ISLAMIC STUDIES; RINGKASAN KULIAH
(Telaah atas materi kuliah Pendekatan dalam Kajian Islam
/ Islamic Studies Prof. Dr. Amin Abdullah. M. A)
Oleh : Hartono
A. Pendahuluan
Dalam
catatan sejarah, asal mula berdirinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) lebih
ditentukan oleh pertimbangan politis, yaitu, kalau Universitas Gajah Mada
merupakan hadiah kepada para nasionalis, maka IAIN Yogyakarta merupakan hadiah
kepada kelompok Islam "politik" atau santri.[1].
Dalam perkembangannya,
Kajian Islam (Islamic Studies) di Perguruan Tinggi Islam kian hari kian
berkembang dan diminati, karena alasan
yang cukup fundamental dengan mengkaji Islamic Studies secara mendalam maka
masyarakat Islam akan menemukan metodologi baru untuk memahami Islam secara
mendalam[2],
dalam bahasa Fazlur Rahman Islam kaya materi namun miskin metodologi. alasan
ini cukup menjadi sebuah pelajaran karena ada kecendrungan umat Islam saat ini memahami Islam hanya bersifat
normative (sebagai ajaran yang diturunkan Tuhan bersifat final), dan dilain
pihak Islam dipahami sebagai agama sangat terkait erat dengan
persoalan-persoalan historis kultural yang merupakan sebuah keniscayaan dalam
kehidupan manusia, atau dalam bahasa yang cukup sederhana Islam itu banyak
wajah (multifaces)[3],
artinya Islam hendaknya bukan hanya diartikan dan dipahami dalam satu sudut
pandang yang sempit, karena jika hal ini terjadi makan sebuah kegersangan,
ketegangan pemahaman akan tejadi dalam
diri umat Islam sendiri, yang akhirnya konflik akan terus terjadi.
Berkaca dengan dunia
Barat dalam perkembangannya, Kajian Islam (Islamic Studies) di Barat yang kian
hari kian berkembang setidaknya dilakukan melalui salah satu dari empat
pendekatan;
Pertama, Menggunakan metode
ilmu-ilmu yang masuk dalam kelompok humanities, seperti filsafat, filologi,
ilmu bahasa, dan sejarah.
Islam, terutama sekali
ajaran-ajarannya, melalui karya para pemikir (ulama') yang sudah termuat di
dalam teks-teks (buku-buku), dijadikan sasaran penelitian atau kajian dengan
pendekatan atau metodologi penelitian yang biasa diterapkan dalam
disiplin-disiplin kelompok humanities tersebut. Bermula dari pendekatan
filologi, kini pendekatan sejarah sangat menonjol, sehingga kajian hukum Islam
juga dilakukan dengan pendekatan sejarah pemikiran hukum "karya"
fuqaha', seperti halnya yang dilakukan oleh Joseph Schacht. Sementara John
Wansbrough dan murid setianya Andrew Rippin dalam karyanya mengenai al-Quran
berangkat dari kajian kritik bahasa atau literary analysis.3
Kedua, Menggunakan metode dalam
disiplin teologi, studi Bibel, dan sejarah gereja, yang berarti pendidikan
formalnya (training) diperoleh di Divinity Schools.
Dalam
"disiplin" itulah mereka menjadikan Islam sebagai lapangan kajian/penelitiannya.
Para sarjana dalam bidang ini dinobatkan sebagai "ahli keislaman"
setelah mendapatkan pendidikan dari fakultas atau sekolah jenis ini. Justru
model inilah yang banyak dipraktikkan sebelum 1960-an; yakni pada waktu
"area studies" mengenai Timur Tengah, Timur Dekat, dan Asia Tenggara
belum terwujud. Oleh karena itu tidak aneh kalau banyak orientalis yang juga
sekaligus pastur, pendeta, uskup, atau setidaknya missionaris.
Ketiga, Menggunakan metode
ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, politik, psikologi, dan
kelompok humanities.
Mereka yang bergelut
dalam bidang ini bisa disebut sebagai orientalis bahkan juga ahli tentang Islam
setelah mendapatkan training dari jurusan atau fakultas yang mengelola atau
mewadahi disiplin-disiplin tersebut dan mengadakan kajian/penelitian, khususnya
untuk penulisan disertasinya, tentang Islam/masyarakat Islam. Mengenai
metodologi penelitiannya, mereka menggunakan metodologi yang biasa dipergunakan
dalam disiplin ilmu-ilmu sosial. Leonard Binder adalah seorang political
scientist, Clifford Geertz --yang sering dianggap orientalis terbaik
dibandingkan dengan orientalis pada umumnya-- adalah seorang antropolog, dan
Maxim Rodinson adalah seorang sosiolog yang juga marxist.
Keempat, Menggunakan pendekatan
yang dilakukan di jurusan-jurusan, pusat-pusat, atau hanya committee, untuk
area studies, seperti Middle Eastern Studies, Near Eastern Languages and
Civilizations, dan South Asian Studies, atau Committee seperti di University of
California at Los Angeles (UCLA).
Dengan demikian seseorang
bisa mendapat predikat ahli dalam bidang Islam atau keislaman setelah mendapat
training di salah satu dari tempat, sekolah, jurusan, pusat studi yang
bertanggungjawab untuk menyediakan atau melakukan kajian tersebut. Pendekatan
yang dipakai sesuai dengan sasaran penelitiannya, sehingga kembali pada
model-model pendekatan yang dilakukan oleh disiplin-disiplin tersebut di atas.
Wadah area studies ini tampaknya kini yang paling menonjol untuk Kajian Islam
di Barat[4].
minimal empat kategori inilah yang harus dilewati dan sekaligus akan menadapat
sebuah pengakuan secra internasional di bidang Islamic studies, kedepannya IAIN
atau UIN hendaknya bisa menyuguhkan sebuah paradigma baru tentang Islam itu sendiri
karena kalau dilihat secara histori IAIN atau UIN merupakan manifestasi umat
Islam Indonesia.
B.
Kegelisahan Akademik
Kajian agama-agama khususnya Islam seperti yang
disampaikan oleh Charles J Adam pada hakekatnya belum menemukan makan dan
defenisi yang bersifat universal untuk bisa di pahami oleh semua kalangan,
semua ini akhirnya menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para
peminat dan pengkaji Islamic studies yang ada. akan tetapi bagaimanapun juga
Charles J Adam memiliki kontribusi yang cukup besar dalam kajian Islamic
studies ini, walaupun dalam perkembangannya masih perlu penambahan-penambahan
atau temuan metode baru untuk memahami Islam.
Sedangkan dalam
perkembangannya saat ini civitas akademik melihat fenomena keislaman yang ada akhirnya mencoba menemukan sebuah formula baru
untuk memahami Islam sebagai ajaran dan Islam sebagai topik kajian, akan tetapi
untuk memahami Isalm secara menyeluruh dengan berbagai pendekatan yang ada
sepertinya apa yang ditawarkan oleh Prof. Amin Abdullah dengan teorinya Normativitas-Historisitas
bisa menjembatani semua itu, namun dalam perkembangannya teori di atas dalam
wilayah akademik sesungguhnya memerlukan sebuah penyempurnaan karena teori
diatas sedikit banyak sering mengalami sebuah “ketegangan” yaitu antara normativitas
yang digawangi oleh kelompok-kelompok yang menamakan dirinya sebagai penjaga
kesucian Islam dan historisita yang lebih banyak dipahami oleh kalangan
akademisi, jalan tengah untuk menyempurnakan kajian Islamic studies yang
digagas Prof. Amin maka munculah teori laba-laba dengan pendekatannya Integrasi-Interkoneksi[5].
yaitu dengan menawarkan sebuah pandangan dunia wold view manusia tentang
keberagaman dan keilmuan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog
dan kerja sama, trnsparan, dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan
berpandangan kedepan[6].
Kegelisahan-kegelisahan
itulah yang sebenarnya ingin dijawab oleh para peminat Islamic studies saat
ini, setidaknya karena subtansi yang sebenarnya ingin disampaikan kepada semua
manusia adalah sebuah pencerahan, kerukunan, hidup damai serta menjunjung tinggi
nilai-nilai ilmiah[7]
sebagai jalan untuk mendapatkan dan menggapai semua itu.
Peper ini merupakan
sebuah rangkuman (bisa disebut begitu) dari beberapa topik pembahasan dalam
kuliah Islamic Studies yang diampu oleh Prof. Amin, dalam rangkuman ini
sebenarnya terdapat dua pembahasan yang berbeda, yaitu pertama topik
Teori Dasar Penelitian sedangkan yang kedua Model-model Penelitian dan
Pendekatan Studi. dari kedua pengelompokan itu penyusun ingin membahas serta
merangkum tetma-tema di bawah ini;
1) Teori Dasar Pendekatan
dalam Pengkajian Islam (I) karya Charles J Adams
2) Model-model penelitian
dan Pendekatan Studi, Model Penelitian GENDER (Book Review Women and Islam; An
Historical an Theological Enquiry karya
Fatima Mernissi)
3) Model-model penelitian
dan Pendekatan Studi Islam; Integrasi-Interkoneksi karya Prof. Dr. Amin
Abdullah. M. A
C. Pembahasan dan Analisis.
I. Teori Dasar Pendekatan
dalam Pengkajian Islam (I) karya Charles J Adams.
A. Core Penelitian Charles J
Adams
Berbicara mengenai Kajian
Islam di Barat, Charles J. Adams mempunyai uraian tersendiri dalam
penjelasannya tentang pendekatan yang ia lakukan. menurutnya, penggunaan metode
apa pun yang dilakukan oleh sarjana Barat untuk mengkaji Islam, intinya
terdapat dua pola, yakni pendekatan normative dan descriptive.
Dari segi Normatif-Keagamaan, Adams
mengelompokannya menjadi tiga, yaitu;
1) Pendekatan Misionaris Tradisional
Pendekatan ini dimulai pada abad ke sembilan belas,
pada waktu itu bersamaan dengan kegiataa misionaris Kristen yang dilakukan oleh
Geraja dan Serte tertentu. Pengkajian Islam oleh misionaris Kristen tidak hanya
dimaksudkan untuk tujuan akademis selain itu juga untuk kepentingan agama
Kristen dengan tujuan untuk merubah agama orang Islam menjadi Kristen.
2) Pendekatan Apalogetik-Apalogetik
dapat dipahami sebagai respon mentalitas muslim
terhadap situasi orang Islam di jaman modern. Apalogetik telah menjadi salah
satu alat utama oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya untuk jaminan
kembali dan menegaskan kemampuan Islam untuk melaksanakan islam ke dalam era
baru yang cerah. Pendekatan Apalogetik ini muncul sekitar abad ke dua puuh.
Sebagaimana dikatakan di atas, pendekatan Apalogetik ini sebagai respon
terhadap mentalitas muslim di abad modern dan untuk membentengi diri dari
gempuran ide-ide barat. Pendekatan ini berkaitan masalah rasionalitas.
Pendekatan ini berusaha membangkitkan kejayaan maya lalu.
3) Pendekatan Irenik
Pendekatan ini muncul sejak perang dunia 2. Tujuannya
adalah mengajak dialog antara Islam dan Kristen. Di samping itu pendekatan ini
telah berhasil mengatasi sikap orang barat yang curiga, antagonistik dan
menuduh, khususnya Kristen Barat terhadap tradisi Islam. Yang berjasa dalam hal
ini adalah Cragg, ia berusaha menampakkan nilai-nilai yang baik dalam Islam dan
membuka mata orang Kristen, ia menyatakan bahwa Islam dan Kristen memiliki
kesamaan W.C. Smith juga menggunakan pendekatan ini, la menganjurkan untuk
mencoba memahami kepercayaan orang lain dan bukan untuk menganti kepercayaan
itu.
Institusi; Lembaga Though;
Pemikiran
Kitab Suci
Tool; Alat Ritual Interaction
Sosial ; Prilaku Islam
Dari pola-pola diatas ini
agama isalam/kitab suci sebenarnya membutuhkan sudut pandang dari berbagai
keilmuan yang ada, misalnya dalam interaksi sosial/prilaku keagamaan umat Islam
seharusnya bisa lues dan tidak kaku, cara islam di Indonesia tentu sangat
berbeda dengan car berislam orang-orang di Timur Tengah.
Objektif;
Keyakinan
berdasarkan keilmua (Scientific)
Subjektif; Inter-Subjektifif; Fanatisme
agama Elaborasi,memahami,
menghormati
Sikap Inter-Subjektifitas
merupakan sebuah jembatan dari pemahaman subjektif-normatif-ekslusif ke
pemahaman objektif-deskriptif-scientifik[8].
yang akhirnya bisa memberikan sebuah pemahaman, pencerahan bagi setiap manusia
dalam memeluk agamannya, selain itu dengan pemahaman yang mendalam teentunya
dapat diketemukan sebuah sikap yang akomodatif bukan reaktif.
Sedangkan dalam
pendekatan yang bersifat deskriptif, Adams mengelompokkan pada
pendekatan-pendekatan
1) Pendekatan filologis dan
sejarah,
Metode sejarah filalogi memiliki
relevansi yang sangat penting dengan Studi Islam. Filalogilah yang memberikan
banyak bahan untuk memahami dan menganalisis dan tanpanya kemajuan dalam
memahami Islam tidak mungkin. Sebab filalogi dapat digunakan untuk memahami
suatu naskah, untuk memahami pikiran
atau gagasan. Adams menganggap penting pendekatan filalogi ini sebab masih
banyak naskah-naskah Islam yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa
Eropa atau belum dikaji oleh negara-negara Islam. Ia berpendapat bahwa dengan
cara pendekatan filalogi akan dapat ketahui maksud dari naskah. Adams juga
menawarkan pendekatan sintesa antara filalogi dan sejarah
2) Pendekatan ilmu-ilmu
sosial,
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai
salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti, karena
banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional dan tepat
apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosial. Pentingnya pendekatan sosial
dalam agama sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami, karena banyak
sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian
agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami
ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya
3) Pendekatan fenomenologis,
Fenomenalogi agama sulit didefinisikan. Narnun
demikian, kami (Adams) dapat membedakan dua masalah penting yang nampaknya
memudahkan memahami fenomenalogi adalah metode memahami agama orang lain dengan
berusaha untuk masuk komunitas agama dengar menanggalkan artibut yang
dimilikinya. Kelebihannya bisa mendalami agama orang lain sedang kekurangannya
kalau imannya tidak kuat akan tergoyahkan. Kedua, fenomenalogi di pandang
sebagai suatu pendekatan yang mencoba mencari fenomena-fenomena agama dengan
melintasi batas-batas komunitas, agama dan budaya.
Sedangkan dari segi
wilayah bahasannya, Adams mengelompokkan studi Islam menjadi: (1) Arabia
pra-Islamic (pre-Islamic Arabia) (2) Kajian tentang Rasul (studies of the
Prophet) (3) Kajian al-Qur'an (Quranic studies) (4) Hadits (prophetic
tradition) (6) Hukum Islam (Islamic law) (7) Filsafat (falsafah) (8) Tasawuf
(tasawwuf) (9) Aliran dalam Islam (the Islamic sects) (10) Ibadah (worship and
devotional life) (11) dan Agama Rakyat (popular religion).
B. Metodologi
Dalam buku “Islamic
Relegion Tradition” dalam Leonard Binder (Ed), The Study Of The Middle East:
Research and Scholarship In The Humanities and The Social Sciences, Canada:
Jhon Wiley an Sons, Inc, 1976) ada beberapa metode yang dilakukan Richad C.
Matrhin dan Charles J Adams. untuk mengkaji Islamic Studies, Pertama,
menggunakan metode ilmu-ilmu yang masuk dalam kelompok humanities, seperti
filsafat, filologi, ilmu bahasa, dan sejarah. Kedua, menggunakan metode dalam disiplin teologi, studi
Bibel, dan sejarah gereja, yang berarti pendidikan formalnya (training)
diperoleh di Divinity Schools. Ketiga, Menggunakan metode
ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, politik, psikologi, dan
kelompok humanities. Keempat, menggunakan pendekatan yang dilakukan di
jurusan-jurusan, pusat-pusat, atau hanya committee, untuk area studies, seperti
Middle Eastern Studies, Near Eastern Languages and Civilizations, dan South
Asian Studies, atau Committee seperti di University of California at Los
Angeles (UCLA).
C. Kontribusi Keilmuan
Kopntribusi dari karya
Richad C. Marthin sungguh luar biasa dalam dunia akademik khususnya dalam
materi kajian Islamic studies, walaupun sebelumnya juga sudah ada dan
banyak tokoh yang memperkenalkannya seperti para orentalis-orentalis sepeti W.
C. Smitt, Ignas Goldizer dan lain sebaginya namun Charels. C Martien memiliki
posisi yang tidak bisa diragukan dalam keahliannya Islamic studies, beberapa
kontribusinya, seperti;
1. Diketemukannya beberapa
metode untuk memahami Islamic studies secara konferhensif sehingga mempermudah
para pengkaji Islamic studies yang ada ssat ini.
2. Perlunya penyempurnaan serta penemuan
metodologi yang ramah terhadap masyarakat dalam aktualisasi dan sosialisasi,
karena masih ada kecendrungan yang sangat jauh antara dunia akademik dengan
dunia masyarakat.
Akhirnya peneliti membayangkan
andaikan negeri ini memiliki tokoh seperti diatas tentu pemahaman keagamaan
akan lebih rasional, sesuai peradaban serta mengedepankan perdamaian.
II.
Model-model
penelitian dan Pendekatan Studi, Model Penelitian GENDER (Book Review Women and
Islam; An Historical an Theological
Enquiry karya Fatima Mernissi).
A. Core Penelitian
Gender
Dalam
kajian Gender yang digagas oleh Fatima Mernissi yang lahir tahun 1940 di Fez,
Marokko. Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu dan
nenek-neneknya serta saudara perempuan lainnya. Sebuah harem yang dijaga
ketat seorang penjaga pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar.
Fatimah
Mernissi dalam bukunya ini mencoba memotret serta melihat bagaimana sebenarnya
kedudukan wanita dalam Islam dalam leteratur hadis, Karya-karyanya memang sarat
dengan gugatan yang bersumber dari pengalaman pribadinya. Ia pun dengan rajin
meriset apa pun yang mengganggu paham keberagamaannya. Pelacakannya terhadap nash-nash suci Quran dan
hadis membuat kritiknya begitu terasa tajam. Ia misalnya, melacak perawi hadits
sampai tingkat yang terkecil, dan meneliti riwayat hidup perawi tersebut, dan
membongkar kecacatan hadits itu.
Selain
itu issue gender yang di angkat atau kesetaraan wanita dalam Islam
merupakan sebuah perjalanan dan pengalaman pribadi penulis buku ini sperti yang
terungkap sejak kecil, Mernissi memang
telah terlibat dengan pemikiran keislaman, dan melontarkan
pertanyaan-pertanyaan yang liar. Ia misalnya menggugat batas antara lelaki dan
perempuan. Kalau disepakati ada batas, katanya, kenapa hanya pihak perempuan
saja yang dibatasi dan ditutupi. Di mana keadilan itu?, untuk melihat Gender
dalam islam dalam pemikiran Fatima Mernissi ini dapat dilihat memalui tiga
aspek;
1) Gender dalam aspek
Teologis
Pemaknaan
gender dalam aspek teologis ini, ada sebuah kecendrungan yaitu
penafsiran-penafsiran terhadap teks (al-Qur’an) yang ada tidak seimbang atau
nilai Equality dan Equaly sangat di kesampingkan, sehingga
terjadilah pemaknaan bahwa posisi wanita selalu dibawah kaum pria. namun kalau
dilihat senyatanya dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menegaskan
bahwa kedudukan pria dan wanita adalah sama, hanya kualitas ketakwaan dan
keilmuanlah yang membedakan. Siti Musda Mulia mencoba mengurai tentang posisi
pria dan wanita, ia mengatakan bahwa pria dan wanita sesungguhnya letak
perbedaannya hanya pada faktor biologis semata, artinya pemaknaan yang sifatnya
tradisional mengenai wanita yang hanya boleh berperan diwilayah domestik semata
saat ini perlu perubahan makna/dekontruksi pemaknaan kembali yaitu wanita dalam
ranah public juga memiliki peran yang sangat terbuka selagi mampu dan memiliki
kapabilitas yang memenuhi.
2) Gender dalam aspek Agama
Dalam
keberagamaan setiap manusia akan memaknai kegamaannya sesuai dengan situasi dan
kondisi/aspek sosiologis sangat berperan sekali. disana ada budaya,
politik-sosial, lokal (dalam keilmuan) semua itu akan sangat bepengaruh
dengan penafsiran terhadap agama, begitu pula yang dilakukan Fatima Mernisi
ketika menafsirkan ayat-ayat serta hadis-hadis yang ada mengenai posisi
perempuan dalam sebuah agama.
3) Gender dalam aspek
pemahaman “Fiqih Baru”
Fiqih baru
disini dimaksudkan adalah sebuah pemaknaan baru dengan persepektif yang baru
pula, karena kalau dilihat secara seksama fiqih-fiqih karya ulama’ terdahulu
selalu ada kecendrungan untuk memposisikan wanita dalam ketiak laki-laki, hal
inilah yang oleh para feminis memunculkan sebuah praktek ketidak adilan
baik dalam ranah agama ataupun sosial. respon yang ada seperti UU KDRT, UU
tentang anak, 30 % UU Pemilu dan lain sebagainya merupan salah satu trobosan
yang harus mendapat dukunagan khalayak ramai untuk mewujudkan keadilan yang
sesunguhnya bagi kaum hawa.
B. Metodologi
Penelitian
Melalui
kajian sejarah dan sosiologi yang digeluti oleh Mernissi, akhirnya dijadikan
sebuah alat dalam penelitian untuk bisa memahami wanita arab khususnya, dalam
hal kesetaraan gender dan maslah hijab ini, karena dengan alat ini ia berusaha
menafsirkan hadis yang ada sebagai jalan tengah atau alternatif terhadap
penafsiran-penafsiran yang sudaha ada serta bersifat dehumanisasi. dalam hal
ini ia banyak mencontohkan bagaiman pemerintahan di Arab yang tidak memiliki
rasa keadilan terhadap wanita, hal ini tercermin karena pemahaman yang diambil
dari sisi normative keagamaan banyak sekali disalah artikan hanya demi
kekuasaan. sedangkan untuk menguji keobjektifan penelitian Fatima Mernissi yang
juga seorang aktifis Gender tentunya sedikit banyak sulit dipisahkan[9]
akan tetapi basis sejarah dan sosiologi bisa dijadikan sebuah jaminan terhadap
keobjektifan penelitian ini, dengan kerangka-kerangka sejarah yang meliputi
(Qur’an, Hadis, agama), sosiologi (budaya, adat, bahas, dan kultur yang ada).
Persepsi tentang Wanita Islam
Dehumanisasi wanita bukan
hanya terjadi di dunia timur akan tetapi juga terjadi di dunia Barat, hal itu
tentu sebuah titik tolak yang tidak sesuai dengan kaidah yang ada dalam al-Qur’an,
karena dengan senyatanya Quran menegaskan bahwa diantara laki-laki dan
perempuan tidaklah ada yang membedakan di mata Allah, kecuali ketakwaannya.
ayat inilah sebenarnya yang sering disetir banyak intelektual muslim untuk bisa
mensejajarkan antara wanita dan laki-laki dalam berbagai ruang pablik, selain
ayat itu banyak ayat Qur’an lain telah menunjukan bahwa wanita dan pria adalah
sama semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual (Qur’an Suci, 9:112,
66:5), Begitu pula, banyak hadis yang menunjukan kesamaan harkat wanita dan
pria.
C. Kontribusi Keilmuan
Melihat Fatima Mernissi
dari potert kehidupannya yang dijadikan sebuah objek penelitian sesungguhnya
memberikan sebuah kontribusi dan pencerahan bagi semua wanita, ia yang hidup dalam keluarga harem
walaupun tergolong sederhana sebetulnya akan memperngaruhi pola prilakunya
namu ketika ia keluar dan melihat
realitas sosial dan adat yang ada di Maroko ia sangat terkejut karena wanita
disana (tempat tinggalnya) sangat direndahkan dan cendrung tidak dihargai
sebagai sosok manusia dan wanita, keyataan inilah yang menggugah hatinya untuk
turut campur untuk bisa mengangkat derajat wanita dari ruang domestick keruang
pablik, beberapa pesan nilain yang dapat diambil dari penelitian ini, antara
lain;
1. Penelitain Fatimma
Mernisi Merupakan sebuah kejadian nyata serta pesan nilai tentang kesetaran
Gender, yang semua itu harus diperjuangkan bagi kaum hawa.
2. Issue Gender pada hakekatnya
merupakan issue diseluruh dunia yang memiliki kesensitifan luar biasa
bagi kaum hawa, dan issue ini hendaknya terus disosialisasikan baik dalam dunia
pergerakan ataupun dunia akademik.
III.
Model-model
penelitian dan Pendekatan Studi Islam; Integrasi-Interkoneksi karya Prof. Dr.
Amin Abdullah. M. A
A. Core Penelitian dalam
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi
Ilmuan Ian G Barbour salah
satu guru besar fisika dan teknologi Amerika Serikat, yang mempopulerkan
paradigma integrasi dalam ilmu dan agama
dalam sejarah masyarakat Barat kontemporer, yang akhirnya sebagai peletak dasar
wacana sains dan agama, Barbour meyebutkan empat tipologi hubungan sains dan
agama selama ini;
Pertama : Konflik
teori ini menyatakan bahwa sains dan agama sangat bertentangan, hal ini terjadi
seperti para penafsir kitab suci bahwa teori evolusi bertentangan dengan kitab
suci.
Kedua : Independensi, yakni
sebuah pandangan alternative yang menyatakan bahwa agama dan sains hidup secara
independen, yang hidup berdampingan dengan cara menjaga jarak satu sama yang
lain dan pandangan ini sebetulnya agama dan sains tidak terjadi konflik karena
memiliki domain yang sangat berbeda.
Ketiga : Dialog,
dialog ini dimungkinkan karena diinginkan adanya sebuah dialog antara agama dan
sains yang ada untuk melihat persamaan dan perbedaan yang ada.
Keempat : Integrasi,
yaitu sebuah metode kemitraan yang lebih sistematis dan intens untuk mencari
titik temu diantara keduannya.
Sedangkan pendekatan Integrasi-Interkoneksi
yang digagas oleh Prof. Amin sebetulnya ingin menawarkan sebuah paradigma baru
dalam memahami keilmuan yang ada saat ini baik itu ilmu agama ataupun ilmu-ilmu
umum, seperti fundamen awal yang beliau paparkan bahwa pendekatan ini
sesungguhnya sebagai solusi di PTAIN sebagai cara pendekatan keilmuan yang ada, sebagai fundamen
teori ini sebenarnya didasari oleh; (1) Etika-Tauhidik sebagai dasar kesatuan
Epistimologis keilmuan (baik umum ataupun agama) dari positivistic-sekuleristik
ke Teontroposentrik-Integralistik, (2) dari pendekatan Dikotomistik-Atomistik
ke Integratif –Interkonektif, yang kesemuannya tanpa meninggalkan Modest,
Humiliy dan Humanis.
B. Metodologi
Dalam
ranah aksiologis pendekatan integrasi-interkoneksi sebenarnya ingin
menawarkan pandangan dunia worl view tentang keberagamaan dan keilmuan
yang baru, yang tebuka, mampu membuka dialog, transparan, kerjasama dan dapat
dipertanggungjawabkan secara public tanpa menafikan selalu berpandangan
kedepan. secara ontologis hubungan antara berbagai disiplin keilmuan menjadi
semakin terbuka dan cair, meskipun masih adanya blok-blok yang terbatasi oleh
wilayah dan budaya sebagai pendukung keilmuan yang ada seperti yang bersumber
dari kitab suci (dalarah al-nas), dan budaya keilmuan
factual-historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman (hadlarah
al-ilm) serta pendukung keilmuan etis-filosofis (hadlarah al-falsafah) masih
tetap ada. maka oleh karenanya sosok ilmuanlah yang seharusnya bisa merangkum
serta meracik antara metodologi dan objek kajiannya.
Gambar diatas ini
menunjukan sebuah pendekatan yang integralistik-interkonektif untuk memahami
semua kajian keilmuan serta tidak memisah-misahkan dalam semua kajian pula.
pendekatan integrasi-interkoneksi pada kenyataannya bertujuan sama dengan hadharah
an-nashah (budaya agama yang mengacu pada teks) dengan mengkombinasikan
pada hadharah al-ilm (sins dan teknologi), yang keduanya itu dibalut
dengan humanities agar tidak terbawa arus pada gerakan
radikalisme-fundamentalisme.
C. Kontribusi Keilmuan
Pada era globalisasi agama dan
budaya, umat Islam di seantero dunia secara alamiah harus bersentuhan dan
bergaul dengan budaya dan agama orang lain. Sering kali dijumpai bahwa umat
Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan
keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak siap-ketika harus berhadapan dengan
arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya
tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak
menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul,
bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam
praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Menurut pengamatan dalam
penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak berkembangnya disiplin
keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya, lebih dari
segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan
dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya,
disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu
untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu
apapun. "Bagaiamanapun juga filsafat adalah merupakan alat intelektual
yang terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh berkembang secara
alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan
disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Hal demikian dapat dipahami, karena
filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersifat
kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan,
sehingga dengan demikian ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk
ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi (kalam). Oleh
karenanya, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami
kekurangan energi atau ia telah
melakukan bunuh diri intelektual.[10]"
D. Kesimpulan
Ketiga tema yang penyusun
angkat pertama Teori Dasar Pendekatan dalam Pengkajian Islam (I) karya
Charles J Adams kedua Model-model penelitian dan Pendekatan Studi, Model
Penelitian GENDER (Book Review Women and Islam; An Historical an
Theological Enquiry karya Fatima
Mernissi) ketiga Model-model penelitian dan Pendekatan Studi Islam;
Integrasi-Interkoneksi karya Prof. Dr. Amin Abdullah. M. A dalam tulisan ini,
secara ontologis adalah ingin menjadikan Islamic studies sebagai sebuah
pencerahan baik dalam memahami agama ataupun untuk mengkaji sebuah keilmuan
yang ada, hal ini sangat penting karena perubahan dunia dengan berbagai keilmua
yang ada jangan sampai manusia masih berfikir kolot dan cendrung konflik namun
harus sebaliknya.
Bagaimanapun juga
perkembangan Islamic studies saat ini sudah kian pesat namaun fakta yang
diketemukan masih banyak sekali masyarakat kita yang belum bisa memahami islam
itu secara benar, tugas yang terberat akhirnya bagaimana dunia akademik ini
bisa mentranfer keilmuannya dari dunia kampus kedunia masyarakat (kampus jangan
besifat eksklusif hanya ingin kenyang sendiri dengan berbagai keilmuan yang ada
tapi faktanya tidak sensitive pada fenomena masyarakat), ini tugas yang paling
penting yaiti memberi kuliah pada masayarakat.
Daftar
Pustaka
Abdullah,
Amin. dalam Sambutan Stadium General pada mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan
Kalijaga, di Gedung Promosi Doktoral, pada tanggal 9 September 2008.
_______________
, Fisalfat dan bahasa Studi Islam (dalam Intersubjektifitas Keberagamaan
Manusia; membangun Budaya Damai antara Peadaban Manusia Melalui Pendekatan
Fenomenologi Agama), (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga,
Desember 2006).
_______________
, Kajian Ilmu Kalam di IAIN, diterbitkan oleh jurnal Dikti, Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam negeri.
_______________
, dalam kata pengantar, Islamic Studie
di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006).
_______________
, dalam ujian Promosi Doktoral, dengan
tema Gender dalam Lingkungan Sosial Pesantren (Studi Tentang Peran Kiai dan
Nyai dalam Sosalisasi Gender di Pesantren Al-Munawwir dan Pesanteren Ali Maksum
Krapyak Yogyakarta) Oleh Marhumah, pada hari Senin 19 Januari 2009, pukul
14.00-16.00.
Azizy,
A. Qodri. Data ini saya peroleh dari Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1998/1999.
Fanani,
Muhyar Metode Studi Islam, Aplikasi Sosiologi pengetahuan sebagai Cara
Pandang, (Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar, Agustus 2008).
Sofyan, Moh. Amin Abdullah (dalam Kata
Pengantar), Jalan Ketiga Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD,
April 2006).
[1] A. Qodri Azizy, Data ini
saya peroleh dari Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998/1999.
[2] Muhyar Fanani, Metode
Studi Islam, Aplikasi Sosiologi pengetahuan sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, Agustus
2008), hlm. vii (Pengantar).
[3] Moh. Sofyan, Amin
Abdullah (dalam Kata Pengantar), Jalan Ketiga Pemikiran Islam,
(Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD, April 2006), hlm. 5
[5] Integrasi-Interkoneksi,
teori ini yang sering disebut dengan teori laba-laba sebenarnya sebuah respon
dai teori awal normativitas dan historisitas walaupun tidak di tinggalkan
secara penuh, dan teori ini sebenarnya sebagai solusi di PTAIN dengan berbagai
pendekatan keilmuan yang ada, sebagai fundamen teori ini sebenarnya didasari
oleh; (1) Etika-Tauhidik sebagai dasar kesatuan Epistimologis keilmuan (baik
umum ataupun agama) dari positivistic-sekuleristik ke
Teontroposentrik-Integralistik, (2) dari pendekatan Dikotomistik-Atomistik ke
Integratif –Interkonektif, yang kesemuannya tanpa meninggalkan Modest, Humiliy
dan Humanis.
[6] Amin Abdullah, dalam
kata pengantar, Islamic Studie di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. viii.
[7] Amin Abdullah, dalam “Sambutan
Stadium General pada mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga”, di Gedung
Promosi Doktoral, pada tanggal 9 September 2008.
[8] Amin Abdullah, Fisalfat
dan bahasa Studi Islam (dalam Intersubjektifitas Keberagamaan Manusia;
membangun Budaya Damai antara Peadaban Manusia Melalui Pendekatan Fenomenologi
Agama), (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, Desember 2006),
hlm. 2006.
[9] Amin Abdullah, dalam
ujian Promosi Doktoral, dengan tema “Gender dalam Lingkungan Sosial Pesantren
(Studi Tentang Peran Kiai dan Nyai dalam Sosalisasi Gender di Pesantren
Al-Munawwir dan Pesanteren Ali Maksum Krapyak Yogyakart)” Oleh Marhumah, pada
hari Senin 19 Januari 2009, pukul 14.00-16.00.
[10] Amin Abdullah, “Kajian
Ilmu Kalam di IAIN”, diterbitkan oleh jurnal Dikti, Direktorat Perguruan Tinggi
Agama Islam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar