Senin, 29 Oktober 2012

MEMBACA DINAMIKA GERAKAN POLITIK ISLAM PASCA 98 DI INDONESIA

                                      MEMBACA DINAMIKA GERAKAN POLITIK ISLAM 
                                                      PASCA 98 DI INDONESIA 
                                                           Oleh : Hartono*

A.    Pendahuluaan
Masa transisi demokrasi Indonesia pasca reformasi mengubah wajah perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai pihak merasa perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi, akutanbilitas publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh tananan masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi. Berbagai kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok tertentu, juga ikut mewarnai.
Terbukanya katub-katub kebebasan dalam berpendapat, berkumpul, dan berserikat menjadi salah satu pendorong menguatnya gerakan masyarakat sipil. Di satu sisi, gerakan ini menjadi harapan karena mampu mendorong dan menjadi stabilisator pemerintahan, namun di saat yang lain semakin mengancam. Kegetiran masyarakat atas berbagai persoalan terutama dalam hal ekonomi, politik, dan degradasi moral menjadikan masyarakat mencari alternatif baru.
Salah satunya adalah munculnya berbagai pemikiran politik Islam yang kemudian melahirkan banyak gerakan. Konsolidasi ditingkatan negara terus dilakukan, namun pada saat yang sama, terdapat konsolidasi internal di kalangan umat Islam. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya gerakan politik Islam dengan berbagai isu aktual. Penegakan syariat, negara Islam, khilafah Islamiyah, masyarakat madani, dan gerakan-gerakan pelegal-formalan Islam dalam kehidupan politik.

B.    Membaca Politik Islam Indonesia (kontribusi menuju demokrasi)
Krisis politik di Indonesia yang diyakini bersumber dari dampak utama (the prominent effect) adanya krisis ekonomi semenjak pertenganan Juli 1997, merupakan awal dominasi penyebab lengsernya rezim Orde Baru. Namun anehnya saat itu, kondisi krisis ekonomi dan semakin amburadulnya tatanan demokrasi pemerintahan yang ada, masih saja MPR dan kekuatan politik yang ada memberanikan diri mancalonkan Soeharto yang sudah jelas banyak ditentang masyarakat luas Maka tak ayal jika pada akhirnya massa mahasiswa yang terus ‘mengamuk’ berdatangan dari berbagai kelompok antara tanggal 18-20 Mei 1998 berhasil memaksa pimpinan DPR dan staf-stafnya untuk mengambil sikap atas tuntutan reformasi. Selepas kondisi itulah, yakni pasca jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi proses demokratisasi di segala bidang mulai start untuk dijalankan demi tercapainya cita-cita masyarakat Indonesia yang berdaulat.
Membuka file itu, tentu saja mengingatkan kita pada kondisi peta Islam di Indonesia yang-saat itu dan sesudahnya- telah banyak memberikan kontribusi atas wujudnya transformasi sosial dan berlakunya sebuah proses demokratisasi yang sedang melangkah sedikit demi sedikit di Indonesia. Kontribusi tersebut bisa dicermati cukup dengan dua sisi pandangan. Pertama adalah pandangan dari sisi normatif dan yang kedua adalah dari sisi praktis-historis.
Pertama, bisa terlihat dari sisi cita-cita normatif. Maksudnya adalah, bahwa Islam sebagai sebuah agama, sesungguhnya telah meletakkan beberapa dasar prinsip demokrasi dalam beberapa ajarannya seperti; shura (permusyawaratan), al-‘adalah (keadilan), ijma’ (konsensus), ijtihâd (kemerdekaan berpikir), tasamuh (tolerensi), al-hurrîyah (kebebasan), al-musâwah (egalitarian), ash-shidqu wal amânah (kejujuran dan tanggung jawab). Prinsip-prinsip tersebut, sebetulnya merupakan inti semangat makna demokrasi dan tentu hal itu bisa dibaca pada kitab al-Qur’an. Meskipun al-Qur’an tidak menyebut suatu bentuk dan sistem ketata-negaraan secara sharih, tatanan sistem demokrasi yang [saat itu dan sekarang] menjadi primadona bentuk demokrasi negara-negara di dunia, memiliki titik temu dan relevansi kuat untuk mengegolkan proses demokrasi di segala aspek kehidupan (Thompson, 2000:47-90). Dengan demikian, dalam Islam sebetulnya telah tertanam beberapa prinsip pokok dan tata nilai berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan bernegara untuk menunjang lajunya proses demokrasi.
Kedua, adalah dari sisi praktis-historis. Maksudnya adalah, bahwa selain Islam di Indonesia telah meletakkan prinsip-prinsip demokrasi, dalam prakteknya Islam juga telah membuktikan nilai-nilai tersebut. Dalam sejarah (historis) di Indonesia, para pemimpin Muslim yang mewakili mayoritas bangsa, telah memainkan peran penting dalam menentukan reformasi sosial dan politik. Bila era Orde Lama para pemimpin Muslim berperan melalui Masyumi, maka pada pasca lengsernya lengsernya Suharto, dua organisasi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah secara proaktif terlibat langsung dalam proses perubahan kepemimpinan untuk membangun sistem demokrasi di Indonesia.
Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Amin Rais yang dikenal sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, diakui merupakan tokoh penting dan sangat vital di dalam prosesi penumbangan rezim Soeharto. Kekuatan dan karisma yang dimiliki keduanya, tentu juga telah ditampilkan lewat masing-masing kebesaran massa organisasinya, NU dan Muhammadiyah. Turut terlibatnya mereka, sebagai pemimpin partai Islam, dalam menegakkan cita-cita demokrasi di bumi pertiwi Indonesia, merupakan bukti kongkrit bahwa cita-cita Islam sejatinya sangatlah mendukung atas berjalannya proses demokratisasi untuk menciptakan-salah satunya-masyarakat madani.
Amin Rais bersama organisasi Muhammadiyahnya yang berjumlah 28.000.000 anggota berikut dengan berjuta-juta simpatisanya (Rais, 1998:266-267), sering terlihat dalam media menjadi tokoh central penting dalam arus perkembangan politik pasca rezim Soeharto dalam menyuarakan jargon-jargon demokrasi baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Muhammadiyyah dan Amin Rais, sebagai organisasi masyarakat dan Ketuanya, tidak hanya bertujuan “to up-hold and to up-lift the religion of Islam so as to create the true Islamic society” saja melainkan lebih dari itu, sepak terjang Ketua PP. Muhammadiyah saat itu, sangatlah ketara ketika terlibat langsung dalam proses perubahan kepemimpinan nasional pada Mei 1998.
Pada waktu yang sama dengan momen yang berbeda, Gus Dur dengan NU-nya, juga turut diacungi jempol dalam gerakannya yang pelan tapi pasti, di dalam menumbuhkan sikap demokarasi di Indonesia. Sejak NU memutuskan kembali ke khithah 1926 pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 sampai peristiwa lengsernya rezim otoriter Orde Baru tahun 1998, gerakannya hanya dipusatkan pada transformasi sosial-ekonomi. Dalam hal ini, NU sebagai Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah, menegaskan keseluruh anggota dan simpatisannya untuk tidak terbuai dalam kekuasaan yang korup, nepotis, dan manipulatif (KKN). Di saat warga bangsa gila harta, jabatan, dan kursi kekuasaan, NU di era reformasi dengan tenangnya menata barisan untuk merumuskan pesan-pesan moralitas politik. Karena itulah, kasus Muktamar NU ke-29 di Cipasung, bisa dilihat sebagai contoh bahwa organisasi NU sangatlah concern terhadap demokratisasi bangsa dan Negar
Ditambah lagi dengan langkah-langkah Gus Dur dalam mengaktualisasikan demokratisasi, dan penegakan HAM diberbagai persoalan bangsa, begitu pula taqrir baru para Kyai dalam membangun partai kebangkitan bangsa (PKB) yang berformat sangat inklusif, populis, moderat dan humanis, tentu saja menambah starting point bahwa Islam di Indonesia berpotensi untuk menumbuh-kembangkan sikap demokrasi. Artinya, sudah sangat klop-lah bahwa Islam di Indonesia mempunyai peran yang sangat urgen dan berpotensi menumbuhkan sikap-sikap demokrasi dilihat dari karakter normatif dan praksis-historisnya.
Perkembangan yang cukup signifikan dalam bingkai perpolitikan Islam setidaknya dapat di tunjukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Partai Keadilan Sejahtera ()PKS merupakan gerakan sosial-politik keagamaan Indonesia kontemporer. Gerakan-gerakan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena pada masa Orde Lama juga sudah muncul gerakan politik Islam serupa. Model pemikiran gerakan Islam Indonesia memiliki kemiripan karekteristik, yakni menuntut adanya legalisasi Islam dalam sistem sosial ataupun politik Indonesia.
Bahkan, HTI sangat getol untuk meng-goal-kan khilafah Islamiyah atau pemeritahan Islam di Indonesia. Bagi HTI, pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan yang wajib ditegakkan. Model negara yang diimpikan HTI adalah transnasional yang tidak membatasi wilayah geografis atau melintasi batas-batas negara yang sudah ada. Pemikiran negara HTI banyak terinspirasi pemikiran tokohnya Taqiyuddin an-Nabanyy dari Palestina. Dan pemikiran politik HTI banyak terispirasi model pemerintahan Rasulullah di Madinah dan kemudian berkembang pada sistem khilafah Islamiyah. Sementara, khilafah Islamiyah sendiri runtuh pada 1924, masa kepemipinan Turki Usmani dihancurkan kekuatan kapitalisme Barat.
Berbeda dengan HTI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) memandang bahwa pentingnya formalisasi agama dalam sistem sosial politik Indonesia. Sepintas, MMI tidak memiliki ide pendirian negara agama, namun lebih mengedepankan simbolisasi agama dalam negara. Inilah yang membedakan antara HTI dan MMI dalam menegakkan Islam.
Bagi MMI, siapa pun yang menetang penegakan syariat harus ditentang dan dilawan, sekalipun dengan kekerasan. Doktrin ini kemudian banyak menjadi pemicu ketegangan di antara umat Islam, terutama kalangan moderat dan liberal. Tidak jarang, perbedaan pemahanan ini menimbulakan gesekan dan konflik keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini.
Laskar Jihad, FPI, dan KAMMI memiliki orietasi yang kurang lebih sama dengan MMI. Namun, masing-masing memiliki karakter yang berbeda dalam gerakan keagamaannya. Gerakan-gerakan ini pun sering menimbulkan gesekan ketegangan di antara umat Islam dewasa ini. Pertikaian antara FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monas Jakarta (1/06/08) merupakan fakta atas hal ini.
Akan tetapi pendekatan yang cukup konferhensif setidaknya perlu pemahaman awal yang memadai yakni bagaiman sebenarnya dinamika perpolitikan khususnya bagi umat Islam sebelum terjadinya reformasi tersebut. Analisis yang cukup meanrik adalah, andaikan ketika awal kemerdekaan politik Islam (dalam hal ini politik yang berbasis Islam dengan berbagai perangkatnya) dikekang lebih kuat lagi tentu hirroh serta semangat yang ada packa reformasi akan lebih tinggi lagi untuk berjuang atas penegakan syariat Islam, namun dilahin hal fenomena kembalinya pemahaman Islam dan politik sangat berkaitan ibarat dua sisi mata uang, tentu ini pun perlu sekali dicermati, kemudian pertanyaan yang bersifat miring juga terjadi, yaitu apakah kebangkitan parpol-parpol Islam itu merupakan indikasi  dari kemunculan “fundamentalisme Islam” di Indonesia?

B. Kebangkitan Politik Islam
            Dalam konteks global kebangkitan gerakan politik setidaknya sudah berlangsung cukup lama, seperti tercatat ada beberapa pemikiran Ikhwanul Muslimin di Mesir, revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 oleh kalangan militan Islam, dan berbagai gerakan lainnya, pun demikian juga terjadi di Indonesia yang dalam hal ini penyusun mencoba melihat dari mulainya masa reformasi 98. Pasca reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto setidaknya ada kemiripan antara yang terjadi di Iran dengan di Indonesia, namun dalam hal ini gerakan militan Islam belum bisa sepenuhnya mencapai puncak kekuasaan seperti yang terjadi di Iran.

1.    Eforia Politik yang Berlebihan
Azumardi Azra meyebutkan pasca jatuhnya Soeharto pada tahun 98 itu perubahan Indonesia menuju Liberalisasi politik dan demokrasi sudah tidak dapat diundur-undur lagi. Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya bermunculan partai-partai baru, namun jika hal itu yang menjadi sebuah tujuan dari reformasi maka reformasi itu sendiri pada hakekatnya tidak memiliki arti apa-apa karena keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan lain sebaginyalah yang diinginkan di negeri ini. Kebanyakan para elite politik–khususnya para partai politik besar sedang bereforia secara berlebihan menikmati partainya yang menang.
Cendekiawan Nurcholis Majid (Cak Nur) mengingatkan bahwa Pemilu 99 (pasca reformasi 98) bukan merupakan penyelesaian dari semua masalah, namun sebuah gerbang untuk memasuki agenda reformasi yang fundamental, melakukan amandemen terhadap UUD 1945, menata politik dan ekonomi serta membangun keadaban politik
Pasca reformasi 98 fenomena seperti PPP, PKS, PBB, yang mengambil jalan dalam koridor parlementer dan MMI, JI serta HTI yang mengambil jalan diluar sistem kepartaian tapi lebih pada organisasi keagamaan keduanya sebetulnya sangat menarik untuk diperdebatkan, dimana gerakan politik yang berbasiskan ideologi Islam ini, ia secara terang-terangan berani tampil dan mununjukan jati dirinya bahwa gerakan ini adalah gerakan yang mempresentasikan politik masyarakat Islam yang berkeinginan syariat Islam sebagai dasar Negara, senada dengan apa yang diungkapkan Prof. Jawahir Thaontowi untuk mendirikan atau menegakkan syariat Islam sangalah mungkin karena syariat Islam sangat jelas:
§    Syariat Islam menurut jumhur ulama’ telah jelas yakni meliputi aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak yang didasarkan pada al-Quran-Hadis.
§    Syariat Islam Syumuliyyah (lengkap)
§    Syariat Islam yang di dalamnya ada hukum Islam dalam perkembangan sejarah harus selalu bisa merespon dengan penafsiran didalamnya, dalam hal ini adalah realisasi syariat Islam di Aceh yang tertuang dalam UU. No. 18. tahun 2001 dengan jalan perjuangan (konseptual dan lobi parlemen).
Akan tetapi yang perlu juga dipahami dalam teori konstitusi seperti negara Indonesia sebetulnya tidaklah mudah mengusung ideologi Islam yang ending perjuangannya untuk menegakkan syariat Islam dikarenakan oleh beberapa hal yakni harus adanya sebuah revolusi secara total terhadap ideologi yang ada, pertanyaanya kemudian mungkinkah semua ini bisa terjadi? Dengan melihat fakta dilapangan yang ada, sebagai studi perbandingan yakni pemilu 1999 dengan pemilu 1955 sebenarnya partai politik Islam mengalami kemunduran yang cukup signifikan yakni hanya mendapatkan suara di parlemen sebanyak 20 persen di atahun 1999 sedangkan di tahun 1955 suara partai Islam mencapai 45 persen. 
Dari dialog parlementer di atas sesungguhnya politik Islam tidak memiliki kekuatan yang penuh untuk meluruskan jalannya menuju Negara yang berdasarkan syariat Islam, karena memang ada beberapa indikasi yang menyebutkan masyarakat Indonesia.
Pertama, masyarakat bayak yang berkeyakinan bahwa perjuangan “Islam Politik” sebenarnya banyak diperjuangkan oleh kalangan diluar partai Islam dengan label “politik yang Islami”.
Kedua, kaum muslimin sebenarnya lebuh peduli untuk menjadikan Islam sebagai etika sosial, yakni sebisa mungkin urusan politik bias disemangati oleh nilai-nilai agama seperti kejujuran, keadilan dan sebagainya, semua itulah yang diharapkan dari pada partai yang secarang terang-terangan mendeklarasikan sebagai partai Islam namun sering kali tersangkut masalah korupsi, asusila maka Islamlah yang akan terbawa akhirnya.   
Sekali lagi dalam ranah cita-cita sebuah penegakan syariat Islam sebenarnya bagi setiap manusia sangat diimpikan dan bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata karena memang setiap relitas manusia yang hidup dan beragama pada kenyataannya memerlukan sebuah bimbingan dari Tuhannya melalui kitabnya yakni Al-Qur’an dan Hadis untuk menuju kemaslahatan (bagi orang Islam) dan melalui kitab-kitab agama lain bagi pemeluk non Islam seperti halnya dalam tradisi Kristiani juga terjadi. Pemahaman serta teologi seperti inilah yang sebenarnya memiliki terminoligi fundamentalisme.
Meminjam teorinya Ibnu Khaldun dengan pendekatan Teori Lingkar Kekuasaan, setidaknya para penggagas tegaknya syariat Islam dan politisi Islam tidak diperlukan sama sekali sifat atau sikap antipati terhadap sistem yang ada, karena memang sistem yang ada saat ini yakni demokrasi adalah sistem yang telah disepakati oleh rakyat Indonesia dan para pendiri bapak bangsa, seperti halnya pemikiran Bung Hatta mengenai demokrasi, ia menyebutkan ada tiga landasan demokrasi di Indonesia. Pertama, adanya instrument sosialis-Barat yang mengangakat dasar-dasar kemanusiaan. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi. Ketiga, prinsip kolektivisme yang dibangun oleh masyarakat Indonesia sejak Negara ini belum merdeka.
Jika semua relitas di atas diingkari tentu proses untuk menuju sebuah cita-cita masyarakat yang berlandaskan syariat Islam akan kian jauh untuk dicapai karena memang fenomena yang ada saat ini dimana masyarakat terlihat sekali dalam apresiasi politiknyapun cendrung pada pilihan-pilihan organisasi yang berbasis nasionalis bukan Islam. Selain itu dengan adanya sistem demokrasi yang dibuka lebar-lebar pasca reformasi 98 setidaknya patut disyukuri dengan berbagai konsekunsi yang melatar belakangi.    

2. Ideologi Politik (Islam) tidak memiliki tempat di Indonesia.
Dua kutup pemikiran yang selalu diperbincangkan di Indonesia yang tiada habisnya adalah ideologi Islam dan pancasila, para penggagas ideologi Islam dalam perspektifnya merasa mereka belum merdeka dari penjajahan yang dilakukan oleh NKRI, hal ini banyak sekali terbukti dari doktrin-doktrin gerakan Islam dengan pernyataannya harus hijrah kenegara Islam? Akan tetapi pertanyaannya kemudian manakah negara Islam itu saat ini?, pertanyaan yang cukup mendasar ini sebenarnya ingin mengetahui sejauh mana kalangan Islam terus-menerus bernostalgia dengan kejayaan masa lalu, apakah benar umat Islam saat ini masih dalam keadaan tertidur lelap sehingga selalu memimpikan tanpa mau membaca realita yang ada.
Fenomena lain yang bayak diketemukan dalam masyarakat adalah keterasiangan uamat Islam dengan jumlah mayoritasnya, hal itu dapat dilihat melalui beberapa indikator seperti ;
o    Gerakan Islam yang tidak memiliki jalinan antar firqah Islamiyah dengan thariqah Islamiyah yang solid, Islam mayoritas tapi ibarat busa dilautan.
o    Tidak adanya pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya, faktor ini adalah faktor yang sangat menentukan karena ketika umat Islam tidak memahami dan mengerti secara mendalam atas apa yang diajarkan oleh agamanya, maka tnggu lah sebuah kehancuran.
o     Islam hanya dijadikan simbol (Islam-simbolik)
Simbol disini dimaksudkan adalah Islam hanya dijadikan kosumsi politik untuk meraih sebuah kekuasaan semata, semua ini setidaknya terbukti paska reformasi 98 partai-partai yang berbasis Ideologi Islam seperti PKS, PBB, PPP tidak memiliki tawaran yang berbeda dengan partai-partai Nasionalis lainnya, hal yang sama juga terjadi pada pemilu 2009 yang telah berlalu dimana bayak sekali parpol Islam seperti PKNU, PMB, PBR dan PPNUI tidak memikiki konsep yang memadai dan memiliki daya saing yang kuat.
        Dari ketiga indikator-indikator yang ada setidaknya bisa membaca bagaimana kekuatan Islam yang sesungguhnya dengan jargonya Islam adalah agama yang lengkap.
Akhirnya hanya landasan budaya, adat istiadat dan keberagaman suku bangsa serta agama yang majemuk menjadi modal untuk mewujudkan demokrasi keindonesiaan yang berbasis semangat Islami, dengan bahasa lain Indonesia akan besar hanya melalui jalur struktur dan kultur (yang didalamnya melalui pendekatan budaya, agama, masyarakat) yang sesuai karakter bangsa ini. Karena melihat perjalanan yang pernah bangsa ini lalui tenyata semuannya jauh dari semangat demokrasi dan nilai Islam yang telah diajarkan dan bersumber dari nilai-nilai yang ada dalam pancasila, dan pada saat ini lah hendaknya hendaknya demokrasi keindonesiaan dengan nilai-nilai agama sebagai fondasi bisa diwujudkan dengan tanpa melepaskan pada jatidiri bangsa dengan ideologinya pancasila

C. Islam adalah agama yang lengkap
Prokontra pemikiran tentang Islam dan politik setidaknya telah terjadi cukup lama yakni sebelum Negara Indonesia ini berdiri, kalangan Islamis yang memiliki kecendrungan bahwa agama Islam adalah agama yang lengkap dimana maslah keduniawain (politik) juga ada dan dibahas dalam ruang lingkup agama, sedangkan pemikiran sekuler yang dibawa oleh pemikir Barat setidaknya mencoba memisahkan antara urusan gereja/agama dengan urusan politik, seperti analisis pemikir Sir Thomas Arnold dalam bukunya The Caliphate, ia menyebutkan bahwa ajaran Islam tentang politik yang dimanifestasikan dalam sistem khalifah sebanarnya memiliki dua kepentingan yakni politik yang dipoles dalam wilayah agama, sehingga seolah-olah khalifah adalah perintah agama bukan sebuah metode atau sistem yang keluar dari rahim agama Islam.
Pemahaman Islam adalah agama Syumuliyyah (lengakap), ideologi inilah yang sebenarnya dipakai oleh para aktifis Islam baik yang bergerak dalam ranah dialogis maupun konfrontatif, lagi-lagi semua ini terjadi karena ada sebuah keterpengaruhan sejarah yang cukup panjang dengan memimpikan Islam bisa seperti dahulu kala tanpa mau melihat relita serta meningkatkan kualitas pemahaman tentang keagamaannya.
Fakta lain adalah pada umumnya orang-orang Islam percaya akan sifat Islam yang holistik. Sebagai sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih daripada sekedar sebuah agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu “masyarakat sipil.” Ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem “perabadan yang menyeluruh”. Bahkan, ada pula yang mempercayainya sebagai “agama dan negara.” Apa yang ada di balik rumusan-rumusan semacam itu pada dasarnya adalah pandangan umum bahwa Islam itu lebih dari sekedar sistem ritus dan/atau teologi. Lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat spiritual dan temporal. Sebaliknya, Islam memberikan panduan (etis) bagi setiap aspek kehidupan
Pemahaman agama dan negara saling terkait ternyata secara tidak langsung juga dilakukan oleh negara-negara yang menyebut dirinya sekuler, karena sekulerisme yang menjadi model global senyatanya tidak bisa berjalan dengan sendirinya, ini terbukti di dunia ini hanya ada dua negara yakni Prancis dan Meksiko yang tetap konsisten dengan kesekulerannya, sementara kebanyakan negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman ternyata antara negara dan agama saling terkait dan tak terpisahkan (dalam pengukuhan persiden ada do’a, doa di sekolah)



C. Kesimpulan
Dalam pendekatan etis, setidaknya memang agama bagi siapapun akan bisa mempengaruhi setiap gerak kehidupan manusia (yang beragama) karena memang kekuatan spiritual manusia sangat dibutuhkan yang dalam hal ini adalah Islam, seperti yang diungkapkan Jhon Nesbit “ketika manusia mengalami titik jenuh, maka jalan agama (sprituallah) yang akan dicari” selain itu dalam titik tertentu pula (kejenuhan politik, ekonomi, sosial) agama yang awalnya terpisah-pisah dan bercerai berai, maka semua itu sudah tidak diperlukan lagi, yang diperlukan hanyalah kedekatan hamba dengan Tuhannya.
Sebuah kesalahan besar jika umat Islam ingin bangkit kembali namun dalam kenyataannya masyarakat Islam masih terbelakang pendidikannya, ekonominya, ataupun keilmuannya, maka perlu adanya sebuah paradigma baru yakni belajarlah kedunia Barat seperti halnya dahulu Barat belajar kepada dunia Islam, selain itu ideologi-ideologi kekerasan sudah semestinya sedikit banyak dihilangkan agar Islam menjadi agama yang humanis rahmatal lil alamin.

Daftar Pustaka

Ahmad, Amrullah dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional; Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Bustanul Arifin. SH, Jakarta, gema Insani Press, 1993
al-Nabhani, Taqiyuddin, Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir, alih bahasa: Abu Afif, Bogor: Pustaka Tariqul Izzah, 1993.
Anshori, Ahmad Yani, Tafsir Negara Islam dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Azra, Azyumardi, Fundamentalisme Islam dalam “Mengapa Partai Islam Kalah” Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 99 sampai Pemilihan Persiden, Jakarta: Alfabet, 1999.
Ba’asyir, Abu Bakar, Dialog Keagaman dalam Book Fair, dilaksanakan di halaman Gedung Pameran Wanitatama, 4 Mei 2008.
Balack, Antony, Pemikiran Politik Islam; dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Jakarta: Serambi, 2006.
Ghazali, Abd Moqsith, Hermenuitika Pembebasan; menghidupkan Al-Quran dari Kematian, Ulumuna, Vol. VIII. Edisi. 13. No. 1 Januari-Juni 2004.
Hofmann, Murad W, Menengok Kembali Islam Kita, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
http//google.co.id.uinsuka.Sembodo Ardi Widodo, Islam dan Demokrasi Pasca Orde Baru, akses 19 Juni 2009.

http//www.google.co.id/islamdanNegara;tranformasipemikirandanpraktekpolitik diIndonesia/bahtiar efendy.
Jamil, M. Muhsin, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar; Pergulatan Islam Liberal versusu Islam Literal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran-Hadis, ISSN: 1411-6855. Vol.6.No.1 Januari 2005, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Usuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Khoiruddin, A. Yusuf, Agen-agen Sosialisasi Politik dan Implikasinya terhadap Perolahan Suara pada Pemilu 2009; Studi Kasus pada PKNU dan PMB, disampaikan pada Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, pada 1 Mei 2009
Maarif, A. Syafii, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban/PSAP Muhammadiyah, 2004.
Madjid, Nurcholish, “Homogenisasi Ingkari Jati Diri Indonesia”, Kompas, Kamis, 23 Maret 2000.
Marluwi, Hukum Islam di Indonesia Mungkinkah ?, JUSTITI Islamica, Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 3/No. 1/Jan-Juni 2005, ISSN 1693-5926, Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo.
Muzani, Saiful, Ideologi dan Kerja Ilmiah; Mempertimbangkan Gagasan Islamisasi untuk Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Humaniora) dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Lembaga Studi Agama da Filsafat, 1993.
Nata, Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Nugroho, Taufiq, Pasang Surut Hububngan Islam dan Negara Pancasila, Yogyakarta: PADMA, 2003.
Rosyada, Dede dkk, Demokrasi & masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatulloh, 2003.
Sumbulah, Umi, Fundamentalisme Sebagai Fenomena Keagamaan, AKADEMIKA Jurnal Studi Keislaman Vol. 14, No. 2, Maret 2004. ISSN: 1410-7457, diterbitkan oleh Program Paskasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Thaontowi, Jawahir, Islam, Politik & Hukum; Esai-esai Ilmiah untuk Pembaruan, Yogyakarta: Madyan Press, 2002.
Wahid, Abdurrahman, Membangun Demokrasi, Bandung: Rosda Karya, 2000.
Zaid, Nasr Hamid Abu, Hermenutika Inklusif; Mengatasi problematika Bacaan dan cara-cara Penakwilan atas Diskursus Keagamaan, Jakarta: ICIP, 2004.
____________,Tekstualitas Al-Quran; Kritik terhadap Ulumul Qura’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKis, 2005.





























Tidak ada komentar:

Posting Komentar