Jumat, 20 Mei 2011

Hukum ; IDEALISME DAN RELISME


IDEALISME DAN RELISME
Oleh : Hartono*

“Idelisme dan relisme ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin bisa terpisahkan, Apapun bentuknya dua aliran ini sudah seharusnya
berjalan beriringan yakni saling melengkap, saling mengisi dan saling bersnergi”
 (Hr Anton) 

            Membicarakan idealisme dan realisme, yang terekam dalam pikiran penulis adalah sebuah fakta kehidupan antara cita-cita yang serba ideal dengan kehidupan yang nyata, sama halnya dalam bidang hukum/fiqih seolah antara idelisme yang diwakili oleh para ahli hukum/fuqoha sedangkan relisme diwakili oleh para penegak hukum dalam hal ini adalah pengadilan agama, yang mana keduanya seolah terjadi jurang pemisah yang amat jauh berbeda. Sebagai penegasan sebelumnya dalam karya Noel J. Coulson pada bab ketiga setidaknya telah sedikit disinggung tentang otoritas dan kebebasan dimana pada bab tersebut juga mempertanyakan secara ilmiah posisi seorang fuqoha (pembuat hukum) dan hakim (pelaksana atau yang menjalankan produk hukum). Akan tetapi mengapa pada kenyataannya jika seorang fuqoha seperti halnya Ibn Faruk (788) diberi tugas menjadi seorang hakim atau qodi cendrung tidak maua atau menolaknya, pernyataan inilah seharusnya yang harus diungkap.
            Membaca cerita yang di sampaikan Noel J. Coulson mengenai sosok seorang fuqoha’ yakni Ibn Faruk dalam pendekatan idelisme memang terasa sekali sikap kehati-hatian seorang ulama fiqih untuk menerima sebuah jabatan hakim atau qodi, karena asumsi yang dibangun jabatan hakim ini adalah jabatan yang maha tinggi yakni sebagai wakil Tuhan dimuka bumi untuk menegakkan keadilan. Kalau ditelaah secara seksama memang benar bahwa hukum-hukum Islam/fiqih[1] pada priode awal dibangun dari sebuah doktrin dan relitas pada masa itu atau hukum timbul dari keputusan-keputusan pengadilan yang besifat aktual pada masa Nabi, keadaan seperti ini terjadi hingga abad-abad selanjutnya seperti halnya pada masa imam Malik yang ditulis dalam kitabnya al-Muwatta yang isinya bersandar kepada praktek hukum aktual atau amal masyarakat Madinah, yang anehnya semua itu tetap menjadi sebuah rujukan masa dan waktu saat ini, untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, apakah fiqih[2] seperti ini yang diharapka?.
            Dalam perkembangan selanjutnya khususnya menjelang akhir abad ke-8 perdebatan yurispodensi Islam menemukan sebuah ide tantang syari’ah berupa system perintah Tuhan yang bersifat konferhensif yang ditentukan sebelum realitas terjadi selain itu syari’ah memiliki eksistensi terlepas dari masyarakat tidak ditentukan oleh masyarakat tapi ditetapkan dari atas untuk masyarakat (independent-otoritas). Setelah penemuan ide syariah ini akhirnya terjadi pula perdebatan selanjutnya anatar ideal hukum (syari’ah) dan realitas sosial, yang akhirnya sejauh mana doktrin murni (syari’ah) tersebut dapat diterjemahkan dalam relitas sosial.
            Dalam tulisan Coulson ini setidaknya banyak sekali contoh-contoh tradisi hukum klasik yang dijadikan baromer untuk melihat kedudukan hukum islam yang ada, sperti halnya masalah perceraian yang mana seorang wanita memiliki posisi di bawah laki-laki, selain itu masalah pemerkosaan juga diungkapkan bahwa pemerkosaan bisa diadukan dan dipidanakan kalau memang benar-benar terbukti dengan kelahiran akan hasil perzinahan tersebut atau ada saksi 50 orang. Kedua contoh ini penulis memaklumi karena kondisi social dan lingkungan yang sangat berbeda dahulu dan saat ini, akan tetapi dalam kontek saat ini tentuk produk hukum seperti ini sudah tidak memiliki relefansinya untuk dilaksanakan.
            Dari beberapa ide doktrin serta contoh kasus yang ada sebetulnya penolakan seorang fuqoha untuk tidak mau menjadi hakim atau qadi dikarenakan ia punya anggapan hakim adalah pembantu penguasa yang mana cendrung mendukung penguasa sedangkan nilai keadilan bisa terlupakan, pendekatan siyasah syari’yah[3] ini menunjukan dengan jelas posisi penguasa yang dekat sekali dengan para penegak hukum atau malah hukum itu sendii dibuat sebagai penopang memperkokoh penguasa yang ada.
            Akhinya dari pedebatan antara idealisme dan realisme dalam hukum islam secara sederhana dapat dipetakan dalam dua hal yakni bagaimana aplikasinya antara doktrin hukum dan praktek hukum dan syari’ah[4] pun sudah semestinya dapat dipahami dalam konteks kekinian-kontemporer dengan tujuan dapat merespon berbagai permasalahan yang ada.











* Hartono adalah mahasiswa pada studi Hukum Islam Konsentrasi Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.  
[1] Lihat, Atho Mudzhar “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” (Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina) fiqh   yang dihasilkannya   lebih   mengekspresikan   hal-hal  yang  ideal dari pada real, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal yang maksimal daripada minimal. Akibat lain dari pilihan atas idealisme daripada realisme itu, ialah:  fiqh  semakin  hari  semakin   jauh   dari   kenyataan masyarakat.  Ini  telah  terjadi  pada  saat  kitab  fiqh  itu dituliskan, apalagi ketika kitab-kitab fiqh itu menjadi remote dari  masyarakat yang mengamalkannya, baik remote waktu maupun tempat.
[2] Anjar Nugroho, Fiqih Kiri; Revitalisasi ushul Fiqh untuk Revolusi Sosial, Pertama, fiqih akan manja dalam kemapanannya. Fiqih akan selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak perlu melihat ke bawah. Kedua peran fiqih akan semakin sempit hanya pada masalah ritual belaka, yang kedua ini menjadikan fiqih tidak berarti apa-apa dalam menjawab problem-problem real rakyat. http//uin-suka.co.id.galiliokusuka.akses 2 Agustus 2008.

[3] Didi Kusnadi, Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum) Ismail Sunny, mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode persuasive source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua, periode authority source di mana setiap orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang haruss dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal apabila dikodifikasikan dalam perundangundangan nasional.

[4] Syahiron Syamsudin, dalam ujian doktor yang disampaikan oleh Moh. Tamtowi, Dinamika Hukum Islam (Studi Konsep Umurun Mutasyabihat), di ruang promosi doctoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Hari jumat 3 April 2009, dalam penjelasan beliau, ia mengatakan bahwa manusia yang dibekali oleh akal sudah semestinya bisa melogikakan hukum Allah/syari’ah (al-Quran) dengan cara memasuki alam otoritas Tuhan, hal ini perlu dilakukan dan dimungkinkan bagi seorang mujtahid untuk bisa menemukan atau meaktualisasikan hukum Tuhan di dalam dunia nyata, contoh masalah potong tangan maka seorang hakim harus bisa memasuki otoritas Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar