FENOMENOLOGI,
HERMENEUTIKA DAN POSITIVISME
(Essay
ini dibuat sebagai tugas akhir mata kuliah Epistimologi
Antropologi, diambil dari berbagai sumber)Ditelaah
Oleh : Hartono GS (Mahasiswa Ilmu Hukum/S3 UII)
FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah
gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1838).
Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20.
Sebut saja para filsuf seperti Ernst Cassier (neo-Kantianisme),
Mc.Taggart (idealisme), Fregge (logisisme), Dilthey (hermeneutika)
Kierkergaard (filsafat eksistensial), Derida
(poststrukturalisme)—semuanya sedikit banyak mendapat pengaruh dari
fenomenologi. Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang
mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi
disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi
menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala
presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi,
asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman.
Tak peduli apakah
konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus
dihindari sebis mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan
sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman
itu sendiri.[1] Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan
diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika,
epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah
mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan.
Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh
penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim
representasionalisme epistimologi modern. Fenomenologi yang
dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi. Ini bertolak
belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya
ilmu pengetahuan tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui
filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme. Pengaruh
fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan
inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi,
sampai arsitektur semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya
fenomenologi.[2] Penyamarataan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu
mendapatkan tentangan keras dari filsuf-filsuf neo-Kantian yang
menginginkan adanya pemilahan, baik sacara metodologis, ontologis,
dan epistimologis antara ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam.
Para Kantian merasa bahwa
manusia tidak semata-mata ditentukan oleh hukum maupun bertindak
secara rasional semata (animal rationale), melainkan juga memiliki
kekayaan batin (emosi, kehendak, disposisi) yang tidak dapat diukur
begitu saja dengan model-model ilmu alam. Salah satu neo-Kantian dari
Mahzab Marburg bernama Ernst Cassier mengungkapkan konsepnya tentang
manusia sebagai animal symbolicum (makhluk simbolik) konsepnya ini
menentang konsep manusia yang dideterminasi oleh daya-daya atau
stimulan-stimulan eksternal seperti halnya benda-benda fisik. Cassier
menolak pandangan naturalisme yang dianut ilmu-ilmu alam (ada
realitas material eksternal yang berjalan secara deterministik dan
independen dari subjek).[3]
HERMENEUTIKA
Ada tiga komponen pokok
hermeneutika. Kesatu, adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk
teks. Kedua, harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau
merasa “asing” terhadap pesan itu. ketiga, adanya perantara atau
kurir antara kedua belah pihak. Terdapat dua aliran besar dalam
hermeneutika, yaitu hermeneutika romantik oleh Schleiermacher dan
hermeneutika fenomenologi Heidegger.[4] Hermeneutika romantik
Schleiermacher tidak terlepas dari konsepsi Schleiermacher mengenai
bahasa dan praktik penafsiran. Memahami berarti mengarahkan perhatian
pada suatu objek , yakni bahasa. Bahasa dapat dipahami sebagai
dimensi supraindividual dan dimensi individual. Tugas utama seorang
hermeneutik adalah membawa kembali kehandak makna yang menjadi jiwa
suatu teks. Hermeneutik fenomenologi Heidegger merupakan sesuatu yang
kontradiki. Fenomenologi adalah seni membiarkan fenomena berbicara
sendiri, maka hermeneutika adalah seni melihat fenomen sebagai teks
yang mengundang pertanyaan untuk kemudian diinterpretasikan.
Hermeneutika fenomenologi hendak melepaskan diri dari kerangka
epistimologi dimana subjek tidak lagi berhadapan dengan objek yang
terhampar dihadapannya. Ia mengandaikan subjek selalu dan sudah
berada di dunia yang selalu dan sudah bermakna sebuah dunia yang
bukan representasi.[5]
POSITIVISME
POSITIVISME
Tesis positivisme adalah
bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau
subjek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar
yang digunakan untu menelaah fakta. Dalam perkembangannya, ada
beberapa positivistik, yaitu : positivisme sosial, positivisme
evolusioner, positivisme kritis, dan positivisme logik.[6]
Positivisme sosial adalah penjabaran lebih lanjut kebutuhan manusia
dan sejarah. Comte dalam studinya mengenai sejarah perkembangan alam
pikir manusia menjelaskan bahwa matematika bukan ilmu, melainkan alat
berfikir logik. Ia menjenjangkan perkembangan alam pikir manusia
yaitu teologik, metafisik, dan positif. Bentham dan Mill menyatakan
bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Mereka
menolak otoritas apapun yang menyusupi ilmu. Positivisme evolusioner
berangkat dari fisika dan biologi yang menggunakan doktrin evolusi
biologis. Berangkat dari pemikiran tersebut, Spencer menganggap
evolusi adalah proses dari homogen ke heterogen. Positivisme kritis
atau empiriokritisme memandang bahwa sesuatu ( bisa berupa masyarakat
ataupun kebudayaan) itu adalah serangkaian relasi inderawi, dan
pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu
tersebut. Positivisme logik banyak dikemukakan oleh para pemikir dari
neo-Kantian. Ia menolak segala bentuk etik transeden bahkan ia
menyarankan adanya unifikasi ilmu dan mengganti konsep variabilitas
menjadi konsep konfirmabilitas.[7]
Relasi
antara Positivisme dan Gejala-Gejala Sosial
Tesis positivisme[8]
adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau
subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang
digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri
abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu
pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang
etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja
positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia
menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan
manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Dasar dari pandangan
positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya anggapan
bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami,
(b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau
generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai
prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah
berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam
ilmu-ilmu sosial budaya[9]. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi
bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu
alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum
keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya
“contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan
dijelaskan secara matematis dan fisis.[10]
Kritik
terhadap Pendekatan Fenomenologi, Hermeneutik, dan Positivistik
Kaplan dan Manners
berpendapat : Tidak seorang pun memiliki kemampuan untuk mengetahui
secara langsung pikiran orang lain. Kaidah kognitif, hukum, dan kode,
pada akhirnya hanyalah sekedar inferensi—simpulan yang boleh jadi
betul tetapi boleh jadi juga keliru—yang dibuat oleh etnograf. Hal
tersebut adalah konsepsi etnograf mengenai kemungkinan konsepsi
informannya. Akan tetapikarena inferensi itu harus dituangkan dalam
sesuatu bentuk yang dapat dipahami tidak hanya oleh etnografnya
sendiri melainkan juga oleh para sejawatnya, maka si etnograf harus
menggunakan kategori pemikiran yang berpijak pada antropologi dan
tidak hanya pada informan warga pribumi yang bersangkutan saja. Tak
terelak lagi, kita semua adalah komparativis.[11] Jika dialek
dikesampingkan, satu, dua, tiga informan munkin sudah memadai. Itu
karena penutur asli membuat jenis pembedaan yang sama dalam hal
fonem. Artinya, meraka semua sama-sama merupakan pendukung bahasa
tersebut. Akan tetapi semua individu yang membentuk suatu budaya
tidaklah mengambil bagian atau berperan dalam budayanya secara
demikian. Kendati Aberlee menekankan interaksi dan interdependensi,
bukan kognisi, pendapat yang diajukannya mirip dengan pandangan
Wallace. Ini berarti “realitas cultural” mungkin dapat
berbeda-beda bagi pemimpin / pemuka dan bagi warga biasa, dan
seterusnya. Bila diterapkan dengan kewaspadaan yang sepatutnya, model
linguistic ini memang dapat membuahkan banyak hasil dan juga penuh
daya saran dalam menangani jenis-jenis masalah tertentu. Akan tetapi
bila kita melupakan sifat parsial dan isomorfis dalam analogi
linguistik ini, mungkin lalu timbul pertanyaan dalam wujud yang
menyulitkan perolehan pemecahan atau “jawab”-nya. Kendato Kaplan
dan Manners banyak melontarkan kritik terhadap linguistik, namun
mereka menyarankan untuk tidak membuang model linguistik tersebut.
Hanya saja perlu disadari bahwa model linguistic ini—sepertihalnya
dengan pendekatan lain—juga memiliki keterbatasan tertentu.
[12]
Studi terhadap manusia terkait dengan permasalahan menyangkut tindakan yang penuh makna. Seseorang manusia itu dapat merasakan dunia ini sarat dengan makna dan tindakan yang penuh makna pula. Hal inilah yang kemudian merupakan pembeda antara studi tentang manusia dengan ilmu-ilmu fisik. Studi tentang manusia terfokus pada ide-ide, aspirasi, tindakan-tindakan yang memiliki tujuan, kreasi yang artistik, perangkat manusia, peraturan yang dibentuk untuk mereka sendiri, dan lembaga-lembaga yang mereka ciptakan. Pada ilmu-ilmu fisik, perhatian lebih pada problem eksperimental dan spekulasi terhadap materi secara kebendaan dan perhitungannya. Dalam ilmu fisik, sulit dibedakan antara mana yang teori dan mana yang fakta karena teori yang terbentuk semata-mata berasal dari fakta yang secara empiris melekat pada aspek kebendaan yang menjadi objek studinya. Misalnya dalam upaya pengklasifikasian, ilmu fisik lebih kepada mencari unsur-unsur kesamaan pada pola-pola teoritis yang telah ada secara umum tanpa harus terlebih dahulu mengutamakan common sense terhadap objek material tersebut.
Teori ilmu pengetahuan ataupun epistimologi memiliki perhatian yang besar pada pengujian terhadap berbagai asumsi. Ia berupaya mencapai kepuasan intelektual pada fondasi secara utuh dari ilmu pengetahuan kita dan memperhatikan bagaimana suatu pemikiran mengambil posisinya terhadap realitas. Yang menarik di sini yaitu upaya epistimologi untuk berusaha melihat dan menguji bagaimana seseorang mengetahui melalui proses berfikirnya. Fokus garapannya yaitu ada proses, sehingga perdebatannya menyangkut bagaimana metodologi berfikir sehingga sesuatu itu dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Kita perlu bersepakat mengenai hubungan dari apa yang kita terima sebagai fakta kepada yang lainnya dan tidak dengan kekusutan hubungan yang berlebihan antara fakta-fakta dan perangkat kognitif dari pengamat yang bersangkutan. Baik melalui investigasi secara ilmiah, refleksi filosofis, dan penerimaan secara akal sehat. Studi tentang manusia secara partikular telah tertahan oleh percobaanya dalam menegakkan sebuah titik awal yang jelas dan mandiri secara teoritis. Alternatifnya yaitu menolak pemikiran terhadap titik awal yang absolut dan mengizinkan apapun aksi filosofis yang ada dalam asumsi terdahulu. Refleksi pemikiran tentu saja bukan berupa alat tulis yang siap untuk digunakan menulis, tidak juga sebagai subjek pembuka pengetahuan yang murni, melainkan mata intelektualnya yang pertama kali melihat dunia yang asing baginya. Terdapat abstraksi buatan yang tidak sederhana, tidak bertentangan, dan secara murni merupakan permulaan secara teoritis. Hal yang terpenting dalam aspek kehidupan manusia yaitu menyangkut kesadaran (consciousness). Berfikir tidak hanya menyangkut bagaimana memperhitungkan sesuatu dan mencari pemecahan terhadap sesuatu permasalahan yang dihadapi, melainkan juga merasakan, membangun semangat, memiliki keinginan dan perhatian yang mana mewarnai pemikiran dan secara integral terhadap konsep kedirian. Dengan demikian kita bisa mengkoordinasi keinginan dan membuat rencana. Kita mengatur tindakan dan prinsip-prinsip yang kita pegang.
Studi terhadap manusia terkait dengan permasalahan menyangkut tindakan yang penuh makna. Seseorang manusia itu dapat merasakan dunia ini sarat dengan makna dan tindakan yang penuh makna pula. Hal inilah yang kemudian merupakan pembeda antara studi tentang manusia dengan ilmu-ilmu fisik. Studi tentang manusia terfokus pada ide-ide, aspirasi, tindakan-tindakan yang memiliki tujuan, kreasi yang artistik, perangkat manusia, peraturan yang dibentuk untuk mereka sendiri, dan lembaga-lembaga yang mereka ciptakan. Pada ilmu-ilmu fisik, perhatian lebih pada problem eksperimental dan spekulasi terhadap materi secara kebendaan dan perhitungannya. Dalam ilmu fisik, sulit dibedakan antara mana yang teori dan mana yang fakta karena teori yang terbentuk semata-mata berasal dari fakta yang secara empiris melekat pada aspek kebendaan yang menjadi objek studinya. Misalnya dalam upaya pengklasifikasian, ilmu fisik lebih kepada mencari unsur-unsur kesamaan pada pola-pola teoritis yang telah ada secara umum tanpa harus terlebih dahulu mengutamakan common sense terhadap objek material tersebut.
Teori ilmu pengetahuan ataupun epistimologi memiliki perhatian yang besar pada pengujian terhadap berbagai asumsi. Ia berupaya mencapai kepuasan intelektual pada fondasi secara utuh dari ilmu pengetahuan kita dan memperhatikan bagaimana suatu pemikiran mengambil posisinya terhadap realitas. Yang menarik di sini yaitu upaya epistimologi untuk berusaha melihat dan menguji bagaimana seseorang mengetahui melalui proses berfikirnya. Fokus garapannya yaitu ada proses, sehingga perdebatannya menyangkut bagaimana metodologi berfikir sehingga sesuatu itu dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Kita perlu bersepakat mengenai hubungan dari apa yang kita terima sebagai fakta kepada yang lainnya dan tidak dengan kekusutan hubungan yang berlebihan antara fakta-fakta dan perangkat kognitif dari pengamat yang bersangkutan. Baik melalui investigasi secara ilmiah, refleksi filosofis, dan penerimaan secara akal sehat. Studi tentang manusia secara partikular telah tertahan oleh percobaanya dalam menegakkan sebuah titik awal yang jelas dan mandiri secara teoritis. Alternatifnya yaitu menolak pemikiran terhadap titik awal yang absolut dan mengizinkan apapun aksi filosofis yang ada dalam asumsi terdahulu. Refleksi pemikiran tentu saja bukan berupa alat tulis yang siap untuk digunakan menulis, tidak juga sebagai subjek pembuka pengetahuan yang murni, melainkan mata intelektualnya yang pertama kali melihat dunia yang asing baginya. Terdapat abstraksi buatan yang tidak sederhana, tidak bertentangan, dan secara murni merupakan permulaan secara teoritis. Hal yang terpenting dalam aspek kehidupan manusia yaitu menyangkut kesadaran (consciousness). Berfikir tidak hanya menyangkut bagaimana memperhitungkan sesuatu dan mencari pemecahan terhadap sesuatu permasalahan yang dihadapi, melainkan juga merasakan, membangun semangat, memiliki keinginan dan perhatian yang mana mewarnai pemikiran dan secara integral terhadap konsep kedirian. Dengan demikian kita bisa mengkoordinasi keinginan dan membuat rencana. Kita mengatur tindakan dan prinsip-prinsip yang kita pegang.
Apapun yang disebut
dengan pengalaman ditentukan melalui pengaturan pada aspek psikologis
dan diwarnai ataupun didistorsi oleh kebutuhan dan kepentingan.
Kemampuan kita untuk memaknai suatu pengalaman tergantung pada
anugerah yang diwariskan dari kecerdasan, ingatan, perhatian, sama
baiknya dengan warisan dari sosial dan budaya. Bahasa, ide-ide,
pengetahuan yang utuh, persangkaan oleh massa merupakan hasil dari
suatu proses sejarah. Titik awal ini mengandung elemen dari fakta
yang tidak bisa direduksi. Figur yang mengendalikan hal tersebut
memiliki kapasitas ganda; pertama sebagai persangkaan terhadap ilmu
pengetahuan, kedua sebagai pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain,
kita “dipaksa” untuk menguji kembali alam pengetahuan. Kita
terlibat dalam suatu lingkaran dimana pengetahuan merampas pengertian
absolutnya dan harus menjadi bagian dari kesatuan realis yang naif.
Pengetahuan dinyatakan sebagai suatu yang relatif atau dibatasi oleh
suatu titik tegak. Menurut saya, kita bisa saja berusaha memberikan
penerangan / pencerahan, tetapi bukan secara objektif melainkan
berkenaan pada perspektif terhadap kondisi manusia, yang mana ia
sendiri sebagai objek penyelidikan.
Ketika kita
memperdebatkan secara objektif dengan mengambil batasan dari konteks
yang dijelaskan, maka kita telah mengambil kondisi epistimologis
sebagai jaminannya. Bila pada titik awal filosofis yang mana
keseluruhan problem dari ilmu pengetahuan dikemukakan sebagi suatu
gagasan, maka kita tidak dapat menghindar dari perspektif psikologis,
sosiologis, dan historis dimana setiap aksi kognitif berada. Ketika
kita telah berketetapan untuk merangkum keseluruhan ilmu pengetahuan,
maka kita tak bisa mengambil langkah di luar aspek keilmuan. Kita
berusaha menginterpretasi suatu perihal yang mana ketika kita baru
memulai tugas itu, sesungguhnya hal tersebut telah diinterpretasikan
pada masa yang lalu. Tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh
konsistensi yang lebih besar dan meningkatkan kesadaran terhadap diri
kita sendiri. Keseluruhan struktur ilmu pengetahuan bukanlah suatu
gambaran dari realitas melainkan suatu reasi dari manusia ke dalam
suatu keputusan dan evaluasi. Dunia dipandang dan diorganisir dari
suatu poin khusus dan ditentukan oleh perangkat kognitif dan dengan
jalan inilah maka hal itu diinterpretasikan.
Proses ini nampak pada
penggunaan kita dalam berbahasa. Misalnya menyangkut suatu
pengklasifikasian. Berangkat dari hal tersebut di atas maka saya
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan rangkaian interpretasi
yang hadir melalui suatu metode yang cermat dan memiliki tujuan
tertentu. Filsafat, agama, dan mitos menginterpretasikan aspek
mendasar dengan cara yang bervariasi. Tegasnya, interpretasi membuat
dunia sarat dengan makna bagi manusia. Namun apabila kita tidak dapat
melangkah di luar perspektif yang diciptakan dari interpretasi kita
sendiri, maka kita tidak bisa menjawab pertanyaan tentang konsepsi
kita terhadap realitas. Yang dapat dilakukan yaitu membuat hal ini
tetap konsisten dan komprehensif. Memperlakukannya sebagai fakta dari
kehidupan manusia dan subjek dari studi tentang manusia. Hal ini
tentu saja menyerap pemaknaan yang dibawa oleh interpretasi manusia
terhadap dunianya. Melalui pengujian mengenai terbitnya suatu makna,
maka kita dapat menyajikan studi tentang manusia dari basis
epistimologis yang kita miliki. Kesadaran terhadap kedirian diri
sendiri dan terhadap dunia, hampir selalu diiringi oleh
konseptualisasi dalam hal bahasa.
Dalam merasakan sesuatu
tentunya setiap individu memiliki perbedaan sebab individu tersebut
mengklasifikasikannya dalam pengalaman dan menempatkannya dalam
konteks ingatan dan pengetahuan secara umum yang dimilikinya secara
individual. Pendekatan secara linguistik yang masuk akal terhadap
pemaknaan terletak pada faktanya. Selanjutnya lahirlah pertanyaan
yaitu, “Apa yang membuat suatu situasi menjadi sarat dengan
makna?”. Pertanyaan selanjutnya yaitu, “Apa yang membuat
pernyataan ini menjadi penuh makna?”. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut di atas, maka sebaiknya kita merujuk pada makna
non-linguistik yang kita pakai dalam percakapan sehari-hari.
Perbedaannya justru lebih menggelapkan daripada mencerahkan jika
hal-hal tersebut jarang diperlakukan melalui perluasan secara
analogis dalam makna yang terdapat pada akal linguistik. Makna dari
tindakan-tindakan, makna dari berbagi situasi, memiliki tempat yang
begitu penting. Bila filsafat berusaha menemukan relevansinya dengan
studi tentang manusia maka proses analisisnya berupa makna pada
kata-kata. Sebagai gambaran, maka cobalah untuk menceritakan suatu
hal yang sama dengan gaya bahasa bercerita yang berbeda.
Perluasan menyangkut
fitur berbeda dalam situasi yang sama, membuatnya memiliki makna yang
lebih banyak ataupun justru menjadi tanpa makna. Ekspresi yang
berbeda dapat memperjelas dan memperkuat satu sama lainnya. Manusia
mendapatkan situasi sebagai suatu yang sarat makna karena
diperlakukan demikian oleh mereka, dan memberi respon kepada mereka,
menghubungkannya terhadap situasi yang lain, menghakimi dan
menginterpretasinya dalam ingatan. Makna menjadi lebih ataupun kurang
kompleks. Namun makna bagi seseorang dikonfrontasikan dengan situasi.
Sehingga subjektivitas terhadap makna menjadi hal yang lazim. Makna
yang didapatka oleh seseorang dapat difahami oleh orang lain. Dalam
hal tersebut terjadilah persebaran makna (shared of meaning). Fakta
bahwa hubungan pengalaman yang mengatur kategiri hanya pada kasus di
diri kita sendiri dan interpretasi kita terhadap perilaku orang lain
yang didasari pengalamannya, tidak berarti bahwa hal itu
mengakibatkan masuknya pengaruh pada mental kita sendiri diperlakukan
sebagi sesuatu yang tak boleh salah ataupun lebih jujur dibandingkan
interpretasi kita terhadap perilaku orang lain. Ini adalah inti pada
penelitian secara empiris, dan bukan sebagai keputusan secara
teoritis. Terdapat pula kategori yang lain, yakni hubungan antara
bagian-bagian kepada keseluruhan. Misalnya struktur gramatikal yang
mengartikan suatu kata benda ataupun kata kerja merupakan suatu pola
trsanslasi yang ditemukan di dalam kamus. Makna dari bentuk dan
tindakan menjadi lebih jelas ketika menghubungkannya kepada tindakan
yang lain dan bentuk yang lain dan pada situasi sesuai di mana mereka
berada. Akhirnya, kita menempatkan objek pada suatu konteks yang
utuh.
Adapula kategori yang
lain lagi, yaitu pengkonseptualisasian hubungan yang memakai dan juga
dipakai oleh suatu lingkungan. Biasanya disebut kategori dari
kekuasaan. Sesuatu kejadian menjadi bermakna sesuatu apabila masuk
sebagi sesuatu yang tak terelakkan. Hal ini menjadi istimewa ketika
merupakan pangalaman aktual dari manusia. Disebut sebagai kategori
dari kekuasaan karena kekuasaan atau kekuatan dari pengalaman saat
kita dibebani oleh keadaan eksternal ataupun kita yang mempengaruhi
keadaan tersebut. Kategori selanjutnya yaitu kategori nilai. Dalam
kategori ini terdapat penghakiman yang mana terdapat pemberian
pengankuan terhadap suatu makna pada suatu situasi dengn
menghubungkannya kepada kepuasan ataupun ketidakpuasan, kenyamanan
atau kesakitan, keterbuktian ataupun ketidakterbuktian.
Situasi-situasi tersebut menadi sarat makna dalam aspek emosi yang
positif dan negatif. Bagian-bagian jalan yang berbeda yang dibangun
dari moral, estetika, ataupun putusan secara ekonomis tidaklah pada
sesuatu yang diejawantahkan tetapi pada pengalaman menyangkut
penilaian sebagai sesuatu yang biasa dan universal. Terakhir, adalah
kategori yang memformulasi yang menghubungkan antara situasai dan
tujuan.
Ketegori ini disebut
dengan kategori makna dan akhirnya. Sesuatu menjadi bermakna bagi
kita apabila hasilnya adalah apa yang kita tuntut. Kategori ini
memiliki unsur kesamaan dengan kategori sebelumnya. Kita akan
berusaha mewujudkan sesuatu yang bagi kita menyenangkan atau
berharga. Tetapi kedua ketegiri ini tak isa direduksi menjadi satu.
Karena sesuatu yang diangga barmakna pada akhir tujuannya, belum
tentu hal itu memiliki nilai yang berharga. Menginginkan suatu
kesenangan dari sutu yang telah terlaksana terhadap sesuatu yang
perlu untuk dilakukan tidaklah sama dengan menginginkan sesuatu untuk
dilakukan. Tidak hanya pada bagaimana kita mengatur diri kita sendiri
sebagai tuajuan yang penuh makna, tetapi juga tampak sebagai suatu
yang disediakan sebagai makna dari tujuan itu.
Penjelasan di atas
menunjukkan bagaimana uniknya hidup manusia, yang mana manusia dapat
membuat dunia disekitarnya menjadi bermakna dengan cara mengatur
dirinya sendiri sebagai suatu kumpulan dari tujuan-tujuan dan mencari
makna yang diperolehnya. Beberapa dari tujuan itu berakar pada
pengaturan pada corak psikologis dan kebutuhan biologis. Selebihnya
diciptakan dari diri kita sendiri ataupun dari tradisi. Oleh karena
kategori ini berakar dari hal yang fundamental dari kehidupan
manusia, yang mana kita menggunakan semua simbol, memiliki perasaan,
mengharapkan sesuatu, mempunyai satu kesatuan tetapi kesadaran yang
kompleks; maka dalam penginterpretasiannya menjadi bersifat
universal. Terhadap hal di atas, bagaimanapun juga, kita tidaklah
dapat mendaftarkan keseluruhan kategori tersebut ke dalam satu daftar
namun kita juga tak bisa mengecualikan sebagian. Secara spesifik,
kategori tersebut memiliki semacam peran dalam kehidupan mental kita.
Kepercayaan yang terbagi pada suatu zaman atau bingkai kerja
filosofis mungkin bisa menyediakan jalan untuk bisa melihat suatu
situasi menjadi bermakna. Sebagai contoh, perhatian dalam suatu
pembangunan memiliki fungsi pada ketegori yang mengorganisir konsepsi
dari negara yang suksesif dari unit-unit pendukungnya. Ini cukup
beralasan manakala itu berakar pada pengalaman yang matang, atau
hasil dari agama dan ide-ide filosofis dari peradaban. Di sisi lain,
menggunakan perhatian pada kelas sosial sebagai suatu kategori dan
menginterpretasikan situasi merupakan bagian dari suatu bagian
ideologi yang begitu jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar