OTORITAS DAN KEBEBASAN
Oleh
: Hartono
Membicarakan
tema otoritas dan sebuah kebebasan pada dasarnya sangat berkaitan dengan konsep
awal yang ditawarkan oleh Noel J. Coulsen mengenai akal[1] dan wahyu,[2] dimana dalam
konteks dunia nyata (peradilan) terkadang otoritas hukum Tuhan sangat sulit
diterapkan tanpa adanya sebuah kebebasan interpretasi terhadap hukum Tuhan yang
ada tersebut.
Dalam perkembangan awal mengenai
hukum Tuhan yang berbentuk Yurispodensi Islam adalah sebuah wacana pemikiran
untuk memahami istilah-istilah hukum Tuhan secara tepat dan hal ini didominasi
oleh kalangan fuqoha’ atau ahli fiqih untuk melakukan ijtihad, sedangkan
seorang hakim atau Qodi tidak memiliki wilayah Ijtihad untuk menemukan hukum yang
ada melainkan seorang hakim hanya melakukan dan mengaplikasikan produk-produk
hukum[3] yang telah
ditelurkan oleh para ahli yang ada tersebut.
Selanjutnya dalam yurispodensi
minimal ada tiga konsep yang perlu dipahami yakni; Syariah (hukum Tuhan
bersifat otoritas), Fuqoha’ dan Hakim. Dalam posisi ini perkembangan
yang ada antara fuqoha’ dan hakim memiliki posisi yang sejajar untuk bisa
menemukan pesan dibalik hukum Tuhan yang ada, sedangkan sifst-sifat
pengkultusan secara pribadi terhadap tokoh-tokoh abad awal seperti as-Syafii
harus sebisa mungkin dihilangkan karena tokoh-tokoh yang ada tersebut pun
menekankan sebuah kreatifitas dan kebebasan
individu. Sedangkan asumsi-asumsi pintu ijtihad sudah tertutup sejak
abad ke 10 semua itu dikarenakan proses kretifitas seorang mujtahid sudah tidak
sebagus seperti tokoh-tokoh sebelumnya atau ada sebab lain kerena konflik
perbutan kekuasaan yang dilakukan oleh bangsa Mongol dan Barbar, artinya
menurut hemat penyusun ada sebuah proses hegemoni dan pengkerdilan yang luar
biasa terhadap pemikiran selanjutnya, jika semua ini diamini dan manusia
selanjutnya tidak mau melakukan inovasi serta mengeluarkan kreatifitasnya sudah
barang tentu Islam akan terus mengalami sebuah kemunduran[4] dan terlalu
fanatisme serta taqlid.
Bagaimanapun juga segala hukum yang
ada di dunia ini memiliki priodesasi dan hirarkhi yang terus menerus dijaga dan
dilaksanakan namun dalam dunia Islam sendiri (ada kecendrungan) keadaannya
mengalami stagnasi serta relatif setatis sepanjang waktu ini (dengan terus
menerus merujuk pada produk hukum zaman klasik), akan tetapi zaman modern hukum
Islam sudah seharusnya menunjukan pogres untuk up to date terhadap
produk hukum yang disesuaikan dengan waktu, tempat dan aspek-aspek lainnya.
Kasus yang sering menjadi perdebatan
dalam hukum Islam[5] (fiqh: sebagai
cabang/patikular dalam pemikiran Islam) adalah masalah perceraian atau talaq,
Coulson mencoba membandingkan hukum ini di
wilayah Timur Tengah dan Pakistan dan
hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di wilayah Indonesia dan Malaysia,
dalam hukum Islam tradisional perceraian minimal dapat dilakukan melalui tiga
cara, Pertama, kesepakatan bersama untuk berpisah tanpa ke pengadilan. Kedua,
pemutusan dari pengadilan dengan istri sebagai pemohon (khulu’)
karena suaminya menderita atau tidak memberi nafkah Ketiga, pemutusan
sepihak suami dengan cara talaq.
Sedangkan melihat
konsepsi-konsepsi talaq yang terus dilestarikan sebetulnya ada
titik-titik kelemahan, Pertama, talaq tiga tidak memiliki legitimasi
yang kuat dalam al-Quran dan al-Hadis namun malah mengkebiri nilai-nilai yang
ada di dalam al-Quran[6] (penghargaan
terhadap sesama manusia). Kedua, pasal 117 dari huum Syria mengenai
talaq ini seorang suami selama satu tahun diberikan beban untuk tetap menafkahi
mantan istrinya namun dari sisi istrinya ada kerugian yang luar biasa baik
meteri maupun non materi, lalu bagaimana pertanggung jawabannya. Pada tahun
1957 Tunisia membuka pintu ijtihad dengan menundang-undangkannya bahwa talaq di
luar siding tidak memiliki efek hukum sama sekali.
Akhirnya reaktualisasi hukum Islam khususnya fiqih (ushul fiqih),[7] maka pendekatan yang harus digunakan adalah fiqih bukanlah produk wahyu syari’ah[8] yang sakral dan suci, malainkan fiqih adalah produk manusai/akal yang bisa saja mengalami kesalahan konteks, wilayah dan lain sebagainya, maka dengan argumen itu produk hukum Islam yang berbentuk fiqih harus dipahami sebagai varian suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu, yang harus selalu dikembangkan.
[1] Ahmad
Munir, “Agama dan Etos Perubahan”, dalam Dialogia Jurnal Studi Islam dan
Sosial, (ISSN: 1693-1149, Vol.5 No. Juni – Desember 2007), hlm. 256.
[2] Firtri
Astuti, Membaca Konsep Wahyu Muhammad Syahrur dalam bukunya Rekonstruksi Konsep
Wahyu, Syahrur membagi wahyu dalam lima
tingkatan, Pertama, wahyu program filosofis seperti pada lebah (al-barmajah
al-‘udwiyya). Kedua, wahyu beupak personifikasi berupa suara dan rupa pada
Ibrahim dan Nuh (tariq al-tasyhis). Ketiga, wahyu berupa getaran atau
bisikan hati nurani semacam ilham (tariq tawarud al-khawatir). Keempat,
Wahyu melalui mimpi al-hilm (mimpi yang jelek) dan al-manam
(mimpi yang berimplikasi kedepan). Kelima,
wahyu yang abstrak (al-wahy al-mujarrad) dalam Populis; Jurnal
Pengembangan msyarakat (ISSN: 1412-4629 ), hlm. 130.
[3] Erfaniyah Zuhriyah, ia mengatakan Undang-undang telah
memberikan kewenangan yang sangat luas bagi hakim untuk melakukan ijtihad,
tetapi masih saja banyak diketemukan hakim yang tidak memberikan apresiasi
terhadap rekan yang melakukan ijtihad secara luas yang nampak keluar dari teks
undang-undangbahkan balik memnadang bahwa keputusan tersebut melanggar
undang-undang. Pada waktu seperti itulah seorang hakim seharusnya melakukan
inovasi dan ijtihad jika hukumnya tidak terdapat dalam undang-undang. Lihat, Erfaniyah Zuhriyah, “Ijtihad Hakim Agama dalam
Konteks Undang-Undang”, dalam Jabal Hikmah; Jurnal Kependidikan dan
Hukum Islam (ISSN: 1978-9653, Vol.1, No. 2. Juli 2008). hlm. 219.
[4] Atho' Mudzhar “Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah” (Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina) Fiqh telah
dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal daripada
sebagai ekspresi keragaman partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita daripada
sebagai respon atau
refleksi kenyataan yang ada secara
realis. Fiqh juga
telah memilih stabilitas daripada per ubahan. Semua itu, telah
mengakibatkan kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini
[5]
M. Ikhsanudin, “Mengembangkan Metodologi Penemuan
Hukum Islam “Syariah Cum Reality”; perspektif Historis dan Metodologis, dalam An-Nur
Jurnal Studi Islam, (ISSN: 1829-8753 Vol. II, No.5, September 2006), hlm.191.
[6]
Ahmad Arifi, “Membangun Paradigma Fiqih Humanis
(Rekonstruksi Metodologis atas Nas-nas Hudud)”, dalam Jurnal Penelitian
Agama, Media Komunikasi, Penelitian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Agama (ISSN:
0858-2732), Vol. X., No. 3 September-Desember 2001), hlm. 172.
[7]
Abdul Mughits, “Kajian Ushul Fiqih di Pesantren
Tradisional; Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri”, dalam Taswirul
Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan (ISSN:
1410-9166, Edisi No. 18 tahun 2004), hlm.124.
[8] Abou El Fadl, membedakan secara tegas
antara pengertian syariah dengan fiqh, menurutnya Syari’ah adalah konteks hukum
dan teologi Islam berupa jalan yang diberikan Tuhan kepada manusia (jalan untuk
menemukan kehendak Tuhan) selain itu syariah tidak hanya terbatas pada hukum
positif semata tetapi juga mencakup wilayah nilai moral dan etika. Sedangkan
fiqh (pemahaman) adalah kontek hukum Islam yang berupa proses penelaan hukum
Islam yang melahirkan ketentuan hukum Islam. Lihat Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fiqih
Oteriter ke Fiqih Otoritatif, tej. R Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi,
2004), hlm.542-560.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar