MEMBACA
GERAKAN POLITIK ISLAM PASCA
REFORMASI 98 DI INDONESIA
A. Pendahuluaan
Pasca Reformasi 98, menjadi sebuah fenomena yang
cukup menarik dalam perpolitikan di Indonesia yakni ketika awal digulirkannya
demokrasi, dimana pada masa itu
dengan sistem demokrasi yang digulirkan berbagai pemikiran yang awalnya
terkekang dan terpenjara seolah keluar dan terbang dengan bebasnya. Keadaan
demikian sangat dirasakan oleh semua kalangan baik yang pro demokrasi ataupun
yang pro dengan ideologi Islam dalam pergerakannya.
Akan tetapi pendekatan yang cukup konferhensif
setidaknya perlu pemahaman awal yang memadai yakni bagaiman sebenarnya dinamika
perpolitikan khususnya bagi umat Islam sebelum terjadinya reformasi tersebut.
Analisis yang cukup meanrik adalah, andaikan ketika awal kemerdekaan politik
Islam (dalam hal ini politik yang berbasis Islam dengan berbagai perangkatnya)
dikekang lebih kuat lagi tentu hirroh serta semangat yang ada packa
reformasi akan lebih tinggi lagi untuk berjuang atas penegakan syariat Islam,
namun dilahin hal fenomena kembalinya pemahaman Islam dan politik sangat berkaitan
ibarat dua sisi mata uang, tentu ini pun perlu sekali dicermati, kemudian
pertanyaan yang bersifat miring juga terjadi, yaitu apakah kebangkitan
parpol-parpol Islam itu merupakan indikasi
dari kemunculan “fundamentalisme Islam” di Indonesia?
Dua pemahaman yakni semangat atas kebangkitan
politik Islam dan pemahaman Islam adalah agama yang lengkap, sekiranya keduanya
sangat menarik dengan berbagai pendekatan seperti pendekatan fenomenologi
politik kekinian, oleh karena itu penyusun akan mengangkatnya sebagai
sumbangsih keilmuan.
C.
Metodologi Pembahasan
Setidaknaya ada beberapa
faktor yang melatarbelakangi semangat kemunculan gerakan politik Islam dan
sekaligus mengedepankan argumen bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang mana
ideologi Islam ingin merespon karena sudah merasa mengalami kejenuhan dan
keterkekangan ditambah lagi melihat tatanan politik yang cendrung jauh dari
yang diharapkan, faktor itu adalah. Pertama wacana pembaharuan dalam
Islam, yang banyak didominasi oleh pemikir dikotomik mengenai realitas
kehidupan beragama antara tradisi dan pembaharuan, Kedua, sayap
revolusioner (al-qira’ah al-tatswiriyah) kelompok ini ingin mengajukan
proyek pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan liberalisasi pemikiran keagamaan dengan srtating
point tradisi-revolusi.
Ketiga, sayap dekonstruksi (al-qira’ah altakkikiyah) dimana sayap
ini ingin membongkar tradisi secara komperhensif hingga menyentuh ranah
metodologis
dengan menggunakan alat epistemologi modern.
Ketiga pemikiran inilah
yang setidaknya ingin dikaunter oleh kalangan/gerakan Islamis yang ada, karena
menurut hemat mereka setidaknya pemikiran-pemikiran seperti itu akan menjauhkan
dari agama (al-Quran-hadis), dengan memegang ideologi sekuler.
B.
Kebangkitan Politik Islam
Dalam
konteks global kebangkitan gerakan politik setidaknya sudah berlangsung cukup
lama, seperti tercatat ada beberapa pemikiran Ikhwanul Muslimin di Mesir,
revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 oleh kalangan militan Islam, dan berbagai gerakan
lainnya, pun demikian juga terjadi di Indonesia yang dalam hal ini penyusun
mencoba melihat dari mulainya masa reformasi 98. Pasca reformasi yang ditandai
dengan jatuhnya rezim Soeharto setidaknya ada kemiripan antara yang terjadi di
Iran dengan di Indonesia, namun dalam hal ini gerakan militan Islam belum bisa
sepenuhnya mencapai puncak kekuasaan seperti yang terjadi di Iran.
v Eforia
Politik yang Berlebihan
Azumardi Azra meyebutkan pasca jatuhnya Soeharto pada
tahun 98 itu perubahan Indonesia menuju Liberalisasi politik dan demokrasi
sudah tidak dapat diundur-undur lagi.
Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya bermunculan partai-partai baru, namun
jika hal itu yang menjadi sebuah tujuan dari reformasi maka reformasi itu
sendiri pada hakekatnya tidak memiliki arti apa-apa karena keadilan,
kesejahteraan, kemakmuran dan lain sebaginyalah yang diinginkan di negeri ini.
Kebanyakan para elite politik–khususnya para partai politik besar sedang
bereforia secara berlebihan menikmati partainya yang menang.
Cendekiawan Nurcholis Majid
(Cak Nur) mengingatkan bahwa Pemilu 99 (pasca reformasi 98) bukan merupakan
penyelesaian dari semua masalah, namun sebuah gerbang untuk memasuki agenda
reformasi yang fundamental, melakukan amandemen terhadap UUD 1945, menata
politik dan ekonomi serta membangun keadaban politik
Pasca reformasi 98 fenomena seperti
PPP, PKS, PBB, yang mengambil jalan dalam koridor parlementer dan MMI, JI serta HTI
yang mengambil jalan diluar sistem kepartaian tapi lebih pada organisasi
keagamaan keduanya sebetulnya sangat menarik untuk diperdebatkan, dimana
gerakan politik yang berbasiskan ideologi Islam ini, ia secara terang-terangan
berani tampil dan mununjukan jati dirinya bahwa gerakan ini adalah gerakan yang
mempresentasikan politik masyarakat Islam yang berkeinginan syariat Islam
sebagai dasar Negara, senada dengan apa yang diungkapkan Prof. Jawahir
Thaontowi untuk mendirikan atau menegakkan syariat Islam sangalah mungkin
karena syariat Islam sangat jelas:
§ Suariat
Islam menurut jumhur ulama’ telah jelas yakni meliputi aqidah, ibadah, muamalah
dan akhlak yang didasarkan pada al-Quran-Hadis.
§ Syariat
Islam Syumuliyyah (lengkap)
§ Syariat
Islam yang di dalamnya ada hukum Islam dalam perkembangan sejarah harus selalu
bisa merespon dengan penafsiran didalamnya, dalam hal ini adalah realisasi
syariat Islam di Aceh yang tertuang dalam UU. No. 18. tahun 2001 dengan jalan perjuangan
(konseptual dan lobi parlemen).
Akan tetapi yang perlu juga dipahami dalam teori
konstitusi seperti negara Indonesia sebetulnya tidaklah mudah mengusung ideologi
Islam yang ending perjuangannya untuk menegakkan syariat Islam dikarenakan oleh
beberapa hal yakni harus adanya sebuah revolusi secara total terhadap ideologi yang
ada, pertanyaanya kemudian mungkinkah semua ini bisa terjadi? Dengan melihat
fakta dilapangan yang ada, sebagai studi perbandingan yakni pemilu 1999 dengan
pemilu 1955 sebenarnya partai politik Islam mengalami kemunduran yang cukup
signifikan yakni hanya mendapatkan suara di parlemen sebanyak 20 persen di
atahun 1999 sedangkan di tahun 1955 suara partai Islam mencapai 45 persen.
Dari dialog parlementer di atas sesungguhnya
politik Islam tidak memiliki kekuatan yang penuh untuk meluruskan jalannya
menuju Negara yang berdasarkan syariat Islam, karena memang ada beberapa
indikasi yang menyebutkan masyarakat Indonesia.
Pertama,
masyarakat bayak yang berkeyakinan bahwa perjuangan “Islam Politik” sebenarnya
banyak diperjuangkan oleh kalangan diluar partai Islam dengan label “politik
yang Islami”.
Kedua, kaum muslimin sebenarnya lebuh peduli untuk
menjadikan Islam sebagai etika sosial, yakni sebisa mungkin urusan politik bias
disemangati oleh nilai-nilai agama seperti kejujuran, keadilan dan sebagainya,
semua itulah yang diharapkan dari pada partai yang secarang terang-terangan
mendeklarasikan sebagai partai Islam namun sering kali tersangkut masalah
korupsi, asusila maka Islamlah yang akan terbawa akhirnya.
Sekali lagi
dalam ranah cita-cita sebuah penegakan syariat Islam sebenarnya bagi setiap
manusia sangat diimpikan dan bisa diwujudkan dalam
kehidupan nyata karena memang setiap relitas manusia yang hidup dan beragama
pada kenyataannya memerlukan sebuah bimbingan dari Tuhannya melalui kitabnya
yakni Al-Qur’an dan Hadis untuk menuju kemaslahatan (bagi orang Islam)
dan melalui kitab-kitab agama lain bagi pemeluk non Islam seperti halnya dalam
tradisi Kristiani juga terjadi. Pemahaman serta teologi
seperti inilah yang sebenarnya memiliki terminoligi fundamentalisme.
Meminjam
teorinya Ibnu Khaldun dengan pendekatan Teori Lingkar Kekuasaan, setidaknya
para penggagas tegaknya syariat Islam dan politisi Islam tidak diperlukan sama
sekali sifat atau sikap antipati terhadap sistem yang ada, karena memang sistem yang
ada saat ini yakni demokrasi adalah sistem yang telah disepakati oleh rakyat
Indonesia dan para pendiri bapak bangsa, seperti halnya pemikiran Bung Hatta
mengenai demokrasi, ia menyebutkan ada tiga landasan demokrasi di Indonesia. Pertama,
adanya instrument sosialis-Barat yang mengangakat dasar-dasar kemanusiaan. Kedua,
ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi. Ketiga, prinsip
kolektivisme yang dibangun oleh masyarakat Indonesia sejak Negara ini belum
merdeka.
Jika semua relitas di atas diingkari tentu proses
untuk menuju sebuah cita-cita masyarakat yang berlandaskan syariat Islam akan
kian jauh untuk dicapai karena memang fenomena yang ada saat ini dimana
masyarakat terlihat sekali dalam apresiasi politiknyapun cendrung pada
pilihan-pilihan organisasi yang berbasis nasionalis bukan Islam. Selain itu
dengan adanya sistem demokrasi yang dibuka lebar-lebar pasca reformasi 98
setidaknya patut disyukuri dengan berbagai konsekunsi yang melatar
belakangi.
v Ideologi
Politik (Islam) tidak memiliki tempat di Indonesia.
Dua
kutup pemikiran yang selalu diperbincangkan di Indonesia yang tiada habisnya
adalah ideologi Islam dan pancasila, para penggagas ideologi Islam dalam
perspektifnya merasa mereka belum merdeka dari penjajahan yang dilakukan oleh
NKRI, hal ini banyak sekali terbukti dari doktrin-doktrin gerakan Islam dengan
pernyataannya harus hijrah kenegara Islam? Akan tetapi pertanyaannya kemudian
manakah negara Islam itu saat ini?, pertanyaan yang cukup mendasar ini
sebenarnya ingin mengetahui sejauh mana kalangan Islam terus-menerus bernostalgia
dengan kejayaan masa lalu, apakah benar umat Islam saat ini masih dalam keadaan
tertidur lelap sehingga selalu memimpikan tanpa mau membaca realita yang ada.
Fenomena lain yang bay
ak diketemukan dalam masyarakat adalah keterasiangan
uamat Islam dengan jumlah mayoritasnya, hal itu dapat dilihat melalui beberapa
indikator seperti ;
o
Gerakan Islam yang tidak memiliki jalinan antar firqah
Islamiyah dengan thariqah Islamiyah yang solid, Islam mayoritas tapi
ibarat busa dilautan.
o
Tidak adanya pemahaman yang mendalam terhadap
ajaran Islam yang sesungguhnya, faktor ini adalah faktor
yang sangat menentukan karena ketika umat Islam tidak memahami dan mengerti
secara mendalam atas apa yang diajarkan oleh agamanya, maka tnggu lah sebuah
kehancuran.
o
Islam
hanya dijadikan simbol (Islam-simbolik)
Simbol disini dimaksudkan adalah Islam hanya dijadikan kosumsi politik
untuk meraih sebuah kekuasaan semata, semua ini setidaknya terbukti paska
reformasi 98 partai-partai yang berbasis Ideologi Islam seperti PKS, PBB, PPP
tidak memiliki tawaran yang berbeda dengan partai-partai Nasionalis lainnya,
hal yang sama juga terjadi pada pemilu 2009 yang telah berlalu dimana bayak
sekali parpol Islam seperti PKNU, PMB, PBR dan PPNUI tidak memikiki konsep yang
memadai dan memiliki daya saing
yang kuat.
Dari
ketiga indikator-indikator yang ada setidaknya bisa membaca bagaimana kekuatan
Islam yang sesungguhnya dengan jargonya Islam adalah agama yang lengkap.
Akhirnya hanya landasan
budaya, adat istiadat dan keberagaman suku bangsa serta agama yang majemuk
menjadi modal untuk mewujudkan demokrasi keindonesiaan yang berbasis semangat
Islami, dengan bahasa lain Indonesia akan besar hanya melalui jalur struktur
dan kultur (yang didalamnya melalui pendekatan budaya, agama, masyarakat)
yang sesuai karakter bangsa ini. Karena melihat perjalanan yang pernah bangsa
ini lalui tenyata semuannya jauh dari semangat demokrasi dan nilai Islam yang
telah diajarkan dan bersumber dari nilai-nilai yang ada dalam pancasila, dan
pada saat ini lah hendaknya hendaknya demokrasi keindonesiaan dengan
nilai-nilai agama sebagai fondasi bisa diwujudkan dengan tanpa melepaskan pada
jatidiri bangsa dengan ideologinya pancasila
B.
Islam adalah agama yang lengkap
Prokontra pemikiran tentang Islam dan politik
setidaknya telah terjadi cukup lama yakni sebelum Negara Indonesia ini berdiri,
kalangan Islamis yang memiliki kecendrungan bahwa agama Islam adalah agama yang
lengkap dimana maslah keduniawain (politik) juga ada dan dibahas dalam ruang
lingkup agama, sedangkan pemikiran sekuler yang dibawa oleh pemikir Barat
setidaknya mencoba memisahkan antara urusan gereja/agama dengan urusan politik,
seperti analisis pemikir Sir Thomas Arnold dalam bukunya The Caliphate,
ia menyebutkan bahwa ajaran Islam tentang politik yang dimanifestasikan dalam sistem
khalifah sebanarnya memiliki dua kepentingan yakni politik yang dipoles dalam
wilayah agama,
sehingga seolah-olah khalifah adalah perintah agama bukan sebuah metode atau sistem
yang keluar dari rahim agama Islam.
Pemahaman Islam adalah agama Syumuliyyah (lengakap), ideologi inilah yang sebenarnya dipakai
oleh para aktifis Islam baik yang bergerak dalam ranah dialogis maupun konfrontatif,
lagi-lagi semua ini terjadi karena ada sebuah keterpengaruhan sejarah yang
cukup panjang dengan memimpikan Islam bisa seperti dahulu kala tanpa mau
melihat relita serta meningkatkan kualitas pemahaman tentang keagamaannya.
Fakta lain adalah pada
umumnya orang-orang Islam percaya akan sifat Islam yang holistik. Sebagai
sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu
yang lebih daripada sekedar sebuah agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu
“masyarakat sipil.” Ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem “perabadan
yang menyeluruh”. Bahkan, ada pula yang mempercayainya sebagai “agama dan
negara.” Apa yang ada di balik rumusan-rumusan semacam itu pada dasarnya adalah
pandangan umum bahwa Islam itu lebih dari sekedar sistem ritus dan/atau
teologi. Lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang
bersifat spiritual dan temporal. Sebaliknya, Islam memberikan
panduan (etis) bagi setiap aspek kehidupan
Pemahaman agama dan
negara saling terkait ternyata secara tidak langsung juga dilakukan oleh
negara-negara yang menyebut dirinya sekuler, karena sekulerisme yang menjadi
model global senyatanya tidak bisa berjalan dengan sendirinya, ini terbukti di
dunia ini hanya ada dua negara yakni Prancis dan Meksiko yang tetap konsisten
dengan kesekulerannya, sementara kebanyakan negara Barat seperti Amerika
Serikat, Inggris dan Jerman ternyata antara negara dan agama saling terkait dan
tak terpisahkan
(dalam pengukuhan persiden ada do’a, doa di sekolah)
C. Kesimpulan
Dalam pendekatan etis, setidaknya memang agama
bagi siapapun akan bisa mempengaruhi setiap gerak kehidupan manusia (yang
beragama) karena memang kekuatan spiritual manusia sangat dibutuhkan yang dalam
hal ini adalah Islam, seperti yang diungkapkan Jhon Nesbit “ketika manusia
mengalami titik jenuh, maka jalan agama (sprituallah) yang akan dicari” selain
itu dalam titik tertentu pula (kejenuhan politik, ekonomi, sosial) agama yang
awalnya terpisah-pisah dan bercerai berai, maka semua itu sudah tidak diperlukan
lagi, yang diperlukan hanyalah kedekatan hamba dengan Tuhannya.
Sebuah kesalahan besar
jika umat Islam ingin bangkit kembali namun dalam kenyataannya masyarakat Islam
masih terbelakang pendidikannya, ekonominya, ataupun keilmuannya, maka perlu
adanya sebuah paradigma baru yakni belajarlah kedunia Barat seperti halnya
dahulu Barat belajar kepada dunia Islam, selain itu ideologi-ideologi kekerasan
sudah semestinya sedikit banyak dihilangkan agar Islam menjadi agama yang
humanis rahmatal lil alamin.
Daftar
Pustaka
Hofmann, Murad W, Menengok Kembali Islam Kita, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002.
Madjid, Nurcholish, “Homogenisasi Ingkari Jati Diri Indonesia”, Kompas,
Kamis, 23 Maret 2000.
Nurcholish Madjid, “Homogenisasi Ingkari Jati Diri Indonesia”, Kompas,
Kamis, 23 Maret 2000.