Selasa, 29 November 2011

KITAB SUCI DAN KENABIAN


KITAB SUCI DAN KENABIAN
Oleh. Hartono

Corak ilmu pengetahuan  yanga sangat umum pada abad ke-19 adalah religiouswissenschaft dan  biblical criticism (kritik terhadap injil), pendekatan studi agama sekarang ini cenderung mengikuti bentuk atau susunan yang umum, yang dimulai dengan menggabarkan catatan suci (wahyu), kehidupan dan ajaran nabi, orang suci atau pendiri-pendiri agama. Begitu juga ukuran atau patokan teks dalam islam menepatkan pebicaraan tentang al-qur’an dan nabi Muhammad sebagai unsure yang lebih penting. Betapapun ini mungkin bermanfaat untuk memahami asal usul dan sejarah pembentukan tradisi tertentu, “buku dan pemimpin yang agung” pendekatan studi/Teori humanistic harus  manjadi cara alternative untuk memahai agama.

            Dengan menempatkan pembahasan tentang injil (kitab) dan kenabian di awal buku keagamaan,itu penting untuk melanjutkan tradisi yang kerapkali surut oleh subject lain  yang di perkenalkan di tiap-tiap bab baru. Melalui pertanyaan-pertanyaan penting pembentukan teks dari kitab apa saja dan sejarah seorang nabi atau pendiri peribadatan, upacara agama, dan arti pertemuan sebagai system simbul pola di dalam kehidupan agama hindu, budda, tao, jews, Kristen dan muslim.

Membangun kembali Philological (ilmu bahasa) tentang maksud, kata dari ungkapan al-quran di jaman semenjak masyarakat islam lahir di Arab atau di dalam sastra florescence arab tengah di abad 8 dan 9 tidak cukup petunjuk untuk memahami budaya tempat masyarakat muslim dimana al-quran di turunkan.Bahkan ketika kritik literary (kesastraan) dan historical (kesejarahan) di perluas menjadi  sejarah penafsiran teks, juga gagal memecahkan masalah pokok studi agama ini.

Memperbaiki memerlukan (menuntut) tidak bebas (menunda) sejarah, bahasa, dan analisis sastra al-quran atau biografi nabi, untuk metode yang di pakai didalam ilmu pengetahuan demikian itu (mempunyai)   tak dapat di sangsikan beruna hasil. Baik, Berdasarkan pada penemuan teks, sejarah, dan studi sastra, studi agama harus terus mempertanyaakan sesuatu yang berbeda tentang bagaimana teks sperti itu membuktikan tentang agama orang-orang islam.

Untuk menjawab pertanyaan agama, keadaan budaya dimana kitab dan nabi di pelajari dan peranan penjiwaan yang bersifat pendidikan, ibadah (upacara agama), dan secara social harus juga menjadi unsure dalam menganalisis.  Ada suatu kebutuhan untuk menemukan konsep islam tentang kitab dan nabi tersembunyi dalam pokok islam (muslim).

Akhirnya Proses simbolisme dan sosialisasi yang melekat dalam masyarakat muslim (orang islam) dan juga dalam teks menulis sampai dalam mencari Sesutu yang menimbulkan perbedaan tentang kategori tradisis dalam kitab suci dan kenabian.  2. menyelidiki yang mana mengikuti
Point 2.
William A Graham, dengan analisisnya terhadap al-Qur’an menggunakan pendekatan filologi  dan bagainya qur’an sebagai tek kitab suci merupakan titik awal unuk memahami kajian Islamic studies, pemikiran al-Quran pada dasarnya berbeda dengan pemikiran barat., oleh karena itu di perlukan pemahaman yang sama antara qur’an dan tradisi muslim.
A. ‘Dalam sejarah agama-aga­ma
Charles J Adams, pada awal-awal kajian Islamic studies
Pertama adanya sebuah keterkaitan antara sejarawan agama-agama dengan data yang mereka miliki sebelumnya meskipun hanya member kontribusi kecil terhadap pertumbuhan pengetahuan masyarakat islam dan tradisi agama mereka,
Kedua tema besar yang menjadi pokok kajian mereka belum menyoroti pengalaman islam atau membicarakan probelem yang ada dalam keilmuan islam.

B. Adalah Earle H. Wugaugh,
yang menggunakan pendekatan fenomenologinya
Pertama, walaupun penekanan dalam penyelidikan tentang apa yang dilakukan masyarakat dan bagaimana cara betindak dari pada apa yang mereka katakana dan percayai membawa disiplin sejarah agama-agama ke dalam konflik tajam.
Kedua, adanya pola piker apologis, yaitu sebagai masyarakat yang beragama berpendapat bahwa analisis sejarah agama-agama itu telah usang, banyak kekurangan dan harus tunduk pada wahyu Tuhan, tanpa melihat hasilnya bermakna atau tidak.

PENTING
Polmik di atas menjadikan sebuah jalan untuk membuat metode bagi Earle H. Wugaugh salah satunya dengan jalan profesioanlisme  dan metode verstehen atau pemahaman.

C. Teori Model dan Studi Agama
1. Pendekatan kesejarahan nabitidak bisa karena Nabi figur paradigmatik yaitu dimana Rasulullah selalu dilindungi, dimulyakan, dijaga oleh Allah yang pada dirinya sifat-sifat baik ditanamkan oleh Allah, sehingga dalam keadaan seperti ini Nabi Muhammad tidak bisa ditemaptkan pada satu tempat apapun.
      AKANTETAPI, kajian ini dalam pemahaman sejarah agama-agama tidak akan memberikan kontribusi apapun ketika tidak dilepaskan dari keyakinan-keyakinan yang ada seperti pencaraian Tuahan Yesus oleh Albert Schweitzer
2.      TEORI_TEORI, Max Weber dan Joachim Wach keorganisasian dan konstitusi kelompok yang ada dimasing-masing kelompok tersebut, sebagai figur yang dipandang  sebagi contoh klasik.
3. Dimensi lain dari metodologi sejarah agama-agama adalah untuk menguji data keagamaan guna melihat tangga-tanganya yaitu dengan mengeluarkan struktur yang memberikan koherensi dan kontinuitas dengan materi, dengan cara itu diharapkan dapat menentukan dinamika batiniah kehidupan agama. artinya dengan teori ini ritual keagamaan dicoba diliahat dalam dimensi fenomenologis  yang dilihat dari sudut pandang kebudayaan, social dan yang lainnya.

Mircea Eliade yaitu Patterns in Comparative religion yaitu dalam hal ini pola-pola yang digunakan muncul bermuatan keagamaan sehingga dapat digunakan sebagai alat interpretasi dalam banyak kontek oleh para peneliti,

monovalent :satu kasih
D. Teori-Teori Interpretasi terhadap Agama
a).Robert Bird (dengan teori tantang kategori-kategori)
b).Mircea Eliade (dengan teori Pola-pola) memberikan kanter dan kontradiksi, akan tetapi dengan demikian, upaya untuk menemukan makna telah menata “fakta-fakta” yang saling behubungan dan paham tentang model adalah cara yang lebih tepat dimana kita mempergunakan keahlian analisis untuk menciptakan makna di luar dari data yang berdimensi banyak.

E. Teori Model:
Konsep atau teori model dengan frame of reference F.Hockett pada 1954  akhirnya menemukan serta menerima aplikasi multidisiplin dan akibatnya mengambil sejumlah makna yang bermacam-macam. Kedua; Max Black menganalisis berbgai makna istilah “model” yang di dalamnya termasuk konstruksi miniature, membuat sekala model, model-model analog, model matematika dan model teoritik.
Ketiga; Stephen Pepper dalam Root Metaphor, yang disebut model implisit atau tersembunyi yang beoprasi dalam pikiran penulis. Max Black menyebut metapora ini sebagai “arketip konseptual” yaitu sebuah daftar sistematik gagasan-gagasan yang dijelaskan seorang pemikir dengan perluasan analogis, beberapa domain di man aide-ide tidak segera langsung diterapkan
Ian Ramesey, dari Oxford Universiti dengan teorinya “model Penyingkapan” ia mengatakan bahwa model-model tidak hanya menyajikan gagasan-gasan tentang realitas, tatapi juga juga muatan kognitifnya. seperti ungkapanya “dengan mengunakan model-model yang disedikan oleh setiap disiplin ilmu kita dapat memahami misteri yang ada dihadapan kita bahkan dapat memberi kontribusi bagi penganut agama dan akademik

F. Contoh 1). Ramesey; dengan teori model ia ingin melihat dimensi Kritus dan Gereja.
                2). Ewert Cousins; Teori model untuk melihat wilayah pengalaman agama pertama “model-model pengalaman” (experiential models). (model bersifat atau mengimplikasikan varientas pengalaman keagamaan sedangkan pengalaman bersifat subjektif) kedua metode memperhatikan ekspresi perumpamaan (expressive models) yaitu mengambil seluruh bentuk yang digunakan oleh orang beragama dalam menyatakan pengalaman keagamaan dirinya. Normatif-Historis (Richad C Martien dalam ilmu social, pemikiran, lembaga, interaksi sosial).
G. INTI MODEL “memetakan korelasi antara pengalaman dan ekpresinya”
Contoh teori model ini seperti yang pernah dilakukan oleh Cousins yaitu dengan cara berkeyakinan bahwa perasaan kosmik seperti yang ada dalam injil tidak harus dimaknai sesaui injil yang ada melainkan lebih melihat realitas yang ada karena pada saat ini ada kecendrungan meliahat teologi hanya secara parsial, yang akhirnya sering terjadi konflik dengan mengklaim kebenaran.

Teori model dalam analisis vinal didasarkan atau berasal pada kesesuaiannya dengan data lain di dalam  komunitas budaya atau ilmiah dan tidak dari komunitas agama itu sendiri, maka pada akhirnya teori ini akan kontadisi dengan struktur agama yang lebih umum dan normatif, analisis ini sesungguhnya menunjukan kekayaan dan vareintes yang dapat ditafsirkan di dalam agama itu sendiri dan cara ini pula menunjukan bahwa agama sepakat tradisi itu tumbuh dalam pemahaman dirinya sendiri (Historisitas(historisita dalam Richad C martien; pemikiran, institusi,alat atau simbol dan  interkasi sosial).

H. MASALAH KENABIAN
a. Sirrah Muhammad karta Ibn Ishaq
Wansbrough berpendapat tentang karya Ibn Ishaq dalam The Sectarian Milieu, karynya mengandung 1). formula paling awal tentang identitas Muslim” 2).  sekaligus motivasi konseptual yang bersifat polmik.

b. Nabi Muhammd SAW di mata penulis Barat. peneliti Barat dengan “metode penelitian ilmiah sejati” yaitu sebuah pendekatan yang terlepas dari berbagai embel-embel atau tidak ada tendensi apapun yang melatar belakangi penelitian terhadap Nabi Muhammad seperti halnya yang dilakukan Caren Amstrong.
            Namun menurut hemat penyusun dengan penelitian ilmiah” yang dikonstruksi atau dihegemoni oleh Barat dengan perjalanan yang panajang, berbagai metode ilmiah yang ditawarkan (rasionalitas), penyusun sedikit menyimpulkan ada kekosongan ruh atau terlepasnya pada pijakan di wilayah ontologi sebagai awal terjadinya objek penelitian khususnya pada sosok Nabi Muhammad SAW, mungkin teori dobel moven Fazlur Rahman bisa diterapkan atau dipakai.

I. Karakter superior Nabi
pertama, masalah Isra dan Mi’raj Nabi itu dilakukan dengan ruh saja atau berserta jasadnya (raga kasarnya),
kedua, masalah kepemimpinan dan kejeniusan Nabi dalam strategi perang, menurut Abbas Mahmud al-Aqqad, beliau menyatakan bahwa Napoleon (tiga kekuatan moral, nialai numeric serta mata-mata) dan Hitler (Penjelajahan, Komunikasi dan menanamkan rasa takut sudah pernah dilakukan pula, namun pada masa Hitler di putarbalikan karena hanya untuk kepentingan kekuasan semata lain dengan Nabi ada unsur Ideologis walaupun tidak dipaksakan atau persuasive) dalam strategi.

Ibn Ishaq sitz im leben jalan itulah membuat Nabi lebih Universal dapat diterima. Tekanannya Nabi ditempatkan pada sosok yang diidealkan buakan pada batasan sebagai manusia biasa “sosok paradigmatik”.

Pendekatan;
NORMATIF; Pemahaman agama sesuai apa yang diajarkan al-Qur’an, pemahaman seperti ini menurut para ahli Islamic studies terjadi hanya pada Nabi Muhammad SAW.

                       
  Historisitas
General Partten                                             Paarticular Partten/
1.Pendekatan Humanistik                          1. Relegius Exsperien (Pengalaman agama)
2. Pendekatan Ilmu sosial                          2. Relegius Studies   - Kajian Kitab Suci
3. Pendekatan Sosiologi                                                                  - Kajian Kenabian

Tafsir Negara Islam dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia.


Judul Buku      : Tafsir Negara Islam dalam
                          Dialog Kebangsaan di Indonesia.
Penulis             : Ahmad Yani Anshori
Cetakan           : Cet. I. November 2008
Penerbit           : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga
Tebal               : 218
Peresensi         : Hartono


PERDEBATAN NEGARA ISALAM; TELAAH PEMIKIRAN KALANGAN NASIONALIS DAN ISLAMIS DI INDONESIA

            Perdebatan negara Islam di Indonesia selalu menarik dan tidak ada habisnya untuk dibahas dalam perjalanan sejarahnya. Negara Islam dengan cara mempraktekkan syariat Islam[1] seolah menjadi primadona yang selalu ingin diperjuangkan untuk benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini. Oleh karenanya dalam melihat perdebatan ini maka asumsi yang ada, pada awal kemerdekaan hingga hari ini masyarakat Indonesia terbagi dalam dua kelompok yakni kalangan nasionalis dan Islamis, teori ini sebenarnya memiliki kesamaan dengan pendekatan Individualis[2] yang digagas William Liddle yang mana mencoba melihat serta memisahkan dua belah pihak yang seharusnya tidak terpisahkan dalam komposisi merumuskan dasar negara Indonesia.
            Melihat fakta sejarah pada sidang BPUPKI[3] (Dokuritsu Junbi Cosakai) ketika merumuskan dasar negara, pada waktu itu sudah mulai terjadinya blok-blok kalangan pemikir antara nasionalis dan Islamis untuk merumuskan bagaimana dasar negara ini? Kalangan Islamis yang yang akhirnya bisa merumuskan sila pertama dengan bunyi tambahan “menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” (disebut piagam jakarta)[4] akhirnya dihapus dalam sidang PPKI, kenyataan inilah seolah yang terus ingin diperjuangkan oleh kalangan Islam hingga hari ini karena ada kalangan islamis yang berasumsi bahwa ada kebohongan dan penghianatan yang luar biasa terjadi dalam penyusunan dasar negara ketika itu. Akan tetapi yang perlu dicermati dalam perkembangan pemikiran dan aksi ini kalangn Islamis sendiri sebenarnya tidak kompak untuk terus memperjuangkan syariat Islam sebagai dasar negara, melainkan mereka terbagai dalam dua golongan yang berbeda, pertama kalangan Islamis yang berjuang kearah negara Islam Indonesia dengan jalan dialog diparlemen[5], kedua kalangan islamis yang memperjuangkan Islam kearah negara Islam[6] di Indonesia melalui jalan agitasi dan konfrontasi.
Pemikiran Politik Islam dan Negara
            Pemahaman adin wa daulah (Islam adalah agama dan negara) seolah terus menerus diperjuangkan tiada hentinya karena pemahaman Islam adalah agama yang lengkap dalam kehidupan ini seolah sudah terpatri dalam kehidupan uamat Islam, pada tataran cita-cita pemahaman seperti ini tidak ada salahnya namun dalam tataran praktek kenegaraan yang pluralitas[7] seperti Indonesia seolah akan sulit diwujudkan, dahulu ketika ingin diterapkan sila pertama dengan menjalankan syariat Islam, Indonesia bagaian timur mengancam ingin memisahkan diri dari negara kesatuan republik Indonesia, pada kenyataan lain sebenarnya Islam sebagai agama ingin menjaga pula rasa kesatauan dan persatuan agar tidak tercerai berai, konsep dasar inipulalah yang mungakin dipahami oleh para pendiri negara ketika itu, namun anehnya tidak dipahami oleh para generasi saat ini yang terus-menerus meneriakkan negara Islam.
Sebagai studi perbandingan mari kita lihat pemikiran M. Natsir tentang negara Islam, Natsir melihat Islam seperti kebanyakan ulama’ atau tokoh lain dengan memisahkan dalam dua pemahaman, Pertama Islam dalam konteks ibadah (hablum minaullah), dalam konteks ini Natsir berpendapat bahwa hubungan ibadah manusia dengan tuhannya adalah hubungan yang sifatnya horizontal/mengenai hukum-hukum yang sifatnya jelas dan tidak bisa diganggu gugat, sedangkan yang kedua adalah masalah muamalah, dalam koneks muamalah inilah manusia diberi kebebasan berpikir dan bertindak untuk menginterpretasi berbagai bentuk kehidupan manusia mulai yang berkaitan dengan urusan umat Islam, sampai urusan bernegara,   Allah sendiri berfirman, kalau urusan diantara kamu, aturlah…. Begitu sering dikatakan Natsir. Jadi memang kalau menyangkut urusan bersama, hukum harus disepa­kati oleh dua pihak secara demokratis. Sedangkan probelmatiaka yang sering diperdebatkan mengnai piagam Jakarta, Natsir menilai argumen menjamin umat Islam menjalankan ibadah sama seperti kita menjamin umat agama lain menjalan­kan ibadahnya di luar itu adalah kesepakatan bersama.
Natsir sebenarnya tidak berpikir seperti orang Aceh sekarang, yang inginnya mengatur semuanya berdasarkan hukum Islam melalui qanun.[8] Dengan pemikiran seperti ini artinya Natsir tetap sepakat atas penegakan negara Islam, (walaupun masih ada ruang untuk berdialog untuk menjalankan demokrasi dilain pihak) dia yakin bahwa hidup ini, dari lahir sampai mati, adalah totalitas di bawah kedaulatan Tuhan,[9] termasuk kehidupan bernegara. Hubungan agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Kita bukan negara sekuler, tapi mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, menurut Natsir, dasar negara haruslah Islam.[10]
Akan tetapi coba pula kita lihat pemikiran Ali Abd. Al-Raziq dalam bukunya (al-Islam wa ushul al-Hukm), ia berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim dan menganjurkan suatu bentuk pemerintahan dan negara duniawi akan tetapi hal ini diserahkan untuk difikirkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya atau dalam bahasa lain nabi diutus hanyalah sebagai penyampai risalah kenabian bukan untuk membentuk atau bahkan mendirikan sebuah negara, kalau dilihat secara seksama dua tokoh ini sebenarnya mencoba menafsiri satu ayat yang sama namun pendekatannya dimungkinkan sangat berbeda sehingga memiliki relefansi yang sangat berbeda pula.
Dari dua pemikiran tokoh di atas, menganai negara Islam/berdasarkan syariat Islam harus sepatutnya didirikan atau tidak sebetulnya merupakan bentuk politik tari ulur dan politik memimpikan kejayaan masa lalu Islam, pemahaman seperti ini tentunya bukan kurang tepat melainkan pemahaman mengenai negara Islam sudah seharusnya memiliki relefansinya di bumi Indonesia khususnya dengan melihat segala aspek yang melatarbelakanginya, sehingga antara cita-cita ideal bisa di turunkan menjadi sebuah konsep yang akhirnya bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. A. Syafii Maarif dalam pendapatnya mengatakan “jika Indonesia tidak secepatnya merespon konsep demokrasi yang ada sebagai jalan tengah sebagai sistem dalam bernegara, sudah barang tentu Indonesia akan ketingalan kereta”[11] dan demokrasi pancasila sudah seharusnya tidak digugat-gugat lagi karena demokrasi pancasila adalah jatidiri bangsa ini, lain halnya dengan konsep negara Islam, Syafii sangat tidak sepakat seperti dalam wawancara beberapa waktu yang lalu, ia mengatakan Islam dan Politik ibarat dua sisi mata uang pada hakekatnya, akan tetapi jangan sekali-kalai membawa Islam keranah politik/negara karena pada kenyataannya politik itu kotor,[12] namun sebisa mungkin Islam sebagai ajaran bisa mewarnai politik yang ada sehingga politik itu bisa lebih beretika[13] dan bermoral.[14]
Kalangan Islam lain yang diwakili oleh oramas NU[15] dan Muhammadiyah (Muktamar ke 41 di Surakarta tahun 1985 yang mengakomodir pancasila dalam Angaran Dasar Muhammadiyah) sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana dasar negara Indonesia ini, apakah berdasarkan Islam ataupun pancasila, karena pancasila bagi mereka sudah sangat merepsentasikan keinginan umat Islam dengan adanya sila pertama Ketuhanan Yang maha ESA. Selain itu seperti yang pernah di ungkapkan oleh M. Dawam Rahardjo pancasila adalah saripati kehidupan berbangsa dan bernegara masyaakat Indonesia[16].
Buku yang ditulis oleh Ahmad Yani Anshori (Doktor muda lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) dengan judul Tafsir Negara Islam dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia. Sebenarnya ingin menyajikan dan melihat fakta-fakta sejarah yang terjadi pada masa lalu untuk bisa dipahami dan dipelajari saat ini, sedangkan conten dari isi buku ini adalah dengan perspektif sejarah yang ada perjuangan untuk mendirikan negara Islam[17] di Indonesia sangatlah tidak mudah karena berhadapan langsung dengan kalangan nasionalis yang notabennya juga orang-orang Islam. Fakta inilah yang sesunguhnya belum bisa dipahami oleh kalangan Islam saat ini yang ingin memperjuangkan negara Islam di Indonesia dengan jalan agitasi dan konfrontasi.  
            Buku ini teridri dari empat bab, bab pertama menguraikan secara global bagaimana hubungan Islam dan negara dalam konfigurasi politik dan praktek politik Islam di Indonesia, bab kedua membicarakan maslah wacana negara-bangsa diawal kemerdekaan dalam pemikiran Islam dan nasionalis-sekuler. bab ketiga membicarakan masalah penafsiran dan perdebatan negara Islam dalam sidang konstituante yang masih dalam tataran sangat global sekali, walaupun platform dan arah perjuangannya sudah mulai kelihatan, bab keempat respon asas tunggal pancasila dari kalangan Islam moderenis seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Peta bagaimana sebetulnya suasana perdebatan pada sidang BPUPKI dan PPKI yang sudah menjadi masa lalu, sudah banyak ditulis oleh para penulis sebulumnya antara lain seperti karya Adnan Buyung Nasution dalam bukunya Aspirasi Pemerintahan ­Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959 (Grafiti Pers, 1995) yang merupakan ­disertasi doktornya di Universitas Utrecht,­ Belanda, pada 1992, Walaupun demikian dalam perspektif sejarah buku ini sebenarnya memiliki informasi dan bobot yang cukup tinggi untuk bisa dijadikan sebuah rujukan agar pembaca bisa memahami bagaimana dinamika perdebatan awal mengenai dasar negara Indonesia antara kalangan Islamis dan Nasionalis, akan tetapi dalam sisi perkembangan waktu seperti peta gerakan Islam yang terbagai dalam dua golongan yakni gerakan formal (perjuangan melalui parlemen) dan gerakan informal (diluar parlemen) belum diungkap secara mendalam sehingga ada keterputusan informasi yang sifatnya kekinian untuk bisa terus bisa dipahami.
Sedangkan untuk meilhat pemahaman yang sifatnya konferhensif setidaknya perlu pula dipahami dan dicermati serta ditelaah secara mendalam ada kalangan lain yakni kalangan sekuler yang diwakili oleh Soepomo dengan buah pikirannya tentang pancasila yang meniadakan konsep ketuhanan, pemikiran Soepomo inilah seprtinya tidak terekam dalam buku ini, padahal senyatanya sosok Suepomo memiliki andil besar untuk ikut serta merumuskan konsep dasar negara yang tertuang dalam lima pemikirannya seperti berikut, persatuan, mufakat dan demokrasi, keadilan sosial, kekeluargaan dan musyawarah yang dalam bahasa konstitusi disebuat sebagai state ideal kolektif.
Sekali lagi akhirnya buku ini adalah buku yang sangat informatif dalam pendekatan akademisi persepktif sejarah. Namun bagaimanapun juga buku ini masih ada kekurangan informasi yang sifatnya konferhensif. Akan tetapi sebagai bahan rujukan seperti yang sudah penulis sampaikan diatas buku ini adalah buku yang seharusnya dibaca bagi kalangan yang berkonsentrasi dalam dunia politik, hukum dan juga sejarah Indonesia.


























[1] Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia; Sebuah Pergulatan yang Tidak Pernah Tuntas, (Jakarta: Renaisan, Juni 2005), hlm. 317.
[2] R. William Liddle, Revolusi Demokratisasi dari Luar (Jakarta: Penerbit Nalar, 2005), hlm. 62.
[3] Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau di singkat BPUPKI, menurut penelitian data sejarah yang ada didirikan pada 28 Mei 1945, yang bertepatan dengan hari kelahiran Kaisar Jepang, selain itu badan ini beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr. KRT. Radjiman Widiodiningrat dengan wakilnya R. Suroso dan seorang lagi wakilnya Ichi Bangase yang berkebangsaan Jepang. Dengan data ini ada indikasi yang menyebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia secara tidak langsung adalah hasil dari negosiasi dan kerelaan Jepang terhadap Indonesia untuk merdeka, sedangkan tujuan pembentukan BPUPKI pada awalnya adalah untuk mengumpulkan data-data bahan penting tentang ekonomi, politik dan tata Negara yang akhirnya nanti bisa merumuskan sebuah konsep dara Negara.
[4] Debat TvOne, Rabu 25 Maret 2009, pukul 19.30.-20.30. “Pedebatan Kalangan Peneliti dan Parpol Berbasis Agama (PDS, PBB)” dalam perdebatan ini, para pemikir dan ilmuan LIPI menilai parpol yang berbasis agama saat ini hendaknya jangan hanya sibuk dengan urusan-urusan yang sifatnya tidak memiliki kepentingan yang langsung bersentuhan pada masyarakat, seperti selalu mengungkit-ungkit Piagam Jakarta, Negara Islam dll akan tetapi cobalah langsung memiliki konsep yang turun kebahwah dan bisa dirasakan oleh masyarakat.
[5] HTI-Press, Jubir HTI: Wacana Penting Untuk Perubahan dan Tegaknya Khilafah !, penegakan syariat Islam/khilafah sebenarnya bukan dari parlemen karena kalau dilihat hingga dulu sampai saat ini bahkan banyak pula partai politik islam di parlemen, pada kenyataannya syariat islam belum bisa tegagk jadi menurut HTI hanya kesadaranlah yang bisa menegakkan itu semua dan HTI bergerak pada level tersebut selain itu dari kesadaran itulah maka kita akan memiliki kekuatan karena kekuatan itu berasal dari umat yang sadar. Dari sanalah, sebenarnya perubahan itu bakal terjadi. Memang jauh dari pemahaman kebanyakan orang yang menganggap perubahan itu selalu menggunakan rute yang ’lazim’ melalui pemilu masuk parlemen untuk merubah undang-undang, di eksekutif memimpin. Walaupun secara praktis faktanya tidak pernah melahirkan suatu perubahan yang mendasar. http//goggle.co.id/hti.akses 8 April 2009.
[6] Ishomuddin, Diskursus Politik dan Pengembangan; Melacak Arkeologi dan Kontroversi pemikiran Politik dalam Islam, (Malang: UMM Press, 2001), Ali Abd. al_Raziq dalam bukunya “Fundamentals of Government” yang diterjemahkan dari karyanya (al-Islam wa ushul al-Hukm), ia berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan dan negara duniawi akan tetapi hal ini diserahkan untuk difikirkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya. hlm. 86
[7] Meminjam teori Ashobiyah-nya Ibn Khaldun bahwasanya negera dapat dibentuk dengan membentuk solidaritas social, komunitas kecil, organisasi kemasyarakatan sebagai embrionya dengan pendekatan kebangsaan, ras lalu semua itu Negara dibentuk berdasarkan agama (Islam) tentu teori sperti ini akan sulit sekali diterapkan di bumi Indonesia yang notabennya sangat plural sekali, selain itu konsep Negara bangsa saat ini kalau boleh Negara Indonesia disebut sebagai bangsa melayu, tentu menafikan bangsa dan komunitas masyarakat yang ada di bagian Indonesia Timur. Ibn Khaldun, Muqadimah, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 433.
[8] Laporan Utama, Negara Islam tak Bisa Dipaksakan, Natsir; Wawancara Adnan Buyung Nasution, Majalah Tempo, Edisi 21/XXXVII/14-20 Juli 2008.
[9] Lihat, Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri; Strategi Kebudayaan dalam Islam (Yogyakarta: Sipress, 1999), dalam teologi politik yang dikenal dengan sebutan “Teologi Pembebasan” dalam perspektif sosiologi, akan tetapi dalam politik ini selain pencapaian-pencapaian yang sifatnya duniawiyah, pencapaian penyerahan diri kepada sang Pencipta yang Mahas Esa sangat ditekankan. hlm. 98.
[10] Lihat. Matori Abdul Djalil, Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa, dalam pengatar buku ini GuS Dur mencoba mencari sintesa anatara agama-negara, karena bagi Gus Dur melihat agama-negara ada dua sudut pandang di negri ini, pertama ada yang menginginkan suatu agama menjadi sebuah referensi baik secara langsung yang utama (atau diutamakan) dalam membentuk sebuah negara. kedua tidak ada keinginan seperi yang pertama namun agama hanya menjadi sebuah referensi Maka Gus Dur lebih cendrung kepada pendapat kedua bahwa agama tidak lah seharusnya di utamakan diantara agama yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan demikian penentuan perbedaan ini sangat penting karena jika agama dijadikan dasar sebuah Negara maka secara tidak langsung  tidak ada pengistimewaan atas sebuah agama di atas agama-agama yang ada, karena itu tidak ada agama yang di anaktirikan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun agama itu mayoritas. (Jakarta: PT. Grasindo, 99), hlm. Xiii-xiv.
[11] A. Syafii Maarif, Mencari Auntentisitas dalam Kegalauan (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban/PSAP Muhammadiyah, 2004), hlm. 221.
[12] Zainuddin Maliki, Politikus Busuk; Fenomena Insensibilitas Morsal Elite Politik (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hlm. vii-xi (pengantar).
[13] A. Syafii Ma’arif, “Revolusi Pemikiran dalam Muhammadiyah”, Safi’i menyampaikan dengan tegasnya, saya bukan ahli hukum bukan juga fikih tetapi saya mempunyai kepihatinan yang sangat mendalam tentang bagaimana membawa pesan-pesan dari langit untuk digunakan di bumi, memberikan arah moral, arah akhlak pada kehidupan umat manusia, karena dalam pemahaman saya pula ada sebuah konsep hudallinnas dan konsep hudall lilmuattaqin yaitu pemeberi petunjuk bagi semua umat manusia dan pemberi petunjuk bagi orang-orang telah memiliki keimanan namun tekadang masih sering lupa terhadap realitas sosial yang ada atau kurang peka terhadap kehidupan sosial. Suara Muhammadiyah. No. 1 Tahun ke-86 januari 2001.
[14] A. Syafii Maarif, Relasi Agama dan Negara dalam Konteks Demokrasi di Indonesia, Wawancara di UGM, Jumat 14 Maret 2008, pukul 11.30.
[15] Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS, Menghidupkan Ruh Pemikiran K.H. Achmad Siddiq (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), dalam Munas Alim Ulama NU pada 18-20 Desembe 1983 di Situbondo, NU menegaskan bahwa penerimaan asas tunggal Pancasila hukumnya adalah wajib. hlm. 140.
[16] M. Dawan Rahardjo “Pancasila Mitos dan Relita” (Kompas, Minggu 1 Juni 2007), Pancasila adalah bertolak dari gagasan Bhinneka Tunggal Ika, yakni keragaman dalam persatuan sebagai cirri masyarakat Indonesia. Menurut Dyenis Lombart, Indonesia di bangun dalam geologi kebudayaan berlapis-lapis yang menghasilkan masyarakat yang plural dan multicultural yang di dalamnya sekaligus mengandung potensi konflik, karena itu harus ada idiologi yang mampu mengendalikannya, yaitu pluralisme. Dan Pancasila juga di bangun berdasarkan geologi kebudayaan sejak agama Buddha, Hindu, Islam, Konghucu, dan Kristen. Maka, Pancasila juga Merupakan jawaban terhadap tantangan masyarakat yang makin kompleks dan majmuk dewasa ini.
[17] Negara Islam, dalam perdebatan dewan kosnituante telah muncul konsep global tentang subtansi Negara Islam yang di cita-citakan, yakni; pertama, Negara egaliter dengan pluralisme sebagai tegaknya negara, kedua Negara yang menjamin tegaknya syari’ah Islamiyah, ketiga Negara yang menganut demokrasi berketuhanan (baca, konsep Mubaya’ah Ibn Tamiyah, Demokrasi berketuhanan), keempat Negara yang menganut sistem ekonomi berketuhanan. Tafsir Negara Islam . . . hlm. 67.