Judul Buku : Tafsir Negara
Islam dalam
Dialog Kebangsaan di Indonesia.
Penulis : Ahmad Yani Anshori
Cetakan : Cet. I. November 2008
Penerbit : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga
Tebal : 218
Peresensi : Hartono
PERDEBATAN NEGARA ISALAM; TELAAH PEMIKIRAN
KALANGAN NASIONALIS DAN ISLAMIS DI INDONESIA
Perdebatan
negara Islam di Indonesia selalu menarik dan tidak ada habisnya untuk dibahas
dalam perjalanan sejarahnya. Negara Islam dengan cara mempraktekkan syariat
Islam[1]
seolah menjadi primadona yang selalu ingin diperjuangkan untuk benar-benar
terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini. Oleh
karenanya dalam melihat perdebatan ini maka asumsi yang ada, pada awal
kemerdekaan hingga hari ini masyarakat Indonesia terbagi dalam dua kelompok
yakni kalangan nasionalis dan Islamis, teori ini sebenarnya memiliki kesamaan
dengan pendekatan Individualis[2]
yang digagas William Liddle yang mana mencoba melihat serta memisahkan dua
belah pihak yang seharusnya tidak terpisahkan dalam komposisi merumuskan dasar
negara Indonesia.
Melihat
fakta sejarah pada sidang BPUPKI[3]
(Dokuritsu Junbi Cosakai) ketika merumuskan dasar negara, pada waktu itu
sudah mulai terjadinya blok-blok kalangan pemikir antara nasionalis dan Islamis
untuk merumuskan bagaimana dasar negara ini? Kalangan Islamis yang yang
akhirnya bisa merumuskan sila pertama dengan bunyi tambahan “menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya” (disebut piagam jakarta)[4]
akhirnya dihapus dalam sidang PPKI, kenyataan inilah seolah yang terus ingin
diperjuangkan oleh kalangan Islam hingga hari ini karena ada kalangan islamis
yang berasumsi bahwa ada kebohongan dan penghianatan yang luar biasa terjadi
dalam penyusunan dasar negara ketika itu. Akan tetapi yang perlu dicermati
dalam perkembangan pemikiran dan aksi ini kalangn Islamis sendiri sebenarnya
tidak kompak untuk terus memperjuangkan syariat Islam sebagai dasar negara,
melainkan mereka terbagai dalam dua golongan yang berbeda, pertama
kalangan Islamis yang berjuang kearah negara Islam Indonesia dengan jalan
dialog diparlemen[5], kedua
kalangan islamis yang memperjuangkan Islam kearah negara Islam[6]
di Indonesia melalui jalan agitasi dan konfrontasi.
Pemikiran Politik Islam dan Negara
Pemahaman adin wa daulah (Islam adalah
agama dan negara) seolah terus menerus diperjuangkan tiada hentinya karena
pemahaman Islam adalah agama yang lengkap dalam kehidupan ini seolah sudah
terpatri dalam kehidupan uamat Islam, pada tataran cita-cita pemahaman seperti
ini tidak ada salahnya namun dalam tataran praktek kenegaraan yang pluralitas[7] seperti Indonesia seolah akan sulit diwujudkan,
dahulu ketika ingin diterapkan sila pertama dengan menjalankan syariat Islam,
Indonesia bagaian timur mengancam ingin memisahkan diri dari negara kesatuan
republik Indonesia, pada kenyataan lain sebenarnya Islam sebagai agama ingin
menjaga pula rasa kesatauan dan persatuan agar tidak tercerai berai, konsep
dasar inipulalah yang mungakin dipahami oleh para pendiri negara ketika itu,
namun anehnya tidak dipahami oleh para generasi saat ini yang terus-menerus meneriakkan
negara Islam.
Sebagai studi perbandingan mari kita
lihat pemikiran M. Natsir tentang negara Islam, Natsir melihat Islam seperti
kebanyakan ulama’ atau tokoh lain dengan memisahkan dalam dua pemahaman, Pertama
Islam dalam konteks ibadah (hablum minaullah), dalam konteks ini Natsir
berpendapat bahwa hubungan ibadah manusia dengan tuhannya adalah hubungan yang
sifatnya horizontal/mengenai hukum-hukum yang sifatnya jelas dan tidak bisa
diganggu gugat, sedangkan yang kedua adalah masalah muamalah, dalam
koneks muamalah inilah manusia diberi kebebasan berpikir dan bertindak untuk
menginterpretasi berbagai bentuk kehidupan manusia mulai yang berkaitan dengan
urusan umat Islam, sampai urusan bernegara,
Allah sendiri berfirman, kalau urusan diantara kamu, aturlah…. Begitu
sering dikatakan Natsir. Jadi memang kalau menyangkut urusan bersama, hukum
harus disepakati oleh dua pihak secara demokratis. Sedangkan probelmatiaka
yang sering diperdebatkan mengnai piagam Jakarta, Natsir menilai argumen menjamin
umat Islam menjalankan ibadah sama seperti kita menjamin umat agama lain
menjalankan ibadahnya di luar itu adalah kesepakatan bersama.
Natsir sebenarnya tidak berpikir
seperti orang Aceh sekarang, yang inginnya mengatur semuanya berdasarkan hukum
Islam melalui qanun.[8] Dengan pemikiran seperti ini artinya Natsir tetap sepakat atas penegakan
negara Islam, (walaupun masih ada ruang untuk berdialog untuk menjalankan
demokrasi dilain pihak) dia yakin bahwa hidup ini, dari lahir sampai mati,
adalah totalitas di bawah kedaulatan Tuhan,[9]
termasuk kehidupan bernegara. Hubungan agama dan negara tidak bisa dipisahkan.
Kita bukan negara sekuler, tapi mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu,
menurut Natsir, dasar negara haruslah Islam.[10]
Akan tetapi coba pula kita lihat
pemikiran Ali Abd. Al-Raziq dalam bukunya (al-Islam wa ushul al-Hukm),
ia berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim dan menganjurkan suatu bentuk
pemerintahan dan negara duniawi akan tetapi hal ini diserahkan untuk difikirkan
secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya atau dalam bahasa lain nabi diutus
hanyalah sebagai penyampai risalah kenabian bukan untuk membentuk atau bahkan
mendirikan sebuah negara, kalau dilihat secara seksama dua tokoh ini sebenarnya
mencoba menafsiri satu ayat yang sama namun pendekatannya dimungkinkan sangat
berbeda sehingga memiliki relefansi yang sangat berbeda pula.
Dari dua pemikiran tokoh di atas,
menganai negara Islam/berdasarkan syariat Islam harus sepatutnya didirikan atau
tidak sebetulnya merupakan bentuk politik tari ulur dan politik memimpikan
kejayaan masa lalu Islam, pemahaman seperti ini tentunya bukan kurang tepat
melainkan pemahaman mengenai negara Islam sudah seharusnya memiliki
relefansinya di bumi Indonesia khususnya dengan melihat segala aspek yang
melatarbelakanginya, sehingga antara cita-cita ideal bisa di turunkan menjadi
sebuah konsep yang akhirnya bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. A.
Syafii Maarif dalam pendapatnya mengatakan “jika Indonesia tidak secepatnya
merespon konsep demokrasi yang ada sebagai jalan tengah sebagai sistem dalam
bernegara, sudah barang tentu Indonesia akan ketingalan kereta”[11]
dan demokrasi pancasila sudah seharusnya tidak digugat-gugat lagi karena
demokrasi pancasila adalah jatidiri bangsa ini, lain halnya dengan konsep
negara Islam, Syafii sangat tidak sepakat seperti dalam wawancara beberapa
waktu yang lalu, ia mengatakan Islam dan Politik ibarat dua sisi mata uang pada
hakekatnya, akan tetapi jangan sekali-kalai membawa Islam keranah
politik/negara karena pada kenyataannya politik itu kotor,[12]
namun sebisa mungkin Islam sebagai ajaran bisa mewarnai politik yang ada
sehingga politik itu bisa lebih beretika[13]
dan bermoral.[14]
Kalangan Islam lain yang diwakili oleh
oramas NU[15] dan Muhammadiyah (Muktamar ke 41 di Surakarta
tahun 1985 yang mengakomodir pancasila dalam Angaran Dasar Muhammadiyah)
sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana dasar negara Indonesia ini,
apakah berdasarkan Islam ataupun pancasila, karena pancasila bagi mereka sudah
sangat merepsentasikan keinginan umat Islam dengan adanya sila pertama
Ketuhanan Yang maha ESA. Selain itu seperti yang pernah di ungkapkan oleh M.
Dawam Rahardjo pancasila adalah saripati kehidupan berbangsa dan bernegara
masyaakat Indonesia[16].
Buku yang ditulis oleh Ahmad Yani
Anshori (Doktor muda lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) dengan
judul Tafsir Negara Islam dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia.
Sebenarnya ingin menyajikan dan melihat fakta-fakta sejarah yang terjadi pada
masa lalu untuk bisa dipahami dan dipelajari saat ini, sedangkan conten
dari isi buku ini adalah dengan perspektif sejarah yang ada perjuangan untuk
mendirikan negara Islam[17] di Indonesia sangatlah tidak mudah karena
berhadapan langsung dengan kalangan nasionalis yang notabennya juga orang-orang
Islam. Fakta inilah yang sesunguhnya belum bisa dipahami oleh kalangan Islam
saat ini yang ingin memperjuangkan negara Islam di Indonesia dengan jalan
agitasi dan konfrontasi.
Buku
ini teridri dari empat bab, bab pertama menguraikan secara global bagaimana
hubungan Islam dan negara dalam konfigurasi politik dan praktek politik Islam
di Indonesia, bab kedua membicarakan maslah wacana negara-bangsa diawal
kemerdekaan dalam pemikiran Islam dan nasionalis-sekuler. bab ketiga
membicarakan masalah penafsiran dan perdebatan negara Islam dalam sidang
konstituante yang masih dalam tataran sangat global sekali, walaupun platform
dan arah perjuangannya sudah mulai kelihatan, bab keempat respon asas tunggal
pancasila dari kalangan Islam moderenis seperti Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah.
Peta bagaimana sebetulnya suasana
perdebatan pada sidang BPUPKI dan PPKI yang sudah menjadi masa lalu, sudah
banyak ditulis oleh para penulis sebulumnya antara lain seperti karya Adnan
Buyung Nasution dalam bukunya Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia, Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959 (Grafiti Pers, 1995)
yang merupakan disertasi doktornya di Universitas Utrecht, Belanda, pada
1992, Walaupun demikian dalam perspektif sejarah buku ini sebenarnya memiliki
informasi dan bobot yang cukup tinggi untuk bisa dijadikan sebuah rujukan agar pembaca
bisa memahami bagaimana dinamika perdebatan awal mengenai dasar negara
Indonesia antara kalangan Islamis dan Nasionalis, akan tetapi dalam sisi
perkembangan waktu seperti peta gerakan Islam yang terbagai dalam dua golongan
yakni gerakan formal (perjuangan melalui parlemen) dan gerakan informal (diluar
parlemen) belum diungkap secara mendalam sehingga ada keterputusan informasi
yang sifatnya kekinian untuk bisa terus bisa dipahami.
Sedangkan untuk meilhat pemahaman yang
sifatnya konferhensif setidaknya perlu pula dipahami dan dicermati serta
ditelaah secara mendalam ada kalangan lain yakni kalangan sekuler yang diwakili
oleh Soepomo dengan buah pikirannya tentang pancasila yang meniadakan konsep
ketuhanan, pemikiran Soepomo inilah seprtinya tidak terekam dalam buku ini,
padahal senyatanya sosok Suepomo memiliki andil besar untuk ikut serta
merumuskan konsep dasar negara yang tertuang dalam lima pemikirannya seperti
berikut, persatuan, mufakat dan demokrasi, keadilan sosial, kekeluargaan dan
musyawarah yang dalam bahasa konstitusi disebuat sebagai state ideal kolektif.
Sekali lagi akhirnya buku ini adalah
buku yang sangat informatif dalam pendekatan akademisi persepktif sejarah. Namun
bagaimanapun juga buku ini masih ada kekurangan informasi yang sifatnya
konferhensif. Akan tetapi sebagai bahan rujukan seperti yang sudah penulis
sampaikan diatas buku ini adalah buku yang seharusnya dibaca bagi kalangan yang
berkonsentrasi dalam dunia politik, hukum dan juga sejarah Indonesia.
[1] Masykuri Abdillah, Formalisasi
Syariat Islam di Indonesia; Sebuah Pergulatan yang Tidak Pernah Tuntas,
(Jakarta: Renaisan, Juni 2005), hlm. 317.
[2] R. William Liddle, Revolusi
Demokratisasi dari Luar (Jakarta: Penerbit Nalar, 2005), hlm. 62.
[3] Badan Penyidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia atau di singkat BPUPKI, menurut penelitian data sejarah
yang ada didirikan pada 28 Mei 1945, yang bertepatan dengan hari kelahiran
Kaisar Jepang, selain itu badan ini beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh
Dr. KRT. Radjiman Widiodiningrat dengan wakilnya R. Suroso dan seorang lagi wakilnya
Ichi Bangase yang berkebangsaan Jepang. Dengan data ini ada indikasi yang
menyebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia secara tidak langsung adalah hasil dari
negosiasi dan kerelaan Jepang terhadap Indonesia untuk merdeka, sedangkan
tujuan pembentukan BPUPKI pada awalnya adalah untuk mengumpulkan data-data
bahan penting tentang ekonomi, politik dan tata Negara yang akhirnya nanti bisa
merumuskan sebuah konsep dara Negara.
[4] Debat TvOne, Rabu 25 Maret 2009, pukul 19.30.-20.30. “Pedebatan
Kalangan Peneliti dan Parpol Berbasis Agama (PDS, PBB)” dalam perdebatan ini,
para pemikir dan ilmuan LIPI menilai parpol yang berbasis agama saat ini
hendaknya jangan hanya sibuk dengan urusan-urusan yang sifatnya tidak memiliki
kepentingan yang langsung bersentuhan pada masyarakat, seperti selalu
mengungkit-ungkit Piagam Jakarta, Negara Islam dll akan tetapi cobalah langsung
memiliki konsep yang turun kebahwah dan bisa dirasakan oleh masyarakat.
[5] HTI-Press, Jubir HTI: Wacana Penting Untuk Perubahan dan
Tegaknya Khilafah !, penegakan syariat Islam/khilafah sebenarnya bukan dari
parlemen karena kalau dilihat hingga dulu sampai saat ini bahkan banyak pula
partai politik islam di parlemen, pada kenyataannya syariat islam belum bisa
tegagk jadi menurut HTI hanya kesadaranlah yang bisa menegakkan itu semua dan
HTI bergerak pada level tersebut selain itu dari kesadaran itulah maka kita
akan memiliki kekuatan karena kekuatan itu berasal dari umat yang sadar. Dari
sanalah, sebenarnya perubahan itu bakal terjadi. Memang jauh dari pemahaman
kebanyakan orang yang menganggap perubahan itu selalu menggunakan rute yang
’lazim’ melalui pemilu masuk parlemen untuk merubah undang-undang, di eksekutif
memimpin. Walaupun secara praktis faktanya tidak pernah melahirkan suatu
perubahan yang mendasar. http//goggle.co.id/hti.akses 8 April 2009.
[6] Ishomuddin, Diskursus Politik dan Pengembangan; Melacak
Arkeologi dan Kontroversi pemikiran Politik dalam Islam, (Malang: UMM
Press, 2001), Ali Abd. al_Raziq dalam bukunya “Fundamentals of Government” yang
diterjemahkan dari karyanya (al-Islam wa ushul al-Hukm), ia berpendapat
bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan dan negara duniawi
akan tetapi hal ini diserahkan untuk difikirkan secara bebas oleh
pemeluk-pemeluknya. hlm. 86
[7] Meminjam teori Ashobiyah-nya Ibn Khaldun bahwasanya negera
dapat dibentuk dengan membentuk solidaritas social, komunitas kecil, organisasi
kemasyarakatan sebagai embrionya dengan pendekatan kebangsaan, ras lalu semua
itu Negara dibentuk berdasarkan agama (Islam) tentu teori sperti ini akan sulit
sekali diterapkan di bumi Indonesia yang notabennya sangat plural sekali,
selain itu konsep Negara bangsa saat ini kalau boleh Negara Indonesia disebut
sebagai bangsa melayu, tentu menafikan bangsa dan komunitas masyarakat yang ada
di bagian Indonesia Timur. Ibn Khaldun, Muqadimah, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 433.
[8] Laporan Utama, Negara Islam tak Bisa Dipaksakan, Natsir; Wawancara
Adnan Buyung Nasution, Majalah Tempo, Edisi 21/XXXVII/14-20 Juli 2008.
[9] Lihat, Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik
Santri; Strategi Kebudayaan dalam Islam (Yogyakarta: Sipress, 1999), dalam
teologi politik yang dikenal dengan sebutan “Teologi Pembebasan” dalam
perspektif sosiologi, akan tetapi dalam politik ini selain
pencapaian-pencapaian yang sifatnya duniawiyah, pencapaian penyerahan diri
kepada sang Pencipta yang Mahas Esa sangat ditekankan. hlm. 98.
[10] Lihat. Matori Abdul Djalil, Dari NU untuk Kebangkitan
Bangsa, dalam pengatar buku ini GuS Dur mencoba mencari sintesa anatara
agama-negara, karena bagi Gus Dur melihat agama-negara ada dua sudut pandang di
negri ini, pertama ada yang menginginkan suatu agama menjadi sebuah
referensi baik secara langsung yang utama (atau diutamakan) dalam membentuk
sebuah negara. kedua tidak ada keinginan seperi yang pertama namun agama
hanya menjadi sebuah referensi Maka Gus Dur lebih cendrung kepada pendapat
kedua bahwa agama tidak lah seharusnya di utamakan diantara agama yang ada
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan demikian penentuan perbedaan
ini sangat penting karena jika agama dijadikan dasar sebuah Negara maka secara
tidak langsung tidak ada pengistimewaan
atas sebuah agama di atas agama-agama yang ada, karena itu tidak ada agama yang
di anaktirikan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun agama itu
mayoritas. (Jakarta: PT. Grasindo, 99), hlm. Xiii-xiv.
[11] A. Syafii Maarif, Mencari Auntentisitas dalam Kegalauan
(Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban/PSAP Muhammadiyah, 2004), hlm. 221.
[12] Zainuddin Maliki, Politikus Busuk; Fenomena Insensibilitas
Morsal Elite Politik (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hlm. vii-xi
(pengantar).
[13] A. Syafii Ma’arif, “Revolusi Pemikiran dalam Muhammadiyah”, Safi’i
menyampaikan dengan tegasnya, saya bukan ahli hukum bukan juga fikih tetapi
saya mempunyai kepihatinan yang sangat mendalam tentang bagaimana membawa
pesan-pesan dari langit untuk digunakan di bumi, memberikan arah moral, arah
akhlak pada kehidupan umat manusia, karena dalam pemahaman saya pula ada sebuah
konsep hudallinnas dan konsep hudall lilmuattaqin yaitu pemeberi
petunjuk bagi semua umat manusia dan pemberi petunjuk bagi orang-orang telah
memiliki keimanan namun tekadang masih sering lupa terhadap realitas sosial
yang ada atau kurang peka terhadap kehidupan sosial. Suara Muhammadiyah. No. 1
Tahun ke-86 januari 2001.
[14] A. Syafii Maarif, Relasi
Agama dan Negara dalam Konteks Demokrasi di Indonesia, Wawancara di UGM, Jumat
14 Maret 2008, pukul 11.30.
[15] Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS, Menghidupkan Ruh Pemikiran
K.H. Achmad Siddiq (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), dalam Munas
Alim Ulama NU pada 18-20 Desembe 1983 di Situbondo, NU menegaskan bahwa
penerimaan asas tunggal Pancasila hukumnya adalah wajib. hlm. 140.
[16] M. Dawan Rahardjo “Pancasila Mitos dan Relita” (Kompas,
Minggu 1 Juni 2007), Pancasila adalah bertolak dari gagasan Bhinneka Tunggal
Ika, yakni keragaman dalam persatuan sebagai cirri masyarakat Indonesia.
Menurut Dyenis Lombart, Indonesia di bangun dalam geologi kebudayaan
berlapis-lapis yang menghasilkan masyarakat yang plural dan multicultural yang
di dalamnya sekaligus mengandung potensi konflik, karena itu harus ada idiologi
yang mampu mengendalikannya, yaitu pluralisme. Dan Pancasila juga di bangun
berdasarkan geologi kebudayaan sejak agama Buddha, Hindu, Islam, Konghucu, dan
Kristen. Maka, Pancasila juga Merupakan jawaban terhadap tantangan masyarakat
yang makin kompleks dan majmuk dewasa ini.
[17] Negara Islam, dalam perdebatan dewan kosnituante telah muncul
konsep global tentang subtansi Negara Islam yang di cita-citakan, yakni; pertama,
Negara egaliter dengan pluralisme sebagai tegaknya negara, kedua
Negara yang menjamin tegaknya syari’ah Islamiyah, ketiga Negara
yang menganut demokrasi berketuhanan (baca, konsep Mubaya’ah Ibn Tamiyah,
Demokrasi berketuhanan), keempat Negara yang menganut sistem ekonomi
berketuhanan. Tafsir Negara Islam . . . hlm. 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar