Selasa, 29 November 2011

PEMIKIRAN IBN KHALDUN TENTANG PEMERINTAHAN DAN NEGARA 
Oleh : Hartono. S.H.I., M.S.I

A. Pendahuluan 

Perkembangan pemikiran saat ini seolah masih terkotak-kotak antara Barat dan Timur, Islam dan Kristiani dan lain sebaginya, dan ketika berbicara masalah “Pemerintahan dan Negara” seolah ini bukan wilayah dunia Islam atau para pemikir-pemikir Islam, fakta yang menjadi sebuah catatan yang sangat menarik diungkapkan oleh Prof. Bernad Adeney Risakotta, ia mengatakan bahwa pengkotak-kotakan yang terjadi saat ini sebenarnya sudah tidak signifikan lagi, karena awal dari semua itu sebenarnya adalah hegemoni-politik Barat terhadap dunia Timur sejak perang salib, namun anehnya pada saat ini di Eropa dan Amerika perkembangan Islam sangat pesat sekali khususnya pasca 11 September 2002 , Masalah pemerintahan dan Negara dalam perspektif Islam setidaknya telah banyak diulas oleh para pemikir sebelum Ibn Khaldun seperti al-Mawardi, Ibn Taimiyah dan lainnya, akan tetapi dalam makalah ini penyusun akan mefokuskan topik pembahasan menganai pemikiran sosok Ibnu Khaldun. Ibn Khaldun dalam hal ini reputasinya telah banyak diakui oleh dunia sebagai bapak sosiologi pertama, namun akan lebih menarik lagi jika dalam membedah Ibnu Khaldun melalui karya monumentalnya yaitu Muqodimah, yang mana didalamnya akan memberikan sebuah cara pandang berbeda dengan ilmuan-ilmuan yanga ada saat ini tentang asal usul peradaban, Negara dan pemerintahan yang diulas secara menarik dan mendalam.

B. Biografi Ibn Khaldun 

Abd Al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun atau lebih dikenal dengan sebutan Ibn Khaldun merupakan salah seorang pemikir Islam yang hidup antara tahun 1332-1346. Nama penuhnya adalah Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad ibn al-Hasan Ibn Khaldun lahir pada 27 Mei 1332 di Tunisia dan meninggal pada 17 Maret 1406 di Kaherah, Mesir. beliau hidup pada masa dinasti Mamluk (Mesir dan Syiria 1250-1517), Nenek moyang lbn Khaldun mungkin berasal dari golongan Arab Yaman di Hadramaut, tapi ia dilahirkan di Tunis pada tanggal 27 Mei 1332 M. Di situlah keluarganya menetap setelah pindah dari Spanyol Moor. Khaldun memiliki karier bermacam-macam pada masa mudanya. Secara aktif dia ambil bagian dalam kancah politik yang penuh intrik di kerajaan-kerajaan kecil di Afrika Utara. Secara bergantian dialaminya masa-masa menyenangkan atau pun celaka karena ulah penguasa, dan ada saat-saat di mana terpaksa ia bersembunyi di Granada yang jauh. Semangat revolusionernya tumbuh karena kemuakan akan politik yang kotor pada masa-masa itu sehingga membuatnya mundur sebentar selama kurang lebih empat tahun di pinggiran Kota Tunis. Di tempat itu ia menyelesaikan Muqaddimah, tahun 1377 M. Kemudian pindah ke Tunis untuk menyelesaikan karyanya yang monumental, Kitab al-l’bar (Sejarah Dunia), dengan perolehan bahan-bahan dari perpustakaan kerajaan. Setelah menjalani hidup penuh petualangan di Afrika Utara, pemikir besar ini kemudian berlayar ke negeri Mesir tahun 1382 M. Ibn Khaldun dengan karyanya yang sangat terkenal dan sampai pada pembaca saat ini yakni Muqodimma Ibn Khaldun , Buku ini ditulis berdasarkan fakta-fakta sejarah. dengan membaginya dalam enam bab, namun dalam makalah ini hanya penyusun sajikan pada bab pertama, kedua dan ketiga, karena pada bab ini sangat terkait dengan beberapa pemikiran Ibn Khaldun dalam sisi Pemerintahannya dan Negara. 1. Pada Bab pertama bagian ini membicarakan perihal masyarakat asal-usulnya, kedaulatan, lahirnya kota-kota dan desa-desa, perdagangan, cara orang mencari nafkah, dan ilmu pengetahuan. 2. Pada bab ini Ibn Khaldun membicarakan masalah Dinasti, Kerajaan, Khalifah, Pemerintahan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan semua itu, sebagai perbandingan pernyataan al-Farabi mengenai asal-usul kota dan desa-desa hanya merupakan teori belaka, sedangkan lbn Khaldun melihatnya dari sudut pandangan sosial. Tulisan yang menarik dalam Mukadimah adalah teori tentang al-Asabiyah yang membicarakan perihal keningratan serta pengaruh-pengaruh garis keturunan di antara suku-suku nomad (pengembara). 3. Pada bab keempat membicarakan negara dan kedaulatan serta merupakan isi terbaik dari buku ini. Dalam bagian ini si pengarang mengemukakan teori-teori politiknya yang maju, yang mempengaruhi karya-karya para pemikir politik terkemuka sesudahnya, seperti Machiavelli dan Vico. Karya Machiavelli, Pangeran, yang ditulis ketika masa pergolakan di Italia, seratus tahun kemudian, mirip sekali dengan Mukadimah. Kebutuhan akan adanya penguasa itu timbul dari kenyataan bahwa manusia haruslah hidup bersama, dan tanpa seorang yang menjaga ketertiban, maka masyarakat akan pecah berantakan.” Itulah kebesaran Ibn Khaldun namun disisi lain iapun mendapat cacian-cacian yang sungguh luar bias karena menerapkan konsep ashobiyah sangat keterlaluan, bahkan agama pun yang diturunkan Tuhan membutuhkan seorang atau sebuah kelompok untuk menjalankan misinya. (sebutan Barbar dunggu) Sami Shawkat memerintahkan membongkar kuburan dan membakar karyanya, Sedangkan Thaha Husain menyebutnya sebagai seorang berego tinggi yang menjijikan serta rasionalis penipu yang berkedok Islam. Ibn Khaldun, nama ini begitu mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Komentar yang cukup menarik di dunia Barat Ibn Khaldun adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan. 

C. Pembahasan

1. Tata Nilai Politik Ibn Khaldun Sebelum memahami secara mendalam tentang konsep pemerintahan dan negara Ibn Khaldun, perlu pula mendalami bagaimana konsep dasar dari semua itu, tata nilai yang ada dalam masyarakat tentu sudah ada sejak masyarakat primitif terdahulu hingga masyarakat urban saat ini, karena nilai dianggap sebagai fondasi dan ruh disetiap kegiatan yang ada dan sekaligus dapat mengatur sebuah interaksi untuk saling menjaga dan menghargai. seperti halnya Ibn Khaldun dalam bidang politik nilai-nilai publiklah yang harus dikedepankan dan untuk merumuskan itu semua maka Ibn Khladun kembali pada ajaran syariat, sayariat disini dimaknai bukan sekedar teks yang tertulis belaka meliankan pesan-pesan moral dan norma-norma yang adalah yang harus dibumikan sesuai dengan semua keadaan, pandangan Ibn Khaldun dalam masalah moral-syariah dalam menegakan nilai-nilai poltik kenegaraan secara historis besifat Allah-sentris. hal ini sangat berbeda dengan pandangan Machiavelli (sebagian nilai-nilai agama merupakan penghambat keberhasilan politik). Dari dua pandangan yang ada tersebut sebenarnya ada jalan tenggah untuk melihat posisi nilai atau norma dalam agama, yakni sebaiknya posisi agama atau nilai serta moral yang ada dalam agama sebisa mungkin bisa mewarnai tata keidupan berpolitik dan bernegara akan tetapi jangan sekali-kali agama diseret dalam wilayah politik karena politik cendrung menghalalkan cara , oleh karena perlu adanya control yang dapat menjaga semua itu. 2. Ibn Khaldun; Pemikirannya Tentang Pemerintahan Dalam pendekatan normative-subtantif, yang juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, Nabi dalam memimpin dan memberikan rasa aman selalu mengutamakan kepentingan publiklah yang didahulukan karena pada hakekatnya sebuah pemimpin atau pemerintah haruslah bisa memberikan minimal dua tanggung jawab yakni kesejahteraan dan rasa ama. selain itu secara umum setiap pemimpin muslim harus menjalankan fungsi standard penguasa public dengan penuh kebajikan.  Bentuk-Bentuk Pemerintahan Ibn Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan minimal ada tiga, yakni: 1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Pemerintahan jenis ini dizaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. 2. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Pemerintahan jenis ini dizaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu. 3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Ibn Khaldun; tidak ada pemisahan antara politik dan agama. Menurut Ibn Khaldun membicarakam masalah pemerintahan sangat berbeda dengan kekhalifahan, karena pemerintahan hanyalah sebagian kecil dari asepk yang ada dalam kekhalifahan dan hal ini pun tidak langsung bergaris lurus dengan agama, ada beberapa lembaga yang dapat disimpulkan dari pemikirannya Ibn Khaldun, yakni; • Wizrah merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pemegang pemerintahan (kesultanan) yang di dalamnya menjalankan fungsi sebagai berikut (1) membela masyarakat, mengawasi tentara, persenjataan, oprasi militer, (2) kesekretariatan atau korespodensi dalam mengirimkan surat, (3) menangani pengumpulan dan pengeluaran pajak/wazir, (4) menjaga raja atau khalifah. • Penjabat Penjaga Pintu • Departemen Keuangan dan Perpajakan, jabatan ini berkaitan denganoprasional pajak dan pemeliharaan hak-hak Negara dalam masalah pendapatan dan pengeluaran yang di pegang oleh diwan. • Departemen Surat menyurat resmi • Polisi, jabatan polisi pada awalnya diciptakan pada daulah Bani Abbas yang memiliki dua tugas, pertama berhubungan dengan tindakan-tindakan criminal di medan penyelidikan, kedua, menentukan hukuman (hudud). • Departemen Angkatan Laut. Sedangkan beberapa ahli lain melihat pemikiran Ibn Khaldun dalam maslah pemerintahan meliputi beberapa hal yang sifatnya sosial; - Kesejahteraan sosial, pemerintah sudah seharusnya memberikan sebuah tanggung jawabnya untuk mensejahterakan pada rakyatnya seperti membebaskan setiap orang dari kemiskinan. - Memberikan rasa aman, rasa aman akan bisa terwujud jika produk hukum yang dihasilakn benar-benar bagus, independent, hukum benar-benartegas serta mencegah kekerasan terhadap manusia dan harta benda. - Suaka Politik bagi kaum muslimin - Mengatur dan mengembangkan ekonomi, (badawah : masyarakat kesukuan dengan pajak rendah dan hadharah : masyarakt perkotaan dengan pajak tinggi) dalam konsep ekonominya ini ia melihat ekonomi dalam pespektif penghidupan dan keuntungan untuk menjaga kestabilan dinasti, sedangkan konsep yang ditawarkan adalah konsep Lingkaran Kekuasaan yakni “Dunia laksana kebun-dinasti (al-daulah) adalah pagarnya-dengan dinasti rakyat terjamin untuk menghidupkan tradisi yang baik (al-sunnah)-tradisi yang baik ialah politik (siyasah)-yang diarahkan pemimpin (al-malik)-pemimpin adalah sebuah institusi (nizham)-kekayaan adalah yang dikumpulkan oleh rakyat (al-ra’yyah)-serta rakyat adalah abdi yang dilindungi oleh keadilan-keadilan adalah nilai yang dikenal luas yang menopang keberlangsungan dunia (al-‘alam)-dunia ibarat kebun” . 3. Ibn Khaldun; Pemikirannya Tentang Konsep Negara Asal Mula Negara (daulah) Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41). Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum siap untuk dimakan, dan untuk semuanya itu dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42). Selain kebutuhan makanan untuk mempertahankan hidup, menurut Ibn Khaldun manusia memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika menciptakan alam semesta telah membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, bahkan banyak hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya Allah memberikan kepada masing-masing makhluk hidup suatu anggota badan yang khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan. Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43). Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’ (الوازع). Dengan demikian tidak akan ada anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139). Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Sehingga pemikirannya dalam hal ini bukan hal baru, meskipun ia sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang baru. Tetapi yang membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn Khaldun dalam Muwaddimahnya bukan sekadar kajian filososif, melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan Inderawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya. Ibn Khaldun berbicara tentang konsep negara atau dawlah dengan pendefenisian klan dinasti, dalam Muqaddimah misalnya al-Azmeh mengemukakan isinya adalah membahas tentang dawlah ‘ashabiyyah sebagai objek kajian utamanya karena negara adalah bentuk sempurna ‘ashabiyyah. Ashabiyah dapat diartikan sebuah organisasi kemasyarakatan yang tertata rapi dan selanjutnya memerlukan seorang pemimpin yang memilikim kuasa, berwibawa yang akhirnya memungkinkan dapat menengahi berbagai masalah, pemisah, sekaligus hakim itu adalah raja atau kepala Negara . seperti halnya bayak teori tentang negara yang disampaikan oleh para pemikir modern Ibn Khaldun juga mendefenisikan negara sebagai kekuatan yang memaksa dalam suatu kelompok untuk menjadi dawlah-satu kekuatan politik yang mendominasi pihak lain. Dalam kerangka berpikir Ibn Khaldun ada dua pendekatan untuk memaknai negara/pemimpin denga rakyatnya atau abdi, yakni ; a. Dawlah dalam pengertian keberhasilan politik merupakan minat utama kajian sejarah empiris Ibn Khaldun, yang didalamnya pada giliranya dawlah sangat dipertimbangkan karena menopang ‘umran (peradaban yang sesunguhnya) seperti konsep dalam Lingkar Kekuasaan yang Ibn Khaldun bangun dan bagi dia legalitas kekuasaan bukan ditentukan oleh mayoritas pendukungnya namun kekuatan yang kecilpun bisa saja dengan dtopang ashabiyyah. b. Sedangkan dalam relasi rakyat dan negara bagi Ibn Khaldun dua faktor ini tidak bisa dipisahkan apabila dalam kontek kekhalifahan seperti masa lalu, alasanya karena rakyat dan pemimpin adalah ibarat duasisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan melainkan kedaunya saling menopang, akan tetapi dalam keadaan seperti ini dimungkinkan ada sebuah kekuasaan yang maha luas karena rakyat hanya di anggap sebgai penopang kekuasaan bukan sebagi unsure dari kekuasaan itu sendiri. D. Khilafah, Imamah, Sulthanah Menurut Ibn Khaldun Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah (Muqaddimah: 191-193). Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu: 1. Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan diatas. 

D. Analisis 

Pemikiran Ibn Khaldun tentang Pemerintahan dan Negara Dalam pemikiran Ibn Khaldun tidak ada pemisahan antara politik dan agama seperti yang diungkapkan dalam kitabnya Muqadimah, pemikiran seperti ini sebenarnya banyak terjadi pada abad pertengahan seperti apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah, kenyataan sebuah pemikiran seperti ini dimungkinkan dipengaruhi oleh beberapa asepk yang melingkupi kejadian saat itu, yakni; • Pendekatan sosial-politik, pedekatan ini dimungkinkan terjadi dan sangat berpengaruh terhadap pola pikir para pemikir abad pertengahan baik yang pro dengan pemerintahan khalifah sperti al-Mawardi, yang kontra seperti Ibn Tamiyah atau yang moderat seperti Ibn Khaldun yang sedikit banyak pernah terjun dalam politik masa pemerintahan kerajaan-kerajaan kecil di Afrika Utara. • Pendekatan aspek geneologi-kultur, tidak bisa dipungkiri para pemikir besar juga lahir dari darah para pemikir besar sebelumnya, fakta ini dapat dilihat siapa orang tua beberapa tokoh seperti al-Mawardi, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun, walaupun dalam kehidupan sosial ada perlainan keadaan serta lingkungan, akan tetapi basis agama tetap dijadikan sebuah patokan awal merumuskan sebuah pemikirannya, selain itu basis kultural yang sudah tebangun sejak awal juga sangat mempengaruhi pola pikirnya sehingga ada kemudahan untuk terus melanjutkannya. Sedangkan membicarakan masalah Negara Ibn Khaldun hanya memandang dalam dua lingkup saja yakni pendirian Negara sebenarnya bentuk sempurna dari ashobiyah (golongan primordial sektoral) dan relasi penguasa dengan rakyat, rakyat hanya sebagai penopang belaka. Pemikiran pertama Ibn Khaldun seperti ini bisa saja menjadi sebuah embrio pemebentukan sebuah negara namun negara yang berbentuk plural dan negaranya pun berpulau-pulau seperti Indonesia sangat sulit diterapkan konsep Ibn Khaldun ini, sedangan. Pemikiran kedua membicarakan relasi penguasa dan rakyat, rakyat sebagai penopang, pekerja, dan budak tentu konsep seperti ini serasa tidak menghargai manusia seutuhnya baik dalam sisi sosial maupun keagamaan. 

E. Kesimpulan 

Ibn Khaldun dalam pemikirannya mengakui bahwa lebih baik menggunakan ajaran dan hukum agama sebagai dasar kebijakan dan peraturan negara dari pada hasil rekayasa otak manusia, pemikian seperti ini sebenarnya bersifat teo-sentris yang menilai tata aturan wahyu adalah segala-galanya dan sekaligus sebagai tuntunan yang harus diikuti, hal ini tentu sangat berbeda dengan pemikiran Ibn Taimiyah yang memberi pelung besar pada otak/pemikiran manusia yang berusaha berijtihad untuk mencari sebuah kebenaran yang sifatnya relatif tentunya. Sedangakan dalam teorinya ashaobiyah Ibn Khaldun memiliki sumbangsih yang sangat berguna dalam keilmuan kekinian, karena menurut hemat penyusun dari teori ini yang dapat diartikan dari organisasi kemasyarakatan akan timbul sebuah komunitas-komunitas atau organisasi yang menggiring pada suksesi sebuah Negara baik sebagai pihak yang mengontrol (oposisi) ataupun yang menjalankannya. 

Daftar Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin Membangun Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Iqra, 2001. Ahmad, Munawar. “Negara Bangsa dalam Islam”, pertemuan ke 3, pada Senin 16 Maret 2009. Anshori, Ahmad Yani. Tafsir Negara Islam dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Suka, November 2008. Black, Antony. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Penerjemh Abdullah Ali dkk, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Juli 2006. Hoodbhoy, Pervez. Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, Bandung: Mizan, 1996. Ishomuddin, Diskursus Politik dan Pengembangan; Melacak Arkeologi dan Kontroversi pemikiran Politik dalam Islam, Malang: UMM Press, 2001). Khaldun, Ibn. Muqadimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Maarif, Ahmad Syafii. “Relasi Agama dan Negara dalam Konteks Demokrasi di Indonesia”, Wawancara di UGM, Jumat 14 Maret 2008, pukul 11.30. Risakotta, Bernad Adeney. Ujian Promosi Disertasi oleh Ajat Sudrajat dengan judul Rekonstruksi Interaksi Islam dan Barat : Perang Salib dan Kebangkitan Kembali Ekonomi Eropa, hari Jumat 27 Februari 2009. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, Pebruari 1993. http//alislam.or.id, Sumber: Seratus Muslim Terkemuka,Jamil Ahmad, akses 5 Maret 2009. Zada, Khamami. “Muqadimah karya Ibn Khaldun” dalam Diskusi Bulanan Staf di Kantor PP LAKPESDAM NU, 13 Juli 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar