PARADIGMA
ILMU: POSITIVISME, POSPOSITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME
Oleh
Imam Subagyo
Ditelaah
oleh : Hartono (mahasiswa PPs. Ilmu Hukum/S3 UII)
A.
PENDAHULUAN
Pembahasan tentang
paradigma ilmu termasuk bagian dari materi filsafat ilmu. Sedangkan
filsafat ilmu merupakan salah satu cabang kajian filsafat yang
membahas tentang hakikat ilmu.
Sebelum membahas
aliran-aliran paradigma ilmu, lebih dulu penulis kemukakan hasil
penulusuran asal-usul filsafat. Ach. Maimun Syamsuddin menyatakan,
pada umumnya para ilmuwan menganggap bahwa tanah tumpah darah
filsafat adalah Yunani. Namun Al-Farabi dalam Tahsil
al-Sa’adah
mencatat bahwa orang-orang Kaldan (kawasan Mesopotamia) sejak zaman
purba merupakan pemilik tradisi filsafat yang diwarisi orang-orang
Mesir lalu turun ke Yunani. Di Yunani inilah memang tradisi mencari
kearifan dilakukan lebih intensif, dengan metode yang kian teratur
dan sistematis, berusaha melepaskan diri dari berbagai mitos.
Muhammad Al Bahi dalam
Al-Janibul
Ilahi minat afkiril Islami
menerangkan pula adanya sumber-sumber filsafat termasuk dari
kebudayaan Timur yakni dari agama-agama Aria, yaitu: Brahma, Budha,
Zuruastra dan Manu, serta dari agama-agama Semit, yaitu: Yahudi dan
Masehi (Kristen).
Al Bahi menyatakan,
filsafat Greek (Yunani) bukanlah ciptaan para filsuf Greek. Bukti dan
argumen yang dikemukannya adalah bahwa di dalam filsafat Yunani
terdapat hubungan dengan agama primitif Yunani yang menjadi
unsur-unsur filsafatnya. Contohnya, filsafat Yunani menjadikan “api
hiraqlith” sebagai asal alam, sebagai indikasi bahwa ada pengaruh
agama Timur di dalamnya, sebab penyucian dengan api pada umumnya ada
di agama-agama Timur. Selain itu dalam filsafat Yunani juga
menjadikan “akal iliyah-i” sebagai asal alam, barangkali adalah
konklusi penyucian jiwa, sebagai asal akidah agama primitif.
Martin Bernal dalam
bukunya Black
Athena,
menyelidiki jalinan kesetaraan dan keserupaan kebudayaan dan
intelektual antara peradaban Semit (Yahudi), Yunani dan Mesir.
Ternyata Bahasa Yunani, walaupun termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa,
banyak meminjam perbendaharaan kata bahasa Kan’an dan bahasa Mesir.
Peradaban Yunani banyak terpengaruh oleh peradaban Mesir dan Funesia,
akibat penjajahan selama 1500 tahun oleh kedua bangsa itu. George
Sarton menegaskan bahwa ’keajaiban’ Yunani dalam bidang sains
sebenarnya telah didahului oleh ribuan tahun pencapaian sains di
Mesir dan Mesopotamia, sehingga pandangan bahwa sains bermula dari
Yunani adalah pemalsuan hakikat sejati yang merupakan sikap
’kekanak-kanakan’. Prof. George GM. James dalam bukunya Stolen
Legacy: Greek Philosophy is Stolen Egyptian Philosophy
memaparkan tesis bahwa para filosof Yunani seperti Thales,
Pythagoras, Socrates, Plato dan sebagainya telah menerima pendidikan
atau setidaknya meminjam buah pikiran para paderi dan pendeta Mesir.
Dengan demikian,
banyaknya literatur yang menuliskan bahwa asal-usul filsafat berasal
dari Yunani hendaknya perlu diluruskan sebab pandangan tersebut hanya
akan menyembunyikan sejarah filsafat.
Filsafat sendiri
sebenarnya juga menjadi kajian ilmu. Namun, dalam definisi yang
umumnya diakui ada perbedaan antara ilmu dengan filsafat.
Definisi ilmu ternyata
beragam, berdasarkan pendapat para ahli yang berbeda. C.A. Peursen
menyatakan bahwa ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh
usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan
pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Dalam Tanbihun.com
dirangkum berbagai definisi ilmu pengetahuan dari banyak ahli,
beberapa di antaranya sebagai berikut ini.
Mohammad
Hatta mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang teratur tentang
pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama
tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun
menurut hubungannya dari dalam. Ralp Ross dan Ernest van Den Haag
menyatakan bahwa ilmu
adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya
serentak. Cambridge
Dictionary 1995
mengartikan ilmu
pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar, mempunyai objek
dan tujuan tertentu dengan sistim, metode untuk berkembang
serta berlaku universal yang dapat diuji kebenarannya.
Begitu pula definisi
filsafat ada bermacam-macam menurut pendapat para ahli filsafat dari
waktu ke waktu. Plato memandang filsafat adalah pengetahuan yang
berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Plato juga
menyatakan bahwa filsafat
tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles
menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika. Aristoteles juga menyatakan bahwa
kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda.
Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas
penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan
ilmu. Sementara itu Al Farabi mengartikan filsafat
adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.
Apabila diperhatikan
berbagai definisi tentang ilmu tersebut, dapat dikatakan bahwa ilmu
bukanlah sekadar pengetahuan, tetapi merupakan sekumpulan pengetahuan
yang benar dan dapat secara sistematik diuji dengan suatu metode.
Sedangkan penggunaan metode ilmiah akan bergantung pada paradigma
ilmu yang akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini, apakah suatu
metode ilmiah bersifat tetap sebagai pedoman yang positivistik demi
menentukan kepastian cara menguji kebenarannya, ataukah metode
tersebut dapat berubah-ubah.
Berbeda dengan ilmu
pengetahuan, filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Namun demikian, ketika
filsafat dikaji dalam dan sebagai suatu studi ilmiah maka filsafat
juga menjadi bagian dari ilmu itu sendiri, termasuk pula filsasat
ilmu. Hal itu tampak pada bagaimana perbedaan ahli dalam memandang
filsafat ilmu.
A. Cornelius Benjamin
memandang filsafat ilmu sebagai berikut. ”That
philosophic discipline which is the systematic study of the nature of
science, especially of its methods, its concepts and presuppositions,
and its place in the general scheme of intellectual disciplines.”
Di sini
Cornelius Benjamin memandang filsafat imu merupakan cabang dari
filsafat.
Namun, Conny Semiawan dan
kawan-kawan (at
al)
menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang
berbicara tentang ilmu pengetahuan (science
of sciences)
yang kedudukannya di atas ilmu lainnya. Di sini Conny Semiawan at al
memandang filsafat ilmu sebagai ilmu tentang ilmu pengetahuan.
Tulisan ini selanjutnya
akan menelaah tentang beberapa paradigma ilmu yang saya batasi pada
paradigma positivisme, pospositivisme dan konstruktivisme.
B.
PARADIGMA
ILMU
Pemikiran manusia dari
zaman ke zaman selalu berubah, mengalami perkembangan. Kita dapat
menelaah sejarah di mana ilmu pada zaman sebelum Masehi sudah
berkembang, terutama yang terkenal di Mesopotamia, Babilonia, Mesir,
India, Cina hingga zaman Yunani Kuno.
Perkembangan agama
Kristen di Eropa pada zaman Masehi turut mempengaruhi perkembangan
ilmu pengetahuan pada waktu itu, di mana hegemoni tafsir ayat agama
dalam pemerintahan yang sempat mengintervensi dan menghakimi
pemikiran ilmiah seperti yang terkenal terjadi pada kasus Galileo
yang melakukan falsifikasi terhadap pandangan geosentris, dengan
mengemukakan teori baru bahwa matahari merupakan pusat tatasurya
(heliosentris).
Namun demikian
kesewenang-wenangan gereja tersebut tidak membuat para ilmuwan
menyerah. Kondisi-kondisi masyarakat Eropa seperti itu justru
memunculkan para ilmuwan dan filsuf yang peduli terhadap perubahan
sosial, berusaha melakukan perubahan dengan mengembangkan ilmu
pengetahuan, sehingga muncullah gagasan-gagasan atau paradigma
tentang ilmu pengetahuan, di antaranya positivisme, pospositivisme,
konstruktivisme.
1.
Positivisme
Pemikir Barat yang
dianggap sebagai pencetus positivisme adalah Auguste Comte dengan
nama lengkap Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir
di Montpellier,
Perancis, 17
Januari 1798.
Comte meninggal di Paris 5
September 1857 pada
umur 59 tahun. Comte merupakan seorang ilmuwan Perancis
yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi".
Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode
ilmiah dalam ilmu
sosial.
Aguste Comte hidup pada
zaman pasca Revolusi Perancis abad ke-19 yang karut-marut. Pada
mulanya Comte merupakan seorang ahli fisika dan politeknik terkemuka
zaman itu. Ia mencoba memberikan sebuah solusi tentang konsep
masyarakat ideal yang disebutnya sebagai masyarakat positivistik.
Auguste Comte saat itu
menggambarkan masyarakat Perancis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat
teologis atau mitos, masyarakat metafisika, dan masyarakat positivis
yang disebut oleh Aguste comte sebagai masyarakat yang mapan.
Comte melihat keadaan
Perancis sama dengan keadaan di Eropa pada umumnya. Maka Comte
menetapkan satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang
kemudian ia sebut sebagai 'hukum tiga fase'. Menurutnya, masyarakat
berkembang melalui tiga fase: teologi, metafisika, dan tahap positif
(atau sering juga disebut "tahap ilmiah").
Fase teologi tersebut
berada di permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia
dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan
didasari pada perintah Tuhan. Masa itu ditandai adanya dominasi hukum
gereja. Ilmu pengetahuan yang berkembang dilarang berlawanan dengan
ayat-ayat Injil. Tetapi, tentu saja ayat-ayat Injil tersebut
ditafsirkan oleh otoritas agama yang tidak luput dari kekeliruan.
Fase berikutnya adalah
fase metafisika, yaitu tahap di mana manusia dengan akal budinya
mampu menjelaskan tentang realitas, fenomena, dan berbagai peristiwa
dicari dari alam itu sendiri. Comte berpendapat bahwa metafisika
belum bisa bersifat empirik, sehingga tidak akan menghasilkan
pengetahuan baru tentang realitas dan belum dapat menjelaskan hukum
alam, kodrat manusia dan keharusan mutlak tentang manusia.
Comte menyatakan bahwa
cara berfikir manusia harus keluar dari dua tahap tersebut, yaitu
dengan masuk pada fase berikutnya, yaitu tahap pengetahuan positivis
yang dapat dijadikan sarana untuk memperoleh kebenaran dengan cara
observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial.
Comte mengembangkan suatu
penggolongan hirarkis dan sistematis dari semua ilmu pengetahuan,
termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur ( ilmu
perbintangan, ilmu
pengetahuan bumi dan ilmu
kimia) dan ilmu fisika organik (biologi) dan
bentuk badan sosial yang dinamai sosiologi.
Dalam paradigma
positivisme ini, C.A. van Peursen menilai bahwa positivisme logis
memecahkan kendala yang dihadapi empirisisme berkaitan dengan
kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku umum. Positivisme
logis menganggap ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai
pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa
(kenyataan). Positivisme logis bertolak dari data empiris, seperti
pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan
pengamatan atau “kalimat protokol”. Sedangkan ilmu formal tidak
mengenai data empiris (kenyataan) tapi menjalin hubungan antara
lambang-lambang yang membuka kemungkinan memakai data observasi yang
telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan
deduksi).
Anis Chariri membuat
pengertian paradigma positivisme secara lebih sederhana berdasarkan
pendapat Neuman (2003), yaitu suatu pendekatan yang diadopsi dari
ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika
deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam
menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan
ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan
penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara
tepat, yang diperoleh melalui survei/kuisioner dan dikombinasikan
dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif.
Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian
ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di
dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan
sebab akibat. Paradigma positivisme membuat parameter bahwa ilmu
sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama,
sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut
harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari
jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang
bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga
dapat dicari hukum sebab akibatnya.
Paradigma positivisme
berpandangan bahwa teori terbentuk dari seperangkat hukum universal
yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan
hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai
dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori
umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan
tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.
Dengan demikian paradigma
ilmu positivisme merupakan paradigma yang menggunakan metodologi
kuantitatif. Paradigma tersebut selanjutnya mendapatkan kritik para
ilmuwan, termasuk mereka yang berparadigma pospositivisme.
2.
Pospositivisme
Salah satu bentuk
paradigma pospositivisme adalah paradigma interpretatif. Pendekatan
interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada
peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial.
Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan
berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang
dipelajarinya. Manusia secara terus menerus menciptakan realitas
sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz,
1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif
tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan
bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).
Salah satu pendiri
pospositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir di
Vienna,
Austria, 28
Juli 1902
dan meninggal di London, Inggris, 17
September 1994
(umur 92 tahun). Popper merupakan salah satu dari sekian
banyak filsuf ilmu
dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan
gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.
Falsifikasi adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang
kesalahan. Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya
dibuktikan kesalahan tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori
baru yang menggantikannya.
Saya berpendapat bahwa
tujuan falsifikasi dimungkinkan semata-mata untuk terus-menerus
mencari kebenaran suatu teori, bukan sebagai sikap subyektif untuk
mencari-cari kesalahan yang motif negatif. Falsifikasi ala Popper di
sini mempunyai motif positif. Salah satu contoh falsifikasi telah
disebutkan di depan pada kasus Galileo Galilei yang membantah atau
melakukan falsifikasi terhadap teori geosentris dengan mengemukakan
teori heliosentris.
Di zaman yang lebih
modern Albert Einstein juga melakukan falsifikasi teori tentang
relativitas dalam mekanika. Einstein pada tahun 1905 memaparkan teori
elektrodinamika benda yang bergerak. Dia memanfaatkan
teori elektro-dinamika dari Maxwell, untuk menemukan batasan dari
mekanika Newton, membenturkan kedua teori, yakni mekanika klasik
dengan teori elektro-magnetisme. Einstein hendak menunjukan bahwa
kerangka fisika dan mekanika klasik yang berbasis ruang dan waktu
absolut, yang secara matematik dituliskan sebagai transformasi
Galileo Galilei, tidak berlaku dalam kecepatan amat tinggi. Einstein
sekaligus membantah teori dari Heinrich Hertz mengenai medium yang
disebut ether pembawa cahaya, dimana gaya listrik dan gaya magnet
tidak dapat melampaui batasan ruang. Dengan teorinya yang dijuluki
sebagai Teori Relativitas Khusus itu Einstein menunjukan
ternyata tidak ada waktu absolut, akan tetapi hanya ada ruang- waktu
yang tergantung dari relasi-sistem. Dengan
kata lain, dalam ruang-waktu yang memuai secara cepat, pengukur waktu
yang berdetik cepat-pun akan berjalan lebih lambat. Teori
elektro-dinamika benda bergerak itu, kemudian terbukti dalam
percobaan di laboratorium menggunakan jam atom, serta dalam
pengamatan waktu paruh dari partikel yang bergerak dengan kecepatan
mendekati kecepatan cahaya.
Kembali pada pemikiran
Karl Popper tentang gagasan prinsip falsifikasinya. Popper
menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh bersifat kritis,
apabila mau membuang parameter yang mula-mula dipaksakan (imposed
regulaties).
Pandangan ini disebut pula sebagai rasionalisme kritis di mana
rasionalisme tidak berarti bahwa pengetahuan didasarkan pada nalar
seperti dikatakan Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat
rasional dibentuk lewat sikap yang selalu terbuka untuk kritik.
Inilah di antaranya prinsip falsifikasi yang diutarakan oleh Popper
dalam melakukan kritik terhadap paradigma positivisme yang dianggap
kaku dengan cara menggunakan serta hanya mengakui metoda ilmiah yang
umumnya digunakan (bersifat positivistik).
Senada dengan Karl Popper
adalah I. Lakatos dalam tulisannya berjudul History
of Science and its Rational Reconstructions
pada buku Boston
Studies in the Phylosophy of Science (1971)
yang juga menyetujui model deduktif dalam metode ilmiah. Namun
Lakatos menyangkal adanya kemungkinan untuk experimentum
crucis,
yaitu keadaan bahwa satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu
teori. Ia berpendapat bahwa yang terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu
sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang
lain. Teori-teori beruntun atau berdampingan sebagai alternative.
Jika itu menghasilkan teori yang lebih baik, itu disebut program
penelitian progresif, kalau tidak dinamakan degeneratif. Van Peursen
tidak menggolongkan kritik Lakatos ini ke dalam paradigma
konstruktivisme, tapi dia mengistilahkannya pemikiran Lakatos
tersebut sebagai “bentuk peralihan yang mendekati kelompok ini
(konstruktivisme).
3.
Konstruktivisme
Konstruktivisme
adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan
telah ditangkap manusia adalah konstruksi (bentukan) manusia itu
sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997). Maka pengetahuan
bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan
manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang
dialaminya. Proses konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus
dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu
pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu
pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah
ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan
dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia
sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya
pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu
pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan
ilmu pengetahuan yang relatif baku.
Ada pendapat yang
menyatakan bahwa gagasan pokok konstruktivisme dimulai oleh
Gimbatissta Vico, epistemologi dari Italia. Dialah cikal bakal
konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De
Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa
“mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’
Vico menyatakan bahwa pengetahuan lebih menekankan pada struktur
konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang
menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan
luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya
(Suparno: 2008).
Namun demikian penelitian
sejarah pemikiran konstruktivisme lainnya dapat memberikan gambaran
bahwa konstruktivisme lahir sebelum tahun 1970-an. Kita bisa membaca
pemikiran Charles S. Pierce yang juga dianggap sebagai salah satu
pemikir konstruktivisme, yang hidup pada tahun 1839-1914.
Van Peursen membagi
konstruktivisme dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama
dinyatakannya sebagai kelompok yang paling dekat dengan positivisme
logis sebab sangat mementingkan logis ilmu. Kelompok ini disebut juga
sebagai tesis “Duhem-Quine” mengacu pada pendapat W.V.O Quine
yang disebut sebagai bentuk holisme atau bertolak dari keseluruhan.
Sedangkan P. Duhem mengajarkan bahwa suatu sistem ilmiah terdiri atas
lambang-lambang (simbol), atas konstruksi simbolik melalui kaidah
logis seakan-akan menyajikan suatu “terjemahan” mengenai data
empiris. Oleh karenanya ilmu harus mengadakan kontak dengan
pengalaman. Apabila terjadi konflik antara ilmu dengan pengalaman
maka hal itu menyangkut sistem sebagai keseluruhan. Namun demikian
ini tidak berarti bahwa seluruh sistem harus dihapus, biasanya cukup
memperbaharui terjemahan dengan mengganti lambang-lambang tertentu.
Quine melawan pendapat yang dogmatis dalam empirisme.
Kelompok kedua diberi
nama “filsafat ilmu baru.” Para tokoh dalam kelompok ini di
antaranya P.K. Feyeabend, N.R. Hansen, Thomas Kuhn, M. Polanyi, S.
Toulmin. Kelompok ini melangkah lebih jauh lagi di mana sistem dan
kenyataan empiris saling resap-meresapi. Perkembangan ilmu terjadi
melalui aturan di luar ilmu lebih berperan, seperti misalnya anggapan
susila dan sosial. Kelompok ini menaruh perhatian besar terhadap
upaya menyusun suatu teori ilmiah, sehingga heuristik juga
diperhatikan. Setiap analisis ilmiah bertolak dari organisasi bahan
yang mendahuluinya, bertitik tolak pada gambaran menyeluruh yang
menentukan terbentuknya sistem ilmu. Kuhn berpendapat bahwa
pembenaran suatu teori bergantung pada struktur menyeluruh yang baru
(paradigma). Verifikasi dan falsifikasi bukanlah hal yang menentukan.
Heuristik mulai memegang peranan penting bagi metode suatu ilmu,
khususnya bagi pembaharuannya.
Kelompok ketiga yang
menganut paham konstruktivisme disebut aliran “genetis.” Kelompok
ini berpendapat bahwa terjadinya sistem, genesis sistem, merupakan
bagian dari sifat khas sistem semacam itu. Proses terjadinya
(genesis) dan hasilnya tidak dapat dipisahkan. Aliran ini dipengaruhi
oleh pragmatisme dan instrumentalisme dari Charles S. Pierce dan J.
Dewey. Titik pangkalnya dari anggapan Pierce dengan ajarannya tentang
abduksi. Selain deduksi dan induksi, Pierce menyampaikan metode
abduksi.
Pierce itu
menyatakan bahwa abduksi sebagai logika yang menentukan
pembentukan hipotesis apapun. Setiap pengamatan dan interpretasi
merupakan hipotesis yang dibuat berdasarkan abduksi. Sebagai sebuah
proses sadar, abduksi merupakan bentuk ke tiga kesimpulan logis
(seni melakukan penyimpulan), sesudah induksi dan deduksi. Abduksi
bisa dipandang sebagai pencarian akan penjelasan terbaik bagi
fenomena apapun yang diamati yang memerlukan penjelasan: X (misalnya,
penggunaan tak terduga sebuah kata tertentu) sungguh luar biasa; A,
B, C merupakan kemungkinan penjelasan akan penggunaan ini; B
(misalnya posisi sosial penutur, yang membedakannya dari interlokuter
lain) tampaknya paling meyakinkan. Jika B memang benar, fenomena X
tidak lagi luar biasa; dengan demikian B diterima sebagai satu
hipotesis yang bisa menguraikan kejadian X.
Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
1.3) Buncis ini (adalah) putihInduksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putihAbduksi:
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
1.3) Buncis ini (adalah) putihInduksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putihAbduksi:
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
Di dalam filsafat Islam,
filsuf Al-Kindi tampaknya juga termasuk pemikir konstruktivis. Dalam
karyanya yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris berjudul Treatise
on Metaphysics ia
menyatakan: “Kita seharusnya tidak malu untuk mengakui kebenaran
dan menerimanya dari sumber manapun yang datang kepada kita,
sekalipun ia dibawa kepada kita oleh generasi-generasi sebelumnya dan
orang asing. Bagi orang yang berusaha menemukan kebenaran, tidak ada
nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri; ia tidak pernah
merendahkan atau melecehkan orang yang mencapainya, justru memuliakan
dan menjadikannya terhormat.” Hal ini menunjukkan bahwa Al Kindi
tidak berpatokan pada satu sumber saja dalam mencari kebenaran.
Begitu pula dengan Ibnu
Sina yang tertarik dengan semua metodologi ilmu pengetahuan. Dalam
kajian-kajiannya tentang ilmu alam Ibnu Sina bertumpu pada semua
jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari rasiosinasi dan
interpretasi terhadap Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi.
Ibnu Sina memodifikasi silogisme Aristoteles, melakukan pengembangan
ilmu fisika melahirkan fisika modern melakukan kritik terhadap
teori-teori Aristoteles, melakukan observasi dan eksperimentasi
sekaligus.
Para ilmuwan Islam pada
dasarnya memang telah diajari tradisi konstruktivisme guna
mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu dalam Islam muncul
berbagai mazhab Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
serta banyak mucul Thariqah.
Dalam ilmu tafsir Al
Quran muncul bermacam-macam metode, diantaranya metode tafsir
bil ma’tsur
(tafsir melalui riwayat para sahabat Nabi Muhammad SAW), tafsir
bil ra’yi (tafsir
menggunakan akal) maupun gabungan keduanya. Imam Al Baghawi di dalam
mukadimah kitab Ma’alim at-Tanzil menyatakan: “Tidak menambah
atas apa yang telah para ulama sebelumnya lakukan, tetapi tiap-tiap
masa harus ada pembaharuan atas apa yang telah lama masanya, penuntut
ilmu berkurang masanya, sebagai peringatan bagi orang yang terhenti,
motivasi bagi yang sungguh-sungguh, maka dengan pertolongan Allah dan
taufik-Nya yang baik.”
Saya berpendapat bahwa
konstruktivisme menjadi jalan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
secara lebih leluasa, asalkan metode yang disusun dapat
dipertangungjawabkan kebenarannya.
C.
PENUTUP
Munculnya filsafat
pertama kali ternyata bukanlah dari Yunani. Berdasarkan pelacakan
sejarah para ilmuwan ternyata filsafat Yunanipun dipengaruhi oleh
kebudayaan agama-gama yang berasal dari dunia Timur, terutama dari
Mesir, Babilonia, Mesopotamia. Selain itu, di bagian dunia lainnya
juga berkembang filsafat, seperti di India dan Cina.
Filsafat ilmu dengan
berbagai macam paradigmanya merupakan sejarah jalan menuju
perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini. Pandangan konstruktif
dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan dengan metode
apapun asalkan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam dunia Islam,
paradigma konstruktivisme merupakan tradisi pemikiran Islam sejak
kemunculan Islam itu sendiri.
Vardiansyah, Dani.
Filsafat
Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar,
Indeks, Jakarta 2008, hal. 20.
Seyyed Hossein Nasr, Tiga
Mazhab Utama Filsafat Islam
(terjemahan), IRCiSoD, Jogjakarta, 2006, hal. 9.
http://tanbihun.com/pendidikan/definisi-atau-pengertian-filsafat-dan-ilmu-pengetahuan-serta-perbedaannya/
Semiawan, Conny et al.,
Dimensi
Kreatif dalam Filsafat Ilmu, CV
Remaja Karya, Bandung, 1998, hal. 45.
C.A. van Peursen, Susunan
Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu,
(terjemahan J. Drost), PT. Gramedia, Jakarta, 1989, halaman 82.
Anis
Chariri,
Landasan
Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif,
Paper disajikan pada Workshop MetodologiPenelitian Kuantitatif dan
Kualitatif, Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, 31 Juli – 1 Agustus 2009,
halaman 5.
www.fisika.undip.ac.id,
Seratus
Tahun Karya Jenius Einstein,
artikel diposting tanggal 26 Pebruari 2009.
Suwandi, Filsafat
Konstruktivisme Dalam Ilmu Pengetahuan,
http://suwandi-sosialbudaya.blogspot.com,
27 Oktober 2009.
Markus Basuki,
Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu: Filsafat Konstruktivisme,
http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html
http://babang-juwanto.blogspot.com/2010/09/abduksi-logika-pembentukan-hipotesis.html,
dikutip dari Metode
Analisis Teks dan Wacana,
Stefan Titscher; Michael Meyer; Ruth Wodak; Eva Vetter.
http://www.belajar-filsafat.com,
20 Maret 2009 (http://www.belajar-filsafat.com/2009/03/logika-3.html)
Mani’ Abdul Halim
Mahmud, Metodologi
Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir
(terjemahan), PT. Rajagrafindo Persada, 2006, hal. VII-IX.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar