Senin, 29 Oktober 2012

IDEALISME DAN RELISME

                                            IDEALISME DAN RELISME
                                                    Oleh : Hartono GS

“Idelisme dan relisme ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin bisa terpisahkan, Apapun bentuknya dua aliran ini sudah seharusnya
berjalan beriringan yakni saling melengkap, saling mengisi dan saling bersnergi”
 (Hr Anton) 

    Membicarakan idealisme dan realisme, yang terekam dalam pikiran penulis adalah sebuah fakta kehidupan antara cita-cita yang serba ideal dengan kehidupan yang nyata, sama halnya dalam bidang hukum/fiqih seolah antara idelisme yang diwakili oleh para ahli hukum/fuqoha sedangkan relisme diwakili oleh para penegak hukum dalam hal ini adalah pengadilan agama, yang mana keduanya seolah terjadi jurang pemisah yang amat jauh berbeda. Sebagai penegasan sebelumnya dalam karya Noel J. Coulson pada bab ketiga setidaknya telah sedikit disinggung tentang otoritas dan kebebasan dimana pada bab tersebut juga mempertanyakan secara ilmiah posisi seorang fuqoha (pembuat hukum) dan hakim (pelaksana atau yang menjalankan produk hukum). Akan tetapi mengapa pada kenyataannya jika seorang fuqoha seperti halnya Ibn Faruk (788) diberi tugas menjadi seorang hakim atau qodi cendrung tidak maua atau menolaknya, pernyataan inilah seharusnya yang harus diungkap.
    Membaca cerita yang di sampaikan Noel J. Coulson mengenai sosok seorang fuqoha’ yakni Ibn Faruk dalam pendekatan idelisme memang terasa sekali sikap kehati-hatian seorang ulama fiqih untuk menerima sebuah jabatan hakim atau qodi, karena asumsi yang dibangun jabatan hakim ini adalah jabatan yang maha tinggi yakni sebagai wakil Tuhan dimuka bumi untuk menegakkan keadilan. Kalau ditelaah secara seksama memang benar bahwa hukum-hukum Islam/fiqih pada priode awal dibangun dari sebuah doktrin dan relitas pada masa itu atau hukum timbul dari keputusan-keputusan pengadilan yang besifat aktual pada masa Nabi, keadaan seperti ini terjadi hingga abad-abad selanjutnya seperti halnya pada masa imam Malik yang ditulis dalam kitabnya al-Muwatta yang isinya bersandar kepada praktek hukum aktual atau amal masyarakat Madinah, yang anehnya semua itu tetap menjadi sebuah rujukan masa dan waktu saat ini, untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, apakah fiqih seperti ini yang diharapka?.
    Dalam perkembangan selanjutnya khususnya menjelang akhir abad ke-8 perdebatan yurispodensi Islam menemukan sebuah ide tantang syari’ah berupa system perintah Tuhan yang bersifat konferhensif yang ditentukan sebelum realitas terjadi selain itu syari’ah memiliki eksistensi terlepas dari masyarakat tidak ditentukan oleh masyarakat tapi ditetapkan dari atas untuk masyarakat (independent-otoritas). Setelah penemuan ide syariah ini akhirnya terjadi pula perdebatan selanjutnya anatar ideal hukum (syari’ah) dan realitas sosial, yang akhirnya sejauh mana doktrin murni (syari’ah) tersebut dapat diterjemahkan dalam relitas sosial.
    Dalam tulisan Coulson ini setidaknya banyak sekali contoh-contoh tradisi hukum klasik yang dijadikan baromer untuk melihat kedudukan hukum islam yang ada, sperti halnya masalah perceraian yang mana seorang wanita memiliki posisi di bawah laki-laki, selain itu masalah pemerkosaan juga diungkapkan bahwa pemerkosaan bisa diadukan dan dipidanakan kalau memang benar-benar terbukti dengan kelahiran akan hasil perzinahan tersebut atau ada saksi 50 orang. Kedua contoh ini penulis memaklumi karena kondisi social dan lingkungan yang sangat berbeda dahulu dan saat ini, akan tetapi dalam kontek saat ini tentuk produk hukum seperti ini sudah tidak memiliki relefansinya untuk dilaksanakan.
    Dari beberapa ide doktrin serta contoh kasus yang ada sebetulnya penolakan seorang fuqoha untuk tidak mau menjadi hakim atau qadi dikarenakan ia punya anggapan hakim adalah pembantu penguasa yang mana cendrung mendukung penguasa sedangkan nilai keadilan bisa terlupakan, pendekatan siyasah syari’yah ini menunjukan dengan jelas posisi penguasa yang dekat sekali dengan para penegak hukum atau malah hukum itu sendii dibuat sebagai penopang memperkokoh penguasa yang ada.
    Akhinya dari pedebatan antara idealisme dan realisme dalam hukum islam secara sederhana dapat dipetakan dalam dua hal yakni bagaimana aplikasinya antara doktrin hukum dan praktek hukum dan syari’ah pun sudah semestinya dapat dipahami dalam konteks kekinian-kontemporer dengan tujuan dapat merespon berbagai permasalahan yang ada.








PEMIKIRAN POLITIK KHULAFA AR-RASYIDIN

                                     PEMIKIRAN POLITIK KHULAFA AR-RASYIDIN
                                                               Oleh : Hartono GS

A.    Pendahuluan
Khilafah Rasyidah merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Al-Khulafa Al-Rasyidin atau yang dikenal empat khalifah penerus Nabi Muhammad yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, di dalam sejarah perkembangan dan pemikiran Islam memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan Islam, sehingga banyak para ahli sejarawan, ekonom dan pemikiran politik menukil beberapa konsep yang pernah dilakukan oleh salah satu khalifah yang ada itu.
Secara garis besar sebelum penyusun menjelaskan lebih mendalam, dalam perspektif politik dan ekonomi pada masa Al-Khulafa Al-Rasyidin, di masa itu senyatanya pergolakan politiklah yang menjadi sebuah keniscayaan dalam suksesi pemilihan khalifah, karena kalau dicermati secara mendalam masalah-masalah tentang keimanan, Islam, zakat, sodakoh, dan ziarah dll sudah pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tapi masalah kepemimpinan atau suksesi dalam pemilihan pemimpin belum dicontohkan secara konkrit, sehingga jamak sekali diketemukan perubahan tranformasi pada abad pertama Hijriyah menimbulkan berbagai konflik yang disebabkan oleh perubahan kedudukan kalangan elite Arab.
Dalam politik modern saat ini ada sebuah andigum politik adalah jenderal dari semua tata kehidupan, asumsi seperti ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar karena pada kenyataannya politik bisa berdiri tegakpun harus memiliki atau didukung oleh berbagai fariabel yang yang mendukungnya seperti hukum, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. akan tetapi kebijakan politik atau pergerakan dalam ranah politik yang tujuannya adalah kekuasaan senyatanya akan berimplikasi pada berbagai bidang yang ada nantinya, seperti halnya pada suksesi pemilihan khalifah dimasa Ali bin Abi Thalib, yang akhinya memiliki dampak yang luar biasa.

B.    Islam Berbicara Masalah Khalifah (Pemimpin)
        Rujukan yang cukup popular dalam Islam mengenai khalifah ini terdapat dalam surah al-Baqoroh ayat 70 yang artinya “sesungguhnya saya (Allah) menciptakan (mahluk) dimuka bumi untuk menjadi pemimpin”, dalam kajian tafsir saat ini ada sebuah pemahaman bahwa ada pemaknaan tentang khalifah meliputi ulu al-amr, imam dan malik.
        Umar bin Khathab pernah bertanya pada suatu saat kepada Salman, “apakah aku ini seorang raja atau khalifaf” Salman menjawab; jikalau tuanku memungut pajak dari tanah kaum Muslimin satu dirham, kemudian tuanku menggunakannya tidak sesuai haknya maka tuanku adalah seorang raja bukan seorang khalifah umat Muslimin, dari pertanyaan Salman inilah tentunya harus pula dipahami perbedaan antara seorang raja dan khalifah karena didalamnya melekat sebuah atribut yang sulit sekali dipisahkan.
        Dari beberapa trem pengertian diatas ada kecendrungan penyusun untuk membahas kata khalifah sebagai padanan kata pemimpin, namun sebelum menyebutkan kategori tersebut pada hakekatnya setiap manusia memiliki hak asasi dalam kepemimpinan yaitu
    - sebagai mahluk pribadi
    - sebagai mahluk sosial
- sebagai mahluk Tuhan.
Tiga pemahaman di atas sebenarnya juga memiliki sebuah kesamaan dengan ketiga penafsiran tentang makna khalifah, yaitu ;
    a). Khalifah  sebagai kekuasaan politik atau lembaga politik
    b). Khalifah dalam tataran Nilai
    c). Khalifah dalam arti pemimpin untuk diri sendiri
        Setiap manusia yang hidup di dunia ini pada hakekatnya adalah pemimpin untuk dirinya sendiri, jika manusia itu belum mampu memimpin dirinya sendiri (baik dalam mengelola pikirannya, tindakannya, emosionalnya) tentu akan ada kecendruang bahwa jika orang seperti ini menjadi seorang pemimpin akan cendrung berbuat lalim atau tidak layak untuk menjadi pemimpin. Dari hal ini tentu dapat dilihat bahwa  kesempurnaan manusia insan kamil tentunya sebisa mungkin antara tindakan, ucapan dan spiritual yang menjadi ruh bisa berjalan bersamaan.

C.    Pemikiran Politik-Ekonomi Al-Khulafa Al-Rasyidin.
Dalam sejarah Islam ada beberapa pemilihan yang cukup menjadi sebuah rujukan, yaitu ketika pergantian kekhalifahan pasca kepemimpinan Nabi terhadap empat sahabat Nabi yang ada ketika itu, namun ada beberapa pendapat apakah khalifah itu harus keturunan Quraisy? atau tidak.
Selain pemahaman seperti diatas, pasca wafatnya Nabi Muhammad ketika itu terjadi ketegangan (atau yang dikenal dengan Saqifah) yang cukup sengit mengenai bagaimana suksesi atau cara pemilihan kepemimpinana/khalifah, dalam sejarah itupun tercatat ketika wafatnya Nabi jasadnya sampai belum dikebumuikan selama tiga hari demi untuk mencari format yang baik mengenai kehalifahan, pada dasarnya islam berbicara mengenai khalifah/pemimpin dapat dikategorikan menjadi dua fase;
1.    Fase Masa Rasulullah.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
2.    Fase masa Khalifah Al-Khulafa Al-Rasyidin
Imam Mawardi memetakan tentang masalah pemilihan khalifah, sebelum kekhalifahan berdiri seluruh rakyat merupakan dua golongan terpenting, yaitu;
Ø    Ahli ikhtiar (kaum pemilih) yaitu rakyat yang memberikan suaranya
Ø    Ahli Imamah (orang-orang yang dipilih) calon yang di ajukan
Ø    Mekanisme pemilihan, namun lembaga atau cara yang baku seperti ini belum diungkapkan secara pasti ketika itu secara independent, yang nantinya dapat dijadikan sebuah topi kajian, dengan tujuan pemilihan seorang pemimpin itu dapat dipahami secara konferhensif.

a.    Abu Bakar Melalui Pemilihan Bai’at (632-634)
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid Radhiallahu ‘anhu adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul ‘Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah ibn Zaid Radhiallahu ‘anhu yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Pada saat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh “tangan kanan” nya, Umar ibn Khatthab al-Faruq Radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar ibn Khatthab Radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar Radhiallahu ‘anhu . Umar Radhiallahu ‘anhu menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Melalui pemilihan disini dimaksudkan yaitu, ketika terjadinya pemilihan dan sekaligus pergantian kekhalifahan pasca nabi wafat maka dilakukanlah pemilihan dengan beberapa kerteria seperti, calon dari kaum muhajirin (Abu Bakar Sidik) dan ansor (Sa’d bin ‘Ubadah), dari dua kubu yang saling bersitegang untuk meraih kekuasaan maka ketika itu diadakan pertemuan/konfrensi dan seketika itupun dicetuskan istilah kholifah yang terus berlanjut hingga hari ini dan semua itu merupakan hal yang sangat berati dalam sejarah dunia Islam. Dilain hal banyak referensi yang menyebutkan bahwa penunjukan Abu Bakar sebenarnya sudah dilakukan nabi yaitu ketika beliau sakit lalu menunjuknya untuk menggantikan imam sholat, ini ditafsiri oleh banyak kalangan sebagai tongkat estafet kepemimpinan dalam Islam.
- Menajemen Pemerintahan Abubakar.
Pada masa Abubakar saat itu, masih banyak sekali pertentangan antara pemeluk Islam dengan sisa-sisa kabilah Arab yang masih berpegang teguh pada warisan jahiliyah. pemerintahan Abu Bakar pada hakekatnya bersifat sentralistik dengan beberapa tujuannya seperti menciptakan stabilitas keamanan, pemilihan pegawai dan pendelegasian, dilain hal dimasa Abu Bakar Jazirah Arab saat itu telah dibentuk beberapa provensi, diantaranya wilayah Hijaz meliputi 3 provensi yakni Makkah, Madinah dan Thaif, wilayah Yaman terbagi 8 provensi yakni Shan’a, hadramaut, Haulan, Zabid, Rama’, al-Jund, Najran, Jarsy dan Bahrain. dari sekian pembagian provensi ini Abu Bakar juga menempatkan para Gubernur dengan tujuan untuk bisa mengontrol serta mengawasi dan menegakkan ajaran Islam.

- Manajemen Ekonomi Abubakar
Abu Bakar yang memerintah hanya sekitar 27 bulan dimasa kepemimpinannya ia banyak pula mengurusi masalah murtad, dan orang-orang yang menolak membayar zakat. kedua poin ini disikapi dengan tegas oleh Abu Bakar karena pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW banyak umat muslim yang murtad kembali dan menolak membayar zakat dengan berbagai alasan yang ada. Abu Bakar memiliki komitmen yang cukup kuat dalam masalah zakat ini sehingga ia sampai-sampai menunjuk Anas (seorang ahli amil) untuk mengurusi masalah perzakatan dengan memperhatikan keakuraatn penghitungan zakat.

b.    Umar bin Khattab melalui penunjukan (634-644)
Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ‘Amr ibn ‘Ash Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘anhu segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar Radhiallahu ‘anhu memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang majusi, budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar Radhiallahu ‘anhu tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn ‘Auf Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Setelah Umar Radhiallahu ‘anhu wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu.
Masa kekhalifahan Umar bin Khathab inilah yang menunjukan kehadiran pemerintahan dalam Islam yang sesungguhnya karena di bawah kekuasanya berbagai kebijakan strategis dibangunnya seperti masalah ekonomi,politik dan yang sangat terkenal yaitu mengenai baitul mal, dimana dalam hal ini baitul mal sangat difungtsikan sekali kegunaannya untuk kepentingan pemerintahan dan juga rakyatnya.
Tak berlebihan jika seorang peneliti pemikiran seperti Michael H. Hart dalam bukunya yang merangking orang-orang paling berpengaruh sepanjang sejarah dunia di posisi ke-51, ia mengatakan “keberhasilan Umar sangat mengagumkan, ia adalah figur utama setelah wafatnya Nabi Muhammad dalam penyebaran Islam, tanpa jasanya dalam penaklukan daerah-daerah kekuasaan, Islamdiragukan dapat tersebar luas seperti sekarang ini” dan Umar Ibn al-Khattab adalah khalifah kedua, dan mungkin terbesar dari semua khalifah Islam.
- Menajemen Pemerintahan Umar bin Khattab
Pada masa Umar, konsep mengenai hubungan kahlifah dengan rakyatnya sudah mulai dibangun dengan mekanisme pentingnya tugas pegawai pelayanan publik dan menjaga kepentingaqn rakyat dari otoritas pemimpin yang berlebihan. beliau melakukan pemisahan antara kekuasaan peradilan dan kekuasaan esekutif, sistem peradilan ini terpisah secara hirarkhi dengan kekuasaan esekutif namun pertanggungjawabannya langsung pada khalifah (esekutif-yudikatif).
- Pemerintahan Daerah
Pemerintahan daerah atau provensi di masa Umar bin Khattab mengalami perluasan daerah yang cukup luas, pembagian ini sebenarnya bertujuan untuk mempemudah pengaturannya dan memaksimalkan pemberdayaan sumber daya yang ada. wilayah Islam ketika itu terbagi menjadi provensi; Al-Ahwaz, Bahrain, Sajistan, Makran, Karman, Thabaristan, Khurasan, negara paris menjadi 3 provensi, negara Irak menjadi 2 provensi (Kufah dan Bahrah) negara Syam menjadi Himsha dan Damaskus, provensi Palestina, negara Afrika menjadi Mesir al-Ulya dan Mesir al-Sufla, Mesir Gharb dan Shara’ Libya.
        Pada masa Umar masih terus genjacar melakukan Infansi keluar tanah Arab, akan tetapi ada kesulitan bagaimana nantinya masalah tanah yang pernah ditaklukan mengenai jual belinya/Sertifikasi.
- Manajemen Ekonomi Umar bin Khattab
- Baitul Mall
Pada tahun 16 H, Abu Huraira (amil bahrain) mengunjungi Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj, dengan jumlah yang begitu besar maka Khalifah mengadakan pertemuan dengan majelis syura dan terjadilah kesepakatan untuk tidak mungkin mendistribusikan uang yang begitu besar melainkan disimpan di baitul mall, dalam perkembangannya Baitul Mall secara tidak langsung bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiscal Negara Islam dan Kahlifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut untuk kepentingan militer, rakyat dan lain sebaginya.
- Zakat
Zakat kekayaan dalam hal ini kuda sebagai tungangan perang, pada awalnya kuda ditanah Arab sangat sedikit sekali karena berkaitan dengan zakat, namun dalam perkembangannya zakat kuda dihapuskan dengan tujuannya untuk bisa memperbayak sehingga para bala tentara perang semuanya dapat memilikinya. akan tetapi kebijakan ini membuat gusar Abu Ubayda Gubernur Syiria dengan semakin banyaknya kuda yang digunakan tanpa mengluarkan zakat dari padanya, ia pun mengirimkan surat pada Umar (dengan data yang detail), maka akhirnya Umar menginstruksikan bahwa untuk kuda harus dizakati dan mendistribusikannya kepada fakir miskin serta budak-budak.
- Usrh (Pembayaran Pajak)
- Sodaqoh untuk nonmuslim (Kristen Banu Taghlib)
   

c. Utsman bin Affan melalui Musyawarah (644-656)
Dalam masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan yang pemilihannya melalui cara musyawarah ada kecendrungan  bahwa sistem yang dipakai memiliki kemiripan dengan demokrasi yang ada saat ini namun tentunya tidak sama persis, masa kekhalifahan Utsaman pada hakekatnya ia ingin terus menjalankan semua kebijakan uang pernah dilakukan oleh pendahulunya yaitu Umar”, ia sebagai pemimpin juga sudah mengalami situasi yang mapan dalam banyak hal sehingga sangat mudah dalam menjalankan roda pemerintahannya. Namun fakta lain yang banyak diungkap oleh para sejarawan lebih banyak menulis dan mengidentifikasi sebab-sebab terbunuhnya Utsman yang meliputi beberapa hal yaitu; pertama, adanya indikasi meyalahgunaknnya keuangan negara untuk kepentinagn pribadi dan keluarga, kedua prngangkatan kepala daerah dari pihak keluarga seperti Muawiyah yang menaklukan Bizantium dan Marwan sebagai setneg.
- Menajemen Pemerintahan Utsman bin Affan
Dalam perspektif politik-pemerintahan Utsman bin Affan bisa dikatakan tidak mengalami kebehasilan dalam menata dan memformulakan berbagai unsur yang ada di dalam pemerintahannya, hal ini mungkin sedikit terbukti dengan beberapa pendapat mengenai adanya indikasi terjadinya KKN di dalam keluarganya untuk menduduki jabatan-jabatan penting didalam pemerintahannya, namun asumsi lain juga diungkapkan bahwa penunjukan dan pengangkatan keluarga Utsman dijabatan strategis dikarenakan berdasarkan kopetensi yang dimiliki pribadinya.
- Manajemen Ekonomi Utsman bin Affan
Utsman bin Affan adalah seorang yang jujur dan saleh, tetapi beliau sudah sangat tua dan lemah lembut, ia adalah salah seorang terkaya dari golongan sahabat Nabi. dalam kebijakan ekonominya ia terlalu lugu bisa dibilang seperti itu karena ia seorang yang kaya raya lalu menyimpan uangnya digabungkan dengan kas negara maka pada akhirnyamenimbulkan kesalah pahaman antara dirinya dan Abdullah bin Arqom (beliau adalah kepala yang berwenang melaksanakan kegiatan Baitl Mall Pusat), dari kejadian inilah timbul konflik yang controversial antara gajih pribadi dan pengeluaran pribadi.

d. Ali bin Abi Tholib melalui Diplomasi, (antar Ali Ra dan Muawiyah) (656-661
 Setelah Utsman Radhiallahu ‘anhu wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Ali Radhiallahu ‘anhu memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali Radhiallahu ‘anhu menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman Radhiallahu ‘anhu. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman Radhiallahu ‘anhu kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar Radhiallahu ‘anhu.
Ali bin Abi Tholib menjalankan roda pemerintahannya seperti halnya yang pernah dilakukan oleh para pendahulunya, ia dalam mengangkat seorang pemimpin, beliau mendelegasikannya dan memberi hak yang peneuh kepada pemimpin dibawahnya atas wilayah yang dipimpinnya.
        Ali pernah menulis surat yang dikirim ke pada Asytar al-Nukhai, Gubernur Mesir, yang berbunyi ;
    “Engkau harus senantiasa mengawasi pengelolaan harta kharaj untuk kemaslahatan orang yang berhak, dengan adanya pengelolaan yang baik, maka akan menimbulkan maslahah bagi orang lain, setiap manusia Merupakan baian dari harta kharaj dan mereka berhak menerimannya, engkau harus memiliki misi untuk memakmurkan kehiodupan di muka bumi dan jangan hanya terpaku dengan penarikan harta kharaj, karena penarikan itu tidak akan optimal jika tidak terdapat kemakmuran, dan barang siapa menarik harta kharaj tanpa diikiti oleh proses pembangunan (kemakmuran), maka negara dan rakyat itu akan mengalami kehancuran, dan persoalan tidak akan selesai kecuali sedikit”.


- Menajemen Pemerintahan Ali bin Abi Tholib
Dalam memanajemen pemerintahan Ali sangat konsekuwen serta mengajarkan kejujuran kepada siapapun, seperti yang ia lakukan :
-    Dalam seleksi Gubernur dan pegawainya maka harus selektif.
-    Sistem renumerasi (penyempurnaan gajih pada pegawainya)
-    Menjunjung tinggi kepentingan Rakyat.
-    Beliau juga konsen pada penegakan keadilan “ Berlakulah adil kepada Allah, adil kepada manusia, kepada dirimu, keluargamu dan rakyatmu”.
- Manajemen Ekonomi Ali bin Abi Tholib
Pada masa pemirantanah Ali dalam mendayagunakan Baitul Mall sangat berbeda sekali dengan kebijakan yang pernah dilakukan Umar pendahulunya;
-    Kahalifah Ali dalam membagi hata Baitul Mall menggunakan asas sama rata bagi semua kalangan kaum muslimin tanpa ada perbedaan yang cukup signifikan, baik itu orang yang baru masuk Islam, bala tentara dll.
-    Khalifah Umar menggunakan pola porposional mengenai pembagian hak yang dikeluarkan oleh Baitul Mall, Umar akan memberikan porsi yang lebih besar kepada para pemuka Isam  atau pioneer dari pada kaum muslimin lainnya.
Asumsi yang digunakan Ali pada kenyataannya lebih dekat pada pendapat atau tindakan yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar, yaitu orang mendapatkan hak dari Baitul Mall lebih banyak atau lebih sedikit bukan karena keilmuan dan keimanan yang dimiliki seseorang melainkan lebih pada dai banyak dan sedikitnya kebutuhan yang diperlukan oleh setiap orang.
    Asumsi lain dari pebedaan antara kebijakan Ali dan Umar penyusun melihat bahwa pada masa Umar merupakan masa dimana penyebaran Islam sangat genjar sekali sehingga pemberian hadiah sesuai dengan kerjanya Merupakan sebuah stimulant atas hasil kerjanya, sedangkan dimasa Ali, penyebaran Islam tidak segencar seperti masa Umar dan malah ada kecendrungan pergolakan politik kekuasaan timbul dari dalam diri islam sendiri.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Radhiallahu ‘anhu tidak mau menghukum para pembunuh Utsman Radhiallahu ‘anhu , dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman Radhiallahu ‘anhu yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘anhu sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair Radhiallahu ‘anhu ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah Radhiallahu ‘anha dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu ‘anha ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali Radhiallahu ‘anhu, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Kedudukan sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya al-Hasan bin Ali Radhiallahu ‘anhuma selama beberapa bulan. Namun, karena al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menginginkan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah, maka al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menyerahkan jabaran kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu . Dan akhirnya penyerahan kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan Radhiallahu ‘anhu . Di sisi lain, penyerahan itu juga menyebabkan Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah)! Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
   
D.    Kesimpulan
Kontekstulisasi Pemikiran Politik-Ekonomi Al-Khulafa Al-Rasyidin
Setelah dengan seksama membaca dan menelaah buah pemikiran Al-Khulafa Al-Rasyidin, dari ke empat tokoh yang ada ini memiliki keistimewaan masing-masing dan sekaligus memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap kajian sejarah Islam modern,  seperti sosok Umar Ibn Khattab yang mencoba memaknai kepemimpinannya bukan sebagai khalifah semata namun sebagai pemikir, yang mencurahkan pemikirannya dalam banyak hal muali dari pengelolaan Baitul Mall, Zakat, Tentara, dan penegakan hukum.
Kalau memfles beck perjalanan pemerintahan sebelum masa khulafaur rasyidin sebenarnya ada perubahan yang cukup fundamental yaitu pemerintahan atau kerajaan yang sifatnya nomadik berubah menjadi pemerintahan yang semi-demokrasi yang pernah dilakukan pada zaman Yunani dan dilakukan pula pada saat ini, salah satunya inilah semangat serta pesan nilai yang dapat diambil dan dipelajari saat ini untuk dipraktekan secara nyata, jangan salah Islam sesungguhnya memiliki pesan yang begitu luhur dalam masalah pemerintahan dan khalifah yang berawal dari praktek dan pemikiran yang ada saat itu, seperti halnya pesan moral yang pernah disampaikan dan dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz, dimana pada masa kepemimpinannya keadilan, kemakmuran serta keamanan bisa terwujud dengan nyata di muka dunia ini, pertanyanya selanjutnya mungkinkah semua itu bisa terjadi dan bisa memunculkan sosok yang memiliki romantika kehidupan cara memimpin seperti Umar bin Abdul Aziz?
Pelajaran berharga diatas jika bisa diambil oleh para pemimpin yang ada saat ini tentu sebuah kemakmuran dan kesejahteraan dengan jalan yang lain bisa diwujudkan, karena seperti judul diatas pemikiran Politik dan Ekonomi pada kenyataannya saat ini harus bisa dijalankan untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan berbangsa yang damai, adil-makmur serta aman.

Daftar Pustaka

Ahmad, Haji Zainal Abidin. Membangun Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Iqro, Tahun 2001.
Adi Warman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Penerbit The International Institute of Islamic Thought Indonesia, januari 2002.
Fachruddin, Fuad Muhammad. Pemikiran Politik Islam, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1988.
Hadari, Hadari Nawawi dan Martini. Kepemimpinan yang Efektif, Yogyakarta: Gajahmada University Perss, tahun 2004.
Hart Michael H. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, 1978 Jakarta PT. Dunia Pustaka Jaya Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982.
Karim, M. Abdul. Khilafah Utsman bin Affan (Geger Madinah studi atas kepemimpinan khalifah Utsman Ibn Affan) dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, ISSN 1412-8349 PPs UIN Sunan Kalijaga, Volum. 6 No. 1 Januari-Juni 2007
M. Abdul Karim, (Moderator) Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun Ke-29 Tahun 2009 Tanggal 20 februari 2009, diPersembahkan oleh Dr. Munawar Ahmad, S.S., M.Si dengan judul Fatwa Golput dan Fenomena Difisiensi Demokrasi di Indonesia.
Lapidus, Ira. M. Sejarah Sosial Umat Islam Bagian kesatu & dua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juni 2000
Tailor E B., Primitif Minimum, tahun 1871 (maaf data lengkap penerbit belum diketahui)
Sodiqin, Ali. Al-Quran dan Reproduksi Kebudayaan (Analisis terhadap Dialektika Wahyu dan Tradisi Arab) Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun ke-29 tahun 2008, tanggal 21 November 2008.
Sinn, Ahmad Ibrahim Abu. Manajemen Syariah; Sebuah kajian Historis dan Kontemporer, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, tahun 2008.
       
       
       

RELASI MASYARAKAT DAN KERATON YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

RELASI MASYARAKAT DAN KERATON YOGYAKARTA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
(dari Gunung Merapi, Keraton sampai Laut Selatan/Parangkusumo)
Oleh : Hartono (Mahasiswa PPs. UIN SUNAN KALIJAGA)

A. Pendahuluan

    Yogyakarta dengan berbagai label yang melekat padanya mulai dari kota budaya, kota pendidikan, kota pariwisata (Jogja Never Ending Asia), dilihat dari sisi tatanan pemerintahan semuanya itu merupakan hasil kerja keras organ yang ada didalamnya, namun julukan sebagai kota budaya sebetulnya pemikiran itu berawal dengan adanya keraton yang ada hingga saat ini, keraton Yogyakarta dalam kancah nasional memiliki peranan yang cukup signifikan dalam membangun dan melestarikan budaya khususnya budaya jawa.
Berbicara masyarakat, kraton (kerajaan) dan budaya ketiganya memiliki dimensi yang berbeda baik dari struktur ataupun latar belakangnya, namun dari ketiganyapun memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan secara parsial. dalam kajian ini penyusun mencoba melihat dari sisi budaya, bagaimana sebetulnya relasi masyarakat dan keraton khususnya Yogyakarta, apakah ada saling keterkaitan yang cukup signifikan dan tak terpisahkan sehingga masyarakat dan keraton ibarat duasisi mata uang.
Kerataon Yogyakarta, dalam berbagai hal memiliki kekuatan yang cukup besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakatnya, coba anda tanya warga Yogya tentang kraton, maka jawabannya kebanyakan “keraton” adalah junjungan kami.
B. Pemetaan Masalah
1)    Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa dengan keadiluhungan tata kehidupannya membawa semua orang sebagai pewaris untuk melanjutkan nilai-nilai luhur yang ada, ada anekdot yang selalu terparti dalam benak penyusun bahwa orang jawa khususnya Solo dan Yogyakarta memiliki ungah unguh yang cukup tinggi, sopan santun atau tatakrama yang selalu di junjung tinggi.
Kajian masyarakat dalam banyak teori seperti teori struktualis-fungsionalis yang digagas oleh Talcot Parson menempatkam masyarakat dalam suatu sistem sosial yang diikat oleh nilai-nilai, kebutuhan dan tujuan yang sama untuk mempertahankan hidup dan keberlangsungannya. dalam analisis ini yang letak konteksnya pada masyarakat jawa (khususnya Yogyakarta) diketemukan sebuah nili-nilai yang sepadan serta luhur seperti gotongroyong, kekeluargaan, sungkeman, sopan santun, yang semuai itu tidak akan pernah luntur walaupun perubahan sasial dan zaman semakin berkembang selagi masih adanya sebuah institusi dan kelompok yang terus menjaga dan mengembangkannya.
Selain kajian seperti di atas sebagai pijakan, bahwasannya dalam masyarakat sebetulnya terdapat pola-pola prilaku atau pattern of behavior yaitu sebuah cara hidup masyarakat yang harus diikuti oleh masyarakat yang ada di dalamnya, baik itu masyarakat Jawa, Bali, Sunda, Lombok dan lain sebagainya namun semua itu bisa bergeser jika ada budaya yang mempengaruhinya.
Konteknya masyarakat Jawa, dalam hal ini penyusun pernah mendngar cerita;
a) dari Prof. Taufik Abdullah (Insyallah suku batak), beliau bilang orang jawa ini kurang tegas dan selalu merasa tidak enak seperti teman saya (penyusun lupa namanya) yang menguji mahasiswa S3 untuk menyusun disertasinya, temennya itu (penguji suku jawa) sangat sungkan sekali kepada mahasiswa bimbingannya karena merasa tidak enak kalau disertasinya itu dicoert-coret untuk mengkoreksinya, padahal disatusisi mahasisaw yang dibimbing sangat mengharapkan koreksi dari pembimbingnya untuk menunjukan mana yang salah, kurang dan lain sebaginya, lalu Prof. Taufik Abdullah bilang pak coret aja disertasinya yang salah jangan sungkan-sungkan. Cerita di atas sekelumit mengambarkan bagaimana ungah-unguhnya orang jawa walaupun sudah menjadi Prof tetap saja ungah-unguhnya dijunjung tinggi walaupun terkadang bersebrangan dengan wilayah akademisi.
Penelaahan ini akhirnya membawa pula penyusun pada ranah yang sangat filosofis, dimana masyarakat Jawa (yogya) dalam tata kehidupannya memiliki kerukunan yang tinggi, etika, yang selalu dijaga oleh masyarakat  dan institusi keraton.
2)    Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta (bukan “Jogjakarta” karena dalam ejaan dan makna sangat salah kaprah, yogya berarti pantas atau baik dan karta berarti sejahtera) yang berdiri pada berdiri pada tahun 1755 pada awalnya merupakan pecahan di bumi mataram antara Kesusnanan Suakarta dan Kesultanan Yogyakarta yang ditandai dengan perjanjian Giyanti pada abad 17 M, inilah embrio keraton Yogyakarta yang dibangun peratama kali oleh Sultan Agung pertama pada abad ke 15 M yang sekaligus masih memiliki keturunan dari kesultanan Demak, Pajang, majapahit, dan Singosari.  
Selanjutnya untuk memahami Keraton dan Raja yang ada didalamnya ada pola yang cukup signifikan untuk bisa memahaminya yaitu dengan teori “Model Penyingkapan” digagas oleh  Ian Ramesy yang dimulai pada awal 1960-an, ia memetakan seorang pemimpin dalam tiga anlisis kritis untuk bisa dipahami;
Pertama, model penelitian kesejarahan
    Dalam model pemahaman kesejarahan ini seorang tokoh coba diteliti dengan seksama melalui fakta kesejarahan yang ada yaitu mulai HB I sampai saat ini, namun dalam hal ini ada sebuah inklinasi yang mengarah pada konflik-konfik, karena seringkali adanya saling kalim sebuah kebenaran dalam melihat sejarah. sejarah menuliskan bahwa kerajaan Islam Mataram diperoleh dengan cara pemeberontakan terhadap kerajaan Pajang yang notabennya raja Pajang merupakan ayah angkatnya.  
Kedua, model dengan pendekatan keorganisasian
    Kerajaan, kesultanan ataupun kesunanan merupakan bentuk pemerintahan yang bersifat monarki yaitu dimana semua kebijakan dan pelaturan di bawah tangan seorang raja, dalam hal ini keraton Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan yang “dikawinkan” dengan negara RI atau dalam bahasa Sultan HB IX mengeluarkan amanat pada 5 April 1945 yang menyatakan “Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”, ini hingga hari ini pemerintahannya bersifat turun temurun yaitu jika ngarso dalem Sri Sultan HB X mangkat maka anak turunannyalah yang akan mengantikannya, namun permasalahan yang ada saat ini bagaimana denga HB X yang tidak memiliki keturunan anak laki-laki ini, apakah tatap pada anaknya atau pada saudara-saudaranya.
Ketiga, model dengan pendekatan konstitusi
    Pendekatan Konstitusi ini sebenarnya lebih cendrung melihat sebuah kerajaan atau seorang raja yang sangat berpengaruh dari sisi kebijakan dan undang-undang yang ada, menurut Ian ini sangat penting karena dalam kajian ilmiah sejati praduga-praduga yang saling tidak sejalan bisa diketemukan faktanya dengan kembali melihat konstitusi-konstitusi yang dibuatnya.
Keraton Yogyakarta sebagai institusi yang terus mempertahankan kebudayaan Jawanya memiliki peranan penting untuk selalu menjaga dan mengembangkan budaya yang ada dengan berbagai keunikan dan sekaligus kehasan di dalamnya, ada Raja, Permaisuri, Abdi dalem, juru kunci, dan tentang Abdi dalem ada sedikit ceita dari  Keraton Yogyakarta
a)    Seorang Abdi Dalem yang namanya Nurkholis ketika di tanya oleh wartawan yang berkunjung, sudah berapa lama jadi abdi dalem? lalu berapa gajih yang diterima setiap bulannya? namun dari pertanyaan itu jawabanya sungguh diluar dugaan, mengapa karena abdi dalem itu menjawab bahwa “saya sebagai manusia sebetulnya sayalah yang membutuhkan keraton bukan keraton yang membutuhkan saya, banyak sekali orang yang ingin menjadi abdi dalem namun ditolak dan masalah gajih itu tidak pernah saya pikirkan (keluarga dirumah cukup saja memelihara ayam) karena rizki Allah lah yang mengatur. dari ceita ini sesungguhnya ada makna yang terus melegenda yang menyelimuti Katon Yogyakarta dan semua itu tentunya coba diyakini oleh masyarakatnya.
b)    Juru Kunci JImatan, penyusun secara pribadi pernah berdialog pada juru kunci makam raja-raja di Jimatan Imogiri Bantul sebanyak 2 kali. pertama kali betemu saya sangat terkejut karena selain secara fisikli zuhud dan selain itu akrab sekali dengn para pengunjung, pertama saya disuruh menghitung anak tangga sebanyak 409 sebagi symbol menuju jalan Tuhan kedua, saya banyak mempertanyakan pengamdian serta situasi keraton yang ada. bagi beliau ini pengamdian pada keraton sebagi rakyat jelata akan dilakukan seumur hidupnya atau selagi masih bisa dan mampu akan terus dijalnkan karena itu adalah amanh dari kanjeng sultan yang sangat dimuliyakan.
c)    Juru Kunci gunung merapi dan pantai selatan (parangkusumo), juru kunci dalam hal ini memiliki perana ynag cukup penting yaitu sebagai penjaga sebanyak empat puluh lima. Dalam kitab-kitab Jawa dituturkan, juru kunci punya makna; jalmo sulaksono atau insan kamil, selanjutnya dalam kebudayaan dan kehidupan keraton Yogyakarta pada hakekatnaya terbangun sebuah mitologi yang diyakini oleh pihak keraton dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya. keyakinan seperti ini sebenarnya telah lama terbangun sejak keraton Yogyakarta ada dan akan hidup terus hingga kemungkinan keraton ini sudah tidak ada lagi, namun dilain tampat rakyat Yogyakarta akan turut menjaganya. secara simbolik (gunung merapi, tugu jogaja yang mempunyai garis lurus dengan keraton secara horizontal merupakan simbol hubungan hamba dengan sang Khaliqnya hamlum minnaullah, sedangkan laut kidul, panggung krapyak yang dibergaris lurus vertikal pula dengan keraton memiliki simbol sebagai hubungan dengan sesama manusia hamlum minannas).
d)    Masyarakat Jogja, Bpk. Parjimin, penyusun pernah bertanya kepada pak Parjimin, bagaiman sesungguhnya pososi Kertaon/Raja bagi masyarakat Yogyakarta, brliau menjawab kami ya akan manut dengan semua titah atu sabdonya kajeng Sultan akan tetapi Sultan HB X saat ini tidak  sesakti atau linuwih seperti sultan-sultan sebelumnya.
Gunung Merapi
     Penguasa Merapi sendiri mempunyai nama: Panembahan Eyang Prabu Sapujagad. Konon, dulunya seorang abdi dalem keraton. Karena memakan endoging jagad (telor dunia), ia lantas berubah jadi raksasa dan atas perintah Panembahan Senopati menetap di Merapi. Untuk mengurusi Merapi, Keraton Yogyakarta pun menciptakan juru kunci, yang saat ini di pegang oleh Mbah Maridjan, ingatan yang cukup segar yang terjadi pada tahun 2006 ketika itu Merapi mengalami kritis yang luar biasa lalu sultan selaku gubernur memerintahkan Mbah Maridjan untuk turun bersama masyarakat yang ada, namun anehnya beliau tidak mau dengan alasan perintah itu tidak atas nama Raja Keraton Yogyakarta akan tetapi perintah itu atas nama kepala daerah (Gubernur).  hal senada juga dilakukan oleh Prof. Darmajati Supandjar (Guru Besar Filsafat UGM dan salah satu penasehat spiritual keraton Yogyakarta), beliau mempunyai pendirian bahwa saya akan hormat kepada sultan atas nama raja bukan kepala daerah. ditilik dari sudut pandang politis sebetulnya ini merupakan cara sultan untuk menghegemoni masyarakatnya untuk melanggengkan dominasi kekuasaan Keraton Yogyakarta.
Laut Selatan atau Parangkusumo
         Cobalah sesekali melawatlah ke Pantai Parangkusumo Yogyakarta, di malam Jumat Kliwon, niscaya keramaian akan menyambut. Bak pasar malam. Ratusan orang peziarah, puluhan pedagang kaki lima, puluhan pekerja seks komersiil, serta semerbak bau dupa hilir-mudik di depan kita. Parangkusumo, bagi banyak orang-entah itu asli Jogja atau luar kota, punya "kekuatan". Di situs utamanya yang kerap diziarahi, terdapat dua buah batu. Satu besar menurut legenda ditempati oleh Panembahan Senopati dan satunya yang kecil di tempati oleh Ratu Kidul, Sebenarnya, kesan yang muncul dari mitos ini, adanya penyatuan dua keraton; keraton manusia dan keraton ghaib. Dari sinilah hegemoni Senopati atas rakyatnya dimulai. Atau meminjam asumsi Gramschi, ketika belum terbentuk kesadaran kritis individu (a concrete individual), individu-individu dengan mudah masuk dalam perangkap kekuasaan negara. apakah anda percaya? (gunakanlah pendekatan fenomenologi dalam kajian ritual keagamaan).
        Selain dominasi yang dibalut dengan apiknya kesultanan memiliki banyak falsafah hidup serta nilai-niali luhur seperti halnya  keraton di daerah lain di Indonesia, adalah ibarat mata-air yang tak pernah kering bagi kehidupan di sekitarnya. Namun di satau sisi, institusi kekuasaan dan kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai luhur yang menjadi panutan masyarakat itu, kini semakin terkikis modernisasi. seperti hubungan merapi-keraton dan laut selatan, Ratu Kidul (kenyataan atau hanya sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat Yogyakarta), Malam 1 Suro dengan melarung bunga (sesaji) di pantai parangkusumo, serat Centhini atau serat Centhini latin (yang melegenda dan agung) yang dimiliki oleh kahazanah sastra keraton.
Selain data yang ada di atas sesunguhnya masih banyak data lain yang belum terkafer sejara konferhensif untuk bisa memahami dinamika kerton Yogyakarta, lihat saja saat ini kagiatan yang sifatnya memepertahankan ciri khas budaya yang terus dilakukan hingga saat ini seperti Sekaten, Festifal Kesnian Nasional, dan lain sebaginya.
3)    Persepektif budaya untuk melihat relasi masyarakat dan keraton    
Budaya atau kebudayaan merupakan sebuah identitas yang dimiliki oleh setiap masyarakat yang ada, bentuk budaya ini secara konkrit menurut Dr. Yekti Maunati bisa berbentuk cara berpakaian, alat-alat khas, cara berinteraksi baik yang sifatnya oral atau tingkah laku. Dalam hal ini, Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan masyarakatnya memiliki hubungan yang sangat erat, keraton sebagai pihak yang dominan untuk membentuk sebuah budaya secara turun temurun dan dilakukan oleh rakyat atau masyarakatnya memiliki sisi ketergantungan diantara keduanya. seperti keterangan di atas masyarakat pada prinsipnya memiliki pola-pola kehidupan yang ketat, yang selalu dijaga dalam komunitasnya serta bersifat setagnan, akan tetapi masyarakat disisi lain bisa mengalami perubahan jika bersentuhan dengan budaya khususnya dalam hal ini yang dibawa oleh keraton.
Ekspolitasi Budaya
Realitas atas dominasi keraton ini menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Kekuasaan linuwih rajanya hingga juru kunci sang penjaga setianya. pertanyaannya selanjutnya apakah sosok seorang raja seperti ini bisa di jadikan seorang sosok paradigmatik dengan kelinuwihannya. Sebab, menurut pengakuan juru kunci, untuk jadi juru kunci tidaklah mudah. Pekerjaan itu akan dilakoni setelah magang bertahun-tahun dan yang terpenting, mendapatkan pulung (wahyu, restu dari langit). Dengan kata lain, juru kunci pun memerlukan kekutan supranatural untuk meciptakan pengaruhnya dalam masyarakat.
Disinilah proses reifikasi keraton atas masyarakatnya dengan cerdik berlangsung gemilang. Yakni, mencipta kesadaran palsu masyarakat atas "dunia baru" (kekuatan tak terhingga keraton) yang bermuara pada pemberhalaan, pemujaan. Padahal kondisi ini mengantarkan masyarakat pada keterasingan itu sendiri atau ini menunjukan sebuah kearifan lokal yang bersifat supanatural?
Tak heran, keyakinan masyarakat atas cerita yang melegenda dari kekuatan Parangkusumo dan Gunung Merapi, berbuah pada kepercayaan yaitu jika berdoa di kedua tempat ini-terutama Parangkusumo, niscaya permintaan bakalan terkabul. hal senada juga pernah di ungkapkan jauh-jauh waktu oleh Max Weber ahli (sosiologi masyarakat), ia mengatakan semua jalan magis atau mistagogis pertama kali digunakan untuk sebagai sepirit demi mengejar sesuatu yang ingin dicapai seperti ingin kaya, ingin kerjaannya langgeng, jodoh dan sampai ingin memiliki umur panjang. misteri-misteri Eleusien menjanjikan semua itu yang akhirnya masyarakat akan kembali pada agama-agama Phoenik dan Vedik yang pernah dilakukan oleh masyarakat China awal, Yahudi awal dan Islam awal.
Perubahan Sosial
Perubahan dalam konteks kekinian, renik budaya ini bermetamorfosis ke arah komodifikasi utiliti. Pergeseran ini menjadikan fungsi ritual melebar (atau kesakralan tempat lambat laun tidak hanya menjadi tempat pemujaan akan tetapi unsur ekonomi meliputinya pula). Ia tak terikat erat lagi pada ritual sakral yang berbasis spiritual, politik, dan kekuasaan. Tapi sebaliknya, ia jadi benda yang diperjualbelikan, dan terasing dari aura ritual itu sendiri. Seperti yang telah terpaparkan dalam awal tulisan ini, acara ritual di Parangkusumo telah kehilangan dimensi spiritualnya atau terreduksi, Sebab, keheningan yang jadi inspirasi orang jawa (khususnya) dalam semedi telah tercemari gelegak suara dangdut dari penjual vcd, teriakan penjual obat, hingga lirikan genit para pekerja seks komersil (PSK). Namun, sifat komoditas ini, tetaplah sama. Meminjam Marx, komoditas tetap mengandung fetisisme, yaitu pemujaan nilai gaib dari suatu benda yang bersifat ekonomis atau dalam bahasa Bryan, dalam memahami sosial agama atau keyakinan dalam masyarakat agama atau keyakina akan berubah sebagai perekat sosial dalam bentuk persaingan ekonomi. 
C. Kesimpulan
Akhirnya penyusun melihat relasi kehidupan masyarakat Yogyakarta dan Keraton dalam dua pola yaitu masyarakat tradisionalis-kosmis (hegemoni, mitologi, keyakinan supranatural,) dan moderenis-kirtis (akademis, empiris, aktual) dengan pola-pola pemetaan seperti ini satu sisi ada kalangan yang tetap memegang teguh budaya yang berubah menjadi sebuah keyakinan-kosmis dan ada pula yang cendrung mencoba membongkar kebudayaan yang ada dengan berbagai pendekatan yang sifatnya akademis.
Sebenarnya ada dua pendekatan untuk melihat masyarakat ketika bersentuhan dengan budaya yang berubah menjadi sebuah keyakinan yaitu dengan model penyingkapan dan model pemahaman. model penyingkapan  (Ian) ini melihat dan mengamati setiap orang yang datang ketempat-tempat yang sifatnya keramat dengan cara langsung berinteraksi, dan model pra pemahaman yaitu menimbulkan sebuah asumsi atau praduga bahwa setiap pengunjung yang datang ketempat tersebut akan melakukan pemujaan dan lain sebagainya dengan metode kuantitatif. dengan pemetaan di atas cukup besar harapan penyusun Yogyakarta yang memiliki berbagai brand tetap terjaga keamanannya, kedamaiannya dan juga keanekaragamannya.


Daftar Pustaka

Aedi, Ajar, Juru Kunci, Sang Pemelihara Kekuasaan, Kompas Keraton, Minggu, 5 Januari 2003.
Artha, Arwan Tuti, “Ejaan dan Gonjang-ganjing Yogyakarta”, Opini Kedaulatan Rakyat, Kamis 6 November 2008.
Attamam, Masduki. “Keraton yang tak Pernah Kering dengan Nilai-Nilai Luhur”, Antara news 12/03/07. akses internet 29 November 2008.
Bryan & Jurner, Agama dan Teori Sosial (Rangka Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar Ideologo-Ideologi Kontemporer), Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD, Tahun 2003.
Hartono, “Wisata Spritual” di makam raja-raja Surakarta-Yogyakarta Jimatan pada tanggal 29 Agustus 2007 dan 6 Oktober 2008.
Hartono, “Wisata Seperitual di Laut Pantai Selatan Parangkusumo” Penelitian ini penyusun lakukan pada hari selasa 2 Desember 2008.
Inandiak, Elizabeth D. “Bedah Buku dengan Judul Centhini Kekasih yang Tersembunyi” acara ini dilaksanakan oleh Komunitas LAIL di UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 12 November 2008.
Kareseno, Arief Ramelan. dari Yogyakarta untuk Indonesia (sebuah wacana kebijakan publik), Yogyakarta: INSPECT, Januari 2004
Marfuah, “Kearifan Budaya Lokal Bernuansa Agama” dalam Penamas (Jurnal Penelitian Agama dan Kemasyaakatan), Vol. xx No. 1. Th. 07. Departemen Agama Badan Litbang dan Diklat Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.
Martin, Richard C. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta: Muhammadiyah Univesity Press. Tahun 2002.
M. N. Salim,  Keistimewaan Yogyakarta dalam Tiga Buku (Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta  yang ditulis oleh Abdur Rozaki, Sutoro Eko dkk, dan diterbitkan oleh IRE Press Yogyakarta , Februari 2003. Buku kedua, Keistimewaan Jogja VS Demokratisasi ditulis oleh Heru Wahyukismoyo Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta  Buku ini diterbitkan oleh Center for Critical Social Studies bekerja sama dengan Forum Bulaksumur School of Thought, tahun 2002. ) dalam Majalah flamma.
Yekti Maunati, IDENTITAS DAYAK Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta: LKiS, Oktober 2006
Naif, Fauzan. Serat Centhini Latin, disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun Ke-29 tahun 2008 tanggal 18 Juni 2008.
Seminar Budaya, “Mengenang Sartono Kartodirdjo” dilaksanankan oleh Fakultas Buday UGM di UC UGM pada tanggal 14 Maret 2008, dengan pembicara Prof. Dr. A Safii Maarif, Drs. Suwantoro dan moderator Prof. Dr. Taufik Abdullah.
Sarasehan Budaya Nasional, menuju Kepemimpinan Nasional, dilaksanakan oleh PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan pembicara, Prof. Dr. Darmadjati Supandjar, Drs. Yudian Wahyudi. M. A. Ph. D, Wiranto SH. bertempat di Qualiti Hotel pada tanggal 17 Juli 2008.
Syamsuddin, Sahiron. Integrasi Hermeneutika hans Georg Gadamer kedalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Quran pada Masa Kontemporer, Dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh DitPertais DEPAG RI pada tanggal 26-30 November 2006 di Bandung.
Weber, Max. Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan (The Handbook of Sosiology) Yogyakarta; Pnerbit IRCiSoD, Tahun 2006
Lihat (Stuktur Kerajaan di tanah Jawa Raja-Raja Keraton Yogyakarta-Surakarta pada bagan di Makam Raja JIMATAN Imogii, Bantul).
http//google.co.id. Superkoran, kritis, pluralis, dan sekuler.”Abdidalem dalam Karton dan Borobudur Gayo”, akses 26 November 2008.














DINASTI USMANI (Dalam Perspektif Awal Berdirinya, Hukum Pembunuhan Keluarga dan Pembaharuan Kemal Ataturk)

                                                  DINASTI USMANI
 (Dalam Perspektif Awal Berdirinya, Hukum Pembunuhan Keluarga dan Pembaharuan Kemal Ataturk)
                                                  Oleh : Hartono GS

A. Pendahuluan
        Dinasti Usmani atau yang sering dikenal juga Dinasti Ottoman dan Turki Utsmani berkuasa mulai pada abad 13 sampai abad 19. kalau dicermati secara seksama kedudukan dinasti ini terletak diantara dua benua yaitu Asia dan Eropa yang notabene bukan asli orang Arab (ashabiyah Arab dikalahkan dengan bangsa Turki) ataupun orang Persia, ketika itu sejak mundur dan berakhirnya era Abbasiyah, keadaan politik umat Islam mengalami kemajuan kembali oleh dua kerajaan besar lainnya yaitu: Mughal di India, dan Safawidi Persia. Dari ketiganya, Turki Usmani, adalah yang terbesar dan terlama. Turki dilihat dahulu hingga saat ini secara geografis memiliki tempat yang sangat strategis diantara dua benua, fakta geografis inilah antara lain akhirnya Turki hingga hari ini terus memperjuangkan untuk bergabung dengan Uni-Eropa, selain itu dari sisi pemikiran pun juga demikian yaitu Turki memiliki kecendrungan cara berpikir yang sekuler seperti kebanyakan negara Uni-Eropa.
        Sekilas fakta diatas seolah meyebutkan dua argumen serta negosiasi besar untuk melihat Turki saat ini,  pertama Turki seolah telah tercerabut dari akar yang sudah ada sejak abad ke 13 sampai ke 19 (7 abad), yaitu pemegang teguh konsep Khilafah Islamiyah/ideologi Islamnya artinya kelompok pertama ini ingin mengambalikan sistem kekhalifahan akan tetapi mereka lupa bahwa kekhalifahan yang baik dan bagus sebagai reaktualisasi adalah konsep ummatan wasathan (komunitas medium, Albaqarah 143) yang mana konsep ini sudah final pada masa khulafaur rasyidun, kedua Turki ingin dan telah mewujudkan negara sekuler saat ini, hal ini terjadi karena masyarakat Turki menginginkan negara yang modern dengan memisahkan persoalan agama dan negara, akan tetapi Refah (Persiden saat itu) 1995 mengingatkan adanya bahaya ideologi sekulerisme yaitu timbulnya “komunisme, fasisme dan reaksi religius yang tinggi” semua itu bisa saja terjadi dan selain itu sangat dikhawatirkan pula terjadinya gesekan-gesekan yang terus menerus antara golongan Islamis dan sekuler karena keduanya hingga hari ini Merupakan perjuangan antara hidup dan mati.
B. Sejarah Singkat Dinasti Turki Usmani


Dinasti Ottoman berasal dari nama leluhurnya yakni Utsman, dimulai dari Utsman dalam garis laki-laki secara langsung 36 berkuasa dari tahun 1288- 1924. Dinasti ini mencapai puncak keemasannya dalam abad ke-16 di bawah kepemimpinan Sulaiman Agung, puncak keemasan
dalam bidang seni, puisi dan arsitek.  Pada era ini penaklukan sampai ke seluruh Afrika Utara kecuali Maroko. seperti penyusun sebutkan di atas bangsa Turki bukan lah orang-orang Arab meliankan suku Turki sendiri, dari suku ini diantaranya suku Ughuj yang cukup terkenal, dari suku ini masih pula terbagi dalam sub-suku yang mencapai 24, namun pada akhirnya dari suku ini pulalah lahir Sultan Pertama dari Dinasti Usmani yang bernama Usman.
Dalam sejarah tercatat, kasus-kasus sebuah dinasti dan kerajaan acap kali terjadi dan berdiri karena ada sebuah tekanan, pengusiran dan perubahan sosial dari tempat tinggalnya atau bangsanya, hal ini pun serupa seperti yang dialami oleh leluhur Usman, Sulaeman dengan keempat anaknya Shunkur, Gundongdur, al-Thugril dan Dundar, pada Abad ke- 13 M, Chengis Khan mengusir mereka (orang-orang Turki) dari Khurasan dan sekitarnya. Usman yang merupakan khalifah pertama Dinasti Usmani nantinya adalah keturunan dari al-Thugril  yang memiliki kekuasaan di daerah Iski Shahr atas pemberian Sultan Alaudin karena telah menolong Sultan Alaudin untuk mengusir Mongol.
Usman yang lahir pada 1258 M, dan al-Tugril meninggal pada 1288, maka secara otomatis Usman menggantikan dan medeklarasikan diri menjadi Sultan, sejak itulah Dinasti Turki Usmani dimulai, pada tahun berikutnya yaitu 1300 M Sultan Aludin meningal dunia, pasca meningalnya maka Usman mendeklarasikan kembali menjadi Sultan yang berdaulat dengan tiga setrategi yang dibangunya yaitu mulai mencetak mata unag, pembecaan khutbah atas nama dirinya dan penguatan militer sebagai garda depan pertahanannya. kekuatan militer ini dalam perjuangannya sangat massif karena Turki yang awalnya sangat kecil kian hari kian terus berkembang, namun pada 1326 Usman meningal dan di gantikan oleh putranya Orkhan (Urkhan) naik tahta pada usia 42 tahun, pada priode inilah  Islam pertama kali masuk Eropa dengan dukungan tentara (yang terbagi sepuluh, seratus dan seribu) yang terbagi dalam tiga pasukan, pertama tentara Sipahi (tentara reguler) yang mendapatkan gajih setiap bulannya, kedua tentara Hazeb (tentara ireguler) yang mendapatkan gajih ketika mendapatkan harta rampasan perang. Ketiga tentara Jenisari tentara yang direkrut saat berusia dua belas tahun (kebanyakan anak-anak Kristen yang dibimbing Islam dandisiplin yang kuat).
Penganti dari sekian Sultan, Sultan Murad I lah yang dianggap paling berjasa dan disebut-sebut pula pendiri Dinasti Usmani yang sebenarnya, karena pada masa Murad I inilah kejayaan Dinasti sangat terasa seperti penaklukan Kosovo (1389 M) yang akhirnya lima ratus tahun dibawah kekuasaan Dinasti Usmani, Putra Murad yang bernama Bayazid menggantikan ayahnya namun naas ketika melakukan penaklukan Konstantinopel ia tertangkap oleh tentara Timur Lang di Anggora dan wafat didalam penjara, pasca kematian inilah Dinasti Usmani mengalami kemunduran yang luar biasa namun tak begitu lama Dinasti Usmani menemukan pemimpinnya kembali yakni Muhammad, dimasa Muhammad Dinasti Usmani ini bisa berjalan setabil seperti sedia kalanya, dengan keberhasilannya inilah ia dijuluki Umar II.
Murad  II dan Muhammad II, dalam sejarah terkenal dengan sebutan al-Fatih (karena menaklukan Konstantinopel yang pernah dicita-citakan oleh Usman ibn ‘Affan) membuat undang-undang dalam Islam qanun namah yang sangat keras, isinya adalah membunuh saudara kandung, termasuk keponakan, paman dan keluarga dekat yang diagnggap bersaing dalam perebutan kekuasaan adalah halal, dengan alasan lebih baik negara itu utuh dari pada kehilangan wilayah, fatwa ini itu disahkan oleh Shaikh al-Islam. dari fakta sejarah yang ada setelah meningalnya al-Fatih, digantikan oleh putranya Bayazid II, seterusnya di gantikan Salim I yang tekenal sangat kejam (Salim the Grim) karena ia tega melawan ayahnya dan membunuh saudara-saudaranya untuk merebut tahta kekuasaan.
Pasca kekuasan Salim, sejak itulah dalam sejarah Islam terdapat dua jabatan penting yaitu Sultan untuk Dinasti Usmani dan Khalifah bagi seluruh dnia Islam yang dipegang oleh Sulaiman Agung (1520-1560) dengan julukan Sulaeman al-Qanuni dengan berbagai kebijakannya yang sangat membangun Islam. pasca Sulaiman maka terjadi kemunduran yang luar biasa.
C. Periodesasi Sultan Dinasti Turki Utsmani
Raja-Raja Turki Utsmani bergelar Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi, sedangkan khalifah berkuasa di bidang agama atau spiritual. Mereka mendapatkan kekuasaan secara turun temurun, walau tidak harus dari putra pertama, bahkan dapat diwariskan kepada saudaranya.
Khilafah Bani Utsmaniyyah tercatat memiliki kurang lebih 36 orang khalifah, yang berlangsung mulai dari abad 10 Hijriyah atau abad ke enam belas Masehi. Nama-nama mereka sebagai berikut:

No    Nama dan Masa Pemerintahannya        No    Nama dan Masa Pemerintahannya     
1.     Utsman I (tahun 1229-1326 M)        20.     Muhammad IV (tahun 1648-1687 M)     
2.     Orkhan ( Tahun 1326 – 1359 M)        21.     Sulaiman II (tahun 1687-1691 M)     
3.     Murad I (tahun 1359-1389 M)        22.     Ahmad II (tahun 1691-1695 M)     
4.     Bayazid I (tahun 1389-1402M)        23.     Mushthafa II (tahun 1695-1703 M)     
5.     Muhammad I (tahun 1402-1421 M)        24.     Ahmad III (tahun 1703-1730 M)     
6.     Murad II (tahun 1421-1451 M)        25.     Mahmud I (tahun 1730-1754 M)     
7.     Muhammad II (tahun1451-1481M)        26.     ‘Utsman III (tahun 1754-1757 M)     
8.     Bayazid II (tahun 1481-1512 M)        27.     Musthafa III (tahun 1757-1774 M)     
9.     Salim I (tahun1512-1520 M)        28.     ‘Abdul Hamid I (tahun 1774-1789 M)     
10.     Sulaiman al-Qanuni (tahun 1520-1566 M) peralihan        29.     Salim III (tahun 1789-1807 M)     
11.     Salim II (tahun 1566-1574 M)        30.     Musthafa IV (tahun 1807-1808 M)     
12.     Murad III (tahun 1574-1595 M)        31.     Mahmud II (tahun 1808-1839 M)     
13.     Muhammad III (tahun 1595-1603 M)        32.     ‘Abdul Majid I (tahun 1839-1861 M)     
14.     Ahmad I (tahun 1603-1617 M)        33.     ‘Abdul ‘Aziz I (tahun 1861-1876 M)     
15.     Mushthafa I (tahun 1617-1618 M)        34.     Murad V (tahun 1876-1876 M)     
16.     ‘Utsman II (tahun 1618-1622 M)        35.     ‘Abdul Hamid II (tahun 1876-1909 M)     
17.     Mushthafa I (tahun 1622-1623 M)        36.     Muhammad Risyad V (tahun 1909-1918 M)     
18.     Murad IV (tahun 1623-1640 M)        37.     Muh. Wahiddin (II) (tahun 1918-1922 M)     
19.     Ibrahim I (tahun 1640-1648 M)        38.     ‘Abdul Majid II (tahun 1922-1924 M).    
Dalam sekian lama kekuasaannya, yakni sekitar 625 tahun, tidak kurang dari 38 sultan. Dari 38 sultan yang pernah memerintah Turki Utsmani, Syafiq A. Mughni membaginya ke dalam lima periode:
1. Periode pertama (1229- 1402 M). Periode ini dimulai darii berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan Timur Lank. sultan-sultan yang memimpin pada periode ini adalah Utsman I, Orkhan, Murad I, dan Bayazid I.
2. Periode kedua (1402-1556 M). Periode ini ditandai dengan restorasi kerajaandan cepatnya pertumbuhan sampai pada ekspansinya yang terbesar khususnya pada masa Sultan Salim I putra sultan Bayazid II yang berhasil menguasai Afrika Utara, Syiria, dan Mesir yang pada waktu itu Mesir diperintah oleh kaum Mamluk yang dipimpin oleh al Mutawakkil ‘Ala Allah pada 1517 M. Sultan-sultan yang memimpin pada periode ini adalah Muhammad I, Murad II, Muhammad II, Bayazid II, Salim I dan Sulaiman I Al Qanuni.
Pada periode ini Dinasti Turki Utsmani mencapai masa keemasannnya pada masa pemerintahan Sulaiman I Al Qanuni. Wilayahnua meliputi Daratan Eropa hingga ustria, Mesir, Afrika Utara, Al Jazair, Asia hingga ke Persia; serta melingkupi Lautan Hindia, Laut Arabia, Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Ia dijuluki Al Qanuni karena memberlakukan undang-undang dinegerinya. Orang Barat menyebutnya The Magnificient (Sulaiman yang agung), karena Al Al Qanuni-lah yang menyebut dirinya sultan dari segala sultan.
3. Periode ketiga (1556-1699M). Periode ini ditandai dengan kemampuan dalam mempertahankan wilayahnya karena masalah perang yang terus menerus terjadi karena alasan domestik, disamping juga gempuran dari daerah luar. Sultan-Sultan yang memimpin pada periode ini adalah: Salim II, Murad III, Muhammad III, Ahmad I, Mustafa I, Utsman II, Mustafa I (yang keduakalinya), Muarad IV, Ibrahim I, Muhammad IV, Sulaiman III, Ahmad II, dan Mustafa II.
4.Periode keempat (1699-1839 M). Periode ini ditandai dengan bersurutnya kekuatan kerajaan dan terpecahnya wilayah di tangan para penguasa wilayah. Sultan-sultannya adalah sebagai berikut: Ahmad III, Mahmud I, Utsman III, Mustafa III, Abdul Hamid I, Salim III, Mustafa IV, dan Mahmud II.
5. Periode kelima (1839-1922 M). Periode ini ditandai oleh kebangkitan kultural dan administratif dari negara di bawah pengaruh ide-ide Barat. Sultannya adalah Abdul Majid I, Abdul Aziz, Murad V, Abdul Hamid II, Muhammad V, Muhammad VI, dan Abdul Majid II. Sultan sebagaimana yang tersebut terahir hanya bergelar khlaifah, tanpa sultan yang ahirnya diturunkan pula dari jabatan khalifah.


D. Islam pada Masa Modern (memasuki Abad ke- 17 M)
Masa modern atau masa peralihan dari masa Abad pertengahan ke Abad modern dimulai pada Abad ke-17, tepatnya saat terjadinya perjanjian Carltouiz (Carlouiz), 26 Januari 1699 M antara Turki dan Austria, Rusia, Polandia, Venesia, dan Inggris. dengan semangat gold, glory, dan gospel, sedangkan isi dari perjanjian Carltouiz adalah Turki dan Austria terikat perjanjian selama 25 tahun mengenai daerah kekuasaan atau pembagian kekuasaan, dari perjanjian inilah merupakan embrio keruntuhan Dinasti Turki Usmani dan dunia Islam ketika itu mengalami kelumpuhan yang maha dahsyat, ditambah lagi adanya masuknya pengaruh renaissance kedunia Islam melalui Mesir oleh Napoleon tahun 1798 M, semua ini menurut Harun Nasution Merupakan cara pandang pemikir Islam sedangkan sudut pandang Ekonomi Erpoa dan barat mengalami krisis yang luar biasa sehingga mereka mengkolonialisasi berbagai belahan dunia samapai ke Indonesia.
Kebangkitan Eropa pada Abad ke 17-18 merupakan kebangkitan sebuah keilmuan yang memisahkan antara agama dan politik, ketika itu berbagai produk keilmuan terus gencar dikembangkan mulai dari militernya, ekonominya, hukumnya, politiknya dan sebaginya, sehingga Erpoa telah siap untuk membalik menjajah hamper seluruh dunia Islam. peristiwa perang yang cukup tragis ketika Turki mengalami kekalahan Perang Balkan 1912-1913 dan Treaty of Bukharest 1913 M wilayah Turki di Erpoa 80 % sudah dikuasai Erapa, yang akhirnyamelahirkan nasionalisme Turki di bawah Gerakan Turki Muda yang sudah lahir sebelumnya pada 1908 M.
        Setalah Perang Dunia I berakhir, tidak lama kemudian Kerajaa Usmani (1923) lenyap, kemudian berdirilah Republik Turki, sebuah negara yang independent dan secara otomatis system kekhalifahan tidak ada lagi.
E. Hukum Pembunuhan Keluarga
            Kritik yang sering terdengar dari berbagai sistem pemerintahan yang didalamnya berupa kerajaan atau dinasti seperti Dinasti Usmani, ada kecendrungan kekuasaan akan bersifat waris mewarisi tanpa melihat kualitas putra mahkota yang akan mewarisi tahta yang ada, apakah dia memiliki kualitas sebagai pemimpin atau tidak, selain itu kekuasaan selalu diperebutkan oleh keturunannya yang sering terjadi konflik di dalamnya, hal ini seperti pernah terjadi pada masa dinasti Usmani ketika pasca Bayazid II, seterusnya di gantikan Salim I yang tekenal sangat kejam (Salim the Grim) karena ia tega melawan ayahnya dan membunuh saudara-saudaranya untuk merebut tahta kekuasaan.
        Melihata fakta-fakta perebutan kekuasaan yang tidak mengindahkan norma-norma ataupun nilai-nilai dalam memimpin tentunya semua itu akan mencitrakan bahwa kekuasaan yang bersifat aserfatif yang digagas oleh Max Webber sangat mendekati sebuah kebenaran, kebenaran yang dimaksud adalah kekuasaan berupa kerajaan akan mudah sekali terjadi konflik dan perebutan kekuasaan, tidak adanya kontrol untuk melihat berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang Raja, Suara raja diibaratkan suara yang mewakili suara Tuhan di muka bumi ini.
F. Pembaharuan Kemal Ataturk
    Gerakan Nasionalis Turki
        Gerakan nasionalis Turki secara embrio sudah mulai muncul pada tahun 1919 ketika Dinasti Turki muali mengalami kemunduran dan mungkin menuju kehancuran dalam sistem khilafahnya, sedangkan dilihat dari sisi eksternal Turki pun mulai diserang oleh bangsa Eropa untuk diambil wilayahnya, Mustafa Kemal yang ketika itu masih menjadi Inspektur Jendral Angkatan Darat Kesembilan, muncul di Anatolio empat hari setelah invasi Yunani bersama beberapa temannya diantaranya Kazim Karabekir, Ali Fuad Pasha dan Husein Rauf untuk memperjuangkan perjuangan nasional, selanjutnya sebuah kongres delegasi profensi-profensi timur diselenggarakan di Erzerum dari tanggal 23 Juli sampai 19 Agustus 1919, yang menghasilkan resolusi antara lain menyatakan tuntutan atas kemerdekaan dan terciptanya persatuan bagi rakyat Turki yang bersatu dalam agama, ras dan tujuan. pada tnggal 4 September 1919 Kongres Erzerum dikukuhkan kebali oleh kongres di Sivas, yang di hadiri oleh seluruh kerajaan, sedangkan akhir dari resolusi itu terbentuklah enam pasal program yang dinamakan Misaki-Milli (Pakta Nasional).
        Mustafa Kemal Ataturk adalah tokoh perjuangan yang mewujudkan berdirinya negara republik Turki yang dirintis mulai tahun 1922, dibawah Kemal inilah negara Turki mengalami serangkaian reformasi radikal yang bertujuan mengubah Turki menjadi negara sekuler modern dengan mengikuti model laicite Perancis. perubahan radikal yang dilakukan Kemal antara lain mengenai pemisahan atau pembatasan peran agama (privat) hanya sebagai sistem kepercayaan yang terpisah dari ruang pablik, selain itu perubahan lain yang cukup mendasar adalah penghapusan sistem kekhalifahan, penutupan sekolah-sekolah Islam tradisional (madarasah) dan pembubaran pengadilan agama pada tahun 1924. sedangkan dalam perkembangan selanjutnya Kemal membubarkan pulasejumlah tarekat, melarang pemakaian tutup kepala khas Dinasti Usmani (fez) bagi laki-laki, menghalangi perempuan memakai kerudung, dan mengadopsi kalender Gregoria sebagai satu-satunya kalender resmi.
        Pembaharuan Turki ternyata tidak berhenti dari konsep-konsep mendasar yang telah lama dan hidup di Turki, melainkan pembaharuan terus gencar dilakukan oleh Kemal, tercatat pada tahun 1926 hukum pidana baru yang berdasarkan Swiss mulai diadopsi, pengadopsian ini merupakan babak baru untuk menandai akhirnya hubungan hukum negara dengan hukum yang berdasarkan syariah, pada tahun 1928 secara tegas Turki mendeklarasikan sebagai negara sekuler, Islam tidak lagi dianggap sebagai agama resmi negara dan alfabet Turki yang sudah dilatinkan mulai diadopsi, pada tahun 1935 negara secara resmi juga mengadopsi Hari Minggu sebagai hari libur Resmi.
Mustafa Kemal Atatruk melakukan beberapa perubahan dan pembaharuan dalam beberapa sektor, diantaranya sektor agama, bahasa, pemerintahan serta hukum. Pada I Januari 1935, pemerintah mengharuskan pemakaian nama keluarga bagi setiap orang  Turki dan melarang pemakaian gelar-gelar yang biasa dipakai pada masa  Turki Usmani. Mustafa Kemal menambahkan nama Ataturk, yang berarti Bapak Bangsa  Turki , sebagai nama keluarga. Pada tahun 1935 sistem kalender hijriyah diganti dengan sistem kalender masehi.
Demikianlah adanya Turki saat ini yang terus berkembang dan mempertahankan negara sekulernya, namun catatan yang cukup kritis adalah;
Pertama : Dengan sistem sekuler ini negara ingin mengontrol agama agar  agama tidak dijadikan legalisasi atau label untuk maraih kekuasaan seperti masa kekhalifan Dinasti Usmani terdahulu, selain itu langkah yang dibendung adalah negara ingin mengontrol ulama’ (pemakian baju turban oleh ulama dilarang serta penggunaan gelar yang melambangkan otoritas agama seperti “alim” dan “syaikh” juaga dilarang) dan tarekat sufi (fez) melalui lembaga pendidikan yang dipegang oleh pemerintah (kementrian pendidikan).
Kedua :     Dengan sistem sekuleristik total di Turki yang dilakukan oleh Kemal, terkadang ada pemaknaan yang sangat disayangkan, yaitu penghapusan berbagai sendi yang sangat fundamental  untuk menuju sebuah negara yang diimpikan yaitu negara modern, pertanyaannya kemudian apakah hanya denga jalan itukah kemoderenan bisa dilakukan? dengan mengekor dunia barat khususnya Eropa.
Sedangkan Untuk menilau bagaimana corak negara sekuler Turki, penyusun mengambil pendapat Donald Eugene Smith. Menurutnya sekulerisasi pemeriintahan ditandai oleh: (1). Pemisahan pemerintahan negara dan agama (2). Pengembangan pemerintahan, kekhalifahan ke sekuleristik baik hukum, ekonomi dan juga sosial. Dua ambiguinitas pengambilan keputusan negara modern Turki di atas sesungguhnya sebuah pengambilan keputusan yang sangat besar untuk munuju dunia modern dalam satu sisi namun disisi yang lain banyak pula yang mempertanyakan kesekuleran murni negara Turki seperti yang terjadi saat ini, dimana Perdana Mentrinya menggulirkan kembali masalah jilbab adalah HAM, bukan atas nama agama.
G. Kesimpulan
    Bebicara Turki saat ini secara historis tidak bisa dilepaskan dengan perjalanannya cukup panjang yang dimulai pada awal abad ke-13 hinga runtuhnya pada tahun 1922. sistem kekhalifaan Dinasti Usmani tentu sangat mewarnai berbagai kultur yang ada di Turki saat itu dengan mengadopsi sistem Islam-syariahnya, pun demikian gejolak-gejolak didalamnya sangat berjalan fluktuatif untuk terus mempertahankan sistem kekhalifaannya ketika itu, akan tetapi diakhir abag ke 19 semua itu mulai benar-benar goyah dengan hadirnya sosok tokoh yang dibanggakan oleh rakyat Turki yakni Mustafa Kemal Attruk. Mustafa Kemal Attruk, selain sebagai sosok pembaharu kekhalifaan menjadi republik Turki Modern ia juga menjadi sosok pemberontak dari sistem yang eksklusif yang dikuasai oleh kalangan agamawan yang disebut ulama dan kaum tarekat, dua kaum ini akhirnya secara tegas (setelah naiaknya Kemal ditampuk kekuasaan) dihapus di bumi Turki untuk menghilangkan dominasi berlebihan atas pemakaian simbol-simbol keagamaan oleh kedua golongan ini.
Daftar Pustaka
Albana, Jamal, Runtuhnya Negara Madinah, Islam Kemasyarakatan dan Islam Kenegaraan Yogyakarta: Pilar Media, Oktober 2005.
An-Na’im, Abdullah Ahmad, Islam dan Negara Sekuler Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: Mizan, Juli 2007.
Adnin Armas, Tasaqafah; Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, ISSN: 1411-0334, vol.3 No. 2 Jumada Ula 1428 H.
Azra, Azumardi, Relevansi Khalifah di Indonesia, dikutip dari, Kompas 18/08/07.
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Penerjemh Abdullah Ali dkk. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Juli 2006.
Bosworth, G.E, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993.
Gerges, Fawaz A, Amerika dan Islam Politik; Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan. Jakarta: Penerbit AlvaBet, September 2002.
Harian Jogja Berbudaya Membangun Kemandirian, “Obama Dukung Turki  di Uni-Eropa” Selasa Kliwon, 7 April 2009.
http://rifqiemaulana.wordpress.com/2009/01/15/dinasti-turki-utsmani.
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, November 2007.
Lapidus, Ira. M, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian kesatu & dua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juni 2000.
Maarif, Ahmad Syafii, Gerombolan Pengkhianat, Republika, 6 Juni 2006.
Nurlaili, Peradaban dan pemikiran Islam; Anatomi Sejarah dan Faktor-faktor Perkembangan Masyarakat, dalam Jurnal Ilmiah Madani; Trnsformasi Islam dan Kebudayaan, ISSN 1410-81423 Vol. 12 No. Januari 2008.
Redaksi, 16 Maret, 07 Peran "Lawrence Of Arabia" di Balik Berdirinya Kerajaan Saudi
Solihat, Ade, “Kemalisme: Budaya dan Negara Turki”, (atikel  dalam http://www.fib.ui.ac.id/index.php?option=com) Diselenggarakan oleh Departemen Linguistik dan Departemen Susastra FIB UI pada tanggal 10 Mei 2005.
Wahyudi, Yudian, dalam Promosi Doktor M. Fathoni hasyim Fiqih Imam Al-Bukhari, di ajukan pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, pada tanggal 6 April 2009 di uang Ujian Promosi Doktoral, pukul 14.00-16.00.
Watt, William Montgomey, Fundamentalisme Islam dan Moderenitas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, diterjemahkan oleh Taufik Adnan.






  

PARADIGMA ILMU: POSITIVISME, POSPOSITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME

PARADIGMA ILMU: POSITIVISME, POSPOSITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME
Oleh Imam Subagyo
Ditelaah oleh : Hartono (mahasiswa PPs. Ilmu Hukum/S3 UII)

A.     PENDAHULUAN

Pembahasan tentang paradigma ilmu termasuk bagian dari materi filsafat ilmu. Sedangkan filsafat ilmu merupakan salah satu cabang kajian filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu.
Sebelum membahas aliran-aliran paradigma ilmu, lebih dulu penulis kemukakan hasil penulusuran asal-usul filsafat. Ach. Maimun Syamsuddin menyatakan, pada umumnya para ilmuwan menganggap bahwa tanah tumpah darah filsafat adalah Yunani. Namun Al-Farabi dalam Tahsil al-Sa’adah mencatat bahwa orang-orang Kaldan (kawasan Mesopotamia) sejak zaman purba merupakan pemilik tradisi filsafat yang diwarisi orang-orang Mesir lalu turun ke Yunani. Di Yunani inilah memang tradisi mencari kearifan dilakukan lebih intensif, dengan metode yang kian teratur dan sistematis, berusaha melepaskan diri dari berbagai mitos.
Muhammad Al Bahi dalam Al-Janibul Ilahi minat afkiril Islami menerangkan pula adanya sumber-sumber filsafat termasuk dari kebudayaan Timur yakni dari agama-agama Aria, yaitu: Brahma, Budha, Zuruastra dan Manu, serta dari agama-agama Semit, yaitu: Yahudi dan Masehi (Kristen).
Al Bahi menyatakan, filsafat Greek (Yunani) bukanlah ciptaan para filsuf Greek. Bukti dan argumen yang dikemukannya adalah bahwa di dalam filsafat Yunani terdapat hubungan dengan agama primitif Yunani yang menjadi unsur-unsur filsafatnya. Contohnya, filsafat Yunani menjadikan “api hiraqlith” sebagai asal alam, sebagai indikasi bahwa ada pengaruh agama Timur di dalamnya, sebab penyucian dengan api pada umumnya ada di agama-agama Timur. Selain itu dalam filsafat Yunani juga menjadikan “akal iliyah-i” sebagai asal alam, barangkali adalah konklusi penyucian jiwa, sebagai asal akidah agama primitif.
Martin Bernal dalam bukunya Black Athena, menyelidiki jalinan kesetaraan dan keserupaan kebudayaan dan intelektual antara peradaban Semit (Yahudi), Yunani dan Mesir. Ternyata Bahasa Yunani, walaupun termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa, banyak meminjam perbendaharaan kata bahasa Kan’an dan bahasa Mesir. Peradaban Yunani banyak terpengaruh oleh peradaban Mesir dan Funesia, akibat penjajahan selama 1500 tahun oleh kedua bangsa itu. George Sarton menegaskan bahwa ’keajaiban’ Yunani dalam bidang sains sebenarnya telah didahului oleh ribuan tahun pencapaian sains di Mesir dan Mesopotamia, sehingga pandangan bahwa sains bermula dari Yunani adalah pemalsuan hakikat sejati yang merupakan sikap ’kekanak-kanakan’. Prof. George GM. James dalam bukunya Stolen Legacy: Greek Philosophy is Stolen Egyptian Philosophy memaparkan tesis bahwa para filosof Yunani seperti Thales, Pythagoras, Socrates, Plato dan sebagainya telah menerima pendidikan atau setidaknya meminjam buah pikiran para paderi dan pendeta Mesir.
Dengan demikian, banyaknya literatur yang menuliskan bahwa asal-usul filsafat berasal dari Yunani hendaknya perlu diluruskan sebab pandangan tersebut hanya akan menyembunyikan sejarah filsafat.
           
Filsafat sendiri sebenarnya juga menjadi kajian ilmu. Namun, dalam definisi yang umumnya diakui ada perbedaan antara ilmu dengan filsafat.
Definisi ilmu ternyata beragam, berdasarkan pendapat para ahli yang berbeda. C.A. Peursen menyatakan bahwa ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Dalam Tanbihun.com dirangkum berbagai definisi ilmu pengetahuan dari banyak ahli, beberapa di antaranya sebagai berikut ini. Mohammad Hatta mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam. Ralp Ross dan Ernest van Den Haag menyatakan bahwa ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak. Cambridge Dictionary 1995 mengartikan ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar, mempunyai objek dan tujuan  tertentu dengan sistim, metode untuk berkembang serta berlaku universal yang dapat diuji kebenarannya.
Begitu pula definisi filsafat ada bermacam-macam menurut pendapat para ahli filsafat dari waktu ke waktu. Plato memandang filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Plato juga menyatakan bahwa filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Aristoteles juga menyatakan bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu. Sementara itu Al Farabi mengartikan filsafat adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.
Apabila diperhatikan berbagai definisi tentang ilmu tersebut, dapat dikatakan bahwa ilmu bukanlah sekadar pengetahuan, tetapi merupakan sekumpulan pengetahuan yang benar dan dapat secara sistematik diuji dengan suatu metode. Sedangkan penggunaan metode ilmiah akan bergantung pada paradigma ilmu yang akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini, apakah suatu metode ilmiah bersifat tetap sebagai pedoman yang positivistik demi menentukan kepastian cara menguji kebenarannya, ataukah metode tersebut dapat berubah-ubah.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Namun demikian, ketika filsafat dikaji dalam dan sebagai suatu studi ilmiah maka filsafat juga menjadi bagian dari ilmu itu sendiri, termasuk pula filsasat ilmu. Hal itu tampak pada bagaimana perbedaan ahli dalam memandang filsafat ilmu.
A. Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu sebagai berikut. ”That philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual disciplines.” Di sini Cornelius Benjamin memandang filsafat imu merupakan cabang dari filsafat.
Namun, Conny Semiawan dan kawan-kawan (at al) menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya. Di sini Conny Semiawan at al memandang filsafat ilmu sebagai ilmu tentang ilmu pengetahuan.
Tulisan ini selanjutnya akan menelaah tentang beberapa paradigma ilmu yang saya batasi pada paradigma positivisme, pospositivisme dan konstruktivisme.

B.     PARADIGMA ILMU

Pemikiran manusia dari zaman ke zaman selalu berubah, mengalami perkembangan. Kita dapat menelaah sejarah di mana ilmu pada zaman sebelum Masehi sudah berkembang, terutama yang terkenal di Mesopotamia, Babilonia, Mesir, India, Cina hingga zaman Yunani Kuno.
Perkembangan agama Kristen di Eropa pada zaman Masehi turut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, di mana hegemoni tafsir ayat agama dalam pemerintahan yang sempat mengintervensi dan menghakimi pemikiran ilmiah seperti yang terkenal terjadi pada kasus Galileo yang melakukan falsifikasi terhadap pandangan geosentris, dengan mengemukakan teori baru bahwa matahari merupakan pusat tatasurya (heliosentris).
Namun demikian kesewenang-wenangan gereja tersebut tidak membuat para ilmuwan menyerah. Kondisi-kondisi masyarakat Eropa seperti itu justru memunculkan para ilmuwan dan filsuf yang peduli terhadap perubahan sosial, berusaha melakukan perubahan dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga muncullah gagasan-gagasan atau paradigma tentang ilmu pengetahuan, di antaranya positivisme, pospositivisme, konstruktivisme.

1.            Positivisme
Pemikir Barat yang dianggap sebagai pencetus positivisme adalah Auguste Comte dengan nama lengkap Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di MontpellierPerancis17 Januari 1798. Comte meninggal di Paris 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Comte merupakan seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Aguste Comte hidup pada zaman pasca Revolusi Perancis abad ke-19 yang karut-marut. Pada mulanya Comte merupakan seorang ahli fisika dan politeknik terkemuka zaman itu. Ia mencoba memberikan sebuah solusi tentang konsep masyarakat ideal yang disebutnya sebagai masyarakat positivistik.  
Auguste Comte saat itu menggambarkan masyarakat Perancis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat teologis atau mitos, masyarakat metafisika, dan masyarakat positivis yang disebut oleh Aguste comte sebagai masyarakat yang mapan.
Comte melihat keadaan Perancis sama dengan keadaan di Eropa pada umumnya. Maka Comte menetapkan satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai 'hukum tiga fase'. Menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: teologi, metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut "tahap ilmiah").
Fase teologi tersebut berada di permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Masa itu ditandai adanya dominasi hukum gereja. Ilmu pengetahuan yang berkembang dilarang berlawanan dengan ayat-ayat Injil. Tetapi, tentu saja ayat-ayat Injil tersebut ditafsirkan oleh otoritas agama yang tidak luput dari kekeliruan.
Fase berikutnya adalah fase metafisika, yaitu tahap di mana manusia dengan akal budinya mampu menjelaskan tentang realitas, fenomena, dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Comte berpendapat bahwa metafisika belum bisa bersifat empirik, sehingga tidak akan menghasilkan pengetahuan baru tentang realitas dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia dan keharusan mutlak tentang manusia.
Comte menyatakan bahwa cara berfikir manusia harus keluar dari dua tahap tersebut, yaitu dengan masuk pada fase berikutnya, yaitu tahap pengetahuan positivis yang dapat dijadikan sarana untuk memperoleh kebenaran dengan cara observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial.
Comte mengembangkan suatu penggolongan hirarkis dan sistematis dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur ( ilmu perbintanganilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia) dan ilmu fisika organik (biologi) dan bentuk badan sosial yang dinamai sosiologi.
Dalam paradigma positivisme ini, C.A. van Peursen menilai bahwa positivisme logis memecahkan kendala yang dihadapi empirisisme berkaitan dengan kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku umum. Positivisme logis menganggap ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Positivisme logis bertolak dari data empiris, seperti pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan pengamatan atau “kalimat protokol”. Sedangkan ilmu formal tidak mengenai data empiris (kenyataan) tapi menjalin hubungan antara lambang-lambang yang membuka kemungkinan memakai data observasi yang telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).
Anis Chariri membuat pengertian paradigma positivisme secara lebih sederhana berdasarkan pendapat Neuman (2003), yaitu suatu pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survei/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif. Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Paradigma positivisme membuat parameter bahwa ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya.
Paradigma positivisme berpandangan bahwa teori terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.
Dengan demikian paradigma ilmu positivisme merupakan paradigma yang menggunakan metodologi kuantitatif. Paradigma tersebut selanjutnya mendapatkan kritik para ilmuwan, termasuk mereka yang berparadigma pospositivisme.

2.            Pospositivisme
Salah satu bentuk paradigma pospositivisme adalah paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).
Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir di   ViennaAustria28 Juli 1902 dan meninggal di LondonInggris17 September  1994 (umur 92 tahun). Popper merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu. Falsifikasi adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan. Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya.
Saya berpendapat bahwa tujuan falsifikasi dimungkinkan semata-mata untuk terus-menerus mencari kebenaran suatu teori, bukan sebagai sikap subyektif untuk mencari-cari kesalahan yang motif negatif. Falsifikasi ala Popper di sini mempunyai motif positif. Salah satu contoh falsifikasi telah disebutkan di depan pada kasus Galileo Galilei yang membantah atau melakukan falsifikasi terhadap teori geosentris dengan mengemukakan teori heliosentris.
Di zaman yang lebih modern Albert Einstein juga melakukan falsifikasi teori tentang relativitas dalam mekanika. Einstein pada tahun 1905 memaparkan teori elektrodinamika benda yang bergerak. Dia memanfaatkan teori elektro-dinamika dari Maxwell, untuk menemukan batasan dari mekanika Newton, membenturkan kedua teori, yakni mekanika klasik dengan teori elektro-magnetisme. Einstein hendak menunjukan bahwa kerangka fisika dan mekanika klasik yang berbasis ruang dan waktu absolut, yang secara matematik dituliskan sebagai transformasi Galileo Galilei, tidak berlaku dalam kecepatan amat tinggi. Einstein sekaligus membantah teori dari Heinrich Hertz mengenai medium yang disebut ether pembawa cahaya, dimana gaya listrik dan gaya magnet tidak dapat melampaui batasan ruang. Dengan teorinya yang dijuluki sebagai Teori Relativitas Khusus itu Einstein menunjukan ternyata tidak ada waktu absolut, akan tetapi hanya ada ruang- waktu yang tergantung dari relasi-sistem. Dengan kata lain, dalam ruang-waktu yang memuai secara cepat, pengukur waktu yang berdetik cepat-pun akan berjalan lebih lambat. Teori elektro-dinamika benda bergerak itu, kemudian terbukti dalam percobaan di laboratorium menggunakan jam atom, serta dalam pengamatan waktu paruh dari partikel yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.
Kembali pada pemikiran Karl Popper tentang gagasan prinsip falsifikasinya. Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh bersifat kritis, apabila mau membuang parameter yang mula-mula dipaksakan (imposed regulaties). Pandangan ini disebut pula sebagai rasionalisme kritis di mana rasionalisme tidak berarti bahwa pengetahuan didasarkan pada nalar seperti dikatakan Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional dibentuk lewat sikap yang selalu terbuka untuk kritik. Inilah di antaranya prinsip falsifikasi yang diutarakan oleh Popper dalam melakukan kritik terhadap paradigma positivisme yang dianggap kaku dengan cara menggunakan serta hanya mengakui metoda ilmiah yang umumnya digunakan (bersifat positivistik).
Senada dengan Karl Popper adalah I. Lakatos dalam tulisannya berjudul History of Science and its Rational Reconstructions pada buku Boston Studies in the Phylosophy of Science (1971) yang juga menyetujui model deduktif dalam metode ilmiah. Namun Lakatos menyangkal adanya kemungkinan untuk experimentum crucis, yaitu keadaan bahwa satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Ia berpendapat bahwa yang terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain. Teori-teori beruntun atau berdampingan sebagai alternative. Jika itu menghasilkan teori yang lebih baik, itu disebut program penelitian progresif, kalau tidak dinamakan degeneratif. Van Peursen tidak menggolongkan kritik Lakatos ini ke dalam paradigma konstruktivisme, tapi dia mengistilahkannya pemikiran Lakatos tersebut sebagai “bentuk peralihan yang mendekati kelompok ini (konstruktivisme).
           
3.            Konstruktivisme
 Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan telah ditangkap manusia adalah konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu pengetahuan yang relatif baku.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa gagasan pokok konstruktivisme dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemologi dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Vico menyatakan bahwa pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008).
Namun demikian penelitian sejarah pemikiran konstruktivisme lainnya dapat memberikan gambaran bahwa konstruktivisme lahir sebelum tahun 1970-an. Kita bisa membaca pemikiran Charles S. Pierce yang juga dianggap sebagai salah satu pemikir konstruktivisme, yang hidup pada tahun 1839-1914.
Van Peursen membagi konstruktivisme dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama dinyatakannya sebagai kelompok yang paling dekat dengan positivisme logis sebab sangat mementingkan logis ilmu. Kelompok ini disebut juga sebagai tesis “Duhem-Quine” mengacu pada pendapat W.V.O Quine yang disebut sebagai bentuk holisme atau bertolak dari keseluruhan. Sedangkan P. Duhem mengajarkan bahwa suatu sistem ilmiah terdiri atas lambang-lambang (simbol), atas konstruksi simbolik melalui kaidah logis seakan-akan menyajikan suatu “terjemahan” mengenai data empiris. Oleh karenanya ilmu harus mengadakan kontak dengan pengalaman. Apabila terjadi konflik antara ilmu dengan pengalaman maka hal itu menyangkut sistem sebagai keseluruhan. Namun demikian ini tidak berarti bahwa seluruh sistem harus dihapus, biasanya cukup memperbaharui terjemahan dengan mengganti lambang-lambang tertentu. Quine melawan pendapat yang dogmatis dalam empirisme.
Kelompok kedua diberi nama “filsafat ilmu baru.” Para tokoh dalam kelompok ini di antaranya P.K. Feyeabend, N.R. Hansen, Thomas Kuhn, M. Polanyi, S. Toulmin. Kelompok ini melangkah lebih jauh lagi di mana sistem dan kenyataan empiris saling resap-meresapi. Perkembangan ilmu terjadi melalui aturan di luar ilmu lebih berperan, seperti misalnya anggapan susila dan sosial. Kelompok ini menaruh perhatian besar terhadap upaya menyusun suatu teori ilmiah, sehingga heuristik juga diperhatikan. Setiap analisis ilmiah bertolak dari organisasi bahan yang mendahuluinya, bertitik tolak pada gambaran menyeluruh yang menentukan terbentuknya sistem ilmu. Kuhn berpendapat bahwa pembenaran suatu teori bergantung pada struktur menyeluruh yang baru (paradigma). Verifikasi dan falsifikasi bukanlah hal yang menentukan. Heuristik mulai memegang peranan penting bagi metode suatu ilmu, khususnya bagi pembaharuannya.
Kelompok ketiga yang menganut paham konstruktivisme disebut aliran “genetis.” Kelompok ini berpendapat bahwa terjadinya sistem, genesis sistem, merupakan bagian dari sifat khas sistem semacam itu. Proses terjadinya (genesis) dan hasilnya tidak dapat dipisahkan. Aliran ini dipengaruhi oleh pragmatisme dan instrumentalisme dari Charles S. Pierce dan J. Dewey. Titik pangkalnya dari anggapan Pierce dengan ajarannya tentang abduksi. Selain deduksi dan induksi, Pierce menyampaikan metode abduksi.
Pierce itu menyatakan bahwa abduksi sebagai logika yang menentukan pembentukan hipotesis apapun. Setiap pengamatan dan interpretasi merupakan hipotesis yang dibuat berdasarkan abduksi. Sebagai sebuah proses sadar, abduksi merupakan bentuk ke tiga kesimpulan logis (seni melakukan penyimpulan), sesudah induksi dan deduksi. Abduksi bisa dipandang sebagai pencarian akan penjelasan terbaik bagi fenomena apapun yang diamati yang memerlukan penjelasan: X (misalnya, penggunaan tak terduga sebuah kata tertentu) sungguh luar biasa; A, B, C merupakan kemungkinan penjelasan akan penggunaan ini; B (misalnya posisi sosial penutur, yang membedakannya dari interlokuter lain) tampaknya paling meyakinkan. Jika B memang benar, fenomena X tidak lagi luar biasa; dengan demikian B diterima sebagai satu hipotesis yang bisa menguraikan kejadian X.
Secara lebih sederhana, perbedaan deduksi, induksi dan abduksi dapat digambarkan sebagai berikut:
Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
1.3) Buncis ini (adalah) putih
Induksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
Abduksi:
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu

Di dalam filsafat Islam, filsuf Al-Kindi tampaknya juga termasuk pemikir konstruktivis. Dalam karyanya yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris berjudul Treatise on Metaphysics ia menyatakan: “Kita seharusnya tidak malu untuk mengakui kebenaran dan menerimanya dari sumber manapun yang datang kepada kita, sekalipun ia dibawa kepada kita oleh generasi-generasi sebelumnya dan orang asing. Bagi orang yang berusaha menemukan kebenaran, tidak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri; ia tidak pernah merendahkan atau melecehkan orang yang mencapainya, justru memuliakan dan menjadikannya terhormat.” Hal ini menunjukkan bahwa Al Kindi tidak berpatokan pada satu sumber saja dalam mencari kebenaran.
Begitu pula dengan Ibnu Sina yang tertarik dengan semua metodologi ilmu pengetahuan. Dalam kajian-kajiannya tentang ilmu alam Ibnu Sina bertumpu pada semua jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari rasiosinasi dan interpretasi terhadap Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi. Ibnu Sina memodifikasi silogisme Aristoteles, melakukan pengembangan ilmu fisika melahirkan fisika modern melakukan kritik terhadap teori-teori Aristoteles, melakukan observasi dan eksperimentasi sekaligus.
Para ilmuwan Islam pada dasarnya memang telah diajari tradisi konstruktivisme guna mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu dalam Islam muncul berbagai mazhab Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali serta banyak mucul Thariqah.
Dalam ilmu tafsir Al Quran muncul bermacam-macam metode, diantaranya metode tafsir bil ma’tsur (tafsir melalui riwayat para sahabat Nabi Muhammad SAW), tafsir bil ra’yi (tafsir menggunakan akal) maupun gabungan keduanya. Imam Al Baghawi di dalam mukadimah kitab Ma’alim at-Tanzil menyatakan: “Tidak menambah atas apa yang telah para ulama sebelumnya lakukan, tetapi tiap-tiap masa harus ada pembaharuan atas apa yang telah lama masanya, penuntut ilmu berkurang masanya, sebagai peringatan bagi orang yang terhenti, motivasi bagi yang sungguh-sungguh, maka dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya yang baik.”
Saya berpendapat bahwa konstruktivisme menjadi jalan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara lebih leluasa, asalkan metode yang disusun dapat dipertangungjawabkan kebenarannya.

C.     PENUTUP

Munculnya filsafat pertama kali ternyata bukanlah dari Yunani. Berdasarkan pelacakan sejarah para ilmuwan ternyata filsafat Yunanipun dipengaruhi oleh kebudayaan agama-gama yang berasal dari dunia Timur, terutama dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia. Selain itu, di bagian dunia lainnya juga berkembang filsafat, seperti di India dan Cina.
Filsafat ilmu dengan berbagai macam paradigmanya merupakan sejarah jalan menuju perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini. Pandangan konstruktif dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan dengan metode apapun asalkan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam dunia Islam, paradigma konstruktivisme merupakan tradisi pemikiran Islam sejak kemunculan Islam itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008, hal. 20.
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam (terjemahan), IRCiSoD, Jogjakarta, 2006, hal. 9.
Muhammad Al Bahi, Aljanibul Ilahi (saduran Dja’far Soedjarwo), Il-Ikhlas, Surabaya, 1993, hal. 61.
Ibid, hal. 101-102.
Akar Permasalahan Filsafat Yunani,  http://www.averroes.or.id, 15 Mei 2008.
B. Arief Sidharta, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung 2008, hal. 7-11.
Ibid
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu,  Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 58.
Semiawan, Conny et al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, CV Remaja Karya, Bandung, 1998, hal. 45.
C.A. van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, (terjemahan J. Drost), PT. Gramedia, Jakarta, 1989, halaman 82.
Anis Chariri, Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif, Paper disajikan pada Workshop MetodologiPenelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, 31 Juli – 1 Agustus 2009, halaman 5.
www.fisika.undip.ac.id, Seratus Tahun Karya Jenius Einstein, artikel diposting tanggal 26 Pebruari 2009.
C.A. Peursen, op cit, hal. 84-85.
Suwandi, Filsafat Konstruktivisme Dalam Ilmu Pengetahuan, http://suwandi-sosialbudaya.blogspot.com, 27 Oktober 2009.
Markus Basuki, Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu: Filsafat Konstruktivisme, http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html
http://babang-juwanto.blogspot.com/2010/09/abduksi-logika-pembentukan-hipotesis.html, dikutip dari  Metode  Analisis Teks dan Wacana, Stefan Titscher; Michael Meyer; Ruth Wodak; Eva Vetter.
Seyyed Hossein Nasr, op cit, hal. 31.
Ibid, hal. 64-66.
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (terjemahan), PT. Rajagrafindo Persada, 2006, hal. VII-IX.