IDEALISME DAN RELISME
“Idelisme
dan relisme ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin bisa terpisahkan, Apapun
bentuknya dua aliran ini sudah seharusnya
berjalan
beriringan yakni saling melengkap, saling mengisi dan saling bersnergi”
(Hr Anton)
Membicarakan idealisme dan realisme,
yang terekam dalam pikiran penulis adalah sebuah fakta kehidupan antara
cita-cita yang serba ideal dengan kehidupan yang nyata, sama halnya dalam
bidang hukum/fiqih seolah antara idelisme yang diwakili oleh para ahli
hukum/fuqoha sedangkan relisme diwakili oleh para penegak hukum dalam hal ini
adalah pengadilan agama, yang mana keduanya seolah terjadi jurang pemisah yang
amat jauh berbeda. Sebagai penegasan sebelumnya dalam karya Noel J. Coulson
pada bab ketiga setidaknya telah sedikit disinggung tentang otoritas dan
kebebasan dimana pada bab tersebut juga mempertanyakan secara ilmiah posisi
seorang fuqoha (pembuat hukum) dan hakim (pelaksana atau yang menjalankan
produk hukum). Akan tetapi mengapa pada kenyataannya jika seorang fuqoha
seperti halnya Ibn Faruk (788) diberi tugas menjadi seorang hakim atau qodi
cendrung tidak maua atau menolaknya, pernyataan inilah seharusnya yang harus
diungkap.
Membaca cerita yang di sampaikan
Noel J. Coulson mengenai sosok seorang fuqoha’ yakni Ibn Faruk dalam pendekatan
idelisme memang terasa sekali sikap kehati-hatian seorang ulama fiqih untuk
menerima sebuah jabatan hakim atau qodi, karena asumsi yang dibangun jabatan
hakim ini adalah jabatan yang maha tinggi yakni sebagai wakil Tuhan dimuka bumi
untuk menegakkan keadilan. Kalau ditelaah secara seksama memang benar bahwa
hukum-hukum Islam/fiqih[1] pada priode awal dibangun
dari sebuah doktrin dan relitas pada masa itu atau hukum timbul dari
keputusan-keputusan pengadilan yang besifat aktual pada masa Nabi, keadaan
seperti ini terjadi hingga abad-abad selanjutnya seperti halnya pada masa imam
Malik yang ditulis dalam kitabnya al-Muwatta yang isinya bersandar kepada
praktek hukum aktual atau amal masyarakat Madinah, yang anehnya semua itu tetap
menjadi sebuah rujukan masa dan waktu saat ini, untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang ada, apakah fiqih[2] seperti ini yang
diharapka?.
Dalam perkembangan selanjutnya
khususnya menjelang akhir abad ke-8 perdebatan yurispodensi Islam menemukan
sebuah ide tantang syari’ah berupa system perintah Tuhan yang bersifat
konferhensif yang ditentukan sebelum realitas terjadi selain itu syari’ah
memiliki eksistensi terlepas dari masyarakat tidak ditentukan oleh masyarakat
tapi ditetapkan dari atas untuk masyarakat (independent-otoritas). Setelah
penemuan ide syariah ini akhirnya terjadi pula perdebatan selanjutnya anatar
ideal hukum (syari’ah) dan realitas sosial, yang akhirnya sejauh mana doktrin
murni (syari’ah) tersebut dapat diterjemahkan dalam relitas sosial.
Dalam tulisan Coulson ini setidaknya
banyak sekali contoh-contoh tradisi hukum klasik yang dijadikan baromer untuk
melihat kedudukan hukum islam yang ada, sperti halnya masalah perceraian yang
mana seorang wanita memiliki posisi di bawah laki-laki, selain itu masalah
pemerkosaan juga diungkapkan bahwa pemerkosaan bisa diadukan dan dipidanakan
kalau memang benar-benar terbukti dengan kelahiran akan hasil perzinahan
tersebut atau ada saksi 50 orang. Kedua contoh ini penulis memaklumi karena
kondisi social dan lingkungan yang sangat berbeda dahulu dan saat ini, akan
tetapi dalam kontek saat ini tentuk produk hukum seperti ini sudah tidak
memiliki relefansinya untuk dilaksanakan.
Dari beberapa ide doktrin serta
contoh kasus yang ada sebetulnya penolakan seorang fuqoha untuk tidak mau
menjadi hakim atau qadi dikarenakan ia punya anggapan hakim adalah pembantu
penguasa yang mana cendrung mendukung penguasa sedangkan nilai keadilan bisa
terlupakan, pendekatan siyasah syari’yah[3]
ini menunjukan dengan jelas posisi penguasa yang dekat sekali dengan para
penegak hukum atau malah hukum itu sendii dibuat sebagai penopang memperkokoh
penguasa yang ada.
Akhinya dari pedebatan antara
idealisme dan realisme dalam hukum islam secara sederhana dapat dipetakan dalam
dua hal yakni bagaimana aplikasinya antara doktrin hukum dan praktek hukum dan
syari’ah[4] pun sudah semestinya dapat
dipahami dalam konteks kekinian-kontemporer dengan tujuan dapat merespon berbagai
permasalahan yang ada.
*
Hartono adalah mahasiswa pada studi Hukum Islam Konsentrasi Ilmu Politik dan
Ilmu Pemerintahan Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1] Lihat, Atho Mudzhar “Kontekstualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah” (Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina) fiqh yang dihasilkannya lebih
mengekspresikan hal-hal yang
ideal dari pada real, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal
yang maksimal daripada minimal. Akibat lain dari pilihan atas idealisme
daripada realisme itu, ialah: fiqh semakin
hari semakin jauh
dari kenyataan masyarakat. Ini
telah terjadi pada
saat kitab fiqh
itu dituliskan, apalagi ketika kitab-kitab fiqh itu menjadi remote
dari masyarakat yang mengamalkannya, baik
remote waktu maupun tempat.
[2] Anjar Nugroho, Fiqih Kiri; Revitalisasi ushul Fiqh untuk
Revolusi Sosial, Pertama, fiqih akan manja dalam kemapanannya. Fiqih akan
selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak perlu melihat ke bawah. Kedua
peran fiqih akan semakin sempit hanya pada masalah
ritual belaka, yang kedua ini menjadikan fiqih tidak berarti apa-apa dalam
menjawab problem-problem real rakyat. http//uin-suka.co.id.galiliokusuka.akses
2 Agustus 2008.
[3] Didi Kusnadi, Hukum Islam di Indonesia
(Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum) Ismail Sunny,
mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan
kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode persuasive
source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum
Islam itu; dan kedua, periode authority source di mana setiap
orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang haruss
dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal
apabila dikodifikasikan dalam perundangundangan nasional.
[4]
Syahiron Syamsudin, dalam ujian doktor yang disampaikan oleh Moh. Tamtowi, Dinamika
Hukum Islam (Studi Konsep Umurun Mutasyabihat), di ruang promosi doctoral
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Hari jumat 3 April 2009, dalam penjelasan
beliau, ia mengatakan bahwa manusia yang dibekali oleh akal sudah semestinya
bisa melogikakan hukum Allah/syari’ah (al-Quran) dengan cara memasuki alam
otoritas Tuhan, hal ini perlu dilakukan dan dimungkinkan bagi seorang mujtahid
untuk bisa menemukan atau meaktualisasikan hukum Tuhan di dalam dunia nyata,
contoh masalah potong tangan maka seorang hakim harus bisa memasuki otoritas
Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar