Sabtu, 28 Mei 2011

Hukum dan Pengertian Hukum

Definisi-Definisi Tentang Hukum dan Pengertian Hukum

Hukum (Law)Hakikat dan Arti Penting Hukum bagi Warga Negara.
Pengertian Hukum
Istilah hukum identik dengan istilah law dalam bahasa inggris, droit dalam bahasa Prancis, recht dalarn bahasa Jarman, recht dalam bahasa Belanda, atau dirito dalam bahasa Italia. Hukum dalam arti luas dapat disamakan dengan aturan, kaidah, atau norma, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam kehidupan bermasyarakat dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.
Namun, sejak lama orangsibuk mencari suatu definisi tentang hukum, tetapi belum pernah mendapat sesuatu yang memuaskan. Hampir semua ahli hukum yang memberikan definisi tentang hukum berlainan isinya.
Ini menandakan bahwa hukum itu bersifat abstrak, ruang lingkupnya luas, dan selaras dengan perkembangan masyarakat, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumusan secara memuaskan. Walaupun demikian, kita perlu punya pegangan mengenai pengertian hukum. Di bawah ini, diberikan beberapa definisi tentang hukum.
a. Menurut Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, SH, dalam bukunya Pengantar Tata Hukum di Indonesia, hukum adalah pikiran/ anggapan orangtentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antarmanusia.
b. Menurut Prof. Dr. E. Utrecht, dalam bukunya Pengantar dalam
Hukum Indonesia, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata-tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.
c. Menurut Soerojo Wignyodipoero, S.H., dalam buku
Pengantar Ilmu Hukum, hukum adalah himpunan peraturan¬peraturan hidup yang bersifat memaksa berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata-tertib dalarn kehidupan masyarakat.
Referensi
Pendidikan Kewarganegaraan

Jumat, 20 Mei 2011

Islam dan Demokrasi

Politik Islam Pasca Reformasi

MEMBACA GERAKAN POLITIK ISLAM  PASCA
 REFORMASI 98 DI INDONESIA 
Oleh : Hartono*
A.    Pendahuluaan
Pasca Reformasi 98, menjadi sebuah fenomena yang cukup menarik dalam perpolitikan di Indonesia yakni ketika awal digulirkannya demokrasi,[1] dimana pada masa itu dengan sistem demokrasi yang digulirkan berbagai pemikiran yang awalnya terkekang dan terpenjara seolah keluar dan terbang dengan bebasnya. Keadaan demikian sangat dirasakan oleh semua kalangan baik yang pro demokrasi ataupun yang pro dengan ideologi Islam dalam pergerakannya. 
Akan tetapi pendekatan yang cukup konferhensif setidaknya perlu pemahaman awal yang memadai yakni bagaiman sebenarnya dinamika perpolitikan khususnya bagi umat Islam sebelum terjadinya reformasi tersebut. Analisis yang cukup meanrik adalah, andaikan ketika awal kemerdekaan politik Islam (dalam hal ini politik yang berbasis Islam dengan berbagai perangkatnya) dikekang lebih kuat lagi tentu hirroh serta semangat yang ada packa reformasi akan lebih tinggi lagi untuk berjuang atas penegakan syariat Islam, namun dilahin hal fenomena kembalinya pemahaman Islam dan politik sangat berkaitan ibarat dua sisi mata uang, tentu ini pun perlu sekali dicermati, kemudian pertanyaan yang bersifat miring juga terjadi, yaitu apakah kebangkitan parpol-parpol Islam itu merupakan indikasi  dari kemunculan “fundamentalisme Islam” di Indonesia?[2]
Dua pemahaman yakni semangat atas kebangkitan politik Islam dan pemahaman Islam adalah agama yang lengkap, sekiranya keduanya sangat menarik dengan berbagai pendekatan seperti pendekatan fenomenologi politik kekinian, oleh karena itu penyusun akan mengangkatnya sebagai sumbangsih keilmuan.

C. Metodologi Pembahasan
Setidaknaya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi semangat kemunculan gerakan politik Islam dan sekaligus mengedepankan argumen bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang mana ideologi Islam ingin merespon karena sudah merasa mengalami kejenuhan dan keterkekangan ditambah lagi melihat tatanan politik yang cendrung jauh dari yang diharapkan, faktor itu adalah. Pertama wacana pembaharuan dalam Islam, yang banyak didominasi oleh pemikir dikotomik[3] mengenai realitas kehidupan beragama antara tradisi dan pembaharuan, Kedua, sayap revolusioner (al-qira’ah al-tatswiriyah) kelompok ini ingin mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan liberalisasi pemikiran[4] keagamaan dengan srtating point tradisi[5]-revolusi. Ketiga, sayap dekonstruksi (al-qira’ah altakkikiyah) dimana sayap ini ingin membongkar tradisi secara komperhensif hingga menyentuh ranah metodologis[6] dengan menggunakan alat epistemologi modern. 
Ketiga pemikiran inilah yang setidaknya ingin dikaunter oleh kalangan/gerakan Islamis yang ada, karena menurut hemat mereka setidaknya pemikiran-pemikiran seperti itu akan menjauhkan dari agama (al-Quran-hadis), dengan memegang ideologi sekuler.

B. Kebangkitan Politik Islam
                        Dalam konteks global kebangkitan gerakan politik setidaknya sudah berlangsung cukup lama, seperti tercatat ada beberapa pemikiran Ikhwanul Muslimin di Mesir, revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 oleh kalangan militan Islam,[7] dan berbagai gerakan lainnya, pun demikian juga terjadi di Indonesia yang dalam hal ini penyusun mencoba melihat dari mulainya masa reformasi 98. Pasca reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto setidaknya ada kemiripan antara yang terjadi di Iran dengan di Indonesia, namun dalam hal ini gerakan militan Islam belum bisa sepenuhnya mencapai puncak kekuasaan seperti yang terjadi di Iran.

v  Eforia Politik yang Berlebihan
Azumardi Azra meyebutkan pasca jatuhnya Soeharto pada tahun 98 itu perubahan Indonesia menuju Liberalisasi politik dan demokrasi sudah tidak dapat diundur-undur lagi[8]. Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya bermunculan partai-partai baru, namun jika hal itu yang menjadi sebuah tujuan dari reformasi maka reformasi itu sendiri pada hakekatnya tidak memiliki arti apa-apa karena keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan lain sebaginyalah yang diinginkan di negeri ini. Kebanyakan para elite politik–khususnya para partai politik besar sedang bereforia secara berlebihan menikmati partainya yang menang.
Cendekiawan Nurcholis Majid (Cak Nur) mengingatkan bahwa Pemilu 99 (pasca reformasi 98) bukan merupakan penyelesaian dari semua masalah, namun sebuah gerbang untuk memasuki agenda reformasi yang fundamental, melakukan amandemen terhadap UUD 1945, menata politik dan ekonomi serta membangun keadaban politik[9]
                        Pasca reformasi 98 fenomena seperti PPP, PKS, PBB, yang mengambil jalan dalam koridor parlementer[10] dan MMI, JI serta HTI yang mengambil jalan diluar sistem kepartaian tapi lebih pada organisasi keagamaan keduanya sebetulnya sangat menarik untuk diperdebatkan, dimana gerakan politik yang berbasiskan ideologi Islam ini, ia secara terang-terangan berani tampil dan mununjukan jati dirinya bahwa gerakan ini adalah gerakan yang mempresentasikan politik masyarakat Islam yang berkeinginan syariat Islam sebagai dasar Negara, senada dengan apa yang diungkapkan Prof. Jawahir Thaontowi untuk mendirikan atau menegakkan syariat Islam sangalah mungkin karena syariat Islam sangat jelas:
§  Suariat Islam menurut jumhur ulama’ telah jelas yakni meliputi aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak yang didasarkan pada al-Quran-Hadis.
§  Syariat Islam Syumuliyyah (lengkap)[11]
§  Syariat Islam yang di dalamnya ada hukum Islam dalam perkembangan sejarah harus selalu bisa merespon dengan penafsiran didalamnya, dalam hal ini adalah realisasi syariat Islam di Aceh yang tertuang dalam UU. No. 18. tahun 2001[12] dengan jalan perjuangan (konseptual dan lobi parlemen).
Akan tetapi yang perlu juga dipahami dalam teori konstitusi seperti negara Indonesia sebetulnya tidaklah mudah mengusung ideologi Islam yang ending perjuangannya untuk menegakkan syariat Islam dikarenakan oleh beberapa hal yakni harus adanya sebuah revolusi secara total terhadap ideologi yang ada, pertanyaanya kemudian mungkinkah semua ini bisa terjadi? Dengan melihat fakta dilapangan yang ada, sebagai studi perbandingan yakni pemilu 1999 dengan pemilu 1955 sebenarnya partai politik Islam mengalami kemunduran yang cukup signifikan yakni hanya mendapatkan suara di parlemen sebanyak 20 persen di atahun 1999 sedangkan di tahun 1955 suara partai Islam mencapai 45 persen.  
Dari dialog parlementer di atas sesungguhnya politik Islam tidak memiliki kekuatan yang penuh untuk meluruskan jalannya menuju Negara yang berdasarkan syariat Islam, karena memang ada beberapa indikasi yang menyebutkan masyarakat Indonesia.
Pertama, masyarakat bayak yang berkeyakinan bahwa perjuangan “Islam Politik” sebenarnya banyak diperjuangkan oleh kalangan diluar partai Islam dengan label “politik yang Islami”.
Kedua,     kaum muslimin sebenarnya lebuh peduli untuk menjadikan Islam sebagai etika sosial, yakni sebisa mungkin urusan politik bias disemangati oleh nilai-nilai agama seperti kejujuran, keadilan dan sebagainya, semua itulah yang diharapkan dari pada partai yang secarang terang-terangan mendeklarasikan sebagai partai Islam namun sering kali tersangkut masalah korupsi, asusila maka Islamlah yang akan terbawa akhirnya.    
                  Sekali lagi dalam ranah cita-cita sebuah penegakan syariat Islam sebenarnya bagi setiap manusia sangat diimpikan[13] dan bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata karena memang setiap relitas manusia yang hidup dan beragama pada kenyataannya memerlukan sebuah bimbingan dari Tuhannya melalui kitabnya yakni Al-Qur’an dan Hadis untuk menuju kemaslahatan[14] (bagi orang Islam) dan melalui kitab-kitab agama lain bagi pemeluk non Islam seperti halnya dalam tradisi Kristiani juga terjadi.[15] Pemahaman serta teologi seperti inilah yang sebenarnya memiliki terminoligi fundamentalisme.
                  Meminjam teorinya Ibnu Khaldun dengan pendekatan Teori Lingkar Kekuasaan, setidaknya para penggagas tegaknya syariat Islam dan politisi Islam tidak diperlukan sama sekali sifat atau sikap antipati terhadap sistem yang ada,[16] karena memang sistem yang ada saat ini yakni demokrasi adalah sistem yang telah disepakati oleh rakyat Indonesia dan para pendiri bapak bangsa, seperti halnya pemikiran Bung Hatta mengenai demokrasi, ia menyebutkan ada tiga landasan demokrasi di Indonesia. Pertama, adanya instrument sosialis-Barat yang mengangakat dasar-dasar kemanusiaan. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi. Ketiga, prinsip kolektivisme yang dibangun oleh masyarakat Indonesia sejak Negara ini belum merdeka.[17]
Jika semua relitas di atas diingkari tentu proses untuk menuju sebuah cita-cita masyarakat yang berlandaskan syariat Islam akan kian jauh untuk dicapai karena memang fenomena yang ada saat ini dimana masyarakat terlihat sekali dalam apresiasi politiknyapun cendrung pada pilihan-pilihan organisasi yang berbasis nasionalis bukan Islam. Selain itu dengan adanya sistem demokrasi yang dibuka lebar-lebar pasca reformasi 98 setidaknya patut disyukuri dengan berbagai konsekunsi yang melatar belakangi.    

v  Ideologi Politik (Islam) tidak memiliki tempat di Indonesia.
                  Dua kutup pemikiran yang selalu diperbincangkan di Indonesia yang tiada habisnya adalah ideologi Islam dan pancasila, para penggagas ideologi Islam dalam perspektifnya merasa mereka belum merdeka dari penjajahan yang dilakukan oleh NKRI, hal ini banyak sekali terbukti dari doktrin-doktrin gerakan Islam dengan pernyataannya harus hijrah kenegara Islam? Akan tetapi pertanyaannya kemudian manakah negara Islam itu saat ini?, pertanyaan yang cukup mendasar ini sebenarnya ingin mengetahui sejauh mana kalangan Islam terus-menerus bernostalgia dengan kejayaan masa lalu, apakah benar umat Islam saat ini masih dalam keadaan tertidur lelap sehingga selalu memimpikan tanpa mau membaca realita yang ada.
Fenomena lain yang bay
ak diketemukan dalam masyarakat adalah keterasiangan uamat Islam dengan jumlah mayoritasnya, hal itu dapat dilihat melalui beberapa indikator seperti ;
o   Gerakan Islam yang tidak memiliki jalinan antar firqah Islamiyah dengan thariqah Islamiyah yang solid,[18] Islam mayoritas tapi ibarat busa dilautan.
o   Tidak adanya pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya,[19] faktor ini adalah faktor yang sangat menentukan karena ketika umat Islam tidak memahami dan mengerti secara mendalam atas apa yang diajarkan oleh agamanya,[20] maka tnggu lah sebuah kehancuran.
o    Islam hanya dijadikan simbol (Islam-simbolik)
Simbol disini dimaksudkan adalah Islam hanya dijadikan kosumsi politik untuk meraih sebuah kekuasaan semata, semua ini setidaknya terbukti paska reformasi 98 partai-partai yang berbasis Ideologi Islam seperti PKS, PBB, PPP tidak memiliki tawaran yang berbeda dengan partai-partai Nasionalis lainnya, hal yang sama juga terjadi pada pemilu 2009 yang telah berlalu dimana bayak sekali parpol Islam seperti PKNU, PMB, PBR dan PPNUI tidak memikiki konsep yang memadai[21] dan memiliki daya saing yang kuat.
                        Dari ketiga indikator-indikator yang ada setidaknya bisa membaca bagaimana kekuatan Islam yang sesungguhnya dengan jargonya Islam adalah agama yang lengkap.
Akhirnya hanya landasan budaya, adat istiadat dan keberagaman suku bangsa serta agama yang majemuk menjadi modal untuk mewujudkan demokrasi keindonesiaan yang berbasis semangat Islami, dengan bahasa lain Indonesia akan besar hanya melalui jalur struktur dan kultur (yang didalamnya melalui pendekatan budaya, agama, masyarakat)[22] yang sesuai karakter bangsa ini. Karena melihat perjalanan yang pernah bangsa ini lalui tenyata semuannya jauh dari semangat demokrasi dan nilai Islam yang telah diajarkan dan bersumber dari nilai-nilai yang ada dalam pancasila, dan pada saat ini lah hendaknya hendaknya demokrasi keindonesiaan dengan nilai-nilai agama sebagai fondasi bisa diwujudkan dengan tanpa melepaskan pada jatidiri bangsa dengan ideologinya pancasila

B. Islam adalah agama yang lengkap
Prokontra pemikiran tentang Islam dan politik setidaknya telah terjadi cukup lama yakni sebelum Negara Indonesia ini berdiri, kalangan Islamis yang memiliki kecendrungan bahwa agama Islam adalah agama yang lengkap dimana maslah keduniawain (politik) juga ada dan dibahas dalam ruang lingkup agama, sedangkan pemikiran sekuler yang dibawa oleh pemikir Barat setidaknya mencoba memisahkan antara urusan gereja/agama dengan urusan politik, seperti analisis pemikir Sir Thomas Arnold dalam bukunya The Caliphate, ia menyebutkan bahwa ajaran Islam tentang politik yang dimanifestasikan dalam sistem khalifah sebanarnya memiliki dua kepentingan yakni politik yang dipoles dalam wilayah agama,[23] sehingga seolah-olah khalifah adalah perintah agama bukan sebuah metode atau sistem yang keluar dari rahim agama Islam.
Pemahaman Islam adalah agama Syumuliyyah (lengakap), ideologi inilah yang sebenarnya dipakai oleh para aktifis Islam baik yang bergerak dalam ranah dialogis maupun konfrontatif, lagi-lagi semua ini terjadi karena ada sebuah keterpengaruhan sejarah yang cukup panjang dengan memimpikan Islam bisa seperti dahulu kala tanpa mau melihat relita serta meningkatkan kualitas pemahaman tentang keagamaannya.
Fakta lain adalah pada umumnya orang-orang Islam percaya akan sifat Islam yang holistik. Sebagai sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih daripada sekedar sebuah agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu “masyarakat sipil.” Ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem “perabadan yang menyeluruh”. Bahkan, ada pula yang mempercayainya sebagai “agama dan negara.” Apa yang ada di balik rumusan-rumusan semacam itu pada dasarnya adalah pandangan umum bahwa Islam itu lebih dari sekedar sistem ritus dan/atau teologi. Lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat spiritual dan temporal.[24] Sebaliknya, Islam memberikan panduan (etis) bagi setiap aspek kehidupan
Pemahaman agama dan negara saling terkait ternyata secara tidak langsung juga dilakukan oleh negara-negara yang menyebut dirinya sekuler, karena sekulerisme yang menjadi model global senyatanya tidak bisa berjalan dengan sendirinya, ini terbukti di dunia ini hanya ada dua negara yakni Prancis dan Meksiko yang tetap konsisten dengan kesekulerannya, sementara kebanyakan negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman ternyata antara negara dan agama saling terkait dan tak terpisahkan[25] (dalam pengukuhan persiden ada do’a, doa di sekolah)

C. Kesimpulan
Dalam pendekatan etis, setidaknya memang agama bagi siapapun akan bisa mempengaruhi setiap gerak kehidupan manusia (yang beragama) karena memang kekuatan spiritual manusia sangat dibutuhkan yang dalam hal ini adalah Islam, seperti yang diungkapkan Jhon Nesbit “ketika manusia mengalami titik jenuh, maka jalan agama (sprituallah) yang akan dicari” selain itu dalam titik tertentu pula (kejenuhan politik, ekonomi, sosial) agama yang awalnya terpisah-pisah dan bercerai berai, maka semua itu sudah tidak diperlukan lagi, yang diperlukan hanyalah kedekatan hamba dengan Tuhannya.
Sebuah kesalahan besar jika umat Islam ingin bangkit kembali namun dalam kenyataannya masyarakat Islam masih terbelakang pendidikannya, ekonominya, ataupun keilmuannya, maka perlu adanya sebuah paradigma baru yakni belajarlah kedunia Barat seperti halnya dahulu Barat belajar kepada dunia Islam, selain itu ideologi-ideologi kekerasan sudah semestinya sedikit banyak dihilangkan agar Islam menjadi agama yang humanis rahmatal lil alamin.


Daftar Pustaka

Ahmad, Amrullah dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional; Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Bustanul Arifin. SH, Jakarta, gema Insani Press, 1993
al-Nabhani, Taqiyuddin, Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir, alih bahasa: Abu Afif, Bogor: Pustaka Tariqul Izzah, 1993.
Anshori, Ahmad Yani, Tafsir Negara Islam dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Azra, Azyumardi, Fundamentalisme Islam dalam “Mengapa Partai Islam Kalah” Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 99 sampai Pemilihan Persiden, Jakarta: Alfabet, 1999.
Ba’asyir, Abu Bakar, Dialog Keagaman dalam Book Fair, dilaksanakan di halaman Gedung Pameran Wanitatama, 4 Mei 2008.
Balack, Antony, Pemikiran Politik Islam; dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Jakarta: Serambi, 2006.
Ghazali, Abd Moqsith, Hermenuitika Pembebasan; menghidupkan Al-Quran dari Kematian, Ulumuna, Vol. VIII. Edisi. 13. No. 1 Januari-Juni 2004.
Hofmann, Murad W, Menengok Kembali Islam Kita, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
http//www.google.co.id/islamdanNegara;tranformasipemikirandanpraktekpolitik diIndonesia/bahtiar efendy.
Jamil, M. Muhsin, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar; Pergulatan Islam Liberal versusu Islam Literal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran-Hadis, ISSN: 1411-6855. Vol.6.No.1 Januari 2005, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Usuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Khoiruddin, A. Yusuf, Agen-agen Sosialisasi Politik dan Implikasinya terhadap Perolahan Suara pada Pemilu 2009; Studi Kasus pada PKNU dan PMB, disampaikan pada Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, pada 1 Mei 2009
Maarif, A. Syafii, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban/PSAP Muhammadiyah, 2004.
Madjid, Nurcholish, “Homogenisasi Ingkari Jati Diri Indonesia”, Kompas, Kamis, 23 Maret 2000.
Marluwi, Hukum Islam di Indonesia Mungkinkah ?, JUSTITI Islamica, Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 3/No. 1/Jan-Juni 2005, ISSN 1693-5926, Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo.
Muzani, Saiful, Ideologi dan Kerja Ilmiah; Mempertimbangkan Gagasan Islamisasi untuk Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Humaniora) dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Lembaga Studi Agama da Filsafat, 1993.
Nata, Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Nugroho, Taufiq, Pasang Surut Hububngan Islam dan Negara Pancasila, Yogyakarta: PADMA, 2003.
Rosyada, Dede dkk, Demokrasi & masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatulloh, 2003.
Sumbulah, Umi, Fundamentalisme Sebagai Fenomena Keagamaan, AKADEMIKA Jurnal Studi Keislaman Vol. 14, No. 2, Maret 2004. ISSN: 1410-7457, diterbitkan oleh Program Paskasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Thaontowi, Jawahir, Islam, Politik & Hukum; Esai-esai Ilmiah untuk Pembaruan, Yogyakarta: Madyan Press, 2002.
Wahid, Abdurrahman, Membangun Demokrasi, Bandung: Rosda Karya, 2000.
Zaid, Nasr Hamid Abu, Hermenutika Inklusif; Mengatasi problematika Bacaan dan cara-cara Penakwilan atas Diskursus Keagamaan, Jakarta: ICIP, 2004.
____________,Tekstualitas Al-Quran; Kritik terhadap Ulumul Qura’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKis, 2005.































* Adalah mahasiswa Pascasarjana pada program studi Hukum Islam Konsentrasi Ilmu Politik dan Pemerintahan dalam Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Angkatan 2008-2009. makalah ini adalah tugas pada matakuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam, dosen pemgampu Prof. Drs. Akh. Minhaji. MA, Ph. D
[1] Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi  (Bandung: Rosda Karya, 2000), hlm. 38.
[2] Azyumardi Azra, Fundamentalisme Islam dalam “Mengapa Partai Islam Kalah” Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 99 sampai Pemilihan Persiden (Jakarta: Alfabet, 1999), hlm. 37.
[3] Saiful Muzani, Ideologi dan Kerja Ilmiah; Mempertimbangkan Gagasan Islamisasi untuk Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Humaniora) dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: Lembaga Studi Agama da Filsafat, ), dalam pemikiran Sifun Muzanni ia merekam bahwa akhir-akhir ini seolah muara Islamisasi pengetahuan sudah banyak dipikirkan, artinya disini agama dan ilmu pengetahuan tidak ada pemisahan atau pendikatomian. hlm.199
[4] Nasr Hamid Abu Zaid, Hermenutika Inklusif; Mengatasi problematika Bacaan dan cara-cara Penakwilan atas Diskursus Keagamaan (Jakarta: ICIP, 2004), hlm. xix
[5] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran; Kritik terhadap Ulumul Qura’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKis, 2005), hlm. 11
[6] M. Muhsin Jamil, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar; Pergulatan Islam Liberal versusu Islam Literal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 126-133
[7] Umi Sumbulah, Fundamentalisme Sebagai Fenomena Keagamaan, AKADEMIKA Jurnal Studi Keislaman Vol. 14, No. 2, Maret 2004. ISSN: 1410-7457, diterbitkan oleh Program Paskasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. pada masa revolusi Iran telah membuktikan kemenangan kaum militant Islam atas rezim sekuler, namun dalam perkembangan istilah militant/fundamental ini digunakan untuk mengeneralisasi beragam gerakan Islam yang muncul kemudian harinya. hlm. 3.
[8]. Dede Rosyada dkk, Demokrasi & masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatulloh, 2003), hlm. ix-x.
[9] Nurcholish Madjid, “Homogenisasi Ingkari Jati Diri Indonesia”, Kompas, Kamis, 23 Maret 2000.
[10] Ahmad Yani Anshori, Tafsir Negara Islam dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 67.
[11] Antony Balack, Pemikiran Politik Islam; dari Masa Nabi Hingga Masa Kini (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 573.
[12] Jawahir Thaontowi, Islam, Politik & Hukum; Esai-esai Ilmiah untuk Pembaruan (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), hlm. 29.
[13] Marluwi, Hukum Islam di Indonesia Mungkinkah ?, JUSTITI Islamica, Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 3/No. 1/Jan-Juni 2005, ISSN 1693-5926, Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo, hlm. 96.
[14] Abd Moqsith Ghazali, Hermenuitika Pembebasan; menghidupkan Al-Quran dari Kematian, Ulumuna, Vol. VIII. Edisi. 13. No. 1 Januari-Juni 2004, hlm. 125.
[15] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), Kalangan Barat yang mencemooh fundamentalisme ternyata juga terjadi pada ajaran Kristiani seperti berikut, Pertama kebenaran mutlak dan tiadanya kesalahan pada Kitab Suci Injil (Holy Bible). Kedua, kelahiran Jesus dari Ibu maria yang suci (perawan). Ketiga, penebusan dosa umat manusia oleh Jesus. Keempat, kembangkitan kembali Jesus secara jasmaniyah yang turun kebumi. Dan Kelima, ketuhanan Jesus Kristus, hlm. 11-12
[16] Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional; Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Bustanul Arifin. SH (Jakarta, gema Insani Press, 1993), hlm. Cover
[17] A. Syafii Maarif, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban/PSAP Muhammadiyah), hlm. 165.
[18] Lihat, Taqiyuddin al-Nabhani, Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir, alih bahasa: Abu Afif (Bogor: Pustaka Tariqul Izzah, 1993), hlm. 1-2.
[19] Abu Bakar Ba’asyir, Dialog Keagaman dalam Book Fair, dilaksanakan di halaman Gedung Pameran Wanitatama, 4 Mei 2008, dalam pemahaman Ba’asyir semua orang yang menentang Islam adalah “kafir” termasuk para ilmuan yang beragama Islam namun menyerang serta menodai Islam juga kafir.
[20] Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran-Hadis, ISSN: 1411-6855. Vol.6.No.1 Januari 2005, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Usuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menurut Farid Esack, ada tiga tingkatan Muslim dalam memahami agama/kitab sucinya. Pertama,pencinta al-Qur’an yang tidak kritis (muslim awam). Kedua,pecinta yang terdidik yaitu muslim yang menerima apa adanya walaupun tidak mampu menjelaskan secara tepat, namun kelompok ini lebih bagus karena berusaha menjelaskan dan membuktikannya. Ketiga, pecinta yang kritis yaitu menerima kebenaran al-Quran namun tetap kritis dalam segala halnya, hlm. 178
[21] A. Yusuf Khoiruddin, Agen-agen Sosialisasi Politik dan Implikasinya terhadap Perolahan Suara pada Pemilu 2009; Studi Kasus pada PKNU dan PMB, disampaikan pada Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, pada 1 Mei 2009
[22]. Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hububngan Islam dan Negara Pancasila, (Yogyakarta: PADMA, 2003), hlm. 8.
[23] Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam (Yogyakarta: Pustaka Iqra, 2001), hlm. 23.
[24]http//www.google.co.id/islamdanNegara;tranformasipemikirandanpraktekpolitik diIndonesia/bahtiar efendy.
[25] Murad W. Hofmann, Menengok Kembali Islam Kita (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 149