Senin, 29 Oktober 2012

FENOMENOLOGI, HERMENEUTIKA DAN POSITIVISME

FENOMENOLOGI, HERMENEUTIKA DAN POSITIVISME
(Essay ini dibuat sebagai tugas akhir mata kuliah Epistimologi Antropologi, diambil dari berbagai sumber)Ditelaah Oleh : Hartono GS (Mahasiswa Ilmu Hukum/S3 UII)

FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1838). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Sebut saja para filsuf seperti Ernst Cassier (neo-Kantianisme), Mc.Taggart (idealisme), Fregge (logisisme), Dilthey (hermeneutika) Kierkergaard (filsafat eksistensial), Derida (poststrukturalisme)—semuanya sedikit banyak mendapat pengaruh dari fenomenologi. Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman.
Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebis mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.[1] Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Fenomenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi. Ini bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme. Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, sampai arsitektur semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi.[2] Penyamarataan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu mendapatkan tentangan keras dari filsuf-filsuf neo-Kantian yang menginginkan adanya pemilahan, baik sacara metodologis, ontologis, dan epistimologis antara ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam.
Para Kantian merasa bahwa manusia tidak semata-mata ditentukan oleh hukum maupun bertindak secara rasional semata (animal rationale), melainkan juga memiliki kekayaan batin (emosi, kehendak, disposisi) yang tidak dapat diukur begitu saja dengan model-model ilmu alam. Salah satu neo-Kantian dari Mahzab Marburg bernama Ernst Cassier mengungkapkan konsepnya tentang manusia sebagai animal symbolicum (makhluk simbolik) konsepnya ini menentang konsep manusia yang dideterminasi oleh daya-daya atau stimulan-stimulan eksternal seperti halnya benda-benda fisik. Cassier menolak pandangan naturalisme yang dianut ilmu-ilmu alam (ada realitas material eksternal yang berjalan secara deterministik dan independen dari subjek).[3]
HERMENEUTIKA
Ada tiga komponen pokok hermeneutika. Kesatu, adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk teks. Kedua, harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing” terhadap pesan itu. ketiga, adanya perantara atau kurir antara kedua belah pihak. Terdapat dua aliran besar dalam hermeneutika, yaitu hermeneutika romantik oleh Schleiermacher dan hermeneutika fenomenologi Heidegger.[4] Hermeneutika romantik Schleiermacher tidak terlepas dari konsepsi Schleiermacher mengenai bahasa dan praktik penafsiran. Memahami berarti mengarahkan perhatian pada suatu objek , yakni bahasa. Bahasa dapat dipahami sebagai dimensi supraindividual dan dimensi individual. Tugas utama seorang hermeneutik adalah membawa kembali kehandak makna yang menjadi jiwa suatu teks. Hermeneutik fenomenologi Heidegger merupakan sesuatu yang kontradiki. Fenomenologi adalah seni membiarkan fenomena berbicara sendiri, maka hermeneutika adalah seni melihat fenomen sebagai teks yang mengundang pertanyaan untuk kemudian diinterpretasikan. Hermeneutika fenomenologi hendak melepaskan diri dari kerangka epistimologi dimana subjek tidak lagi berhadapan dengan objek yang terhampar dihadapannya. Ia mengandaikan subjek selalu dan sudah berada di dunia yang selalu dan sudah bermakna sebuah dunia yang bukan representasi.[5]

POSITIVISME
Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untu menelaah fakta. Dalam perkembangannya, ada beberapa positivistik, yaitu : positivisme sosial, positivisme evolusioner, positivisme kritis, dan positivisme logik.[6] Positivisme sosial adalah penjabaran lebih lanjut kebutuhan manusia dan sejarah. Comte dalam studinya mengenai sejarah perkembangan alam pikir manusia menjelaskan bahwa matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. Ia menjenjangkan perkembangan alam pikir manusia yaitu teologik, metafisik, dan positif. Bentham dan Mill menyatakan bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Mereka menolak otoritas apapun yang menyusupi ilmu. Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi yang menggunakan doktrin evolusi biologis. Berangkat dari pemikiran tersebut, Spencer menganggap evolusi adalah proses dari homogen ke heterogen. Positivisme kritis atau empiriokritisme memandang bahwa sesuatu ( bisa berupa masyarakat ataupun kebudayaan) itu adalah serangkaian relasi inderawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu tersebut. Positivisme logik banyak dikemukakan oleh para pemikir dari neo-Kantian. Ia menolak segala bentuk etik transeden bahkan ia menyarankan adanya unifikasi ilmu dan mengganti konsep variabilitas menjadi konsep konfirmabilitas.[7]

Relasi antara Positivisme dan Gejala-Gejala Sosial

Tesis positivisme[8] adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya anggapan bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya[9]. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.[10]

Kritik terhadap Pendekatan Fenomenologi, Hermeneutik, dan Positivistik

Kaplan dan Manners berpendapat : Tidak seorang pun memiliki kemampuan untuk mengetahui secara langsung pikiran orang lain. Kaidah kognitif, hukum, dan kode, pada akhirnya hanyalah sekedar inferensi—simpulan yang boleh jadi betul tetapi boleh jadi juga keliru—yang dibuat oleh etnograf. Hal tersebut adalah konsepsi etnograf mengenai kemungkinan konsepsi informannya. Akan tetapikarena inferensi itu harus dituangkan dalam sesuatu bentuk yang dapat dipahami tidak hanya oleh etnografnya sendiri melainkan juga oleh para sejawatnya, maka si etnograf harus menggunakan kategori pemikiran yang berpijak pada antropologi dan tidak hanya pada informan warga pribumi yang bersangkutan saja. Tak terelak lagi, kita semua adalah komparativis.[11] Jika dialek dikesampingkan, satu, dua, tiga informan munkin sudah memadai. Itu karena penutur asli membuat jenis pembedaan yang sama dalam hal fonem. Artinya, meraka semua sama-sama merupakan pendukung bahasa tersebut. Akan tetapi semua individu yang membentuk suatu budaya tidaklah mengambil bagian atau berperan dalam budayanya secara demikian. Kendati Aberlee menekankan interaksi dan interdependensi, bukan kognisi, pendapat yang diajukannya mirip dengan pandangan Wallace. Ini berarti “realitas cultural” mungkin dapat berbeda-beda bagi pemimpin / pemuka dan bagi warga biasa, dan seterusnya. Bila diterapkan dengan kewaspadaan yang sepatutnya, model linguistic ini memang dapat membuahkan banyak hasil dan juga penuh daya saran dalam menangani jenis-jenis masalah tertentu. Akan tetapi bila kita melupakan sifat parsial dan isomorfis dalam analogi linguistik ini, mungkin lalu timbul pertanyaan dalam wujud yang menyulitkan perolehan pemecahan atau “jawab”-nya. Kendato Kaplan dan Manners banyak melontarkan kritik terhadap linguistik, namun mereka menyarankan untuk tidak membuang model linguistik tersebut. Hanya saja perlu disadari bahwa model linguistic ini—sepertihalnya dengan pendekatan lain—juga memiliki keterbatasan tertentu. [12]

Studi terhadap manusia terkait dengan permasalahan menyangkut tindakan yang penuh makna. Seseorang manusia itu dapat merasakan dunia ini sarat dengan makna dan tindakan yang penuh makna pula. Hal inilah yang kemudian merupakan pembeda antara studi tentang manusia dengan ilmu-ilmu fisik. Studi tentang manusia terfokus pada ide-ide, aspirasi, tindakan-tindakan yang memiliki tujuan, kreasi yang artistik, perangkat manusia, peraturan yang dibentuk untuk mereka sendiri, dan lembaga-lembaga yang mereka ciptakan. Pada ilmu-ilmu fisik, perhatian lebih pada problem eksperimental dan spekulasi terhadap materi secara kebendaan dan perhitungannya. Dalam ilmu fisik, sulit dibedakan antara mana yang teori dan mana yang fakta karena teori yang terbentuk semata-mata berasal dari fakta yang secara empiris melekat pada aspek kebendaan yang menjadi objek studinya. Misalnya dalam upaya pengklasifikasian, ilmu fisik lebih kepada mencari unsur-unsur kesamaan pada pola-pola teoritis yang telah ada secara umum tanpa harus terlebih dahulu mengutamakan common sense terhadap objek material tersebut.

Teori ilmu pengetahuan ataupun epistimologi memiliki perhatian yang besar pada pengujian terhadap berbagai asumsi. Ia berupaya mencapai kepuasan intelektual pada fondasi secara utuh dari ilmu pengetahuan kita dan memperhatikan bagaimana suatu pemikiran mengambil posisinya terhadap realitas. Yang menarik di sini yaitu upaya epistimologi untuk berusaha melihat dan menguji bagaimana seseorang mengetahui melalui proses berfikirnya. Fokus garapannya yaitu ada proses, sehingga perdebatannya menyangkut bagaimana metodologi berfikir sehingga sesuatu itu dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Kita perlu bersepakat mengenai hubungan dari apa yang kita terima sebagai fakta kepada yang lainnya dan tidak dengan kekusutan hubungan yang berlebihan antara fakta-fakta dan perangkat kognitif dari pengamat yang bersangkutan. Baik melalui investigasi secara ilmiah, refleksi filosofis, dan penerimaan secara akal sehat. Studi tentang manusia secara partikular telah tertahan oleh percobaanya dalam menegakkan sebuah titik awal yang jelas dan mandiri secara teoritis. Alternatifnya yaitu menolak pemikiran terhadap titik awal yang absolut dan mengizinkan apapun aksi filosofis yang ada dalam asumsi terdahulu. Refleksi pemikiran tentu saja bukan berupa alat tulis yang siap untuk digunakan menulis, tidak juga sebagai subjek pembuka pengetahuan yang murni, melainkan mata intelektualnya yang pertama kali melihat dunia yang asing baginya. Terdapat abstraksi buatan yang tidak sederhana, tidak bertentangan, dan secara murni merupakan permulaan secara teoritis. Hal yang terpenting dalam aspek kehidupan manusia yaitu menyangkut kesadaran (consciousness). Berfikir tidak hanya menyangkut bagaimana memperhitungkan sesuatu dan mencari pemecahan terhadap sesuatu permasalahan yang dihadapi, melainkan juga merasakan, membangun semangat, memiliki keinginan dan perhatian yang mana mewarnai pemikiran dan secara integral terhadap konsep kedirian. Dengan demikian kita bisa mengkoordinasi keinginan dan membuat rencana. Kita mengatur tindakan dan prinsip-prinsip yang kita pegang.
Apapun yang disebut dengan pengalaman ditentukan melalui pengaturan pada aspek psikologis dan diwarnai ataupun didistorsi oleh kebutuhan dan kepentingan. Kemampuan kita untuk memaknai suatu pengalaman tergantung pada anugerah yang diwariskan dari kecerdasan, ingatan, perhatian, sama baiknya dengan warisan dari sosial dan budaya. Bahasa, ide-ide, pengetahuan yang utuh, persangkaan oleh massa merupakan hasil dari suatu proses sejarah. Titik awal ini mengandung elemen dari fakta yang tidak bisa direduksi. Figur yang mengendalikan hal tersebut memiliki kapasitas ganda; pertama sebagai persangkaan terhadap ilmu pengetahuan, kedua sebagai pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, kita “dipaksa” untuk menguji kembali alam pengetahuan. Kita terlibat dalam suatu lingkaran dimana pengetahuan merampas pengertian absolutnya dan harus menjadi bagian dari kesatuan realis yang naif. Pengetahuan dinyatakan sebagai suatu yang relatif atau dibatasi oleh suatu titik tegak. Menurut saya, kita bisa saja berusaha memberikan penerangan / pencerahan, tetapi bukan secara objektif melainkan berkenaan pada perspektif terhadap kondisi manusia, yang mana ia sendiri sebagai objek penyelidikan.
Ketika kita memperdebatkan secara objektif dengan mengambil batasan dari konteks yang dijelaskan, maka kita telah mengambil kondisi epistimologis sebagai jaminannya. Bila pada titik awal filosofis yang mana keseluruhan problem dari ilmu pengetahuan dikemukakan sebagi suatu gagasan, maka kita tidak dapat menghindar dari perspektif psikologis, sosiologis, dan historis dimana setiap aksi kognitif berada. Ketika kita telah berketetapan untuk merangkum keseluruhan ilmu pengetahuan, maka kita tak bisa mengambil langkah di luar aspek keilmuan. Kita berusaha menginterpretasi suatu perihal yang mana ketika kita baru memulai tugas itu, sesungguhnya hal tersebut telah diinterpretasikan pada masa yang lalu. Tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh konsistensi yang lebih besar dan meningkatkan kesadaran terhadap diri kita sendiri. Keseluruhan struktur ilmu pengetahuan bukanlah suatu gambaran dari realitas melainkan suatu reasi dari manusia ke dalam suatu keputusan dan evaluasi. Dunia dipandang dan diorganisir dari suatu poin khusus dan ditentukan oleh perangkat kognitif dan dengan jalan inilah maka hal itu diinterpretasikan.
Proses ini nampak pada penggunaan kita dalam berbahasa. Misalnya menyangkut suatu pengklasifikasian. Berangkat dari hal tersebut di atas maka saya berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan rangkaian interpretasi yang hadir melalui suatu metode yang cermat dan memiliki tujuan tertentu. Filsafat, agama, dan mitos menginterpretasikan aspek mendasar dengan cara yang bervariasi. Tegasnya, interpretasi membuat dunia sarat dengan makna bagi manusia. Namun apabila kita tidak dapat melangkah di luar perspektif yang diciptakan dari interpretasi kita sendiri, maka kita tidak bisa menjawab pertanyaan tentang konsepsi kita terhadap realitas. Yang dapat dilakukan yaitu membuat hal ini tetap konsisten dan komprehensif. Memperlakukannya sebagai fakta dari kehidupan manusia dan subjek dari studi tentang manusia. Hal ini tentu saja menyerap pemaknaan yang dibawa oleh interpretasi manusia terhadap dunianya. Melalui pengujian mengenai terbitnya suatu makna, maka kita dapat menyajikan studi tentang manusia dari basis epistimologis yang kita miliki. Kesadaran terhadap kedirian diri sendiri dan terhadap dunia, hampir selalu diiringi oleh konseptualisasi dalam hal bahasa.
Dalam merasakan sesuatu tentunya setiap individu memiliki perbedaan sebab individu tersebut mengklasifikasikannya dalam pengalaman dan menempatkannya dalam konteks ingatan dan pengetahuan secara umum yang dimilikinya secara individual. Pendekatan secara linguistik yang masuk akal terhadap pemaknaan terletak pada faktanya. Selanjutnya lahirlah pertanyaan yaitu, “Apa yang membuat suatu situasi menjadi sarat dengan makna?”. Pertanyaan selanjutnya yaitu, “Apa yang membuat pernyataan ini menjadi penuh makna?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka sebaiknya kita merujuk pada makna non-linguistik yang kita pakai dalam percakapan sehari-hari. Perbedaannya justru lebih menggelapkan daripada mencerahkan jika hal-hal tersebut jarang diperlakukan melalui perluasan secara analogis dalam makna yang terdapat pada akal linguistik. Makna dari tindakan-tindakan, makna dari berbagi situasi, memiliki tempat yang begitu penting. Bila filsafat berusaha menemukan relevansinya dengan studi tentang manusia maka proses analisisnya berupa makna pada kata-kata. Sebagai gambaran, maka cobalah untuk menceritakan suatu hal yang sama dengan gaya bahasa bercerita yang berbeda.
Perluasan menyangkut fitur berbeda dalam situasi yang sama, membuatnya memiliki makna yang lebih banyak ataupun justru menjadi tanpa makna. Ekspresi yang berbeda dapat memperjelas dan memperkuat satu sama lainnya. Manusia mendapatkan situasi sebagai suatu yang sarat makna karena diperlakukan demikian oleh mereka, dan memberi respon kepada mereka, menghubungkannya terhadap situasi yang lain, menghakimi dan menginterpretasinya dalam ingatan. Makna menjadi lebih ataupun kurang kompleks. Namun makna bagi seseorang dikonfrontasikan dengan situasi. Sehingga subjektivitas terhadap makna menjadi hal yang lazim. Makna yang didapatka oleh seseorang dapat difahami oleh orang lain. Dalam hal tersebut terjadilah persebaran makna (shared of meaning). Fakta bahwa hubungan pengalaman yang mengatur kategiri hanya pada kasus di diri kita sendiri dan interpretasi kita terhadap perilaku orang lain yang didasari pengalamannya, tidak berarti bahwa hal itu mengakibatkan masuknya pengaruh pada mental kita sendiri diperlakukan sebagi sesuatu yang tak boleh salah ataupun lebih jujur dibandingkan interpretasi kita terhadap perilaku orang lain. Ini adalah inti pada penelitian secara empiris, dan bukan sebagai keputusan secara teoritis. Terdapat pula kategori yang lain, yakni hubungan antara bagian-bagian kepada keseluruhan. Misalnya struktur gramatikal yang mengartikan suatu kata benda ataupun kata kerja merupakan suatu pola trsanslasi yang ditemukan di dalam kamus. Makna dari bentuk dan tindakan menjadi lebih jelas ketika menghubungkannya kepada tindakan yang lain dan bentuk yang lain dan pada situasi sesuai di mana mereka berada. Akhirnya, kita menempatkan objek pada suatu konteks yang utuh.
Adapula kategori yang lain lagi, yaitu pengkonseptualisasian hubungan yang memakai dan juga dipakai oleh suatu lingkungan. Biasanya disebut kategori dari kekuasaan. Sesuatu kejadian menjadi bermakna sesuatu apabila masuk sebagi sesuatu yang tak terelakkan. Hal ini menjadi istimewa ketika merupakan pangalaman aktual dari manusia. Disebut sebagai kategori dari kekuasaan karena kekuasaan atau kekuatan dari pengalaman saat kita dibebani oleh keadaan eksternal ataupun kita yang mempengaruhi keadaan tersebut. Kategori selanjutnya yaitu kategori nilai. Dalam kategori ini terdapat penghakiman yang mana terdapat pemberian pengankuan terhadap suatu makna pada suatu situasi dengn menghubungkannya kepada kepuasan ataupun ketidakpuasan, kenyamanan atau kesakitan, keterbuktian ataupun ketidakterbuktian. Situasi-situasi tersebut menadi sarat makna dalam aspek emosi yang positif dan negatif. Bagian-bagian jalan yang berbeda yang dibangun dari moral, estetika, ataupun putusan secara ekonomis tidaklah pada sesuatu yang diejawantahkan tetapi pada pengalaman menyangkut penilaian sebagai sesuatu yang biasa dan universal. Terakhir, adalah kategori yang memformulasi yang menghubungkan antara situasai dan tujuan.
Ketegori ini disebut dengan kategori makna dan akhirnya. Sesuatu menjadi bermakna bagi kita apabila hasilnya adalah apa yang kita tuntut. Kategori ini memiliki unsur kesamaan dengan kategori sebelumnya. Kita akan berusaha mewujudkan sesuatu yang bagi kita menyenangkan atau berharga. Tetapi kedua ketegiri ini tak isa direduksi menjadi satu. Karena sesuatu yang diangga barmakna pada akhir tujuannya, belum tentu hal itu memiliki nilai yang berharga. Menginginkan suatu kesenangan dari sutu yang telah terlaksana terhadap sesuatu yang perlu untuk dilakukan tidaklah sama dengan menginginkan sesuatu untuk dilakukan. Tidak hanya pada bagaimana kita mengatur diri kita sendiri sebagai tuajuan yang penuh makna, tetapi juga tampak sebagai suatu yang disediakan sebagai makna dari tujuan itu.
Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana uniknya hidup manusia, yang mana manusia dapat membuat dunia disekitarnya menjadi bermakna dengan cara mengatur dirinya sendiri sebagai suatu kumpulan dari tujuan-tujuan dan mencari makna yang diperolehnya. Beberapa dari tujuan itu berakar pada pengaturan pada corak psikologis dan kebutuhan biologis. Selebihnya diciptakan dari diri kita sendiri ataupun dari tradisi. Oleh karena kategori ini berakar dari hal yang fundamental dari kehidupan manusia, yang mana kita menggunakan semua simbol, memiliki perasaan, mengharapkan sesuatu, mempunyai satu kesatuan tetapi kesadaran yang kompleks; maka dalam penginterpretasiannya menjadi bersifat universal. Terhadap hal di atas, bagaimanapun juga, kita tidaklah dapat mendaftarkan keseluruhan kategori tersebut ke dalam satu daftar namun kita juga tak bisa mengecualikan sebagian. Secara spesifik, kategori tersebut memiliki semacam peran dalam kehidupan mental kita. Kepercayaan yang terbagi pada suatu zaman atau bingkai kerja filosofis mungkin bisa menyediakan jalan untuk bisa melihat suatu situasi menjadi bermakna. Sebagai contoh, perhatian dalam suatu pembangunan memiliki fungsi pada ketegori yang mengorganisir konsepsi dari negara yang suksesif dari unit-unit pendukungnya. Ini cukup beralasan manakala itu berakar pada pengalaman yang matang, atau hasil dari agama dan ide-ide filosofis dari peradaban. Di sisi lain, menggunakan perhatian pada kelas sosial sebagai suatu kategori dan menginterpretasikan situasi merupakan bagian dari suatu bagian ideologi yang begitu jelas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar