi.
Menurut Creswell (1994: 6), paradigma merupakan landasan untuk mencari jawaban atas lima pertanyaan mendasar, yaitu ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi. Aksiologi adalah jawaban atas pertanyaan apa peranan nilai, sedang retorika adalah jawaban atas pertanyaan apa bahasa yang digunakan dalam penelitian.
Dari semua uraian di atas dapatlah dikemukakan bagaimana seseorang mengembangkan dan menggunakan suatu paradigma ilmu pengetahuan dengan melihat cara pandang yang digunakan dalam menjawab lima pertanyaan mendasar, yaitu: ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi. Oleh karena itu, uraian selanjutnya akan dikemukakan prinsip-prinsip implementasi, dimensi-dimensi paradigma dalam penelitian kuantitatif dan dalam penelitian kualitatif.

2.      PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASI PARADIGMA DALAM PENELITIAN

Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari setiap jenis penelitian tersebut dan bagaimana implementasinya, akan diuraikan terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif.
Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln, Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif
Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif sebagai berikut:

a)      Penelitian Kuantitatif
Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta sosial untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat hubungan antara variabel-variabel dianalisa dengan menggunakan teori yang objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif adalah gejala-gejala, sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam penelitian kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan (Suparlan, 1994:6-7).

b)      Penelitian Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif, sehingga pendekatan kualitatif tidak relevan (Suparlan, 1994:6-7).
Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan yang fundamental antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Agar terdapat gambaran yang lebih rinci perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif akan dikemukakan pandangan Cresswell (1994), Denzin & Lincoln (1994), Guba & Lincoln (1994), dan Moustyan (1995) (dalam Neuman, 1997:14) sebagai berikut.

Quantitative Style (Model Kuantitatif)
a.      Measure objective facts (mengukur fakta yang objektif)
b.      Focus on variables (terfokus pada variabel-variabel)
c.       Reliability is key (reliabilitas merupakan kunci)
d.      Value free (bersifat bebas nilai)
e.       Independent of context (tidak tergantung pada konteks)
f.        Many cases subjects (terdiri atas kasus atau subjek yang banyak)
g.      Statistical analysis (menggunakan analisis statistik)
h.      Researcher is detached (peneliti tidak terlibat)

Qualitative Style (Model Kualitatif)
a.      Construct social reality, cultural meaning (mengonstruksi realitas sosial, makna budaya)
b.      Focus on interactive processes, events (berfokus pada proses interpretasi dan peristiwa-peristiwa)
c.       Authenticity is key (keaslian merupakan kunci)
d.      Values are present and explicit (nilai hadir dan nyata / tidak bebas nilai)
e.       Situationally constrained (terikat pada situasi / terikat pada konteks)
f.        Few cases subjects (terdiri atas beberapa kasus atau subjek)
g.      Thematic analysis (bersifat analisis tematik)
h.      Researcher is involved (peneliti terlibat)





Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif

a.      Mengukur fakta yang objektif
Setiap fakta atau fenomena yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan variabel (hal-hal yang pokok dalam suatu masalah) untuk mendapatkan objektivitas, variabel tersebut harus diukur. Misalnya untuk mengetahui kualitas atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan suatu perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang disusun berdasarkan komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian yang dalam hal ini motivasi kerja karyawan.

b.      Terfokus pada variabel-variabel
Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel atau hal-hal pokok yang terdapat dalam suatu masalah/gejala/fenomena. Penentuan variabel-variabel tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu gejala yang terjadi merupakan akibat dari gejala yang lain atau karena adanya hubungan atau pengaruh gejala lain. Di sini terjadi cara berpikir nomotetik. Misalnya dalam suatu perusahaan terjadi gejala penurunan produktivitas kerja karyawan. Selanjutnya dilakukan pengkajian secara teoritis faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas kerja tersebut. Misalnya secara teori ditemukan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor motivasi kerja dan kepemimpinan manajer. Kemudian pengaruh atau hubungan dari data hasil pengukuran masing-masing variabel diuji secara statistik apakah benar variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer mempunyai pengaruh atau mempunyai hubungan dengan variabel produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh atau hubungan tersebut signifikan atau dapat dipercaya (mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi). Apabila hasil analisis statistik menyatakan variabel-variabel tersebut mempunyai pengaruh atau hubungan secara signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan motivasi kerja dan kepemimpinan manajer.
Catatan: Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu variabel pada variabel lain berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau beberapa variabel. Analisis statistik untuk mengukur pengaruh suatu variabel pada variabel yang lain di antaranya menggunakan analisis statistik multiple regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan suatu variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik correlation (korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi product-moment) dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.

c.       Reliabilitas merupakan kunci
Reliabilitas atau keajegan suatu tes atau kuesioner mempunyai arti bahwa tes atau kuesioner tersebut menghasilkan skor yang relatif sama walaupun dilakukan pada waktu yang berbeda. Suatu alat ukur atau instrumen penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila memiliki reliabilitas yang tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh karena itu, reliabilitas merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena apabila alat ukur atau instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka akan berdampak hasil penelitian akurat. Di samping alat ukur harus reliabel dipersyaratkan pula harus valid (sahih) atau memiliki validitas (kesahihan). Suatu instrumen penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Catatan: Uji statistik untuk mengukur reliabilitas diantaranya adalah Analisis Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20). Sedangkan uji statistik untuk mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan mengorelasikan skor setiap item dengan skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor item yang dikorelasikan).

d.      Bebas nilai
Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak dikaitkan dengan budaya atau nilai-nilai budaya masyarakat yang melatarbelakangi fenomena tersebut. Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap fenomena tidak diperhitungkan atau tidak diperhatikan. Sebagai contoh salah satu komponen dari konsep diri adalah kelebihan dan kelemahan pada diri individu. Dalam budaya Barat seorang individu untuk menyatakan kelebihan dan kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah. Seorang individu untuk dapat dikatakan memiliki konsep diri yang positif, individu tersebut dapat menyatakan kelemahan dan kelebihannya di samping memiliki kriteria-kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada budaya Timur perilaku yang demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam penelitian kuantitatif pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena menurut paradigma yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian kuantitatif, kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku umum.

e.       Tidak tergantung pada konteks
Suatu fenomena terkait dengan konteks artinya terkait dengan situasi atau lingkungan yang menyertai fenomena tersebut. Fenomena yang sama, konteksnya dapat berbeda. Misalnya fenomena aktualisasi diri atau kebutuhan untuk mewujudkan kemampuan dirinya (Teori Motivasi Abraham Maslow) bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan orang-orang pedesaan. Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang pedesaan yang tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang Jakarta dimanifestasikan dalam kemampuan teknologi, teknologi informasi, bahasa asing, manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan di lereng gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman Kalimantan atau di pedalaman Papua dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau bercocok tanam, memelihara binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai seni lokal atau seni daerah setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung konteks dari fenomena yang diteliti.

























Gambar 15 : Abraham Maslow

f.        Terdiri dari kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak
Dalam penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak. Hal ini bertujuan agar dapat digeneralisasikan atau dapat diberlakukan secara umum. Untuk itu terdapat terminologi populasi, sampel, dan technique sampling (teknik menentukan sampel). Populasi adalah seluruh atau jumlah individu dari suatu wilayah atau organisasi atau instansi atau perusahaan yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili populasi, oleh karena itu sampel harus representatif (harus dapat mewakili) artinya sampel harus dapat menggambarkan keadaan populasi. Terdapat beberapa teknik sampling (cara pengambilan sampel), di antaranya: total sampling, yaitu apabila seluruh individu atau seluruh anggota populasi dijadikan sampel; stratified random sampling, yaitu apabila setiap strata/tingkat/bagian ada wakil yang dijadikan sampel dan dilakukan secara acak (random); purposive sampling, yaitu apabila individu yang dijadikan sampel memiliki persyaratan tertentu sesuai tujuan penelitian; accidental sampling, yaitu individu yang dijadikan sampel adalah individu yang dapat ditemui; dan lain-lain. Dengan adanya sampel yang representatif terhadap populasinya, maka penelitian cukup dilakukan terhadap sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel tersebut dapat digeneralisir artinya dapat menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan pada sampel, tetapi sudah dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.

g.      Menggunakan analisis statistik
Dalam penelitian kuantitatif digunakan analisis statistik bertujuan agar dapat mendeskripsikan secara akurat suatu fenomena (erklaren). Sedangkan dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan analisis statistik karena tujuannya tidak akan mendeskripsikan suatu fenomena tetapi mencari makna guna mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen). Terdapat beberapa macam teknik analisis statistik, misalnya sebagaimana telah diuraikan di depan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-moment dari Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan analisis statistik multiple regression. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain digunakan rumus t-test. Dalam penelitian kuantitatif digunakan istilah-istilah yang spesifik dan tidak digunakan dalam penelitian kualitatif, misalnya variabel, validitas, reliabilitas, hipotesis, signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan untuk menggambarkan apabila hubungan, perbedaan, pengaruh antara suatu variabel dengan variabel yang lain mempunyai makna, untuk itu kemungkinan salah perhitungannya dibatasi maksimal 5%, atau dengan simbol statistik p < 0.05. Suatu hubungan atau perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu dengan variabel yang lain apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama atau lebih kecil dari 5%) dinyatakan signifikan atau bermakna.

h.      Peneliti tidak memihak
Dalam penelitian kuantitatif peneliti tidak memihak, artinya peneliti menghindari subjektivitas dari subjek yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif peneliti justru berusaha mengetahui persepsi subjektif dari subjek yang diteliti. Hasil penelitian kualitatif merupakan hasil analisis persepsi subjektif dari subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Sedangkan dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh mungkin mengeleminir subjektivitas dari subjek yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian kuantitatif dikatakan peneliti tidak memihak.

Penjelasan dan contoh Model Kualitatif

a.      Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya
Apabila penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau dengan kata lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas, maka penelitian kualitatif ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon atau makna di balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kuantitatif berusaha mendeskripsikan fenomena secara akurat (erklaren), sedangkan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam dari suatu fenomena (verstehen).
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen), tidak cukup apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan bagaimana dari suatu fenomena. Mengapa suatu fenomena ada atau terjadi, bagaimana suatu fenomena terjadi atau bagaimana proses terjadinya suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan tentang apa, mengapa, dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia mempunyai metakognisi yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan kapan) (Micchenbaum, dkk, 1985 dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) tidak cukup hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu pendapat Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan penelitian bukan hanya mencakup: apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, tetapi yang terpenting yang harus tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut adalah mengapa. Pertanyaan mengapa menuntut jawaban mengenai hakikat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau konsep-konsep, sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan kapan menuntut jawaban mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana menuntut jawaban mengenai proses-prosesnya.
Poerwandari (1998:17) menyatakan penelitian kualitatif dilakukan untuk mengembangkan pemahaman. Penelitian kualitatif membantu mengerti dan menginterpretasi apa yang ada di balik peristiwa: latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga tidak menjadi aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi hal penting.
Penelitian kualitatif dinyatakan mengonstruksi realitas sosial, karena penelitian kualitatif berlandaskan paradigma Konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh rasio.

b.      Berfokus  pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa
Penelitian kuantitatif berfokus pada variabel-variabel, bahkan sebelum penelitian dilakukan telah ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang akan diteliti. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadiannya itu sendiri, bukan pada variabel-variabel. Bahkan fokus penelitian dapat berubah pada waktu di lapangan setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan. Dalam penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi. Observasi tidak cukup apabila hanya diarahkan pada setting saja, tetapi justru yang pokok adalah proses terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian itu sendiri. Demikian pula observasi tidak cukup dilakukan bersamaan dengan wawancara, tetapi observasi sebaiknya dilakukan tidak bersamaan dengan wawancara. Apabila observasi dilakukan bersamaan dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus pada hal-hal yang akan diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi pada waktu diadakan wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat ditarik kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka hasil wawancara harus dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi yang dilakukan secara khusus. Dengan observasi akan dapat diketahui tentang proses interaksi atau kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan observasi terutama observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan tentang apa, tetapi juga bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang apa, bagaimana, dan mengapa, maka masalah akan dapat dipahami secara mendalam (verstehen).

c.       Keaslian merupakan kunci
Dalam penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis statistik mempunyai fungsi yang sangat strategis. Dalam penelitian kualitatif keaslian merupakan kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan sebagai penelitian alamiah (naturalist inquiry). Dalam penelitian kualitatif tidak ada usaha untuk memanipulasi situasi maupun setting. Sebaliknya penelitian kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi maupun setting penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi dapat dimanipulasi dengan subjek diatur sehingga homogen dengan dipilih sesuai kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh dari variabel kontrol, adanya treatment (perlakuan khusus) misalnya diberikan terapi khusus atau diberikan pelatihan khusus, dan lain-lain. Sebaliknya penelitian kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi dan setting sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton (1990 dalam Poerwandari, 1998:30) mendefinisikan studi dalam situasi alamiah sebagai studi yang berorientasi pada penemuan (discovery-oriented). Penelitian demikian secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam keadaan sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.

d.      Nilai hadir dan nyata (tidak bebas nilai)
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan atau tidak memperhitungkan nilai (bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian kualitatif nilai sangat diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif memegang teguh prinsip menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam laporan penelitian (juga dalam skripsi, tesis, disertasi) dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya tidak menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian, mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian. Sedang penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal (dapat menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua). Menurut Neuman (1997 dalam Salim, 2001:36) dalam penelitian kualitatif para peneliti mengetahui adanya sifat value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si peneliti) dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan bias-biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.

e.       Terikat pada situasi (terikat pada konteks)
Telah dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi yang mengelilinginya, atau dengan kata lain selalu terikat pada konteks. Telah dijelaskan pula di depan bahwa dalam penelitian kuantitatif karena ingin menghasilkan data yang berlaku umum (universal), maka peneliti harus menjaga jarak dan bebas dari pengaruh yang diteliti. Peneliti selalu berusaha mengontrol bias, memilih percontohan yang sistematis dan berusaha objektif dalam meneliti suatu fenomena. Sebaliknya penelitian kualitatif tidak menjaga jarak dan tidak bebas dari yang diteliti karena ingin mengetahui persepsinya, atau dengan kata lain ingin mengetahui persepsi subjektif dari yang diteliti. Persepsi subjektif dari yang diteliti selalu terikat pada situasi atau terikat pada konteks. Individu yang sedang mengalami kesedihan dapat berubah menjadi senang atau gembira pada saat memasuki pesta ulang tahun anaknya atau teman karibnya. Dengan adanya data yang bersifat subjektif, apa ini berarti penelitian kualitatif tetap bersifat ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif, penelitian kualitatif tetap ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki beberapa atau banyak individu atau dengan kata lain beberapa atau banyak individu memiliki data yang sama dengan subjek yang diteliti, maka hasil penelitian seperti ini disebut bersifat intersubjektif. Dalam penelitian kualitatif, pengertian intersubjektif sama dengan objektif.

f.        Terdiri dari beberapa kasus atau subjek
Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka penelitian kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus yang sangat penting adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh penelitian tentang “Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis.” Negara-negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik. Sebagai contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok jumlah subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis dengan statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok jumlah subjek yang diteliti.

g.      Bersifat analisis tematik
Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang bersifat khusus atau spesifik, dan analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dalam lapangan pekerjaan, kasus-kasus perilaku menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak normal (learning-disabilities), dan lain-lain.

h.      Peneliti terlibat
Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak dengan yang diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari subjektivitas dari yang diteliti, maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti tidak mengambil jarak, agar peneliti benar-benar memahami persepsi subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat melakukan misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan observasi terlibat pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.

3.      PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF
a.       Paradigma dalam penelitian kuantitatif
Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme, yaitu suatu keyakinan dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas itu ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan demikian penelitian berusaha untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).
Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17), Positivisme melihat penelitian sosial sebagai langkah instrumental, penelitian dianggap sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-hukum sosial pada akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan kejadian serta mengendalikan peristiwa.
Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief system of positivism is rooted in a realist ontology, that is, the belief that there exists a reality out there, driven by immutable the natural laws.” Intinya sistem keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada ontologi realis yaitu percaya akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang tetap.
Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang menyatakan kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-hukum alam yaitu hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut Guba (1990:20) sistem keyakinan dasar para peneliti positivis dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology: Realist-reality exists “out there” and is driven by immutable natural laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms is conventionally summarized in the form of time  and context-free generalizations. Some of these latter generalizations take the form of cause-effect laws.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme ini secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat waktu dan tidak terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk hukum sebab-akibat.
“Epistomology : Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the enquirer to adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing and confounding factors are thereby automatically excluded from influencing the outcomes.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi epistomologi: dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek yang diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
“Methodology : Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are studied in advance in propositional term and subjected to empirical tests (falsification) under carefully controlled conditions.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi: bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara cermat.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog Aguste Comte. Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak digunakan. John Stuart Mill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte. Sedang Emile Durkheim (Sosiolog Perancis) mengembangkan suatu versi positivisme dalam Rules of the Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan bagi para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti kepada individu yang dijadikan responden penelitian.
Gambar 16 : John Stuart Mill

b.   Paradigma dalam penelitian kualitatif
Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme, Post Positivisme, dan Teori Kritis
a)      Konstruktivisme
Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework (construct) for thinking about it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse, 1980). Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut. Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan “Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang terakhir tetapi penting adalah sebagai berikut: “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26).
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.” Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus.
Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.
Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology      : “Relativist – Realities exist in the form of multiple mental constructions, socially and experientially based local and specific, dependent for their form and content on the persons who hold them.”
Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang mengemukakannya.”
Epistomogy  : “Subjectivist – inquirer and inquired into are fused a single (monistic) entity. Findings are literally the creation of the process of interaction between the two.”
Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic). Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara peneliti dan yang diteliti.”
Methodology: “Hermeneutic – dialectic – individual constructions are elicited and refined hermeneutically, with the aim of generating one (or a few) constructions on which there is substantisl consensus.”
Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi individual dinyatakan  dan diperhalus secara hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara substansial disepakati”


b)      Postpositivisme
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best characterized as modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and control continue to be the aim.”
Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:
Ontology  : “Critical realist – reality exist but can never be fully apprehended. It is driven by natural laws that can be only incompletely understood.”
Asumsi ontologi: “Realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.”
Epistomology: “Modified objectivist – objectivity remains a regulatory ideal, but it can only be approximated with special emphasis placed on external guardians such as the critical tradition and critical community.”
Asumsi epistomologi: “Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”
Methodology: “Modified experimental/manipulative – emphasize critical multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more natural settings, using more qualitative methods, depending more on grounded theory, and reintroducing discovery into the inqury process.”
Asumsi metodologi: “Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.”

c)      Teori Kritis (Critical Theory)
Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai berikut: “The label critical theory is no doubt inadequate to encompass all the alternatives that can be swept into this category of paradigm. A more appropriate label would be “ideologically oriented inquiry”, including neo-Marxism, materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and other similar movements as well as critical theory itself. These perspectives are properly placed together, however because they converge in rejecting the claim of value freedom made by positivists (and largely continuing to be made by postpositivists).”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Nama teori kritis tidak diragukan lagi bahwa tidak dapat mencakup semua alternatif yang dapat dimasukkan dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi nama penelitian yang berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme, materialisme, feminisme, Freireisme, penelitian terlibat, dan perspektif yang lain termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-perspektif ini pantas ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang dibuat oleh kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum Postpositivis).”
Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada pandangan Guba, Denzin dan Lincoln menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory) sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut “ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, Participatory inquiry, dan paham-paham yang setara.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat dari segi ontologis, paham Teori Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistomologis, hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaraan tentang suatu hal (Salim, 2001:41).
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori Kritis (Critical theory) tidak dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara pandang yang berorientasi pada ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme, Feminisme, Freireisme, dan lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan kaum Positivis dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena Teori Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran dari realitas tersebut.
Selanjutnya menurut Guba (1990:25) sistem keyakinan dasar para peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology : “Critical realist, as in the case of postpositivism.”Artinya ontologi: “bersifat realis – kritis, seperti Post-Positivisme.”
Epistomology : “Subjectivist, in the sense that values mediate inquiry.”Artinya epistomologi: “subjektivis, dalam arti nilai-nilai menjadi mediasi penelitian.”
Methodology: “Dialogic, transformastive; eliminate false consciousness and energize and facilitate transformation.” Artinya metodologi: “dialogis, transformatif; mengeliminasi kesadaran palsu dan membangkitkan dan memasilitasi transformasi.”
Selanjutnya akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi dari paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang digunakan masing-masing paradigma serta implementasi dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi dan pertanyaan-pertanyaan penelitian dari masing-masing paradigma, sebagai berikut:







































4.      INTERPRETIVE, HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI

a.       Interpretive
Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian interpretive (Geisteswissenschaften) dan ilmu budaya (Kulturwissenschaften).
Thomas A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) mencoba menggambarkan secara lebih luas dan lebih mendalam tentang faham interpretive dan menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism) yang dipengaruhi oleh kritik para filosuf terhadap logika empirisme.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Painted in broad strokes, the canvas of interpretivism is layered with ideas stemming from the German intellectual tradition of hermeneutics and the Verstehen tradition in sociology, the phenomenology of Alfred Schutz and critiques of scientism and positivism of ordinary language philosophers critical of logical emperism (e.g Peter Winch, A. R. Lough Isaiah Berlin).”
Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa secara historis argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Terdapat bermacam sanggahan terhadap interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda ilmu pengetahuan alam). Kaum interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) atau ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften) berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan ilmu pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen) mengenai “makna” dari fenomena sosial.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Historically, at least, interpretivists argued for the uniqueness of human inquiry. They crafted various refutations of naturalistic interpretation of the social sciences (roughly the view that the aims and methods of the social sciences are identical to those of the natural sciences). They held that the mental sciences (Geisteswissenschaften) or cultural sciences (Kulturwissenschaften) were different in kind than the natural sciences (Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific explanation (Erklaren), where as the goal of the former is the grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of social phenomena.”
Sebelum menjelaskan interpretive seperti tersebut di atas Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah Konstruktivis, Konstruktivisme, Interpretivis dan Interpretivisme merupakan istilah-istilah yang sehari-hari dipergunakan dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh ahli-ahli filsafat. Arti dari istilah-istilah tersebut dibentuk oleh maksud para penggunanya. Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi memberikan alternatif penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang berpasangan. Istilah-istilah tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang peka. Walaupun demikian istilah-istilah ini hanya memberikan arahan terhadap apa yang harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan penjelasan.
Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:
“Constructivist, constructivism, interpretivist and interpretivism are terms that routenely appear in the lexicon of social science methodologists and philosophers. Yet, their particular meaning are shaped by the intent of their user. As general descriptors for a loosely coupled family of methodological and philosophical persuasions, these terms are best regarded as sentizing concepts (Blumer, 1954). They steer the interest reader in the general direction of where instances of particular kind of inquiry can be found. However they “merely suggest directions along which to look” rather than provide descriptions of what to see.”
Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan dua istilah yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan oleh ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Sedang menurut Guba dan Denzin & Lincoln, konstruktivisme merupakan paradigma. Hal ini telah dijelaskan secara memadai dalam Bab II. Dalam buku Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative Research karangan Denzin & Lincoln interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu paradigma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interpretive hanyalah merupakan metode analisis yang dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada alinea pertama di atas juga nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh hermeneutik dan fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode analisis sebagai kritik terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme yang menggunakan logika emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan memberikan penjelasan (erklaren) maka interpretive bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).
Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna dibalik fenomena (noumenon), penulis akan mengutip uraian Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya “The Etnographic Interview” yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Metode Etnografi” sebagai berikut:
“Tiga orang anggota kepolisian yang sedang memberikan pijitan jantung dan bantuan oksigen kepada seorang wanita korban serangan jantung, tetapi malah diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100 orang yang jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang dilakukan polisi. Anggota polisi lain menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu sampai sebuah ambulan datang. Para anggota kepolisian itu menjelaskan kepada kerumunan orang itu mengenai apa yang mereka kerjakan, tetapi kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh anggota polisi namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun, meninggal dunia.”
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun menghadapi peristiwa atau fenomena yang sama yaitu seorang wanita yang mendapat serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat berbeda oleh kelompok masyarakat tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan oksigen kepada wanita itu. Sedang gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama tetapi dengan interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan  tingkah laku polisi sebagai tindak kekerasan karena dipersepsikan memukul, dan gerombolan itu bertindak untuk menghentikan perbuatan polisi yang mereka pandang sebagai perbuatan jahat.
Dari contoh peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1)      Interpretasi terhadap makna kejadian antara polisi dan gerombolan sangat berbeda.
2)      Perbedaan interpretasi terhadap makna kejadian tersebut disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.
Untuk memantapkan penjelasan bahwa suatu peristiwa atau fenomena yang sama dapat dimaknai secara berbeda, penulis mencoba menambah contoh dengan mengutip contoh yang diberikan oleh Clifford Geertz (1992: 7 - 8) “The Interpretation of Cultures, Selected Essays” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Tafsir Kebudayaan”. Geertz memberikan contoh tentang anak yang mengedipkan mata. Perilaku mengedipkan mata dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama, anak yang mengedipkan mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang mengedipkan matanya mempunyai makna adalah karena kedutan. Kedua, anak yang mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini anak melakukan kedipan mata dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat dimulainya suatu persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga, anak mengedipkan mata karena sedang latihan atau melatih orang lain untuk bermain badut-badutan.
Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang sama yaitu mengedipkan mata ternyata dapat mengandung makna yang berbeda-beda. Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut seseorang harus melakukan “thick description” (“lukisan mendalam”), yang pada hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi. Kesimpulan ini analog dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut: “Dengan percaya pada Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, saya menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya tidak merupakan ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari makna.”
 
Gambar 17 : Clifford Geertz




b.      Hermeneutik
Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi dan statusnya dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa interpertive, hermeneutik maupun fenomenologi merupakan metode analisis yang mempunyai tujuan yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen) atau dengan kata lain mencari makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan adalah melakukan interpretasi terhadap suatu fenomena. Kalau demikian apa bedanya antara interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan hermeneutik.
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah  menerjemahkan pesan-pesan dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu fungsi Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan (Sumaryono, 1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer, 1969: 3 dalam Sumaryono, 1993: 24).
Gambar 18 : Hermes dalam Mitologi Yunani

Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kepada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan orang lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam Sumaryono, 1993: 24).
Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi. Menurut Aristoteles, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai baik bahasa tulisan maupun bahasa lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai sarana komunikasi antara individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling mengomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis (Sumaryono, 1993: 24).
Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun manusia mempunyai pengalaman mental yang sama, misalnya susah, gembira, kecewa, bangga, simpati, benci, rindu dan lain-lain, tetapi pengungkapan dalam bahasa baik bahasa tulisan maupun lisan berbeda. Begitu pula walaupun mempunyai pengalaman mental yang sama seperti sakit, ekspresi lisan orang yang satu dengan orang lain tidak sama. Demikian pula dalam berkomunikasi, walaupun mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama, belum tentu mereka memiliki pemahaman yang sama. Bahkan dalam pengalihan bahasa (penerjemahan) dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dapat menimbulkan banyak persoalan.
Pengungkapan pengalaman mental ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau sebuah konsep mempunyai nuansa yang kaya dan beranekaragam. Tetapi kekayaan dan keanekaragaman nuansa tersebut tidak dapat tercakup seluruhnya dalam sebuah kata yang diucapkan atau ekspresi yang diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan pengalaman mental ke dalam kata-kata atau ungkapan yang biasa dipakai orang pada umumnya, kita tidak berusaha mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih jelas. Orang pada umumnya mengungkapkan kesedihan atau kegembiraan sebagaimana orang biasanya berbuat. Mereka pada umumnya tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Apabila kita berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan pada dasarnya lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman kita. Apabila kita menuliskan pengalaman kita, maka kata-kata yang tertulis, juga menjadi lebih sempit artinya.
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Manusia menyampaikan hasil pemikirannya melalui bahasa, kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuatu melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau mengungkapkan kekaguman karya seni dengan bahasa, dan lain-lain. Hermeneutik membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap sesuai dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya.
Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono, 1993: 28).
c.   Fenomenologi
1)   Pengertian Fenomenologi
Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai metoda analisis dalam Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu pengertian Fenomenologi.
Berdasarkan faham Fenomenologi, dalam / berkenaan dengan pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat dibedakan secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia. Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19) dinyatakan: “Supaya ada pengetahuan, keduanya niscaya ada, Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lain…..”. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985: 345) yang menyatakan: “Ia (fenomenologi) sangat menekankan hubungan dialektis antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak ada dunia tanpa subjek”. Oleh karena itu menurut Husserl agar terwujud pengetahuan, subjek harus terarah pada objek agar dapat diketahui sebagaimana adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar dapat pula diketahui sebagaiman adanya.
Di sini perlu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki kesamaan dengan objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa saja pada tempat dan waktu mana pun.
      Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938) merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105). Selanjutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.
      Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
      Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
      Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung terjangkau sebagaiman adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya dengan melakukan analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu dapat ditemukan. Untuk itu seorang fenomenolog harus sangat cermat “menempatkan diantara tanda kurung” kenyataan dunia luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan hakekat (eidos) dalam fenomena, dan reduksi transendental yang menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental, sedangkan kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.
      Sedang Calra Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi Transendental yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya ialah agar kembali ke barangnya/bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak tentang kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita (“Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is experienced by human beings within particular contexts and at particular times, rather than in abstract statements about the nature of the world in general. Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our consciousness as we engage with the world around us”).
      Menurut perspektif fenomenologi, tidak masuk akal untuk berpikir/berpendapat bahwa dunia objek dan subjek terpisah dari pengalaman kita. Ini dikarenakan seluruh objek dan subjek pasti hadir kepada kita sebagai sesuatu, dan manifestasinya seperti ini atau itu membentuk realitasnya pada suatu saat manapun. Penampilan suatu objek sebagai fenomena perseptual bervariasi menurut lokasi dan konteks, segi pandang subjek, dan terpenting, orientasi mental dari subjek (misalnya hasrat, kebijakan, penilaian, emosi, maksud dan tujuan). Inilah yang disebut intensionalitas. Intensionalitas membiarkan objek menampakan diri sebagai fenomena. Ini berarti bahwa “diri dan dunia merupakan komponen-komponen makna yang tidak dapat dipisahkan” (Moustakas, 1994: 28). Di sini makna bukan merupakan sesuatu yang ditambahkan pada persepsi, sebagai sesuatu yang dipikirkan sesudah persepsi. Sebaliknya persepsi selalu bersifat intensional, oleh karena itu merupakan unsur konstitutif pengalaman itu sendiri. Akan tetapi pada waktu yang sama fenomenologi transendental mengakui bahwa persepsi kurang lebih dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan. Fenomenologi mengidentifikasikan strategi-strategi yang dapat membantu putusan memokuskan diri “di mana letak kemurnian fenomenologi” (Husserl, 1931: 262), dan memantulkan apa yang kita bawa serta pada aktivitas persepsi dengan merasa, berpikir, mengingat dan memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi fenomenologi (Willig, 1999: 51) (“According to a phenomenological perspective, it makes no sense to think of the world of objects and subjects as separate from our experience of it. This is because all objects and subjects must present themselves to us as something, and their manifestation as this or that something constitutes their reality at any one time. The appearance of an object as a perceptual phenomenon varies depending upon the perceiver’s location and context, angle of perception and importanly, the perceiver’s mental oriention (e. q. desires, wishes, judgements, emotions, aims and purposes). This is referred to as intentionality. Intentionality allows objects to appear as phenomena. This means that “self and world are inseparable components of meaning” (Moustakas 1994: 28). Here, meaning is not something that is added on to perception as an afterthought; instead, perception is always intentional and therefore constitutive of experience itself. However, at the same time, transcendental phenomenology acknowledeges that perception can be more or less infused with ideas and judgements. It identifies strategies that can help us to focus on “ that which lies before one in phenomenological purity” (Husserl, 1931: 262), and to reflect on that which we bring to the act of perception through feeling, thingking, remembering and judging. This takes us on to the methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51).

2)   Metode Fenomenologi

      Metode fenomenologi derivasi (diturunkan dari asalnya) fenomenologi, membentuk bagian sentral yang disebut fenomenologi transendental. Husserl menyatakan adalah mungkin mentransendensikan prasangka dan bias, dan mengalami suatu keadaan kesadaran yang belum direfleksikan, yang memungkinkan kita menggambarkan fenomena sebagai mana mereka yang menampakkan dirinya sendiri kepada kita. Husserl mengidentifikasikan serangkaian tahap akan membantu filsof dari persepsi segar tentang fenomena yang dikenal ke upaya menggali ciri khusus fenomena. Pengetahuan yang berasal dari cara ini akan bebas dari penjelasan akal sehat dan ilmiah dan interpretasi-interpretasi atau abstraksi-abstraksi yang menjadi ciri pemahaman yang lain. Pengetahuan seperti itu akan menjadi suatu pengetahuan tentang dunia sebagai ia menampakkan kepada kita dalam hubungan kita dengannya. (“The phenomenological method of deriving forms a central part of transcendental phenomenology. Husserl suggested that it was possible to transcend presuppositions and biases and to experience a state of pre-reflective consciousness, which allows us to describe phenomena as they present themselves to us. Husserl identified a series of steps that would take the philosopher from a fresh perception of familiar phenomena to the extraction of the essences that give the phenomena their unique character. Knowledge derived in this way would be free from the common-sense notions, scientific explanations and other interpretations or abstractions that characterize most other forms of understanding. It would be a knowledge of the world as it appears to us in our engagement with it” (Willig, 1999: 52).

      Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda fenomenologi dalam memperoleh pengertian meliputi 3 (tiga) fase perenungan yang membedakan yaitu: epoche, reduksi fenomenologi dan variasi imajinatif. Epoche mensyaratkan penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian dan interprestasi untuk memungkinkan kita menyadari secara penuh keberadaan apa yang nyata. Pada tahap reduksi fenomenologi kita menggambarkan fenomena yang menampakkan dirinya kepada kita secara total/utuh. Penggambaran itu juga meliputi ciri-ciri fisik seperti bentuk, ukuran, warna, dan juga ciri-ciri pengalaman seperti pemikiran dan perasaan yang muncul dalam kesadaran kita ketika kita mengarah ke fenomena. Melalui reduksi fenomenologi kita mengidentifikasi unsur-unsur hakiki pengalaman kita akan fenomena. Dengan kata lain kita menjadi sadar tentang pengalaman seperti adanya. Variasi imajinatif meliputi usaha mencapai susunan komponen struktural fenomena yaitu apabila reduksi fenomenologi bertalian dengan “apa” yang dialami (yakni teksturnya), variasi imajinatif menanyakan “bagaimana” pengalaman itu mungkin (yaitu strukturnya). Tujuan variasi imajinasi adalah mengidentifikasikan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan fenomena dan tanpa kondisi-kondisi tersebut tidak mungkin fenomena itu akan menjadi sebagaimana adanya. Kondisi ini dapat meliputi waktu, ruang atau hubungan-hubungan sosial. Akhirnya gambaran tekstural dan struktural diintegrasikan untuk sampai pada pemahaman tentang esensi fenomena. (“The phenomenological method of gaining understanding involves three distinct phases of contemplation: ephoce, phenomenological reduction and imaginative variation (for a detailed account of these, see Moustakas 1994). Epoche requires the suspension of presuppositions and assumptions, judgements and interpretations to allow ourselves to become fully aware of what is actually before us. In phenomenological reduction we describe the phenomenon that present itself to us it in totality. This includes physical features such as shape, size, colour and texture, as well as experiential features such as the thought and feelings that appear in our consiousness as we attend to the phenomenon. Through phenomenological reduction, we identify the constituens of our experience of the phenomenon. In other words, we become aware of what makes the experience what it is. Imaginative variation involves an attempt to access the structural components of the phenomenon. That is, while phenomenological reduction is concerned with “what”is experienced (i.e. its texture), imaginative variation asks “how” this experience is made possible (i.e. its structure). The aim of imaginative variation is to identify the conditions associated with the phenomenon and whitout which it would not be what it is. This could involve time, space or social relationships. Finally, textural and structural descriptions are integrated to arrive at an understanding of the essence of the phenomenon”) (Willig, 1999: 52).

3)   Fenomenologi dan Psikologi

      Menurut Willig (1999: 52) meskipun fenomenologi transcendental dipahami sebagai sistem pemikiran filsafat, rekomendasi metodologinya telah terbukti menarik minat peneliti ilmu pengetahuan sosial umumnya dan psikologi khususnya. Hal ini disebabkan fenomenologi memfokuskan diri pada isi kesadaran dan pengalaman individu tentang dunia, seperti yang dinyatakan oleh Kvale (1996 b: 53) sebagai berikut:
Fenomenologi berminat menguraikan apa yang nampak maupun cara bagaimana sesuatu itu menampakkan diri. Fenomenologi mempelajari perspektif subjek tentang dunianya; berusaha menjelaskan secara detail isi dan kesadaran subjek, berusaha menangkap keragaman kualitatif dari pengalaman-pengalaman mereka dan mengungkapkan makna-makna yang esensiil pengalaman-pengalaman tersebut.
(“Even though transcendental phenomenology was conceived as a philosophical system of thought, its methodological recommendations have proved to be of interest to researchers in the social sciences in general and psychology in particular. This is because phenomenology focuses upon the content of consciousness and individual’s experience of the word as Kvale (1996 b:53) put it:
Phenomenology is interested in elucidating both that which appears and the manner in which it appears. It studies the subjects perspectives of their word; attempts to describe in detail the content and structure of the subjects consciouness, to grasp the qualitative diversity of their experiences and to explicate their essential meanings.
Selanjutnya dijelaskan: Penelitian fenomenologi empiris dalam psikologi telah dirintis dan diaplikasikan secara ekstentif di Universitas Duquesne di Amerika Serikat (lihat Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1990; Georgi et al 1975). Topik-topik penelitian fenomenologi meliputi: “pemahaman perasaan” (Van Kaam 1959), “belajar” (Georgi 1975, 1985), “jadi korban” (Fisher dan Wertz, 1979), “amarah” (Stevick 1971), dan banyak fenomena yang lain dari pengalaman manusia. Kenyataanya pengalaman manusia dapat dianalisis secara fenomenologis. Inilah alasan lain mengapa fenomenologi merupakan pendekatan yang menarik bagi peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam fokus dan penekanan antara fenomenologi transcendental dan penggunaan metoda fenomenologi dalam psikologi. (“Empirical phenomenonlogical research in psychology was pioneered and applied extensively at Duquesne University in the USA (see Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1994; Georgi et al. 1975). Topics of phenomenological investigation included “feeling understood” (Van Kaam 1959), “learning” (Georgi 1975, 1985), “being victimized” (Fisher and Wentz 1979), “angry” (Stevick 1971), and many other phenomena of human experience. In fact, any human experience can be subjected to phenomenological analysis. This is another reason why this approach appeals to psychological researchers. However, there are differences in focus and emphasis between transcendental phenomenology and the use of the phenomenological method in psychology (Willig, 1999:52-53).
      Spinelli (1989) menunjukan bahwa psikologi fenomenologi lebih memperhatikan keberagaman dan variasi pengalaman manusia daripada mengidentifikasi esensi-esensi dalam pengertian Husserl. Tambahan pula penelitian-penelitian fenomenologi dalam psikologi, jika ada mengklaim bahwa tidak mungkin “menyingkirkan” seluruh prasangka dan bias dalam suatu perenungan tentang suatu fenomena. Agaknya, usaha memberi tanda kurung pada fenomena, hanya untuk memungkinkan peneliti melakukan pengujian secara kritis atas cara biasa untuk mengetahui sesuatu. Akhirnya sangat penting untuk melakukan pembedaan antara perenungan fenomenologi tentang suatu objek atau kejadian sebagaimana ia menampakan diri kepada peneliti, dan analisis fenomenologi atas laporan pengalaman khusus seperti yang disampaikan oleh peneliti terlibat. Perenungan fenomenologis menuntut (mensyaratkan) intropeksi oleh seseorang terhadap pengalamannya sendiri, sementara analisis terhadap laporan pengalaman terlibat merupakan upaya “masuk ke dalam” pengalaman orang lain atas dasar deskripsi mereka tentang pengalamannya. Dalam penelitian psikologi fenomenologis laporan pengalaman terlibat dijadikan fenomena yang dianalisis oleh peneliti. (“Spinelli (1989) pointed out that phenomenological psychology is more concerned with the diversity and variability of human experience than with the identification of essences in Husserl’s sense. In addition, few, if any, phenomenological researchers in psychology would claim that it is possible to suspend all presuppotions and biases in one’s contemplation of a phenomenon. Rather the attempt to bracket the phenomenon allows the researchers to engage in a critical examination of his or her customary ways of knowing (about) it (see reflexity. p. 10). Finally, it is important to differentiate between phenomenological contemplation of an object or event as it present it self to the researcher, and phenomenological analysis of an account of a particular experience as presented by a research participant. The former requires introspective attention to one’s own experience, where as the latter an attempt to “get inside” someone else’s experience on the basis of their description of it. In phenomenological psychological research, the research participotion’s account becomes the phenomenon with which the researcher engages”) (Willig, 1999: 53).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar